Sabtu, 22 Januari 2011

“Politik Ketakutan” dalam Kajian Filsafat Politik Thomas Hobbes, John Rawls, dan Ibnu Khaldun: Telaah Komparatif

ABSTRACT
 This article aims to analyze the politics of fear as the basis of security by comparing the three images on international politics: moral skepticism, cosmopolitanism, and non-western perspective. In this age of security, the paradigm of “being secured” is changed. People do not consider security only as traditional security which has been identified as militarism and arms race, but also the human security. Those changing paradigm should be questioned: Is there any philosophical explanation which show the meaning of changing paradigm? How could the images collided? By analyzing that phennomen in the comparative analysis of three images of international politics, this article try to understand the synthesis of security problem based on the theoretical analysis of international politics. 

Keywords: Security, Moral Skepticism, Cosmpolitanism, Non-Western, International Politics


PRAWACANA
"In the political sector, existential threats are traditionally defined in term of constituting principle -souvereignty, but sometimes also ideology- of the state"
(Barry Buzan, Ole Waever, & Jaap de Wilde, 1998)

Konstruksi negara-bangsa tak terlepas dari dimensi keamanan. Sejak dibentuknya formasi negara-bangsa pada perjanjian Westphalia pada 1648, keamanan mendominasi wacana dalam hubungan antarbangsa. Secara teoritik, dikenal dua perspektif mengenai keamanan: keamanan tradisional dan keamanan manusia.

Konsep keamanan tradisional dipengaruhi sangat kuat oleh perspektif realisme dan neo-realisme (Newman, 2001).  Perspektif itu ebih menitikberatkan pada konsepsi keamanan konvensional yang berbasis kekuatan militer untuk menjawab ancaman yang ada. Artinya, perspektif itu tersebut mengandaikan kondisi dunia yang anarkis dan cenderung self-help sebagaimana diandaikan neo-realisme (Waltz, 2000). Dalam konteks yang lebih kontemporer, paradigma keamanan berbasis eksistensi umat manusia. Penggunaan militer yang menjadi icon “penjaga keamanan negara-bangsa”, setelah perang dingin mengalami transformasi. Konflik bipolar dalam politik internasional tidak lagi eksis. Kini, masing-masing negara-bangsa sibuk dengan problem kewargaan yang berada dalam negara masing-masing.

Pergeseran paradigma tersebut melahirkan sebuah diskursus baru dalam politik internasional. Dengan beralihnya isu keamanan global, dimensi keamanan menjadi kembali diangkat. “Ancaman” (threat) yang menjadi basis dari keamanan kini tidak lagi berkutat hanya pada persoalan keamanan persenjataan atau militer. “Ancaman” bisa berarti wabah penyakit, kemiskinan, buta huruf, virus menular, atau sejenisnya yang dirasakan oleh warga-negara, bukan negara itu sendiri. Sehingga, kaum konstruktivis memandang ancaman sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh manusia.

Dalam studi keamanan internasional, kita mengenal istilah sekuritisasi atau masuknya aspek-aspek keamanan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Buzan, 1998). Sekuritisasi sangat erat kaitannya dengan istilah ketakutan (fear). Dalam filsafat politik Thomas Hobbes, istilah ini erat kaitannya dengan kekacauan sosial dan peran negara. Menurut Hobbes, fear adalah human nature. Manusia hidup dengan ketakutan dan negara perlu mengaturnya. Keamanan negara dalam perspektif ini adalah niscaya, dan kebijakan berbasis sekuritisasi ini sangat khas Hobbesian.

Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, kritik pun muncul. Paradigma keamanan seharusnya mengedepankan eksistensi manusia sebagai subjek. Sebab, pada hakikatnya negara terbentuk dari, meminjam Locke, kontrak sosial dari masyarakat. Sebagai timbal balik, kebebasan manusia harus dijaga oleh negara. Potret John Rawls mengenai keadilan distributif juga mengimplikasikan adanya perlindungan atas kebebasan dan hak sipil-politik (Kymlicka, 1990). Kebebasan adalah dasar atas persamaan kesempatan. Atas basis ini, keamanan juga diterjemahkan sebagai perlindungan atas kebebasan warga manusia. Ini yang melahirkan konsep keamanan manusia.

Paper ini akan mendialogkan dua perspektif keamanan di atas dengan menariknya ke dalam kajian filsafat politik. Paper ini menempatkan “ketakutan” sebagai objek untuk mengantarkannya pada pembahasan tentang keamanan.


ARGUMEN PAPER
Paper ini akan menjawab sebuah pertanyaan utama, “bagaimana mempertemukan perspektif keamanan tradisional dan perspektif keamanan manusia dalam sebuah konsepsi baru sebagai sintesis kedua perspektif tersebut?”
  
Pembahasan ini menekankan pada teorisasi “ketakutan” dengan membandingkan dua image yang dikenal dalam politik internasional, yaitu skeptisisme moral dan kosmopolitanisme. Dua filsuf yang dibahas dalam paper ini, Hobbes dan Rawls, mewakili dua image tersebut, dan ditambah dengan teorisasi Ibnu Khaldun untuk menjembatani dua image tersebut.

Pijakan argumen yang coba dibangun adalah bahwa ketakutan sebagai cara pandang paling mendasar dalam melihat keamanan merupakan konstruksi aktornya. Dengan menempatkan keamanan sebagai konstruksi, ketakutan juga dipandang sebagai konstruksi dari pelaku. Seseorang takut terhadap ancaman karena ia mengkonstruksikan ancaman tersebut dalam benaknya dan mentransformasikan konstruksi tersebut dalam sikap tindakan. Ketakutan dalam perspektif Hobbesian dipandang sebagai sifat dasar manusia yang harus dikontrol oleh otoritas yang lebih tinggi, dalam hal ini negara. Sementara itu, ketakutan dalam perspektif Rawls dipandang sebagai kegagalan negara dalam menjaga kebebasan warganya. Dalam perspektif Ibnu Khaldun, yang berperan justru masyarakatnya. Tiga image tersebut akan dianalisis untuk menemukan sintesis.


KEAMANAN SEBAGAI KONSTRUKSI
Konsep Keamanan berbanding lurus dengan ketakutan. Furedi (2008) berargumen bahwa ketakutan mengkonstruksi keamanan. Gagasan mengenai Resilience –dalam bahasa Furedi—  membuat negara membentuk lembaga-lembaga yang bertugas mengatasi ketakutan. Itulah yang disebut oleh Buzan et. al (1998) sebagai sekuritisasi.

Istilah sekuritisasi sebagai masuknya elemen “ancaman” dalam kebijakan internal negara sangat terkait dengan konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh mazhab Kopenhagen (Buzan, 1998). Paradigma konstruktivis mengandaikan bahwa ancaman (threat) pada dasarnya adalah persepsi pelaku. Sesuatu hal menjadi ancaman ketika ada yang mewacanakan hal tersebut sebagai ancaman eksistensial bagi suatu entitas.

Sesuatu akan menjadi ancaman ketika hal tersebut diopinikan melalui media massa, dipromosikan oleh agensi tertentu, dan ada referent object yang merasa terancam dan “takut” atas ancaman tersebut. Persoalannya bukan apakah hal tersebut berbahaya, tetapi bagaimana hal tersebut diopinikan sebagai sebuah ancaman eksistensial.

Oleh karena itu, dalam paradigma ini, ketakutan juga merupakan persepsi. Ketakutan lahir ketika ada yang mengopinikan bahwa sesuatu adalah ancaman eksistensial dan lantas membangun ancaman tersebut dalam pikiran. Ketakutan, dengan demikian, merupakan hasil dari konstruksi diskursif yang dilakukan oleh para aktor politik. Ketakutan lahir ketika ada sebuah entitas yang mewacanakan bahwa sesuatu hal mengancam eksistensi seseorang, kemudian lantas direspons dengan menjadikan hal tersebut sebagai “opponent” atau lawan.

Artinya, ketakutan sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang ada karena faktor material. Ketakutan sebagai konstruksi akan memerlukan perantara agar dapat disebarkan kepada entitas-entitas lain. Maka, dalam konteks ini perlu media, yang disebut oleh Barry Buzan sebagai speech act. Ketakutan disebarkan melalui tulisan-tulisan yang bernuansa propaganda, analisis yang keliru, atau generalisasi yang terlampau berlebihan. Tambahan pula, ketakutan disebarkan melalui kuasa-kuasa tertentu. Ini yang disebut oleh Barry Buzan sebagai “sekuritisasi”.

Kita dapat melihat refleksinya pada kasus terorisme. Dalam perspektif konstruktivisme, kita dapat membaca bahwa kasus terorisme sebetulnya bukan sesuatu yang terjadi secara serta-merta. Adanya stigma “teroris” banyak yang disebabkan oleh adanya konstruksi mengenai ancaman, baik dari sudut pandang pelaku maupun dari sudut pandang negara.

Dari sudut pandang pelaku, konstruksi yang muncul adalah ketakutan atas hegemoni negara yang bersifat menindas terhadap kelompoknya. Menurut Vedi R. Hadiz, aksi terorisme adalah wujud perlawanan kelas yang termarjinalkan oleh oligarkhi kelas pemilik modal (borjuasi) dan negara. Terorisme dimaknai sebagai sebuah ekses dari ketimpangan sosial akibat penghisapan kapital kelompok borjuasi.

Dari sudut pandang negara, ketakutan serupa juga terjadi. Negara yang ketakutan dengan ancaman teror kemudian melakukan tindakan-tindakan responsive yang berlebihan. Adanya wacana sidik jari untuk pesantren, identifikasi symbol keagamaan tertentu, hingga kecurigaan berlebihan terhadap aktivitas kelompok yang distigmakan sebagai “teroris” menjadi basis kebijakan negara. Sebabnya dapat kita tebak sendiri: ini adalah bentuk ketakutan negara terhadap aksi teror yang  mengancam eksistensi dan kedaulatannya.

Dalam konteks ini, negara merespons adanya aksi terror justru dengan sekuritisasi. Respons negara yang cenderung reaktif –bukan preventif dengan melacak akar masalah— terkadang kontraproduktif. Akibatnya, banyak korban salah tangkap hanya karena identifikasi simbol. Hal tersebut terjadi karena persepsi negara mengenai teroris telah dikonstruksi sedemikian rupa hingga menyebabkan sikap-sikap berlebihan terhadap kelompok agama tertentu. Ini menandakan, ketakutan yang dikonstruksi sedemikian rupa telah menjelma menjadi basis pengambilan kebijakan dalam keamanan.
Perdebatan mengenai keamanan tradisional dan keamanan manusia menjadi dipahami sebagai konstruksi. Untuk membongkarnya, telaah harus diarahkan pada “apa yang mengkonstruksi ketakutan”. Pada titik inilah dialog dua imaji dimulai.


POLITIK KETAKUTAN (1): THOMAS HOBBES
Tesis pertama menjelaskan bahwa sumber ketakutan negara adalah adanya kekacauan sosial. Thesis Hobbes menyatakan bahwa kondisi manusia pada asalnya adalah kondisi tanpa aturan, tanpa keadilan, tanpa rasionalitas. Ia menyebutnya sebagai “state of nature”. Kondisi ini mengharuskan adanya negara yang kuat dan berdaulat atas rakyatnya. Menurut Hobbes pula, sebagaimana dikutip oleh Bryan Magee, yang ditakuti oleh masyarakat bukan negara yang kuat, melainkan kekacauan sosial. Adanya “ketakutan” pada level pengambil keputusan sehingga menjadikannya apriori terhadap realitas adalah bentuk kekacauan sosial, yang melemahkan kewibawaan negara. Ini tampak pada rejim-rejim otoriter yang sumber kekuasaannya didapatkan dari jalan-jalan kekerasan.

Ketakutan cenderung meniadakan rasionalitas. Hobbes  mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu dan kesimpulan yang keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi berekspektasi bahwa masih ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh. Contoh konkretnya dapat dilihat pada ketakutan Amerika Serikat pada Irak yang berujung pada invasi. Terlepas dari perdebatan mengenai motif penyerangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan sederhana bahwa ketakutan Amerika Serikat pada kekuatan Irak-lah yang membuat negara adidaya ini mengerahkan kekuatan militernya untuk terjun ke padang pasir, menghancurkan negara kecil tersebut.

Pada konteks ini, dimensi rasionalitas dan humanitas sangat banyak dipertanyakan. Mengapa sebuah negara sampai mengorbankan nyawa prajuritnya hanya untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman? Analisis Hobbes akan menjawab pertanyaan ini: karena hakikat dasar dari manusia adalah sikap untuk takut terhadap ancaman.

Menurut Hobbes, manusia lahir ke dunia dengan membawa ketakutan. “fear and I, said Hobbes, were born together, kutip Firdaus Syam. Karena manusia adalah makhluk yang penuh dengan ketakutan, cara mengendalikannya adalah dengan mengontrol sumber ketakutan itu, yaitu adanya kekuatan di luar manusia yang mengendalikan manusia. Dalam konteks sosial-politik, kekuatan tersebut menjelma dalam wujud negara. Hobbes berpendapat, negara harus kuat untuk mengendalikan ketakutan manusia sehingga stabilitas tercipta.

Bryan Magee dalam bukunya, “The Story of Philosophy” memotret pandangan Hobbes mengenai otoritas negara. Hobbes berpendapat bahwa manusia membentuk masyarakat karena takut akan kematian. Pada konteks itu, kematian dinilai sebagai finalitas dari kehidupan. Agar masyarakat dapat stabil dan manusia mendapatkan rasa aman, diperlukan sebuah otoritas pusat yang secara mutlak mengatur kehidupan manusia. Otoritas tersebut kemudian dibahasakan sebagai “state”; entitas negara yang absolute. Negara harus dapat mengendalikan perilaku manusia agar tercipta rasa aman dari ketakutan-ketakutan. Implikasinya, negara memerlukan pemimpin yang kuat dan memerintah secara tegas.

Akan tetapi, mengapa negara yang kuat kemudian tidak lantas menimbulkan keamanan bagi warganya, tetapi dalam konteks yang lebih kontemporer  justru menimbulkan ketakutan-ketakutan lain terhadap warganya sendiri? Pada titik inilah Hobbes mendapatkan kritik. Tesis Hobbes bahwa negara yang kuat akan mengendalikan manusia sehingga menimbulkan rasa aman akan problematis jika dihadapkan pada masalah kontemporer: munculnya represi rejim otoriter terhadap kekuatan oposisi. Seting sejarah yang berbeda menyebabkan adanya problem tersebut. Jika Hobbes hidup di era monarki di mana feodalisme dan kekuasaan raja masih berperan besar dalam struktur politik Inggris pada waktu itu, saat ini kita menghadapi struktur sosial dan politik industrial yang mengimplikasikan adanya analisis terhadap kelas-kelas sosial yang oposisif terhadap entitas negara.


POLITIK KETAKUTAN (2): JOHN RAWLS
John Rawls menderivasikan teorinya pada kosmopolitanisme Kant. Ia percaya pada basis moralitas yang universal, dan mendasarkan teorinya tentang keadilan pada basis itu. Lazimnya pemikir liberal lain, keadilan disandarkannya pada sebuah persamaan kesempatan orang-orang yang bebas, serta berpijak pada etika sosial yang universal (Kymlicka, 2004: 69).

Rawls atau Kant yang berbicara soal moralitas dalam politik. Mereka satu frame dengan pemikir klasik seperti Aristoteles yang menganggap politik sebagai perluasan dari dimensi etika. Menurut Kant, misalnya, ketaatan pada nilai-nilai universal yang sahih dan diterima secara umum, akan membuat sebuah tindakan dideterminasi oleh hukum-hukum moral tersebut. Tindakan moral akan ditaati karena ia diterima secara umum dan sahih secara universal.

Begitu pula dalam konteks politik. Kant percaya pada sebuah nilai universal dalam berpolitik. Diktum-diktum yang sahih secara universal dan diterima secara umum mesti diaplikasikan dalam tindakan politik. Maka dari itu, tindakan mendapatkan kekuasaan juga harus adil dan sesuai kaidah moral. Termasuk dalam konteks ini kekuasaan untuk mengontrol warga negaranya.

Sementara itu, John Rawls membasiskannya dalam teori keadilan. Ada dua argumen yang menjadi prinsip dalam teorinya. Pertama, “fairness” atau persamaan kesempatan antarwarga negara sebagai konsekuensi moral dari kontrak sosial. Kedua, warga-negara yang berkesempatan sama tersebut memiliki kepentingan-rasional sebagai original position yang mengatur proses kerjasama antar-warga (Kymlicka, 2004: 73).

Pada dasarnya, konsepsi keadilan Rawls tak terlepas dari teori kontrak sosial. Hanya saja, berbeda dengan Rosseau atau Locke yang membasiskan kontrak sosial sebagai prakondisi sebelum ada negara, Rawls justru menggunakan konsep kontrak sosial setelah sebuah negara berdiri. Ia menolak argumen pertama karena terlalu absurd dan sulit dinalar (Kymlicka, 2004: 80). Akan tetapi, Rawls menggunakan istilah kesepakatan sosial. Ia berpendapat, keadilan adalah pengejawantahan dari teori tersebut. Dalam konsep prioritas leksikal, yang pada salah satunya memuat pembatasan atas kebebasan demi kebebasan itu sendiri. Artinya, Rawls berpendapat bahwa kebebasan itu sendiri perlu memiliki aturan, dan itulah negara yang ia pahami.

Apa yang terjadi jika kesepakatan sosial untuk membatasi kebebasan demi kebebasan tersebut tidak ada, alias negara gagal memenuhi fungsinya? Konsekuensinya ada dua, yaitu anarkisme  yang berujung pada kooptasi kebebasan satu orang atas orang lain. Artinya, prinsip kebebasan itu akan dilanggar jika negara gagal memenuhi fungsinya menyebarkan keadilan secara distributif. Argumen penulis, kegagalan negara itu menjadi kata kunci untuk membuka pandangan Rawls soal ketakutan.

Teori tentang keadilan tentu mengimplikasikan teori tentang ketidakadilan. Ketakutan adalah wujud ketidakadilan ketika kebebasan terkooptasi oleh kuasa tertentu. Ketakutan adalah ekspresi ketidakbebasan. Ketika kebebasan dihilangkan, keadilan juga akan hilang. Keamanan adalah ketika keadilan secara distributif dirasakan oleh semua manusia. Ketika keadilan itu hilang, keamanan berubah menjadi ketakutan. Maka, hilangnya keadilan serta ketidakbebasan dipandang sebagai ketakutan. Politik ketakutan menjadi dimaknai sebagai politik untuk menghilangkan keadilan sebagai fairness: kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mengekspresikan kebebasannya.

Lantas, dalam wujud apa politik ketakutan itu menampakkan diri? Wujud ketidakadilan adalah negara yang absolut. Lord Acton menyatakan, “power tends to corrupt, but absolute power absolutely corrupts”. Negara harus berwujud kesepakatan warganya. Maka, absolutisme kekuasaan adalah korupsi dan mengambil kebebasan warganya. Titik inilah yang menyebabkan pandangan Rawls dengan Hobbes.


POLITIK KETAKUTAN (3): IBN KHALDUN
ketakutan bersumber dari lemahnya solidaritas sosial, atau disebut oleh Ibn Khaldun sebagai “ashabiyah”. Lemahnya solidaritas menyebabkan manusia takut terhadap ancaman dari kelompok atau entitas lain. Pada konteks negara, ketika solidaritasnya melemah dan ikatan persaudaraannya tercerai berai, akan muncul sifat takut terhadap orang lain, yang menyebabkan terjadinya “kekacauan sosial”—meminjam istilah Thomas Hobbes.

Pemikiran Khaldun pada beberapa titik memiliki persamaan dengan Hobbes. Ia berpendapat bahwa negara harus kuat, agar solidaritas sosial masyarakat terjaga. Ibn Khaldun berangkat pada titik pandang bahwa manusia memiliki dualism potensi, yaitu potensi untuk berbuat baik dan berbuat “zalim” (p. 150). Kezaliman sendiri secara bahasa mengacu pada apa yang kita kenal sebagai represi terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kezaliman, perlu adanya solidaritas atau “ashabiyah”. Pada titik inilah terdapat perbedaan mendasar antara Ibn Khaldun dengan Hobbes.

Ibnu Khaldun menjelaskan, solidaritas sosial memberikan kekuatan bagi sebuah komunitas untuk mempertahankan eksistensinya secara jangka-panjang. Ibnu Khaldun memberikan contoh suku-suku badui yang hidup di padang pasir. Mereka mampu bertahan hidup karena adanya solidaritas yang dibangun oleh pemimpin masyarakat, di mana eksistensi mereka diejawantahkan dalam bentuk kemampuan mempertahankan diri dari serangan alam dan suku lain. Sejauh solidaritas antaranggota tersebut terjaga, eksistensi dari suku tersebut juga akan terjaga.

Karena solidaritas berperan penting dalam menjamin eksistensi dan kemampuan bertahan hidup, sebuah suku harus membangun solidaritasnya masing-masing. Lantas, bagaimana solidaritas tersebut dibangun? Ibnu Khaldun memberikan dasar kedua bagi upaya untuk mempertahankan solidaritas: adanya tali persaudaraan yang kuat bagi anggota-anggota suku. Menurut Ibnu Khaldun, hal paling mudah dalam membina rasa solidaritas adalah pada garis keturunan dan persaudaraan karena adanya pertalian dan persaudaraan memungkinkan adanya rasa “senasib sepenanggungan” dan “saling merasakan” atas apa yang diterima saudaranya.

Persoalannya, apa yang akan terjadi ketika “ashabiyah” atau solidaritas sosial tersebut melemah? Khaldun menjelaskan, akan muncul sikap individualistik yang kontraproduktif dengan semangat kolektivis. Ia menyebutnya sebagai peradaban “hadhari”. Implikasinya, seorang manusia yang terjebak pada sikap individualistis dan meninggalkan solidaritas akan cenderung bersikap zalim. Pada titik itu, keadilan akan berubah menjadi tirani. Seorang manusia akan takut terhadap manusia lain dan menggunakan kekuasaan yang ia miliki untuk bersikap zalim. Pada titik inilah terjadi “politik ketakutan”.

Cara menghadapinya adalah dengan menggunakan solidaritas sebagai alat menghadapi ketakutan. Seorang manusia tidak dapat melakukan semuanya sendiri, dan perlu  adanya basis keteraturan berupa solidaritas. Dengan memperkuat solidaritas di masyarakat, basis moral akan tercipta. Pada titik itulah Ibnu Khaldun memperkuat analisisnya mengenai ketakutan dan ancaman.


ELABORASI: MEMPERTEMUKAN HOBBES, RAWLS, DAN IBN KHALDUN
Pada dasarnya, ada beberapa titik perbedaan antara Hobbes dan Rawls dalam pemaparan di atas. Pertama, peran negara. Menurut Hobbes, negara yang absolute justru akan menciptakan rasa aman dan menghilangkan ketakutan antarwarganya. Sebaliknya, Rawls mengatakan bahwa negara yang absolute justru menghilangkan nilai keadilan di masyarakat.  

Kedua, penyebab ketakutan. Hobbes percaya bahwa ketakutan ditimbulkan dari sifat alamiah manusia, sementara Rawls menolak itu. Bagi Rawls, ketakutan muncul dari kegagalan negara menjamin keadilan.

Ketiga, bagaimana menghadapi ketakutan. Problem bagaimana menghadapi ketakutan direspons dengan cara berbeda dalam masing-masing perspektif, di mana Hobbes menghadapi dengan adanya sebuah pemaksaaan dan aturan oleh otoritas, sementara Rawls justru menghadapi dengan adanya kebebasan.

Keempat, perbedaan tersebut akan bermuara pada paradoks mendasar mengenai imaji tentang manusia. Hobbes berpendapat bahwa manusia pada lahirahnya bukan figur yang baik: Ia memiliki potensi untuk melahirkan kekacauan sosial. Maka dari itu, Hobbes tidak percaya pada manusia sebagai invidu. Akan tetapi, Rawls justru percaya pada manusia sebagai individu yang bebas. Pada titik itulah teorinya tentang keadilan lahir dan dimunculkan.

Konteks kerangka Ibnu Khaldun mengenai solidaritas sosial dapat menjadi sintesis. Artinya, persoalan “ketakutan” sebagai basis keamanan tidak lagi ditempatkan dalam kerangka negara atau individu, tapi pada masyarakat. Pada titik ini, basis solidaritas akan menciptakan kerangka moralitas dan hukum tersendiri.

Paradoks tersebut tidak sepenuhnya dapat dihindari jika memandang “ketakutan” adalah sesuatu yang niscaya dan “keamanan dibasiskan pada hal tersebut. Oleh karena itu, ketika dipandang dalam kerangkanya sebagai sebuah konstruksi, perdebatan mengenai dua imaji ini akan dapat sedikitnya dijembatani. Konteks penjembatanan tersebut yang dalam dua imaji di atas dapat didialogkan.


DAFTAR PUSTAKA
Acton, HB. Dasar-Dasar Filsafat Moral: Elaborasi terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant penterjemah Muhammad Hardani. (Surabaya: Eureka, 2008).

Buzan, Barry, Ole Waever, and Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis (Lynne Rienner Publisher, 1998).

Fink, Hans. Filsafat Sosial: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas penterjemah Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cetakan kedua).

Furedi, Frank. “Fear and Security: A Vulnerability-led Policy Response” Social Policy and Administration Vol. 42, No. 6, December 2008.

Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah penterjemah Ahmadie (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

Kymlicka, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan penterjemah Agus Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Newman, Edward. “Human Security and Constructivism”. International Studiess Perspective. Vol. 2 (2001). 239-251.

Mill, John Stuart. On Liberty: Perihal Kebebasan penterjemah Alex Lanur (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).

Reus-Smit, Christian.. “Constructivism” dalam Burchill, Scott. et. al. Theories of International Relations (London: Palgrave, 2005, Third Edition).

Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideology dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara.

Sabtu, 15 Januari 2011

The Rise of Oligarch: Ekonomi Politik Rusia Pasca-Komunisme

ABSTRACT
This paper aims to analyze the rise of oligarch in post-communism Russia. The dynamics of Russian politics has embraced oligarch as a political forces. The giant businessmen dominate not only the economic environment, but also the political. It becomes a problem when the oligarchs has transformed as new patrons in economic and politics, and even ignited conflicts with former President Putin. This condition should be traced on the environmental construction of oligarch itself. This paper argues that oligarchs rise from the social structure of Russian society and the excess of neoliberalism agenda in Russia. As a historical process, oligarch has been existed since the ancient Rus civilization in early phase of Russian history. It brings a socio-cultural basis of oligarchy in Russia. In the other hand, oligarchy in post-communism Russia built on the impact of neoliberal policies made by Yelsin administration. The privatization which has become agenda in Yelsin’s reform policies brings a bad impact on the rise of the new rich. Later, they transform their existence as giant oligarch which dominates Russian political-economic environment. As a synthesis of those arguments, this paper also argues that there is a structural transformation of Russian Society in present which strengthen the basis of oligarch until the resignation of President Yelsin in 1999.
Keywords: Oligarch, History, Political-Economy, Russia.

Penulis: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]


PRAWACANA
Uni Sovyet memang telah jatuh dua puluh tahun silam. Namun, rejim yang telah menjadi babak sejarah yang cukup panjang bagi Rusia ini tetap menarik untuk menjadi bahan analisis. Terlebih, era baru yang kini tengah berjalan di Rusia diwarnai oleh sebuah fenomena baru: Oligarki bisnis yang memainkan peran-peran politik.

Di kala Rusia “modern” tengah berkutat pada persoalan late capitalism: ekonomi pasar dengan wajah baru dalam politik Sovyet, kita patut mencermati bagaimana sebetulnya oligarki tersebut muncul. Fenomenan oligarki bisnis yang terjun ke dunia politik tentu bukan persoalan yang muncul dengan sendirinya di Rusia, tetapi memiliki konstruksi-konstruksi di belakangnya.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana sebetulnya oligarki bisnis tersebut muncul dalam politik Sovyet? Tentu saja, di era komunisme Sovyet oligarki bisnis tidak dikenal. Satu-satunya saluran aspirasi politik praktis hanya Partai Komunis. Praktis, partai komunis pada waktu itu menjadi patron tunggal. Negara menjadi patrimonial karena kuasa negara telah mendeterminasi semua aspek kehidupan.

Pada tahun 1987, Mikhail Gorbachev terpilih sebagai Presiden Uni Sovyet. Presiden yang terkenal dekat dengan pihak Barat ini mulai mengajukan usulan-usulan reformasi politik yang kelak menjadi awal kejatuhan komunisme Sovyet. Dua kebijakannya yang terkenal adalah perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan). Kebijakan tersebut menandai era baru Sovyet yang terbuka terhadap perubahan, menerima pasar, dan berbeda dengan rejim sebelumnya. Implikasinya, Gorbachev harus menerima resistensi dari pendukung komunisme Sovyet yang mengantarkan negara tersebut pada sebuah krisis politik. 1990, Sovyet bubar dan digantikan oleh Federasi Rusia.

Pergantian rejim tentu menandai babakan sejarah Baru. Boris Yelsin, orang dekat Gorbachev yang kemudian menggantikan tampuk kepemimpinannya sebagai Presiden Rusia, menawarkan pendekatan baru atas kapitalisme bagi Rusia yang baru saja berpindah tangan. Ia menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar secara radikal dengan menganut model kebijakan yang disebut oleh John Williamson sebagai the Washington consensus[2]. Praktis, sejak saat itu dimulailah era baru ekonomi yang berbasis pasar.

Akan tetapi, penerapan ekonomi pasar tersebut juga diikuti oleh munculnya sebuah kekuatan baru dalam politik Rusia: Oligarki. Kelompok-kelompok bisnis yang dengan cepat tumbuh pasca-kejatuhan Sovyet secara cepat pula tumbuh menjadi kekuatan politik. Kaum-kaum usahawan yang pandai memutar alat keuangan menguasai sumber-sumber daya strategis di Rusia.

BBC memberitakan bahwa selama 15 tahun, hanya segelintir grup bisnis raksasa Rusia yang menguasai aktivitas perekonomian (BBC, 27/7/2004). Ironisnya, keberadaan oligarki ini juga berimplikasi pada praktik usaha yang tidak sehat, bahkan menjurus pada praktik korupsi seperti penghindaran pajak, penipuan, dan lain sebagainya[3]. Tentu ini bukan dampak yang diinginkan dari kapitalisme yang ditanamkan.

Sehingga, akan muncul beberapa pertanyaan kritis. Mengapa oligarki muncul? Bagaimana relasi antara oligarki dan kapitalisme di Rusia? Dan mengapa oligarki di Rusia cenderung koruptif? Artikel ini mencoba untuk mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam kerangka teori oligarki dan politik Rusia.


OLIGARKI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF: TINJAUAN PUSTAKA
Istilah oligarki untuk melihat fenomena-fenomena politik telah digunakan sejak satu abad silam. Pada tahun 1911, Robert Michels, seorang sosiolog Perancis memperkenalkan istilah “hukum besi oligarki” untuk melihat fenomena partai politik di Eropa pada waktu itu. Menurut Michels, partai politik yang mempunyai kecenderungan struktur kuat –seperti partai kader— akan memiliki kecenderungan untuk bertindak oligarkis, atau memusatkan kekuasaan hanya pada segelintir elit yang berada di pucuk kekuasaan[4]. Tendensi tersebut karena kepemimpinan dalam struktur organisasi yang hierarkis akan membuat para elit yang beraa di pucuk kekuasaan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk kepentingan mereka (Michels, 1911).

Fenomena oligarki juga dapat dibaca dari analisis mengenai the iron triangle dalam politik Amerika Serikat abad 19 hingga awal abad 20. Iron triangle yang terdiri atas, mengutip Pulitzer dalam statement-nya di New York Times  yang dikutip oleh Charles Grasty (18/1/1919), yaitu the bourbonism of politicians, the materialism of industrial and commercial circles, dan the militarism of professional soldiers[5]. Tiga kutub yang mendominasi pengambil keputusan di Amerika Serikat ini di kemudian hari dikenal sebagai military-industrial complex (MIC). Pola relasi kekuasaan ini dinilai sebagai pola yang oligarkis karena memusatkan kekuasaan hanya pada segelintir elit.

Studi tentang oligarki tersebut kemudian banyak menghasilkan studi lain yang lebih kontemporer. Hadiz dan Robison (2004) menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto[6]. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. (Hadiz dan Robison, 2004).

Studi lain yang juga berkutat pada tema oligarki dilakukan oleh Nimrod Raphaeli ketika berbicara soal Saudi Arabia. Raphaeli melihat fenomena penguasaan sumber daya ekonomi dan keuangan oleh elit monarki Saudi[7]. Dalam struktur politik monarkis Saudi Arabia, posisi istana memang sangat sentralistik dan berkuasa. Pemusatan kekuasaan ini tidak hanya terjadi secara politik, tetapi menjalar pada penguasaan kapital oleh “pangeran” dan kerabat Raja (Raphaeli, 2003: 28).

Dalam konteks Rusia, oligarki terbentuk dari sebuah aliansi bisnis raksasa yang mendominasi aktivitas perekonomian Rusia[8]. Oligarki diyakini muncul setelah Presiden Boris Yelsin melakukan shock therapy bagi kapitalisme di Rusia yang baru saja lepas dari rejim komunisme Sovyet (Fachrurodji, 2005). Oligarki eksis karena dukungan struktur politik, yang timbul akibat proses swastanisasi di Rusia. Akibatnya, proses politik yang menggunakan instrumen demokrasi menjadi terwarnai oleh oligarki. Cerita ini tak hanya terjadi di Rusia, tetapi juga di Ukraina (Aslund, 2005).

Dari beberapa literatur di atas, disimpulkan bahwa oligarki dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi politik, oligarki merupakan pemusatan kekuasaan pada segelintir elit yang menjalankan urusan publik dengan mekanisme mereka. Hal ini dapat dilihat dari teori Michels tentang “hukum besi oligarki” atau cerita mengenai rejim otoriter seperti Saudi Arabia atau Indonesia era Orde Baru. Kedua, dari sisi ekonomi-politik, oligarki merupakan relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara kaum industriawan dan elit politik yang saling menguntungkan secara timbal-balik. Cerita mengenai the iron triangle di Amerika Serikat atau oligarki bisnis Rusia masuk dalam kategori ini.


METODOLOGI, PENDEKATAN, DAN ARGUMEN
Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab sebuah pertanyaan utama: “Mengapa oligarki Rusia muncul pasca-kejatuhan Uni Sovyet?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa teori dan pendekatan yang digunakan.

Paper ini berkutat pada pemaparan oligarki sebagai basis konseptual dan unit analisis. Sebagai basis konseptual, oligarki dipahami sebagai relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara kaum bisnis dan elit politik yang saling menguntungkan. Relasi kekuasaan ini memunculkan dampak-dampak politik dan ekonomi pada politik Rusia, sehingga oligarki Rusia menjadi sebuah kekuatan dalam dinamika politik Rusia.

Argumennya, kemunculan oligarki dapat dipahami dari dua pendekatan. Pertama, dari sisi historis, kemunculan oligarki dapat dilacak dari eksistensi kaum Borjuis Rusia yang masuk sebagai elemen penting dalam struktur sosial-politik Rusia sejak sebelum Sovyet berdiri[9]. Keberadaan borjuasi, Tsar, dan tuan-tuan tanah (feudal) merupakan bukti dari sudah eksisnya oligarki sejak sebelum era Sovyet (Fachrurodji, 2005: 116). Ketika komunisme berkuasa di Rusia, oligarki tersebut digantikan oleh partai komunis yang menjadi saluran tunggal bagi ekspresi ekonomi dan ekspresi politik rakyat Rusia. Akan tetapi, ketika rejim komunisme runtuh, oligarki tersebut mereorganisasi diri dalam wujudnya yang berbeda. Dengan pendekatan ini, oligarki diyakini memiliki basis kultural dalam sejarah Rusia.

Kedua, dari sisi ekonomi-politik, kemunculan oligarki dilihat dari proses transisi demokrasi yang di-drive oleh kepentingan-kepentingan bisnis melalui jejaring institusi keuangan internasional dan negara itu sendiri. Penggunaan kapitalisme sebuah sebuah “shock doctrine” –meminjam istilah Naomi Klein— tidak akan terjadi begitu saja tanpa peran erat dua elemen ini. Institusi keuangan supranasional seperti World Bank atau IMF masuk untuk memberi resep dan suntikan ekonomi kepada negara yang bersangkutan. Di sisi lain, negara sebagai pelaksana teknis mengejawantahkan resep kebijakan tersebut di negaranya. Inilah yang disebut sebagai “The Washington Consensus”.

Dengan dua pendekatan tersebut, paper ini berargumen bahwa oligarki tidak lahir begitu saja dari kejatuhan Sovyet, tetapi dikonstruksi oleh lingkungan dari lokus politik Rusia. Paper ini melihat kemunculan oligarki dari dua pendekatan: historis dan ekonomi-politik.


OLIGARKI DAN STRUKTUR MASYARAKAT RUSIA: ANALISIS HISTORIS
Argumen pertama dari paper ini menyebutkan bahwa oligarki adalah wajah baru dari struktur sosial dan politik Rusia pra-Sovyet yang bertransformasi. Untuk menguji argumen tersebut, paper ini akan membaca kembali sejarah sosial Rusia era Tsarism.

Menurut Fachrurodji (2005: 10), struktur masyarakat Rusia di awal-awal pembentukan identitasnya adala struktur masyarakat yang feudal[10]. Rusia terbentuk ketika Ryurik memimpin kaum Rus Kuno pada tahun 862 M dan berkedudukan di Novgorod[11]. Era ini menandai masa kepangeranan (Knyaz) dalam Rus Kuno yang menandai berdirinya identitas Rusia. Struktur sosial yang berdiri pada waktu itu antara lain Knyaz (pangeran) sebagai pelaku tertinggi, disusul oleh Boyar (kaum bangsawan), Druzhniki (bangsawan), Gradskie Lyudi (penduduk kota), Smerdy (pemilik lahan), Zakupy (petani yang meminjam faktor produksi kepada orang lain), hingga Kholopy (buruh tani). Pucuk kepemimpinan terbatas di kalangan Knyaz dan Boyar[12]. Struktur sosial ini melambangkan jenis oligarki dalam konteks masyarakat feodal dan menjadi sebuah struktur baku di masyarakat Rusia hingga abad pertengahan.

Di abad pertengahan, struktur sosial Rusia mengerucut. Dalam konteks masyarakat yang masih feodal, meminjam catatan Schmidt (1960: 24), ada tiga kelas utama dalam struktur masyarakat Rusia. Pertama, bangsawan “muzi” yang mendominasi kekuasaan ekonomi, sosial, hingga politik. Kedua, orang biasa atau l’udi dari desa dan kota dengan basis pekerjaan pertanian dan perdagangan. Ketiga, kaum kholopy yang bekerja sebagai budak dan mengabdi untuk kelas di atasnya. Pada abad ke-16, dimulailah era Tsar yang dipimpin Ivan IV. Secara de facto, pemilahan kekuasaan secara oligarkis masih tetap eksis pada era ini.

Era abad ke-19 menjadi penanda keretakan dari oligarki. Kaum bangsawan dan pemilik lahan (smerdy) telah sejak lama menjalin kekuasaan yang oligarkis atas budak (kholopy). Kereteakan hubungan ini diawali oleh reformasi besar-besaran dari Tsar pada 1861 dengan membebaskan budak-budak yang selama ini menjadi tumpuan kaum smerdy dalam mengambil keuntungan (Wade, 2005: 3). Keretakan oligarki ini kemudian bertambah skalanya ketika Rusia beralih meniadi masyarakat industrial pada abad 20[13].

Pada awal abad ke-20, Rusia telah memasuki era industrial. Era ini merupaka peralihan dari sistem “pertanian” yang mengandalkan tenaga manusia menjadi sistem “industry” yang menggunakan mesin dan manusia menjadi operator mesin-mesin tersebut[14]. Era ini melahirkan term proletariat dan borjuis, dengan pola relasi eksploitatif (Marx & Engels, 1848). Kelas pekerja di Rusia dengan cepat menerima ide-ide Marxis dan menjadikannya alat bergerak untuk melawan eksploitasi. Akan tetapi, pada era itu struktur kekuasaan masih oligarkis. Sistem Tsar masih eksis walaupun keberadaannya sudah kehilangan makna karena basis oligarkinya yang paling dekat, yaitu pemilik lahan, tidak lagi mendominasi sejak masuknya industri. Kaum proletariat kemudian mengambil peran penting dalam revolusi 1917.

Persebaran ide-ide Marxis di Rusia berimplikasi politik pada munculnya gerakan Buruh. Pada tahun 1917, ketegangan antara Tsar dan buruh yang menggalang aliansi dengan petani memuncak. Revolusi 1917 mengantarkan kaum Buruh pada pucuk kepemimpinan Sovyet dan dengan demikian mengakhiri era Tsar. Oligarki berpindah tangan: dari kaum bangsawan ke kaum buruh. Ituah revolusi Bolshevik.

Akan tetapi, struktur sosial baru juga tidak jaub berbeda dengan struktur sosial sebelumnya. Jika pada era sebelumnya oligarki terbentuk antara petani (pemilik lahan) dengan kaum bangsawan, pasca-naiknya kaum Bolshevik ke puncak kepemimpinan, oligarki berpindah tangan ke kaum Buruh. Logika pemusatan kekuasaan ke segelintir elit tetap terjaga karena elit pengambil keputusan dipusatkan pada partai komunis. Dengan struktur yang ketat dan top-down, lembaga politburo di partai memerintah dengan tangan besi. Artinya, tesis Robert Michels soal organisasi politik yang modern menjadi relevan: Who says organization, says oligarchy (Michels, 1911: 15).

Oligarki yang tetap terjaga tersebut kemudian bertahan sampai akhir abad ke-20. Penguasaan sumber daya ekonomi sepenuhnya dilakukan oleh negara, yang kemudian membagikannya kepada rakyat sesuai cita-cita komunisme Lenin. Peran negara yang begitu sentral dan kuat menjadi ciri khas komunisme Sovyet.

Ketika Gorbachev mengakhiri komunisme dengan isu glasnost dan perestroika, banyak yang percaya bahwa pada saat itu pulalah Gorbachev mulai membuka pintu masuk bagi kapitalisme di Rusia. Hal ini bukan tanpa alasan. Selama tujuh puluh tahun Sovyet berada dalam ketertutupan ekonomi, dan kondisi yang ada juga tak seideal yang dibayangkan oleh para pendiri komunisme. Tafsir Lenin dan Stalin terhadap komunisme mulai coba didobrak oleh Gorbachev. Era ini menandai akhir oligarki dari partai komunis.

Goldman (2009) percaya bahwa di akhir era rejim Sovyet, terjadi disparitas yang sangat kuat di kalangan warga Rusia. Disparitas ini, menurut Goldman, terjadi bukan dalam parameter penguasaan faktor produksi, tetapi pada kedekatan mereka dengan struktur partai yang oligarkis. Goldman mengilustrasikan, “Senior members of the communist party for example, had the use of government mansions, chauffeurs and access to exclusive shops where luxury and even basic goods, such as the sugar and meat not always available to the general public, were set aside at heavily subsidized prices”[15]. Artinya, oligarki berdampak pada disparitas ekonomi (Goldman, 2009: 7).

Rejim komunisme runtuh pada 1991 dan Boris Yelsin membawa Sovyet kea rah pembaruan ekonomi-politik Rusia. Yelsin menerapkan The Washington Consensus dengan kebijakan swastanisasi asset negara dan program “Loan for Shares” bagi para pengusaha Rusia (Goldman, 2009). Program-program tersebut menjadi celah bagi tumbuhnya perusahaan yang bergerak di bidang industri ekstraktif dan secara cepat menjadi kekuatan baru dalam bidang ekonomi. Keberadaan mereka pada dasarnya memiliki basis sosial, karena rejim komunisme Sovyet tidak menghilangkan kaum industriawan secara total, hanya membuat mereka tunduk pada peraturan negara dan secara penuh dikontrol negara. Ketika negara tidak lagi kuat, kaum industriawan yang lahir dari sebuah proses sejarah yang panjang dalam struktur sosial masyarakat Rusia tersebut kemudian bertransformasi menjadi oligarki. Beberapa pengusaha energy dan minyak seperti Roman Abramovich dan Mikhail Khordokovsky tampil sebagai pemegang kuasa ekonomi utama (Goldman, 2009: 9). Pada titik inilah oligarki mulai berkembang di Rusia[16].

Dengan demikian, analisis tersebut mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa secara historis, keberadaan oligarki sudah memiliki fondasi yang kuat di Rusia. Sejak era Rus Kuno hingga pasca-Sovyet, struktur sosial masyarakat dipilah atas pemilikan tanah dan faktor produksi, dan pola relasi kekuasaan dibasiskan pada hal tersebut. Akibatnya, hingga sebelum era Sovyet, Tsarisme masih kuat. Ketika era Sovyet, oligarki berpindah tangan ke partai komunis. Pasca-Sovyet, kaum industriawan yang tersubordinasi oleh sistem bangkit dan membangun jejaring oligarkinya, termasuk pada kekuasaan. Oligarki kemudian dipandang sebagai bagian sejarah yang secara laten berjalan di Rusia.


EKSES NEOLIBERALISME? ANALISIS EKONOMI-POLITIK
Jika dalam kerangka sejarah oligarki dipahami sebagai sebuah proses yang niscaya, karena struktur masyarakat Rusia yang memang bertipe feodal hingga komunisme berkuasa, bagaimana halnya dengan pasca-Sovyet? Salah satu kekurangan dari analisis sejarah terletak pada pembahasan Rusia pasca-Sovyet. Perubahan politik yang cepat pada tahun 1991 tidak hanya membuat sebuah rejim politik baru, melainkan juga membawa arah baru dalam kebijakan ekonomi-politik Rusia yang berpengaruh tajam pada proses politik ke depan.

Neoliberalisme kerap diidentikkan dengan The Washington Consensus, sebuah pola kebijakan yang merujuk pada paham neo-institusionalisme dalam Hubungan Internasional. The Washington Consensus diderivasikan dari kebijakan lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau WTO. Kebijakan tersebut digunakan untuk memberi resep “krisis ekonomi” kepada negara-negara yang baru saja menjalani transisi menuju demokrasi atau perubahan politik.  Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh John Williamson (1990) dan secara sistematis membawa arus perubahan dalam tata ekonomi dan politik dunia[17]. Tiga ikon utama Washington Consensus, yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi, menjadi sebuah tawaran solusi untuk mengatasi krisis keuangan dan kesulitan ekonomi di berbagai negara, terutama negara berkembang (Stiglitz, 2002).

Salah satu kebijakan “Washington consensus” yang diterapkan di Rusia adalah privatisasi. Naomi Klein menyebutnya sebagai “bonfire of young democracy”. Kemunculan kapitalisme tak dapat dilepaskan dari kebijakan loan for shares dan privatisasi asset negara kepada publik (pasar). Kebijakan loan for shares dimaksudkan untuk mengatasi kelesuan usaha warga Sovyet akibat transisi dari komunisme ke demokrasi[18]. Untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi, pemerintah mencanangkan kebijakan dibukanya pintu bank-bank swasta untuk memberikan pinjaman kepada pengusaha (Goldman, 2009, Fachrurodji, 2005). Pinjaman itu kemudian membuka peluang bagi pebisnis untuk menjalankan roda usahanya demi pertumbuhan ekonomi[19].

Selain itu, pemerintah Yelsin juga menerapkan kebijakan privatisasi asset negara. Lahan investasi kepada publik dibuka seluas-luasnya. Logika yang digunakan adalah logika ekonomi pasar neoliberal, bahwa negara mesti menyerahkan kedaulatannya kepada pasar yang mengorganisasi dirinya sendiri (the invisible hand).  Ignatius Wibowo mencatat bahwa neoliberalisme dicirkan dengan khas oleh fenomena “Emoh Negara”. Peran negara sedemikian mungkin diabdikan untuk kepentingan pasar. Sehingga, kebijakan publik yang dihasilkan juga mesti sesuai dengan kepentingan para pebisnis yang bertransaksi di pasar. Gagasan ini disebut oleh Priyono (2003) sebagai homo economicus. Dalam pandangan Priyono, adanya homo economicus mengimplikasikan relasi-relasi manusia sebagai relasi transaksional, ekonomis; dan untuk mencapai kemakmuran individu. Oleh karena itu, pelbagai bidang kehidupan mesti diatur berdasarkan konsepsi-konsepsi ekonomi pula[20].

Kebijakan privatisasi di Rusia tak terlepas dari shock doctrine yang terlembaga. Klein (2005) menulis bahwa kebijakan yang diambil untuk mendorong kapitalisme sebagai shock doctrine di Rusia sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran mazhab Chicago yang dibawa oleh Milton Friedman dan kawan-kawan. Konsep kebijakan didesain dengan membentuk tim ahli yang basis konseptual kebijakan mereka merujuk pada neo-institusionalisme Hayek dan Friedman. Kebijakan pertama Yelsin adalah kebijakan harga secara liberal.  Klein (2007: 229) menyebutnya dengan istilah "the liberalization of prices will put everything in its right place[21]. Dengan harga yang diatur melalui mekanisme pasar, pengaturan ekonomi akan sejalan dengan kepentingan pasar. Dan dalam basis konseptual neoliberalisme, ini akan mendorong pertumbuhan.

Akan tetapi, tentu saja kebijakan ekonomi pasar memerlukan stimulus berupa iklim usaha yang kompetitif, dan para pengusaha Rusia perlu distimulus untuk berinvestasi. Untuk itu, pada awal kepemimpinannya Yelsin mengeluarkan cheque privatisasi dan membagikannya kepada semua penduduk Rusia (Fachrurodji, 2005). Tujuannya adalah agar mereka dapat menggunakannya untuk membeli saham dari perusahaan negara dan dengan demikian mendorong iklim kompetisi bisnis[22].

Implikasi negatifnya, pembagian kupon privatisasi tidak menguntungkan semua pihak. Pihak yang menggunakan kupon tersebut tentu adalah pihak yang mempunyai modal besar. Artinya, mereka yang tidak punya modal kuat akan sangat mudah tergelincir dalam bisnis privatisasi tersebut. Dengan demikian, kebijakan privatisasi tidak hanya mendorong iklim kompetisi, tetapi juga menghasilkan “orang kaya baru” (novie russkie) di Rusia[23].

Dan hal tersebut terjadi di Rusia tanpa adanya redistribusi kesejahteraan dan pemerataan pendapatan ke semua warga Rusia Akhirnya, bermunculanlah nama-nama pebisnis raksasa yang memiliki modal kuat dan penghasilan yang berlipat ganda, seperti Boris Berezovsky, Khodordovski, atau Rem Vyakhirev. Mereka menjadi oligarki karena memanfaatkan fasilitas negara untuk menggandakan kepentingan bisnis mereka. Tentu saja, keuntungan yang besar yang mereka dapatkan adalah masuknya mereka sebagai salah satu entitas yang mempengaruhi dinamika politik Rusia, paling tidak sampai Yelsin mundur sebagai Presiden Rusia.

Artinya, jika dibaca dari logika dan analisis di atas, oligarki Rusia pasca-Sovyet muncul sebagai ekses dari kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan di Rusia. Alih-alih membawa kesejahteraan, kapitalisme yang di-drive oleh shock doctrine justru menimbulkan kelompok oligarki yang mendominasi ekonomi-politik Rusia. Keberadaan mereka tak dapat terlepaskan dari seting kebijakan Washington Consensus seperti liberalisasi perdagangan, kebijakan fiskal, atau privatisasi asset negara. Sehingga, kapitalisme jika tak terkelola dengan peran negara yang kuat justru hanya akan menghasilkan oligarki bisnis dan politik yang menggurita.


KESIMPULAN DAN SINTESIS
Oligarki bisnis yang menjadi kekuatan politik di Rusia adalah fenomena yang muncul pasca-kejatuhan Sovyet di akhir abad ke-20. Artinya, oligarki merupakan fenomena transisional yang sebetulnya hanya “efek samping” dari tata kelola negara pascakomunisme.

Pemaparan di atas sampai pada dua kesimpulan. Pertama, oligarki sebagai sebuah fenomena penguasaan sumber daya ekonomi di Rusia sebenarnya bukan fenomena baru. Sejak era Rus Kuno, struktur sosial masyarakat Rusia mengenal wajah oligarki dengan istilah yang berbeda, dan dengan balutan sistem feodal yang stratifikatif. Dengan demikian, ketika oligarki muncul dalam bentuknya sebagai elit-elit bisnis dan politik Rusia, ada basis sosial yang mendukung eksistensinya dalam politik Rusia.

Kedua, dalam konteks Rusia pascakomunisme, oligarki merupakan ekses dari kebijakan ekonomi neoliberal yang coba diterapkan secara radikal di Rusia pada era Presiden Boris Yelsin. Di samping memiliki basis sosial dan sejarah, oligarki juga dilahirkan dari dampak neoliberalisme berupa privatisasi asset negara dan liberalisasi pasar. Sistem ekonomi pasar tidak hanya mendorong iklim usaha yang kompetitif, tetapi juga mendorong penguasaan sumber daya ekonomi oleh para kapitalis baru yang menguasai industri Rusia.

Jika dua pendekatan tersebut disintesiskan, oligarki Rusia merupakan konstruksi dari lingkungan sejarah dan ekonomi-politik. Oligarki bukan sebuah fenomena yang lahir begitu saja dari transisi demokrasi Rusia, tetapi lebih merupakan dampak perubahan struktur masyarakat Rusia. Kita dapat menyimpulkan bahwa struktur masyarakat Rusia pada saat ini sedang bertransformasi: dari komunisme menjadi poskomunisme. Pada titik inilah oligarki menampakkan dirinya. [*]


DAFTAR PUSTAKA
Åslund, Anders. Comparative Oligarchy: Russia, Ukraine and the United States. (Warsawa: Center for Social and Economic Research, 2005.)

Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).

Fraser, Hugh. “Russia’s Oligarch: The Risky routes to riches”. British Broadcasting Channel,  July 27, 2004.

Graty, Charles. “Forces at War in Peace Conclaves”. New York Times, January 17, 1999.

Goldman, Marshall A. “It is not Easy Being an Oligarch”. Russian Analytical Digest, July 2009.

Guniev, Sergei dan Konstantin Sonin. Dictators and Oligarchs: A Dynamic Theory of Contested Property Rights. Paper presented at ISNIE Conference (http://ssrn.com/abstract=983908).

Klein, Naomi. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. (New York: Metropolitan Press, 2007).

Michels, Robert. 1911. Political Parties: A Sociological Study of Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Collier.

Marx, Karl dan Frederich Engels.  1848. The Communist Manifesto. The Marxist publisher (http://www.marxists.org/)

Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono (eds.) Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras, 2003).

Raphaeli, Nimrod. “Saudi Arabia: A Brief Guide to Its Politics and Problems” Middle East Review of International Affairs, Vol. 7, No. 3 (September, 2003).

Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004)

Stiglitz, Joseph. Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran Pent.: Darmawan Triwibowo. (Jakarta: INFID, 2002).

Wade, Rex A. The Russian Revolution, 1917.  Cambridge: Cambridge University press.
 

CATATAN KAKI
[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. NIM 08/267465/SP/22916. Paper ini merupakan tugas pengganti Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Politik & Pemerintahan Rusia.
[2] Dikutip dari Joseph Stiglitz. 2002.  Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran (Pent.: Darmawan Triwibowo). Jakarta: INFID, diakses melalui versi .pdf pada situs http://www.dadangsolichin.com/ .
[3] Fraser, Hugh. “Russia’s Oligarch: The Risky routes to riches”. British Broadcasting Channel,  July 27, 2004.
[4] Michels, Robert. 1911. Political Parties: A Sociological Study of Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Collier.
[5] Graty, Charles. “Forces at War in Peace Conclaves”. New York Times, January 17, 1999. Retrieved from http://query.nytimes.com/mem/archive-free/pdf?_r=1&res=9407E1D71339E13ABC4052DFB7668382609EDE&oref=slogin 
[6] Robinson, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004)
[7] Raphaeli, Nimrod. “Saudi Arabia: A Brief Guide to Its Politics and Problems”.
[8] Fachrurodji, A. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
[9] Ibid. pp. 116.
[10] Ibid. pp. 10.
[11] Ibid. pp. 12.
[12] Ibid. pp. 22.
[13] Wade, Rex A. The Russian Revolution, 1917.  Cambridge: Cambridge University press.
[14] Marx, Karl dan Frederich Engels.  1848. The Communist Manifesto. Retrieved from http://www.marxists.org/
[15] Goldman, Marshall A. “It is not easy Being an Oligarch”. Russian Analytical Digest, July 2009.
[16] Ibid pp. 9.
[17] Stiglitz. Joseph.. Op. cit.
[18] Goldman, Marshall A.. Op. cit.
[19] Fachrurrodji, A.. Op. cit. pp. 201.
[20] Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme” dalam Ignatius Wibowo dan Francis Wahono (eds.) Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras, 2003).
[21] Klein, Naomi. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. (New York: Metropolitan Press, 2007). pp. 229.
[22] Fachrurrodji, A. op. cit. pp. 201.
[23] Ibid.

Rabu, 12 Januari 2011

Mahasiswa, Desa dan Globalisasi

Artikel ini dimuat di Kolom "Suara Mahasiswa" Harian Seputar Indonesia (SINDO), Jakarta. Bisa diakses di http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/342319/

 

MASYARAKAT Indonesia hakikatnya adalah masyarakat desa. Walaupun pembangunan terkonsentrasi di kawasan perkotaan, nuansa pedesaan tetap saja masih sangat kental di berbagai tempat.

Desa masih menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membangun ikatan sosial dan kultural. Robert Putnam membahasakannya dengan istilah “modal sosial”. Karena desa dan Indonesia adalah sebuah kesatuan tak terpisahkan, karakter mahasiswa ideal juga sangat terkait dengan desa. Saya percaya, mahasiswa Indonesia ideal abad ke-21 adalah mahasiswa yang mampu mentransformasikan ilmu yang dimiliki untuk membangun kembali desa-desanya.

Persoalannya, bagaimana menempatkan peran mahasiswa dalam pembangunan desa? Era globalisasi yang dicirikan oleh Anthony Giddens dengan distanciation–meleburnya jarak karena kemajuan teknologi– telah membawa berbagai pengaruh pada desa. Untuk itu, respons mahasiswa dalam beberapa aspek akan sangat diperlukan. Pertama, mahasiswa diperlukan untuk merespons globalisasi budaya yang muncul di desa. Persoalannya, siapkah desa menghadapi budaya baru itu?

Hasil penelitian saya dan beberapa rekan di Kulon Progo, DIY, menunjukkan bahwa generasi muda cenderung untuk merespons pengaruh globalisasi dalam cara-cara negatif. Kedua, mahasiswa perlu berperan dalam menjaga modal sosial dan mengembangkan modal ekonomi masyarakat desa. Kapitalisme yang eksploitatif–seperti Kata Marx–tidak direproduksi di desa karena modal sosial yang kuat membuat hubungan buruh-majikan dilapisi oleh hubungan sosial yang rekat.

Kedekatan yang terbangun secara sosial akan menanamkan asketisme. “Musyawarah” sebagai katup demokrasi deliberatif–meminjam wacana Jurgen Habermas—sangat terbuka dan membawa proses demokratisasi di level terkecil. Pada titik inilah tantangan mahasiswa untuk mengembalikan idealisasi desa muncul. Bagaimana menjaga modal sosial agar tidak tergilas oleh lindasan zaman? Bagaimana mendorong potensi masyarakat agar modal ekonomi pedesaan berkembang?

Mahasiswa ditantang untuk menghadapi persoalan ini. Ketiga, peran vital mahasiswa dihadapkan untuk merespons problem lingkungan di desa. Kita dihadapkan pada upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dari bahaya pencemaran yang kian akut. Karena itu, agenda menjaga eksistensi alam akan terkait dengan agenda menjaga eksistensi desa sebagai penjaga gawang lingkungan.

Agenda penguatan kapasitas masyarakat desa tentu saja perlu dimulai dengan pengembangan ekonomi desa. Penjagaan kearifan lokal akan siasia jika tidak dibarengi oleh penguatan kembali desa sebagai basis kegiatan perekonomian dan sosial. Setidaknya, masyarakat desa perlu didorong untuk hidup subsisten, mandiri, dan ramah lingkungan. Tugas mahasiswalah mendorong hal tersebut.

Saya kira, sudah saatnya kita melirik desa sebagai laboratorium studi bagi ilmu-ilmu kita. Mungkin hal itu yang menginspirasi Koesnadi Harjasoemantri, pemimpin Dewan Mahasiswa UGM, ketika menginisiasi Proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa pada 1955. Bagi Prof Koesnadi, mahasiswa adalah bagian dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat pula.

Dengan tiga tawaran sederhana tadi, sudah saatnya kita kembali memusatkan perhatian pada desa sebagai wajah bangsa Indonesia. Bagaimana dengan Anda? Tertarik untuk kembali menyelami makna desa? Anda tidak sendiri, kawan. Mari lakukan itu bersama-sama sebagai mahasiswa Indonesia. (*)


Ahmad Rizky Mardhatillah U
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol
Universitas Gadjah Mada

Globalisasi Ekonomi dalam Perspektif Indonesia: Kasus Bojonegoro, Jawa Timur

*Disampaikan dalam Open Discussion "Posisi Indonesia dalam Globalisasi Ekonomi" yang diselenggarakan Laboratorium Diplomasi UPN Veteran, Yogyakarta, 17 Desember 2010.

Oleh:
  1. Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
  2. Arif Bachtiar Darmawan
  3. Defirentia One Muharomah
  4. Hestutomo Restu Kuncoro


GLOBALISASI ekonomi merupakan proses penyatuan aspek-aspek ekonomi ke dalam sebuah standar baru yang kemudian difragmentasikan ke seluruh dunia. Rosenau (2003) melihat globalisasi dalam dua kata kunci: integrasi dan fragmentasi. Sementara itu, Steger (2003) menerjemahkan globalisasi sebagai “a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, and environmental interconnections and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant”

Salah satu bentuk globalisasi ekonomi adalah mengalirnya modal dalam skala global. Dalam hal ini, perusahaan multinasional menjadi agen yang membawa modal dan faktor produksi dari negara maju ke negara berkembang yang memiliki sumber daya material dan tenaga kerja.

Globalisasi yang dianggap sebagai hal positif dalam membangun persatuan dan perkembangan ekonomi dunia, ternyata memiliki sisi ironis jika dilihat dari sudut pandang negara berkembang. Misalnya, keberadaan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan cenderung problematis dengan masyarakat lokal.

Salah satu problem yang menjadi sorotan adalah industri penambangan minyak di kawasan Blok Cepu. Di kawasan kaya minyak tersebut, ExxonMobil mengoperatori eksplorasi sumber daya minyak dan melakukan aktivitas penambangan dengan pembagian hasil dengan pemerintah pusat. Namun, dalam distribusi keuntungan antara negara dan perusahaan multinasional cenderung menjadikan masyarakat sebagai aktor yang tersubordinasi padahal mereka yang paling banyak mendapat ekses dari industri penambangan minyak.

Seringkali negara-negara merespon ekses globalisasi ini dengan regulasi negara yang begitu ketat. Akan tetapi, konstruksi negara sebagai aktor utama kini problematis karena dampak sosial dari globalisasi justru tidak hanya dialami oleh negara an sich, tetapi juga oleh masyarakat yang terimbas oleh praktik pertambangan. Relasi antar-aktor menjadi begitu kompleks.

Perspektif konstruktivisme meyakini bahwa Hubungan Internasional tidak hanya dipahami hanya dalam basis “state” sebagai aktor utama, tetapi juga patut mempertimbangkan elemen-elemen di dalam negara. Penelitian ini menggunakan tipe unit-level dalam konstruktivisme, di mana “unit-level constructivists concentrate on the relationship between domestic social and legal norms and the identities and interests of states”. Tipe ini menempatkan entitas di dalam negara –masyarakat— sebagai aktor dalam Hubungan Internasional, yang berarti globalisasi tidak hanya dirasakan oleh negara secara makro, tetapi juga entitas di dalam negara secara mikro (Reus-Smit, 2005).

Oleh karena itu, penting untuk menurunkan level analisis ke level domestik. Dalam konteks ini, globalisasi bukan hanya menjadi persoalan “bagaimana negara menyikapi globalisasi”, tetapi juga “bagaimana aktor-aktor domestik merespons”. Ketika lokus analisis berada di level domestik, aktor-aktor yang dipotret bukan hanya negara, tetapi juga unit-unit lain di bawah negara. Penelitian ini memfokuskan pada dampak-dampak globalisasi ekonomi pada ranah lokal.

Kesimpulan yang kami dapatkan, Ada tiga dampak globalisasi ekonomi yang muncul.  

Pertama, dalam banyak masalah sosial, MNC menjadi patron paling kuat. Orang yang dekat dengan MNC akan mendapatkan akses ke sumber daya ekonomi dan politik. Di sisi lain, yang tidak mendapatkan akses langsung ke MNC juga jauh dari akses sumber daya ekonomi-politik. Sehingga, struktur sosial menjadi klientelistik. MNC berada dalam posisi puncak

Kedua, dalam konteks ekonomi pedesaan, kehidupan bertumpu pada penguasaan atas tanah. MNC melakukan penguasaan sumber daya ekonomi dengan pembebasan lahan. Implikasinya tidak hanya sosial, tetapi juga ekonomi. Harga tanah menjadi tinggi, posisi tanah menjadi jauh, dan petani mesti ganti profesi. Padahal, pertanian tidak hanya dimensi ekonomi, tetapi juga sosio-kultural. Keberadan MNC seperti itu menjadi bersifat subordinatif.

Ketiga, problem lain terletak pada “shock culture” masyarakat akibat peralihan dari struktur agraris ke struktur industrial. MNC memiliki kontribusi penting bagi peralihan struktur masyarakat tersebut. Akan tetapi, ikatan budaya yang terpengaruh menjadikan masyarakat terkena gegar budaya dan jatuh pada kemiskinan serupa, walau bentuknya berbeda.

Maka, bagaimana posisi Indonesia? Jika dipandang dari perspektif unit masyarakat dalam memandang perusahaan multinasional dengan segala aktivitasnya, penting untuk menempatkan posisi negara kuat secara domestik dan tepat dalam merumuskan kebijakan di level internasional. Di level domestik, globalisasi mesti berdamai dengan lokalitas. Pada titik inilah posisi negara yang kuat diperlukan untuk menekan aktor transnasional yang masuk agar dapat sinergis dengan konservasi budaya, kesejahteraan masyarakat, dan ketenteraman sosial secara jangka-panjang.


Referensi
Choiruzzad, Shofwan A. Boundaries as Bridges: Reflection on Transnational Business Actor. Paper presented in 39th St. Gallen Symposium, University of  St. Gallen, Switzerland, 7-9 May 2009.
 
Reus-Smit, Christian. 2005. “Constructivism” dalam Burchill, Scott. et. al. Theories of International Relations. London: Palgrave, Third Edition.

Steger, Manfred B. 2003. Globalization a Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press.

Jakson, Robert and Sorensen, Greg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Merapi, Kemanusiaan dan Nirkekerasan

Awan panas Merapi tidak hanya memberikan sebuah bencana bagi warga Magelang, Sleman, dan Boyolali, tetapi juga membawa seuntai makna: Bencana menguatkan solidaritas sosial .

Semua kalangan dari berbagai etnis, agama, ataupun bangsa saling menolong mereka yang dalam kesulitan.

Bahkan, Merapi juga mengaburkan pandangan kekerasan. Bahwa sebenarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang penuh keadaban dengan saling tolong-menolong.

Artinya, kalau kita kaitkan dengan fenomena nir-kekerasan, aksi kemanusiaan yang universal akan melibas unsur-unsur kekerasan yang ada di masyarakat.

Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bisa saja terletak pada beberapa hal berikut:

Pemahaman keliru mengenai perilaku masyarakat, perilaku individu yang menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial yang merupakan ekses dari krisis legitimasi politik.

Memang, seperti dikatakan oleh J.S. Furnival, karakter masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural sangat rawan konflik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kekerasan di Indonesia bukan penyebab, melainkan implikasi dari konflik.

Artinya, kekerasan justru memiliki faktor-faktor penyebab yang lain dan bukan merupakan karakter masyarakat. Pada titik ini, kekerasan tidak kita pahami sebagai sebuah budaya, melainkan sebagai masalah sosial.

Jika mengacu pada pendapat Furnival di atas, kekerasan merupakan implikasi dari konflik yang tak terkelola, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses resolusi konflik.

Kecuali jika kekerasan merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu.

Maka, kekerasan sosial diantisipasi atau  dengan cara menyelaraskan unsur-unsur kebudayaan –disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan—dengan konsensus, norma dan nilai-nilai dasar di masyarakat tersebut.

Adanya aspek ”pembudayaan” dalam tanggap bencana Merapi, jika ditindaklanjuti secara utuh dan ditegaskan dalam bentuk pendampingan masyarakat pasca-bencana, akan lebih membumikan nilai perdamaian dan nir-kekerasan.

Tentu itu bukan perkara mudah. Masyarakat sipil —termasuk mahasiwa— harus berperan dalam rekonstruksi pasca-Merapi. Bukan hanya untuk membantu masyarakat, melainkan juga untuk menginternalisasi nilai perdamaian dan nir-kekerasan.

Sudah saatnya kita membawa nilai-nilai ideal itu dalam realitas sosial: membantu mereka yang terpinggirkan.


AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR
Pemimpin Redaksi Majalah Airport KOMAHI UGM