Kamis, 06 Januari 2011

Membangun "Ummah": Problem Kebangsaan, Solidaritas dan Modal Sosial Umat Islam

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

Pendahuluan

Membicarakan Islam dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan memang sangat menarik. Beragam perdebatan mengenai “negara Islam” yang telah mencuat sejak dua abad silam, pergumulan argumentasi mengenai “nasionalisme” dan “Islam”, atau pertengkaran para pemikir mengenai “Islam” dan “demokrasi” telah membentuk sebuah ruang yang begitu luas untuk bercengkerama mengenai konsepsi Islam dalam memandang soal-soal sosial dan politik.

Pada perkembangannya, muncul perdebatan dalam memandang format Islam dalam memandang masalah-masalah kemasyarakatan. Perdebatan tersebut terjadi karena adanya tafsir yang berbeda mengenai ajaran Islam seputar muamalah dan siyasah. Setidaknya, perdebatan tersebut dapat kita pandang ke dalam dua spektrum pemikiran.

Pertama, kalangan yang memandang bahwa Islam harus integral dengan negara Kalangan ini berpendapat, Islam memiliki komprehensivitas dan kompleksitas dalam membahas soal-soal kemasyarakatan, sehingga penerapan ajaran Islam pun harus integral ke dalam sebuah lembaga yang bernama negara. Pendeknya, Islam adalah negara dan negara harus ditegakkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam secara formal.

Kedua, kalangan yang memandang bahwa Islam tidak harus diejawantahkan dalam wajah negara, tetapi negara yang ideal adalah negara yang menjalankan nilai-nilai Islam secara substantif. Menurut pendekatan ini, negara yang ideal tidak harus negara Islam yang secara legal-formal menggunakan Islam sebagai simbol, tetapi pemaknaan dan implementasi dari kebijakan publik yang dihasilkan harus sesuai dengan substansi dari ajaran Islam. Simbolnya bisa saja berupa demokrasi atau republik, tetapi substansinya adalah Islam. Dengan kata lain, negara tidak harus bersimbol Islam, tetapi dasar negara adalah substansi dari ajaran-ajaran Islam tersebut.

Dua spektrum pemikiran tersebut kemudian melahirkan perdebatan seputar konsep kebangsaan dan kenegaraan dalam Islam. Titik tekan yang coba penulis ulas dalam esai ini adalah bahwa konsepsi “bangsa” memiliki ruang dan dimensi tersendiri dalam Islam. Ditilik dari perspektif historis, sosial, dan politik, bangunan “negara” dalam Islam selalu diawali oleh adanya kesatuan “bangsa” yang begitu kompleks.


Konsepsi “Bangsa” (1): Bennedict Anderson dan Otto Bauer

Persoalannya, bagaimana konsep “bangsa” dalam Islam terbangun dan bagaimana tantangan untuk merekonstruksi “ummah” di era globalisasi?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu merekonstruksi makna “bangsa” dalam pemahaman yang lebih utuh. Membicarakan identitas kebangsaan takkan lepas dari sebuah terminologi yang kerap menghiasi wacana kita selama berpuluh-puluh tahun: Nasionalisme. Perundingan Westphalia tahun 1648 telah melahirkan konsep “nation-state” atau negara yang berdiri di atas fondasi sebuah identitas bangsa.

Implikasinya, wilayah-wilayah berpenduduk muslim terfragmentasi pada batasan nation yang dibangun oleh rejim kolonial. Negara pascakolonial kemudian memberikan ruang untuk membentuk state yang disandarkan pada nation tersebut, sehingga muncullah berpuluh-puluh negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang terbentuk pasca-kolonialisme. Kita dihadapkan pada sebuah kenyataan: ada begitu banyak bangsa yang terbentuk di dunia ini.

Persoalannya, apa yang kemudian kita maksud dengan “bangsa”? Ada beberapa definisi yang kerap menjadi polemis ketika kita dihadapkan untuk merekonstruksi makna bangsa secara lebih komprehensif. Bennedict Anderson, guru besar ilmu politik di Cornell University, mendefinisikan bangsa sebagai “komunitas politis dan terbayang sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan”.

Menariknya di sini, bangsa diposisikan oleh Anderson sebagai sebuah “komunitas yang terbayang”. Mengapa “terbayang”? Menurut Anderson, Sebuah bangsa dikatakan terbayang karena para anggota bangsa terkecil pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, namun setiap anggota dari sebuah bangsa merasakan kebersamaan mereka sebagai sebuah entitas.

Artinya, sebuah bangsa pada hakikatnya bisa kita katakan sebagai sebuah “komunitas yang memiliki konsekuensi-konsekuensi politis”. Bangsa adalah potret kebersamaan. Akan tetapi, di saat yang bersamaan pula ia adalah sebuah potret keterpisahan. Sehingga, konstruksi sebuah bangsa akan sangat tidak terlepas dari orang-orang yang membentuk identitas sebuah bangsa itu.

Pendek kata, bangsa bisa jadi adalah sebuah retorika untuk mempersatukan orang-orang yang terpisah tadi sekaligus juga sarana untuk menumbuhkan identitas bersama yang mengakomodasi pluralitas di antara anggota dari bangsa tersebut.

Pada spektrum pemikiran yang lain, Otto Bauer, seorang marxis Austria, menafsirkan nasionalisme secara berbeda. Dalam tradisi Marxian yang kental dengan determinisme kelas, Bauer memandang nasionalisme dari sudut pandang pembangunan ekonomi dan pembentukan kelas-kelas sosial di masyarakat.

Menurut Bauer, “The nation is the totality of human beings bound together through a common destiny into a community of character”. Bangsa adalah sebuah totalitas manusia yang diikat secara bersama-sama dalam sebuah nasib untuk menuju sebuah “komunitas karakter”. Istilah bangsa sebagai sebuah “komunitas karakter” dalam konteks ini diperjelas oleh Bauer sebagai “community of fate” atau komunitas yang dipersatukan karena persamaan nasib. Atas asumsi ini, ia menerjemahkan bangsa sebagai sebuah produk sejarah dimana ia lahir sebagai sebuah proses modifikasi atas pemahaman dan kesadaran kelas dari anggota-anggota bangsa tersebut.

Karena nasionalisme adalah sebuah hasil dari proses sejarah, secara dialektis internasionalisme juga merupakan sebuah konsepsi yang berangkat dari proses-proses sejarah pasca-nasionalisme. Pada titik inilah gagasan Bauer dan kaum Marxis lain memiliki pertemuan: nasionalisme bukan sebuah konstruk final dari “Bangsa”. Hal ini pula yang membedakan konsepsinya dengan pandangan Anderson mengenai “bangsa”.

Dengan demikian, gagasan Anderson dan Bauer mengenai “bangsa” dapat kita simpulkan. Anderson lebih memandang bangsa sebagai identitas “perekat” yang memiliki makna politis, sementara Bauer memandang bangsa sebagai produk sejarah yang melambangkan kesadaran kelas anggotanya.

Lantas, bagaimana konsepsi pemikir-pemikir muslim mengenai “bangsa”? Pada titik ini, kita perlu menganalisis pemikiran Ibnu Khaldun mengenai “bangsa” untuk mengantarkan kita pada pembahasan mengenai rekonstruksi konsep “ummah” sebagai fondasi dari negara.

Hal yang perlu dicatat adalah bahwa peradaban Islam memiliki konsepsi yang berbeda mengenai bangsa dari dua pemikir di atas. Sebabnya, konsep negara-bangsa baru ditelurkan pasca-renaisans yang berarti muncul ketika peradaban Islam telah mengalami kemunduran. Akan tetapi, jika dicermati secara lebih dalam, sebenarnya konsepsi Bauer dan Anderson mengenai bangsa memiliki kesamaan dengan konsep bangsa yang diberikan oleh Ibnu Khaldun.


Konsepsi Bangsa (2): Ibnu Khaldun

Memahami pemikiran Ibnu Khaldun mengenai “bangsa” dan “negara” tidak semudah memahami pemikiran dua pemikir di atas. Akan tetapi, ketika kita menganalisis pemikiran Ibnu Khaldun yang beliau tuangkan dalam Muqaddimah, kita akan dapat menarik kesimpulan bahwa konsepsi bangsa yang beliau maksudkan bertitik mula dari sebuah variabel: ashabiyah atau solidaritas sosial.

Ibnu Khaldun menjelaskan, solidaritas sosial memberikan kekuatan bagi sebuah komunitas untuk mempertahankan eksistensinya secara jangka-panjang. Ibnu Khaldun memberikan contoh suku-suku badui yang hidup di padang pasir. Mereka mampu bertahan hidup karena adanya solidaritas yang dibangun oleh pemimpin masyarakat, di mana eksistensi mereka diejawantahkan dalam bentuk kemampuan mempertahankan diri dari serangan alam dan suku lain. Sejauh solidaritas antaranggota tersebut terjaga, eksistensi dari suku tersebut juga akan terjaga.

Karena solidaritas berperan penting dalam menjamin eksistensi dan kemampuan bertahan hidup, sebuah suku harus membangun solidaritasnya masing-masing. Lantas, bagaimana solidaritas tersebut dibangun?

Ibnu Khaldun memberikan dasar kedua bagi upaya untuk mempertahankan solidaritas: adanya tali persaudaraan yang kuat bagi anggota-anggota suku. Menurut Ibnu Khaldun, hal paling mudah dalam membina rasa solidaritas adalah pada garis keturunan dan persaudaraan karena adanya pertalian dan persaudaraan memungkinkan adanya rasa “senasib sepenanggungan” dan “saling merasakan” atas apa yang diterima saudaranya.

Sesungguhnya, konteks tersebut segaris dengan apa yang telah dikataan oleh Al-Qur’an pada Al-Hujurat ayat 10-13. Pada ayat 10, Allah telah menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat nikmat.”

Ayat tersebut dipertegas lagi oleh Allah pada ayat 13 yang berbunyi, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.....

Dua ayat tersebut menegaskan bahwa solidaritas sangat mungkin dibangun atas dasar dien, yaitu keyakinan Karena sesama muslim adalah bersaudara, solidaritas diperluas tidak hanya pada suku dan kesamaan asal-usul geografis, tetapi melampaui garis-batas suku dan kesamaan geografis tersebut. Islam mengajarkan bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah setara secara fisik, dan pembedaan-pembedaan (diskriminasi) adalah urusan Allah, tidak pantas dilakukan oleh manusia.

Pada titik ini, konsepsi “bangsa” yang diejawantahkan dalam istilah “ummah” mulai terbentuk. Ali Syariati mendefinisikan “ummah” sebagai “sebuah masyarakat yang diorganisir oleh rakyat di mana semuanya digerakkan, mengharapkan, dan berjuang untuk tujuan bersama. Pada titik ini, “ummah” kemudian dimaknai sebagai sebuah identitas “bangsa” bagi umat Islam yang dimaknai sebagai sebuah “modal sosial” yang mengikat jejaring umatnya pada level identitas-identitas sosiokultural.

Solidaritas sosial yang ada tidak cukup diejawantahkan hanya dalam ranah-ranah kesukuan atau golongan (dalam bahasa kekinian, tidak cukup hanya dibangun oleh segelintir ormas, parpol, atau golongan saja). Solidaritas harus diterapkan secara universal kepada seluruh umat Islam. Implikasinya, umat Islam harus mengakui pluralitas yang ada. Pluralitas dimaknai sebagai sebuah kewajaran dalam struktur sosial masyarakat. Hanya saja, pluralitas tersebut kemudian dipersatukan oleh sebuah term: doktrin tauhid, Laa Ilaaha Illallah beserta implikasi sosialnya.

Dengan adanya universalitas dan penghargaan atas pluralitas tersebut, solidaritas bisa menjadi basis dari kerekatan dan fondasi pembentukan sebuah “ummah”. Inilah yang kemudian kita yakini sebagai model “bangsa” dalam Islam. “Ummah” yang dibangun atas dasar solidaritas akan mampu menjadi basis penguat dalam gerakan-gerakan sosial, aktivitas pembangunan, maupun war on position—meminjam istilah Gramsci— dengan kekuatan politik lain.


Kontekstualisasi (1): Identitas Sosial Ummat Islam

Persoalannya kemudian, bagaimana melakukan kontekstualisasi pembentukan “ummah” dalam konteks kekinian? Saat ini, kita hidup di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh interconnectedness –kata Martin Wolf— atau distanciation –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.

Kondisi seperti ini terjadi di negeri-negeri Muslim. Serbuan-serbuan kultural, yang dipotret oleh Rasyid Ridha sebagai westernisasi, tak ayal masuk ke generasi muda muslim. Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutaa di kalangan generasi muda.

Di sisi lain, kita dihadapkan oleh fakta bahwa umat Islam telah mengalami proses fragmentasi kultural dalam jangka waktu yang sangat lama. Adanya pemilahan berupa nation-state serta adanya rentang pemahaman yang sangat luas di kalangan umat Islam telah melahirkan fragmentasi dan ego golongan yang begitu tinggi. Pendek kata, menjadi sangat sulit untuk menghidupkan kembali solidaritas sosial berbasis persaudaraan seperti dicita-citakan oleh Ibnu Khaldun dulu.

Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari sang hegemon. Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural memiliki potensi “menggerus” lokalitas dan tatanan baku yang sudah ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan sangat berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan.

Ketiga problem tersebut adalah problem yang harus kita jawab dalam konteks kekinian. Lantas, bagaimana merekonstruksi konsep “Ummah” dalam era globalisasi? Ada beberapa tawaran langkah yang penulis ajukan dengan satu titik sentral: penguatan modal sosial umat Islam. Modal sosial dalam yang penulis maksudkan adalah adanya alat-alat perekat yang mampu menjadi tempat bertemunya segala macam kepentingan dari berbagai golongan secara kultural.

Pertama, modal sosial sebagai bagian dari solidaritas harus diejawantahkan melalui pembentukan identitas sosial baru yang lebih luas daripada sekadar identitas golongan. Jika Ibnu Khaldun menempatkan solidaritas dalam konteksnya sebagai modal politik untuk mencapai kedaulatan (kekuasaan politik), konteks saat ini yang fragmentaris harus disikapi dengan penempatan solidaritas sebagai modal sosial.

Konteksnya adalah bagaimana menumbuhkan solidaritas sebagai perekat jaring-jaring sosial antarumat Islam. Identitas sosial yang selama ini kadung melekat di kalangan ummat Islam adalah identitas yang sangat dikotomis dengan basis golongan-golongan. Tantangan tersebut mengantarkan penulis pada kesimpulan: perlu adanya identitas sosial baru yang meng-cover semua identitas golongan yang ada.

Maka, Islam sendiri adalah sebuah identitas yang sangat luas cakupannya. Sebagai entitas keagamaan, Islam tidak boleh dibajak hanya untuk memuaskan dahaga kepentingan satu golongan tertentu. Sebaliknya, Islam harus diakui sebagai identitas dari semua muslim yang memiliki dasar aqidah yang sama: tauhid.

Memang, Islam sejak dulu memiliki penafsiran yang beragam. Secara fiqh, kita akan menemukan berpuluh-puluh mazhab yang diikuti oleh ummat Islam di segala penjuru dunia. Dari aliran pemikiran keagamaan, Islam memiliki ratusan pemikir yang memiliki basis epistemologi berbeda-beda. Akan tetapi, keragaman ini tidak mesti harus menjadi argumen untuk tidak menumbuhkan sebuah identitas baru yang sifatnya lebih luas: identitas Islam sebagai dien yang dianut. Ini akan menciptakan solidaritas sosial yang baru.

Tantangan umat Islam yang mengemuka sekarang ini adalah bagaimana menghaapi ego yang begitu tinggi. Identitas yang terbangun bukan identitas berbasis persaudaraan Islam, tetapi identitas keormasan, identitas golongan, identitas jamaah, maupun identitas-identitas lain yang sifatnya begitu sempit. Kondisi yang fragmentaris ini menyebabkan rawannya konflik horizontal dan pertengkaran-pertengkaran jamaah yang sebenarnya kontraproduktif dengan cita-cita persatuan yang diinginkan.

Dengan kondisi demikian, solidaritas perlu menjadi basis dari modal sosial umat Islam. Adanya Islam sebagai identitas akan memperkuat ikatan-ikatan solidaritas dan meminimalisasi konflik di antara ummat Islam sendiri. Persoalan mengantisipasi konflik dengan agama lain akan menjadi bahasan sendiri di bagian ketiga, yaitu adanya konsensus dan pengakuan atas eksistensi dari penganut keyakinan agama lain dalam hidup bermasyarakat.


Kontekstualisasi (2): Konsensus dan Ruang Publik

Kedua, Islam memerlukan ruang-ruang publik untuk merekatkan kepentingan ummat Islam yang terserak. Islam sejak dulu telah memperkenalkan “Masjid” sebagai wadah perekat ummat. Masjid meluruhkan status-status sosial yang dikonstruksi manusia, karena memang semua dalam posisi yang sejajar ketika melakukan ibadah kepada Allah.

Masjid menjadi wahana komunikasi yang efektif bagi ummat, karena menjadi tempat pertemuan setiap lima kali sehari. Sehingga, wajar jika di era Rasulullah, peradaban berpusat di Masjid, bukan di gedung-gedung pemerintahan yang formal-birokratis.

Dengan fungsinya yang sentral serta informal tersebut, masjid akan sangat strategis untuk dijadikan sebagai modal sosial ummat Islam. Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan posisi masjid yang ideal tersebut? Kita kembali dihadapkan pada problem: terftragmentasinya umat ke dalam masjid-masjid yang terkadang hanya mementingkan ego golongan masing-masing.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membebaskan masjid dari dominasi satu golongan tertentu dalam penggunaannya. Masjid adalah milik ummat dan seharusnya menjadi ruang publik muslim. Kata kuncinya adalah bahwa masjid harus menjadi medan komunikatif bagi setiap muslim, apapun afiliasi sosial dan politiknya, sehingga kebutuhannya akan aktivitas keagamaan (hablun minallah) dapat terpenuhi di ruang-ruang masjid.

Oleh karena itu, seyogianya masjid pun bebas digunakan oleh ummat selama penggunaannya dilakukan secara bertanggung jawab dan menghargai pluralitas. Sangat tidak logis jika ada upaya untuk menguasai salah satu masjid dengan menghomogenkan perilaku seluruh orang yang beribadah di mesjid, atau menjadikan masjid sebagai alat politik bagi salah satu golongan yang ingin memperjuangkan kepentingannya sendiri.

Selain masjid, sebenarnya alat lain dari modal sosial Islam dapat diejawantahkan sebagai ruang publik adalah event-event religius seperti Ramadhan atau ‘Idain. Puasa di bulan Ramadhan memiliki makna-makna transformatif. Dengan berpuasa, kita diajarkan untuk tidak hidup berlebihan, karena masih banyak saudara kita yang justru hidup dalam garis kemiskinan.

Dengan berpuasa, kita diajarkan untuk berusaha bebas dari unsur-unsur keduniaan yang mencengkeram kita, salah satunya adalah egoisme. Dengan adanya ikatan persaudaraan dan sikap merasakan penderitaan orang lain ketika berpuasa, makna transformatif yang dapat kita tangkap adalah pembudayaan aktivitas tolong-menolong tanpa memandang latar belakang organisasi, golongan, atau afiliasi apapun.

Puasa dan Masjid hanya satu dari sekian banyak ruang-ruang publik yang dapat kita gunakan sebagai alat untuk merekatkan modal sosial ummat Islam. Masih banyak alat lain yang dapat digunakan sebagai basis dari “ruang publik” dan alat untuk menjalin “tindakan komunikatif” sesama umat Islam.

Ketiga, membangun konsensus. Agar tidak terjadi kondisi homo homini lupus dari kehidupan yang heterogen, di mana yang kuat menindas yang lemah, apa yang mesti dilakukan? Berkaca pada sirah (sejarah) kehidupan Rasulullah, hal yang beliau lakukan untuk membangun perdamaian tanpa harus mengesampingkan solidaritas adalah membangun konsensus.

Jika kita baca secara lebih detil, “negara Madinah” yang dibangun oleh Rasulullah dan masyarakat Yatsrib pada hakikatnya adalah sebuah sistem yang konsoasional. Piagam Madinah yang menjadi “dustur” (konstitusi) adalah potret dari negosiasi kepentingan antara umat Islam dan kaum Yahudi dalam menjaga keamanan kota Madinah dan hidup bersama secara berdampingan dan damai.

Dari 47 pasal yang disebutkan dalam piagam Madinah, ada beberapa pasal yang mencerminkan adanya konsensus tersebut. Pasal 2-10, misalnya, menempatkan kedaulatan masing-masing suku yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedaulatan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah dan Muslimin Madinah dan seluruh entitas suku mengakui eksistensi dari masing-masing suku dan keyakinan beragama.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 25 yang berbunyi, “Kaum Yahudi dan Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka. Kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”. Artinya, pengakuan atas eksistensi ini menjadi basis dari konsensus yang dibangun. Kedaulatan dan kebebasan masing-masing suku diakui oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

Akan tetapi, kedaulatan tersebut dibatasi oleh satu hal: ancaman terhadap keamanan kota Madinah dan keamanan individu. Pasal 37, misalnya, menegaskan bahwa, “Bagi kaum yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya”.

Dengan adanya konstruksi Undang-undang tersebut, konsensus yang dibangun antara entitas-entitas yang berbeda dalam keyakinan akan dapat berjalan lebih efektif. Pada konteks ini, konsepsi mengenai “ummah” dan solidaritas sosial tidak akan berimplikasi pada ketegangan kelompok agama yang kontraproduktif dengan iklim perdamaian yang ada.

Justru, konsepsi “ummah” yang disertai dengan dua tawaran di atas akan memberikan porsi yang proporsional bagi toleransi dan pluralitas yang ada dalam hal-hal keyakinan dan kepercayaan.


Kesimpulan: Menuju Konsepsi Ummah

Maka, konsepsi “kebangsaan” dalam Islam ternyata memiliki muatan dan maknanya yang tersendiri. Ia tak hanya sekadar “komunitas terbayang” seperti diduga Bennedict Anderson, atau sebuah “produk sejarah” seperti dikatakan Otto Bauer. “Bangsa” bisa berupa komunitas yang diikat oleh tali persaudaraan dan memiliki batas jelas: aqidah. Dari latar belakang golongan atau etnis manapun, jika telah mentanfidzkan kalimat tauhid laa ilaaha illaallah, seseorang telah masuk dalam makna bangsa tersebut. Itulah yang dikenal dengan “ummah”.

Akan tetapi, konsepsi “ummah” atau “bangsa” tidak muncul begitu saja. “Ummah” harus dibangun agar mampu memainkan peran-peran yang tidak sekadar simbolis. Maka dari itu, konsep “ashabiyah” atau solidaritas yang diusung oleh Ibnu Khaldun sangat relevan untuk digunakan dalam upaya menjawab hal tersebut. Persoalan bagaimana membangun “ummah” akan sangat terkait dengan upaya membangun solidaritas di antara anggota ummah tersebut.

Dalam konteks kekinian, bagaimana hal tersebut dilakukan?

Argumen penulis, ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk membangun modal sosial masyarakat Islam sebagai prasyarat membumikan solidaritas tersebut. Pertama, menumbuhkan identitas sosial sebagai “masyarakat Islam” yang berdiri di atas identitas-identitas golongan. Kedua, menemukan ruang-ruang publik untuk mendeliberasikan dan mendialogkan kepentingan masing-masing individu muslim yang sebenarnya sudah tersedia dalam bentuk masjid atau event-event ibadah mahdhah yang bernilai transformatif. Ketiga, membangun konsensus dan mengakui pluralitas yang ada agar struktur sosial tetap dapat inheren dengan pembangunan solidaritas yang ada. Hal tersebut akan kita temui ketika masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat yang heterogen dan plural.

Dengan demikian, tiga agenda besar untuk melakukan kontekstualisasi dalam pembangunan “ummah” di masa kini perlu diikuti oleh agenda-agenda lain yang strategis. Kini, persoalannya adalah bagaimana membangkitkan kesadaran kita, ummat Islam sedunia, bahwa kita adalah satu bangsa, satu “ummah”, dan satu keyakinan meski berada di tempat-tempat yang jauh berbeda.

Berbeda pandangan mengenai Islam tentu bukan masalah besar. Masalahnya justru ada pada pandangan kita mengenai “ummat Islam”: Sanggupkah kita berpikir melampaui sekat-sekat golongan dan sekat-sekat kelompok untuk menjadi sebuah bangsa yang besar? Semoga, ada yang mampu menjawab ini pada waktunya nanti.

Wallahu a’lam bi’l shawwab.


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah Mahasiswa Semester V Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar