Kamis, 06 Januari 2011

Pragmatisme Partai Politik

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

***

Partai politik terlihat kian pragmatis. Konstelasi politik terkini menunjukkan, terjadi inkonsistensi dalam sikap partai di parlemen. Adanya dana aspirasi atau parliamentary threshold yang sarat kepentingan partai memberikan sebuah potret pada kita, betapa gejala pragmatisme saat ini sangat terasa di partai politik Indonesia.

Di sisi lain, secara internal partai cenderung menginklusifkan diri dan mencoba untuk merangkul semua kalangan sebagai konstituen. Ideologi politik tidak lagi menjadi basis sikap. Sehingga, jika dulu berpolitik untuk mengekspresikan komitmen ideologis, sekarang justru sebaliknya: berpolitik untuk kepentingan-kepentingan pragmatis,.

Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori, seorang ilmuwan politik Italia, sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Menurut Sartori, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin blur.

Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terjadi dalam politik Indonesia pasca-reformasi? Penulis memiliki beberapa argumen.

Pertama, Terjadi proses institusionalisasi demokrasi dengan menggunakan logika perwakilan secara baku. Sistem kepartaian dan pemilu pasca-1998 telah diatur dan dilembagakan dalam sebuah mekanisme yang baku. Adanya proses institusionalisasi tersebut, di satu sisi, telah membei mekanisme baku yang memungkinkan kekuasaan dapat dikelola secara demokratis.

Akan tetapi, di sisi lain, institusionalisasi tersebut juga berdampak pada kaburnya garis batas ideologi pada masing-masing partai karena tujuan parta dalam meraih kekuasaan telah terfokus pada upaya memenangkan suara publik. Sehingga, spektrum ideologi partai pun menjadi bergeser ke “tengah”.

Kedua, proses demokrasi berjalan dengan logika transfer legitimasi dari rakyat ke elit. Demokrasi dimaknai hanya sekader persoalan transfer legitimasi rakyat kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu. Implikasinya, masing-masing partai cenderung terkena fenomena yang “hukum besi oligarki”. Ada kecenderungan segelintir elit untuk menguasai struktur pengambilan keputusan di internal partai akibat proses demokrasi yang kian elitis tersebut. Sehingga, ideologi secara perlahan-lahan tergantikan oleh proses negosiasi kepentingan para elit.

Ketiga, ketika partai masuk sebagai pembuat keputusan melalui jatah menteri, terjadi proses kompromi dengan presiden. Kompromi ini berimplikasi pada kecenderungan partai untuk menegosiasikan kepentingannya dengan pihak eksekutif dalam soal-soal kekuasaan, seperti jatah menteri atau koalisi di parlemen. Kecenderungan tersebut membuat ideologi partai menjadi lebih “cair”, basis sikap menjadi pragmatis, dan orientasi partai menjadi lebih negosiasif.

Lantas, bagaimana menjaga agar pragmatisme tersebut tidak kontraproduktif dengan alam demokrasi Indonesia? Ada beberapa hal yang penulis tawarkan sebagai alternatif kebijakan.

Pertama, fenomena institusionalisasi demokrasi perlu diperluas tidak hanya dalam soal memilih perwakilan politik, tetapi juga pada ruang-ruang publik yang tidak bersentuhan langsung dengan politik formal. Sehingga, logika demokrasi tidak hanya berada pada level politik, tetapi juga dapat ditransformasikan pada level lain seperti sosial atau ekonomi.

Kedua, hukum besi oligarki dapat diminimalisasi eksesnya dengan melakukan peremajaan dan rotasi kepemimpinan partai. Logikanya, oligarki terjadi ketika struktur partai dihuni oleh wajah-wajah yang lama berada di struktur partai, sehingga perlu ada dinamisasi pada struktur partai secara berkala. Peremajaan yang dilakukan dengan mengedepankan kaum muda di struktur partai serta proses regenerasi dan rotasi kepemimpinan yang dilakukan secara periodik akan memberikan penyegaran dan variasi pada tubuh internal partai.

Ketiga, persoalan menghadapi politik transaksional dan kompromi antara partai dengan presiden -meminjam tawaran Hanta Yuda, pengamat politik The Indonesian Institute- dapat dilakukan dengan pengaturan kelembagaan dan penguatan kapasitas presiden. Pengaturan kelembagaan ini memungkinkan aktor politik dapat dikurangi secara bertahap. Sementara itu, presiden yang kuat akan mereduksi potensi negosiasi yang terlalu intervensif pada posisi eksekutif. Hal ini akan membuat partai lebih strict dalam menegosiasikan kepentingannya.

Terpenting, fenomena ini harus diantisipasi agar tidak berimplikasi pada politik transaksional yang menjadi-jadi. Saya yakin, partai politik masih menjadi aktor yang diperlukan dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia. Akan tetapi, sikap yang konsisten dan berani dari partai politik juga sangat dinantikan. Maka, mari menjadi pemilih yang kritis atas sikap dan kebijakan partai yang kita pilih.


*) Mahasiswa Fisipol UGM, Alumnus SMAN 1 BanjarmasinRata Penuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar