Resensi Buku
Judul buku : Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi
Penulis : Hanta Yuda AR
Kata Pengantar : Prof. Dr. Amien Rais dan Dr. Anies Baswedan
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, April 2010
Tebal : xxix + 316 halaman
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Judul buku : Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi
Penulis : Hanta Yuda AR
Kata Pengantar : Prof. Dr. Amien Rais dan Dr. Anies Baswedan
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, April 2010
Tebal : xxix + 316 halaman
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Penataan ulang desain institusi politik Indonesia pasca-Reformasi 1998 menjadi sebuah wacana menarik: bagaimana melakukan kontekstualisasi sistem presidensial efektif di tengah kuatnya kuasa parlemen dalam sendi-sendi kehidupan politik kita?
Hal tersebut menjadi telaah utama dari penelitian Hanta Yuda dalam bukunya, “Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi”(Jakarta: Gramedia, 2010). Hal yang menarik diangkat, buku ini sebagian besar datanya berasal dari skripsi yang ditulis oleh penulisnya di Fisipol UGM, 2006.
Dalam buku yang memfokuskan studi pada kabinet SBY-JK (2004-2009) ini, Hanta Yuda menyoroti adanya problem dan potensi kompromi yang dihadapi oleh Presiden dalam kekuasaan presidensial “setengah hati” akibat perpaduan model presidensialisme dan multipartai dalam politik Indonesia. Kompromi-kompromi politik ini disebut oleh Hanta sebagai "Presidensialisme Setengah Hati" atau "sistem presidensial reduktif".
Reformasi Kelembagaan
Pasca-1998, upaya untuk mengembalikan nafas demokrasi di Indonesia dilakukan dengan purifikasi sistem presidensial yang dianut sebagai sistem pemerintahan. Purifikasi tersebut antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden.
Hanya saja, desain institusional tersebut menimbulkan masalah tersendiri: kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang ‘legislative heavy’ tersebut menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan parlemen. Akibatnya, selama masa pemerintahan SBY-JK, terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan parlemen dalam pelbagai hal.
Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di parlemen yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari parlemen kepada presiden dalam berbagai kebijakan,
Hal inilah yang coba disoroti oleh Hanta Yuda dalam penelitiannya tersebut. Jika asumsinya sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai, maka dalam kasus Indonesia inkompatibilitas tersebut juga akan problematis. Hanta Yuda mencoba mengelaborasi kedua variabel ini dalam sebuah penelitian yang komprehensif, serta menawarkan 10+1 tawaran desain institusional baru yang berupaya untuk memberikan alternatif agar sistem presidensial kompatibel dengan multipartai di Indonesia.
Kesepuluh tawaran tersebut meliputi inisiasi sistem pemilu distrik, memperkecil daerah pemilihan (district magnitude), penerapan parliamentary threshold secara konsisten, penggabungan pemilu legislatif dan presiden, penyederhanaan fraksi, koalisi permanen, penguatan bikameralisme secara seimbang, hak veto presiden, rekonstruksi posisi wakil presiden, serta larangan rangkap jabatan. Selain itu, Hanta menawarkan sebuah rekomendasi non-institusional: adanya karakter presiden yang kuat (strong president).
Dalam konteks ini, sistem kepartaian dan pemilu akan sangat menentukan. Bagaimana gagasan-gagasan mengenai desain institusional ini dikontekstualisasikan dalam sistem politik Indonesia ke depan? Siapkah partai dan elit politik menerima konsekuensi berupa perubahan-perubahan?
Tentu saja, pertanyaan tersebut tak dapat serta-merta dijawab tanpa proses reformasi institusional. Di sinilah gagasan Hanta Yuda relevan. Tanpa adanya upaya untuk melakukan perbaikan kelembagaan, fenomena “presidensialisme setengah hati” bisa saja berimplikasi pada krisis kepemimpinan dan krisis politik di masa depan. Maka, gagasan untuk reformasi kelembagaan yang ditawarkan Hanta Yuda akan kompatibel dengan upaya membangun proses demokrasi yang matang di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Hanta Yuda ini mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari beberapa pakar ilmu politik. Tercatat beberapa praktisi dan pakar politik Indonesia memberikan testimoni pada buku tersebut, di antaranya Prof. R. William Liddle (Ohio State University) dan Prof. Dr. Mahfud MD. (Ketua Mahkamah Konstitusi).
Buku ini patut dibaca oleh sarjana, penstudi, dan pemerhati politik untuk melengkapi kembali referensi mengenai politik Indonesia. Maka, meminjam wacana Anies Baswedan dalam kata pengantar buku tersebut, mari bersiap menuju demokrasi yang matang.
*) Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. Peminat isu-isu perbandingan politik, Mahasiswa Fisipol UGM.
Hal tersebut menjadi telaah utama dari penelitian Hanta Yuda dalam bukunya, “Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi”(Jakarta: Gramedia, 2010). Hal yang menarik diangkat, buku ini sebagian besar datanya berasal dari skripsi yang ditulis oleh penulisnya di Fisipol UGM, 2006.
Dalam buku yang memfokuskan studi pada kabinet SBY-JK (2004-2009) ini, Hanta Yuda menyoroti adanya problem dan potensi kompromi yang dihadapi oleh Presiden dalam kekuasaan presidensial “setengah hati” akibat perpaduan model presidensialisme dan multipartai dalam politik Indonesia. Kompromi-kompromi politik ini disebut oleh Hanta sebagai "Presidensialisme Setengah Hati" atau "sistem presidensial reduktif".
Reformasi Kelembagaan
Pasca-1998, upaya untuk mengembalikan nafas demokrasi di Indonesia dilakukan dengan purifikasi sistem presidensial yang dianut sebagai sistem pemerintahan. Purifikasi tersebut antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung koruptif pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada parlemen untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden.
Hanya saja, desain institusional tersebut menimbulkan masalah tersendiri: kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang ‘legislative heavy’ tersebut menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik dengan parlemen. Akibatnya, selama masa pemerintahan SBY-JK, terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan parlemen dalam pelbagai hal.
Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di parlemen yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari parlemen kepada presiden dalam berbagai kebijakan,
Hal inilah yang coba disoroti oleh Hanta Yuda dalam penelitiannya tersebut. Jika asumsinya sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai, maka dalam kasus Indonesia inkompatibilitas tersebut juga akan problematis. Hanta Yuda mencoba mengelaborasi kedua variabel ini dalam sebuah penelitian yang komprehensif, serta menawarkan 10+1 tawaran desain institusional baru yang berupaya untuk memberikan alternatif agar sistem presidensial kompatibel dengan multipartai di Indonesia.
Kesepuluh tawaran tersebut meliputi inisiasi sistem pemilu distrik, memperkecil daerah pemilihan (district magnitude), penerapan parliamentary threshold secara konsisten, penggabungan pemilu legislatif dan presiden, penyederhanaan fraksi, koalisi permanen, penguatan bikameralisme secara seimbang, hak veto presiden, rekonstruksi posisi wakil presiden, serta larangan rangkap jabatan. Selain itu, Hanta menawarkan sebuah rekomendasi non-institusional: adanya karakter presiden yang kuat (strong president).
Dalam konteks ini, sistem kepartaian dan pemilu akan sangat menentukan. Bagaimana gagasan-gagasan mengenai desain institusional ini dikontekstualisasikan dalam sistem politik Indonesia ke depan? Siapkah partai dan elit politik menerima konsekuensi berupa perubahan-perubahan?
Tentu saja, pertanyaan tersebut tak dapat serta-merta dijawab tanpa proses reformasi institusional. Di sinilah gagasan Hanta Yuda relevan. Tanpa adanya upaya untuk melakukan perbaikan kelembagaan, fenomena “presidensialisme setengah hati” bisa saja berimplikasi pada krisis kepemimpinan dan krisis politik di masa depan. Maka, gagasan untuk reformasi kelembagaan yang ditawarkan Hanta Yuda akan kompatibel dengan upaya membangun proses demokrasi yang matang di Indonesia.
Buku yang ditulis oleh Hanta Yuda ini mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari beberapa pakar ilmu politik. Tercatat beberapa praktisi dan pakar politik Indonesia memberikan testimoni pada buku tersebut, di antaranya Prof. R. William Liddle (Ohio State University) dan Prof. Dr. Mahfud MD. (Ketua Mahkamah Konstitusi).
Buku ini patut dibaca oleh sarjana, penstudi, dan pemerhati politik untuk melengkapi kembali referensi mengenai politik Indonesia. Maka, meminjam wacana Anies Baswedan dalam kata pengantar buku tersebut, mari bersiap menuju demokrasi yang matang.
*) Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. Peminat isu-isu perbandingan politik, Mahasiswa Fisipol UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar