Judul Buku :Ijtihad Membangun Basis Gerakan
Penulis : Amin Sudarsono
Kata Pengantar : Agus Purnomo (Anggota DPR-RI)
Penerbit : Muda Cendekia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal : xvii+223 halaman
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Gerakan mahasiswa kian elitis? Tunggu dulu. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Setidaknya, Amin Sudarsono mencoba untuk mengembalikan ruh gerakan KAMMI kepada basis gerakannya yang telah lama dikonstruksi oleh para pendirinya.
Sebuah gerakan mahasiswa dibangun tidak hanya oleh basis massa, tetapi juga oleh basis ideologi, nilai, bahkan juga strategi gerakan. Sehingga, kacamata yang dipakai ketika melihat sebuah gerakan bukan hanya aktivitas elit-elitnya, tetapi juga pergerakan di strukturnya yang terkecil.
A. Basis Gerakan: “Software” dan “Hardware”
Sebuah gerakan –terutama gerakan mahasiswa— pasti memiliki basis pergerakan. Demikian pula KAMMI. Sebagai organisasi yang telah berumur 12 tahun dengan pencapaian yang cukup luar biasa melalui pengembangan jaringan dan intelektualnya, KAMMI harus bergerak tidak hanya pada konteks elit atau politik nasional, tetapi juga basis gerakannya.
Hal ini yang coba ditelaah oleh Amin Sudarsono ketika mengupas basis gerakan KAMMI dalam buku setebal 223 halaman ini. Menurut Ketua Departemen Kajian Strategis PP KAMMI ini, KAMMI harus matang dalam sisi pengelolaan kader dan pengambilan keputusan politik etis-strategis (h. 31). Artinya, KAMMI perlu terus melakukan penguatan-penguatan basis yang merefleksikan kelahirannya sebagai sebuah wadah perjuangan mahasiswa Islam.
Pertanyaannya kemudian, apa gerangan yang dimaksud dengan basis gerakan tersebut? Amin Sudarsono mengklasifikasikan basis gerakan tersebut melalui dua spektrum: software dan hardware.
Pembahasan mengenai “software” gerakan diimulai pada aspek yang paling mendasar: ideologi. Menurut Amin, Visi “Muslim Negarawan” yang diusung oleh KAMMI memiliki karakter-karakter yang terejawantahkan dalam format gerakan intelektual profetik KAMMI. Pada titik itulah ideologi KAMMI berperan sebagai “pembentuk” kader-kader KAMMI yang akan menjalankan peran profetis ke depan, dalam kerangka ranah dan visi “Muslim Negarawan”.
Ideologi tersebut akan menjadi mesin penggerak kader KAMMI dalam merancang perubahan sosial. Pada konteks itu, KAMMI memiliki strategi-strategi perubahan (hlm. 90). Pertama, penyebaran wacana dan opini. Kedua, penanaman motivasi pada masyarakat. Ketiga, mobilisasi vertikal dan networking lintas-bidang. Strategi perubahan sosial ini yang kemudian ditransformasikan menjadi “hardware” gerakan oleh kader-kader KAMMI.
Pada tahapan berikutnya, software tersebut harus dijalankan dalam bentuk-bentuk aksi nyata. Itulah yang kemudian disebut oleh Amin Sudarsono sebagai “hardware” gerakan. “hardware tersebut terbagi menjadi setidaknya lima hal yang strategis dilakukan KAMMI.
Pertama, menggawangi "pemerintahan mahasiswa" di kampus-kampus. Hal ini tentu saja bukan sekadar dimanifestasikan dalam bentuk “menang pemira” atau “menjadi Ketua BEM”, tetapi harus selaras dengan visi “rahmatan lil ‘alamin” yang diusung oleh Islam. KAMMI harus mampu menjadikan pemerintahan mahasiswa benar-benar representatif dan terbuka bagi semua golongan, bukan hanya kader KAMMI, tetapi juga bagi entitas-entitas lain.
Kedua, aksi massa yang simpatik dan benar-benar melambangkan visi KAMMi. Ketiga, konsolidasi dan penguatan organisasi melalui proses syura. Keempat, menggunakan media sebagai basis propaganda gerakan. Fungsi humas, seperti diungkapkan oleh Edo Segara, menjadi bagian penting dalam hal ini. Kelima, advokasi hak-hak publik ke pemangku kepentingan, terutama dalam konteks advokasi anggaran.
B. Kesadaran Kritis Kader KAMMI
Hal menarik yang dapat diambil di buku ini adalah soal kesadaran kritis kader KAMMI. Bagian ini terdapat pada bagian terakhir buku, yang dielaborasi dengan menggunakan konsepsi “conscientizacao” a la Freire.
KAMMI, meminjam istilah Buya Prof. Dr. Hamka ketika menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia tahun 1971, memang seperti “Kue Bika. Posisi KAMMI dihimpit oleh dua kekuatan dan entitas. Di satu sisi, KAMMI mesti memiliki keberpihakan kepada entitas rakyat marjinal yang aspirasi dan keinginan mereka mesti diejawantahkan dalam aksi-aksi KAMMI.
Akan tetapi, di sisi lai, KAMMI juga berhadapan dengan kekuasan politik yang menghegemoni. Kekuasaan politik tersebut tidak hanya terbentuk dalam wujudnya sebagai entitas “negara”, tetapi juga aktor-aktor politik non-negara yang berada di lingkar-lingkar kekuasaan.
Sehingga, seakan-akan terjadi dilema. Jika terlalu dekat ke atas (kekuasaan), KAMMI disangka pragmatis dan lantas dianggap tidak independen. Sebaliknya, jika terlalu surut ke bawah (rakyat), KAMMI juga akan disangka apolitis dan diduga mengarah pada waana kekiri-kirian.
Maka, pada titik ini Amin Sudarsono memberikan sebuah alternatif: basis gerakan dan kesadaran kritis aktivis KAMMI mesti diperkuat. kesadaran kritis yang sifatnya kolektif tersebut diperlukan tidak terhegemoni dan terkooptasi oleh sistem yang ada, juga tidak bersikap fanatis-primordial-eksklusif dalam menghadapi realitas.
Apa yang dimaksud dengan kesadaran kritis itu? Meminjam wacana Freirean, seorang kader KAMMI dituntut untuk sadar mengenai posisinya secara kultural, bukan hanya secara struktural. Ia tidak hanya “tahu” mengenai posisinya sebagai seorang kader, tetapi juga “sadar” mengenai urgensi posisinya bagi visi strategis KAMMI.
Hal-hal semacam itu tentu tidak dapat diperoleh dari halaqah-halaqah rutin, kajian-kajian, atau basis informasi lain yang sudah established dan diterima oleh kader. Proses kesadaran kritis ini terbentuk ketika seorang kader sadar mengenai fungsi dan perannya, tidak dalam ranah primordial karena “untuk membela kelompok”, tetapi sebagai pemangku peran peradaban yang memahami universalitas Islam.
Pada titik itu, seorang kader KAMMI dituntut untuk melakukan proses intelektualisasi dengan menyingkirkan sekat-sekat primordial dalam memandang realitas. Ia harus bisa memandang realitas secara kritis, objektif, dan rasional, tetapi tetap sesuai dengan kerangka dasar pedoman nash yang shahih.
Ketika seorang kader mampu melakukan pembongkaran-pembongkaran atas kerangka berpikirnya dan lantas menemukan makna “kebenaran” dengan basis intelektual yang ia miliki, ia tidak akan lagi terjebak pada “hegemoni” sistem dan struktur yang melingkupi dirinya. Ia akan menapak pada fase “kesadaran kritis” untuk memastikan dirinya paham posisi dirinya dalam KAMMI.
Tentu saja, hal tersebut tak dapat dilakukan hanya pada segelintir kader atau “elit gerakan”. Pada titik inilah Amin Sudarsono memberikan alternatif jalan keluar: Syura sebagai manifestasi kesadaran kritis yang sifatnya kolektif. Syura yang sehat –seperti dijelaskan pada bab sebelumnya— secara normatif akan menjadi alternatif jalan untuk membebaskan kader dari belenggu “hegemoni intelektual” serta “primordialisme gerakan” yang hanya merintangi adanya proses menuju kesadaran kritis.
Maka dari itu, menurut Amin Sudarsono, kader-kader KAMMI dituntut untuk menaikkan posisi kesadaran kita dari sekadar "sadar" secara magis –taklid buta dan fanatis— menjadi kesadaran naif –pemberontakan "kultural"— lantas mencapai kesadaran kritis –mencari kebenaran dan memperjuangkannya— secara bertahap. Visi itulah yang kemudian menjadi kerangka gerak seorang kader untuk mencapai visi “Muslim Negarawan” yang diusung oleh KAMMI.
C. Catatan Buku dan Reposisi KAMMI
Dari sekian banyak wacana baru yang ditawarkan oleh buku ini, terselip sedikit kekurangan: kurangnya sistematisasi penulisan buku terutama di bagian akhir. Serpihan-serpihan gagasan ini masih terkesan “melompat-lompat” dari satu gagasan ke gagasan lainnya, walaupun masih dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan ide.
Akan tetapi, dengan wacana dan gagasan kontekstual yang ditawarkan oleh penulisnya, kita masih bisa membaca buku ini secara utuh. Pemikiran dan panduan teknis untuk KAMMI yang dielaborasi oleh Amin Sudarsono memberikan kekhasan tersendiri bagi buku ini.
Sebagai langkah gerak KAMMI, buku ini sangat patut dipertimbangkan. Sebab, kembalinya KAMMI ke basis gerakan bermakna kembalinya KAMMI kepada ummat, kepada akar rumputnya yang selama ini berjuang untuk KAMMI, dan kembali membangun basis intelektualitas kadernya untuk meneguhkan fondasi kultural. Kita memerlukan ide-ide segar agar KAMMI tidak menjadi gerakan yang terlampau "elitis", dan tidak hanya bermain pada ranah-ranah kekuasaan.
Tentu saja, wacana hanya menjadi sebuah coretan jika tidak diimplementasikan dalam sikap dan aktivitas KAMMI. Sebab itu, tanggung jawab untuk "kembali ke basis gerakan" bukan hanya tanggung jawab elit di Palmeriam sana, tetapi juga tanggung jawab semua elemen. Wacana dan Kultur Intelektual mesti dibangun kembali. Islam perlu kembali ditransformasi dalam konteks sosial dan bermasyarakat. Ini penting sebab KAMMI bukan gerakan kekuasaan, tetapi meminjam istilah Amin Sudarsono, merupakan gerakan etis-moral yang geraknya berbentuk dakwah kultural, sosial, dan akademis.
Oleh karena itu, buku yang mendapatkan apresiasi dari Alamsyah Saragih, Ketua Komisi Informasi Pusat ini patut dibaca oleh segenap kader KAMMI, baik yang berada di level Komisariat (AB1), hingga elit-elit yang berada di Pimpinan Pusat. Karena komprehensivitasnya dalam memaknai KAMMI, tak berlebihan kiranya jika Rijalul Imam, Ketua Umum PP KAMMI menyebut buku ini sebagai “Risalah Pergerakan KAMMI”.
Maka, selamat menikmati serpihan gagasan intelektual KAMMI, selamat menyelami kembali makna kita sebagai kader KAMMI.
*) Peresensi adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Terimakasih akh Umar, sudah membuat resensi untuk buku ini. Menjadi bahan evaluasi bagi saya, semoga edisi revisi bisa lebih baik lagi..
BalasHapus