Hal yang patut menjadi evaluasi dalam proses politik nasional hari ini adalah kian melebarnya jarak politik antara elite politik dan rakyat akar-rumput. Ketika para legislator dan pejabat bercengkerama di gedung parlemen yang megah, jutaan rakyat Indonesia sibuk memikirkan apa yang akan dimakan hari ini.
Jarak Politik Elite-Massa
Realitas tersebut menunjukkan beberapa fenomena. Pertama, proses demokrasi tidak berjalan sesuai substansinya untuk memenuhi kepentingan rakyat. Ada semacam distorsi ketika demokrasi hanya dimaknai sekadar “mekanisme” untuk memilih elite perwakilan di parlemen.
Kini elite mengambil alih peran sentral demokrasi. Akibatnya, politik menjadi kian oligarkis. Robert Michels (1911) mewanti-wanti bahwa struktur politik yang dikuasai segelintir elite rawan mengarah pada munculnya kekuasaan yang korup dan oligarkis.
Implikasi logis dari terjadinya oligarki dan elitisme politik adalah polarisasi kepentingan, terutama antara elite dan massa. Karena proses politik dimaknai sebatas kompetisi elite, kepentingan rakyat terabaikan. Inilah yang membuat jarak politik melebar.
Kedua, partai politik kian pragmatis dan terpenjara dalam kepentingan kelompok masing-masing. Idealnya, partai politik adalah representasi kepentingan masyarakat. Sehingga, dalam aktivitas politiknya, partai juga harus menjadi wadah rakyat untuk mengaspirasikan kepentingannya.
Sadar atau tidak, kini pendulum politik bergerak dari ideologi menuju citra. Akibatnya, partai politik tidak lagi membasiskan sikap dan kebijakannya pada ideologi –atau “politik aliran”— tetapi justru pada upaya mencari kekuasaan. Konsekuensinya, basis platform dan ideologi partai menjadi seragam dan susah dibedakan.
Fenomena ini disebut oleh Giovanni Sartori (1996) sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Implikasinya cukup negatif: Partai politik tidak hanya berpotensi kompromis dan tak terkendali oleh rakyat, tetapi juga rawan disusupi oleh broker-broker politik yang mencari sandaran kekuasaan dan kapita (baca: proyek) untuk kepentingan sendiri. Ini membuat jarak politik terbentang begitu lebar.
Ketiga, politik pencitraan yang berlebihan menggeser kepentingan publik menjadi kepentingan politik. Politik pencitraan sebagai implikasi dari sentrifugalisme –seperti kata Sartori— telah membuat persaingan politik tidak lagi dibasiskan pada “gagasan” atau “aspirasi konstituen”, tetapi justru oleh rekayasa media atas image partai.
Akibatnya, partai-partai politik berlomba untuk memperbaiki image menjelang Pemilu. Media-media massa digunakan untuk membuat jargon dan propaganda yang, ironisnya, ditujukan untuk meraih simpati pemilih. Visi dan program menjadi absurd, semua dibuat untuk kepentingan suara.
Padahal, image bisa saja fiktif dan menipu. Konsistensi dipertanyakan. Perlukah rakyat dengan jargon dan citra yang dibuat tersebut? Tentu tidak. Pada titik ini, kita akan melihat paradoks antara citra kampanye dengan perilaku politik pasca-terpilih dari masing-masing elite partai. Hal ini juga memperlebar jarak politik.
Reposisi Gerakan Mahasiswa
Pada titik inilah, peran gerakan ekstraparlementer –termasuk gerakan mahasiswa— menjadi signifikan. Ketika elite-elite politik disibukkan oleh citra dan meninggalkan kepentingan rakyat, mahasiswa yang sangat signifikan untuk mengambil peran strategis. Sebab, pada hakikatnya kemurnian moral dari gerakan mahasiswa masih sangat terjaga jika lepas dari kepentingan politik.
Akan tetapi, justru pada titik itulah muncul problem. Sadar atau tidak, banyak elemen gerakan mahasiswa yang kini terperangkap oleh euforia kebebasan berpendapat. Isu yang diangkat bukan lagi isu-isu populis yang langsung ditangkap oleh rakyat, tetapi isu politik yang rentan kooptasi aktor tertentu.
Konsekuensi yang cukup mengerikan adalah ketika aksi mahasiswa jauh dari kepentingan rakyat, bahkan menimbulkan sinisme. Siapa yang diuntungkan? Bisa jadi, yang gembira adalah spekulan dan broker politik. Tentu bukan ini yang diharapkan.
Oleh sebab itu, perlu reposisi gerakan mahasiswa Indonesia, baik dalam konteks gerakan intra maupun ekstrakampus. Jika boleh urun saran, ada beberapa hal yang dapat penulis tawarkan.
Pertama, mengembalikan daulat gerakan mahasiswa untuk lepas dari kepentingan partai politik manapun. Kemurnian moral gerakan mahasiswa harus dapat dijaga dengan tidak terlibat politik praktis, minimal jauh dari partai yang kini hegemonik. Karakter gerakan oposisi harus dijunjung tinggi dan jauh dari kuasa-kuasa tertentu. Pilihan inilah yang dulu dipakai oleh Gie dan kawan-kawan di era 1960-an
Kedua, mendekatkan gerakan langsung dengan problem masyarakat. Pola-pola advokasi anggaran, pendampingan masyarakat, atau perhatian atas problem-problem lokal seperti konflik lahan petani atau gerakan buruh perlu kembali menjadi fokus gerakan mahasiswa. Basisnya adalah gerakan sosial. Pada intinya, bahan baku gerakan adalah masalah yang menjadi keseharian masyarakat, bukan politik praktis.
Ketiga, menguatkan karakter keilmuanl dan interdisiplinaritas dalam membangun aksi gerakan. Demonstrasi sebagai tawaran konkret adalah pilihan sah gerakan. Akan tetapi, untuk mengimbanginya, perlu tawaran gerakan lain yang bersifat lebih berkarakter keilmuan. Pilihannya tentu beragam. Terpenting, pilihan strategi gerak bukan sekadar euforia, tetapi memiliki visi dan karakter intelektual yang jelas.
Keempat, mengukuhkan identitasnya sebagai gerakan intelektual yang berpihak. Gramsci menyebutnya “intelektual organik”, sementara Syariati menggunakan istilah “intelektual profetik”. Keduanya tak jauh berbeda. Pada hakikatnya, intelektual bukanlah mereka yang bergerak atas dasar pilihan dan kepentingan individual. Aktivitas intelektual harus didasarkan atas upaya memperjuangkan kelas yang terpinggirkan, bukan mencari kuasa.
Empat hal tersebut kiranya menjadi relevan bagi gerakan mahasiswa saat ini. Bagi kawan-kawan yang turun ke jalan, tetaplah berjuang. Semoga apa yang kita perjuangkan tidak menguntungkan broker dan spekulan politik, tetapi dilakukan dengan niat membela yang terpinggirkan. Hidup gerakan mahasiswa.
*) Mahasiswa Fisipol UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar