Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Kurang dari dua bulan lagi, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) akan melangsungkan muktamarnya yang ke-7. Tahun ini, yang bertindak sebagai tuan rumah dari penyelenggaraan muktamar adalah Banda Aceh. Seperti biasa, muktamar akan memperbarui hal-hal penting dalam pengorganisasian KAMMI seperti AD/ART, GBHO, dan tentu saja kepemimpinan.
Dalam usia yang telah mencapai 12 tahun, tentu sudah sewajarnya KAMMI memiliki pembaruan-pembaruan wacana dan paradigma, Dengan realitas sosial yang sudah sampai pada era pascamodern, bagaimana KAMMI memperbarui jati dirinya sebagai gerakan intelektual profetik, sesuai paradigma gerakan KAMMI yang kedua?
Gerakan Intelektual KAMMI
KAMMI adalah gerakan intelektual profetik. Pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan, seperti apa format intelektual profetik yang digadang-gadangkan oleh kader KAMMI dalam konstruk realitas pascamodern?
Tafsir resminya menyebutkan bahwa intelektual profetik adalah mereka yang meletakkan determinasi ruh atas akal, menderivasikan ilmu untuk kemanusiaan, dan mempertemukan nalar wahyu dan nalar akal. Dengan kata lain, worldview-nya sudah jelas, yaitu wahyu.
Akan tetapi, dengan realitas yang kian absurd, tools apa yang digunakan oleh kader KAMMI untuk mengejawantahkan worldview tersebut? Bagaimana mentransformasikan “wahyu” tidak hanya dalam basis epistemologi, tetapi juga dalam metodologi ilmu?
Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Dari teologi, bertransformasi ke dalam filsafat sosial, perumusan teori sosial, lalu perancangan agenda perubahan sosial.
Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan.
Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah pembacaan makro, perlu ada upaya untuk merumuskan teori dan aplikasi konkret dari pembacaan makro tersebut. Bagaimana caranya? tentu saja melalui riset-riset empiris yang dilakukan secara langsung.
Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.
Memang, kita sangat perlu membedakan cara berpikir “ala Barat” dengan “ala Islam” dalam tataran epistemologis. Akan tetapi, apakah kita harus menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dalam soal-soal filsafat ilmu an sich? Mengapa kita tidak segera beranjak ke tahapan selanjutnya, yaitu perumusan teori sosial, jika cara pandang mengenai kebenaran kita sudah bersifat final?
Tentu cara pandang KAMMI mengenai kebenaran final dan tegas. Basis ontologisnya sudah jelas: nalar wahyu mendeterminasi nalar akal. Akan tetapi, pada basis metodologis, kita menghadapi problem kurangnya pembuktian-pembuktian empiris dari cara pandang yang dianut.
Ketika dihadapkan pada fakta-fakta sosial kontemporer, kader KAMMI akan cenderung membuka referensi dari pemikir Islam abad awal. Padahal, konteks dan realitas sosialnya sama sekali berbeda. Sudahkah kita melakukan refleksi dan pembongkaran atas realitas sosial yang lebih kontemporer? Berapa banyak penelitian sosial yang dilahirkan oleh kader-kader KAMMI sebagai bakti intelektualnya?
Pertanyaan lain yang lebih bersifat metodologis, sudahkah teori-teori sosial yang dianggap “bias Barat” tersebut diverifikasi ulang? Untuk memverifikasi di lapangan, bagaimana metodologi yang dibangun? Lalu, bagaimana teori-teori sosial dalam paradigma dan worldview Islam dioperasionalisasikan sebagai sebuah metode penelitian?
Hal-hal semacam ini, kendati terlihat sepele dan sangat teknis operasional, penting untuk menunjukkan bahwa gerakan intelektual profetik KAMMI sudah dapat dioperasionalkan oleh kader-kadernya.
Maka, agenda reinterpretasi paradigma KAMMI yang dapat penulis tawarkan adalah penempatan kembali gerakan riset sebagai alat untuk membaca dan membongkar realitas sosial secara lebih menyeluruh. Karena era sudah mengharuskan kita untuk bersifat spesialis dalam keilmuan, maka gerakan riset adalah gerakan interdisipliner. Sebab itu, riset juga bagian dari amal jama’i.
Selama ini, riset yang dilakukan oleh kader-kader KAMMI cenderung individual dan dilakukan untuk kebutuhan akademik semisal skripsi atau hibah riset dari kampus masing-masing. Jika logika tersebut diteruskan, rise menjadi sesuatu yang sporadis, pragmatis, dan tidak melambangkan paradigma intelektual profetik yang diusung oleh KAMMI.
Sah-sah saja menggunakan dana yang diberikan oleh kampus atau pemerintah dalam melakukan riset. Akan tetapi, jika orientasinya adalah mendapatkan dana an sich, kader KAMMi terlalu pragmatis untuk itu. Riset-riset KAMMI adalah riset yang penuh dengan makna keberpihakan sosial. Tujuannya jelas: untuk membela kaum yang termarjinalkan oleh struktur sosial.
Membangun Tradisi Intelektual
Tentu saja, gerakan riset tersebut memerlukan modal berupa kebiasaan membaca, menulis, serta mengamati fakta sosial. Kader-kader KAMMI minmal memiliki budaya intelektual tersebut dengan tujuan menumbuhkan semangat untuk membongkar realitas sosial secara mengakar. Tradisi membaca, menulis, mengamati fakta sosial, dan mengkritisi fakta tersebut perlu disehatkan dan digiatkan kembali dalam aktivitas KAMMI.
Selain itu, tradisi tersebut juga harus dilandasi oleh semangat membongkar realitas secara kritis. Tradisi membaca diiringi oleh tradisi menulis dan mengamati fakta sosial, sehingga idealisme yang ditanamkan kepada kader KAMMI tidak berhenti pada tataran normatif saja, tetapi juga masuk pada cara berpikir yang lebih kritis.
Tradisi intelektual akan sangat erat kaitannya dengan tiga hal: pembongkaran realitas secara kritis, adanya budaya dialektik, dan semangat untuk menuliskan gagasan. Apapun bentuk realitasnya, kader KAMMI mesti mampu membongkarnya secara mandiri dan tuntas. Tanpa intervensi, tanpa paksaan, sesuai kredo KAMMI pertama.
Pembongkaran realitas tersebut bisa dimulai dari titik yang paling sederhana, semisal bagaimana realitas yang ada di lingkungan kampus atau masyarakat sekitar kita tinggal. Ini juga akan menuntun seorang kader, meminjam istilah Amin Sudarsono, ke dalam level “kesadaran kritis” yang bersifat dialogis ke kader lain.
Sebagai contoh, tradisi intelektual KAMMI perlu membongkar hal-hal yang selama ini problematis karena belum didiskusikan secara tuntas oleh kader-kader kritis KAMMI. Bagaimana, misalnya, hubungan KAMMI dengan PKS yang notabene memiliki akar ideologi yang sama?: Atau, mengapa KAMMI terjun dalam percaturan politik kampus dengan menggunakan pelbagai kendaraan politik? Bagaimana hubungan KAMMI dengan entitas gerakan mahasiswa lain?
Oleh karena itu, arus informasi kepada kader perlu difasilitasi oleh KAMMI secara kelembagaan. Maka, sebagai konsekuensinya, KAMMI perlu memiliki media, entah bulletin sederhana atau penerbitan dalam bentuk yang lebih luas.
Persoalan selanjutnya, Bagaimana membangun tradisi intelektual dan riset bagi kader KAMMI? Jika boleh urun saran, ada beberapa hal yang ingin penulis tawarkan.
Pertama, melakukan tradisi pengamatan (observarsi). Kendati sepele, hal ini sangat penting untuk melahirkan semangat kembali ke realitas dan kontekstualisasi. Tradisi pengamatan ini, selain juga untuk analisis sosial, juga membuat kader berpikir reflektif mengenai fakta sosial yang selama ini ia geluti.
Observasi berarti membuka mata lebar-lebar mengenai realitas dan fakta sosial. Kader KAMMI tentu adalah kader yang paham bagaimana kehidupan sosial berjalan. Bahwa dakwah harus dilakukan ke segala arah. Dengan adanya observasi dan “melihat” realitas secara proporsional, kita akan mempunyai pandangan yang komprehensif mengenai “apa” yang akan kita lakukan ke depan.
Secara lebih jauh, tradisi pengamatan tersebut dapat dijabarkan secara lebih luas ke dalam aktivitas wawancara atau survey sederhana. Riset sosial biasa diawali oleh perumusan masalah. Pada tahap ini, pengamatan akan membantu perumusan masalah secara lebih konkret dan berpihak.
Kedua, menggiatkan budaya diskusi dan penulisan. Setelah melakukan pengamatan atas realitas sosial, interpretasi mesti didiskusikan. Amin Sudarsono menyebutnya sebagai “kesadaran kritis kolektif” atau syuro, atau dalam bahasa Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, ini adalah tradisi demokrasi yang deliberatif.
Budaya diskusi mengimplikasikan semua kader memiliki posisi yang egaliter, dan membuka refleksi mengenai cara berpikir orang lain. Selain itu, diskusi juga menjadi sarana pengembangan nalar dan komunikasi bagi kader KAMMI.
Setelah didiskusikan, tentu saja hasil diskusi atau gagasan-gagasan baru yang muncul perlu didokumentasikan. Oleh karena itu, kader perlu menulis. Gagasan-gagasan baru perlu dikembangkan melalui aktivitas penulisan untuk menjaga kesinambungan dan melatih berpikir secara sistematis.
Ketiga, membentuk departemen keilmuan di masing-masing Komisariat, Daerah, Wilayah, atau bahkan Pusat. Harapannya, departemen baru ini akan menyinergiskan aktivitas-aktivitas pengamatan sosial, diskusi, dan kepenulisan bagi aktivis KAMMI sehingga riset dapat menjadi agenda kolektif kader.
Perumusan departemen baru ini penting untuk dipertimbangkan di arena muktamar. Sebab, KAMMI perlu tools dan perangkat sistem untuk menyelaraskan paradigma intelektual profetik dalam agenda-agenda gerakan KAMMI. Riset, sebagai tawaran ilmiah bagi arah gerakan hari ini, perlu dilembagakan dalam sebuah departemen khusus. Ini akan memberikan wajah baru gerakan mahasiswa dalam merangkai era pascamodern secara lebih profetis.
Sebagaimana telah penulis kemukakan, riset gerakan KAMMI bersifat interdisipliner karena mengakomodasi latar belakang akademis (spesialisasi ilmu) kader yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu ada pembagian ranah kerja dalam operasionalnya, tetapi tetap mengacu pada tujuan riset yaitu keberpihakan sosial dan tauhid. Logika ini yang membedakan riset kader KAMMI dengan riset mahasiswa biasa.
Menghadapi Tantangan Zaman
Dengan demikian, aktivitas keilmuan kader menjadi penting untuk digerakkan oleh KAMMI. Era telah bergerak ke arah era teknologi informasi. Jika pengelolaan wacana dan gerak intelektual tidak diperbarui, penulis khawatir KAMMI akan terjebak pada romantisme dan tidak ada dinamisasi bagi langkah-langkahnya.
Kalaupun kader KAMMI belum sampai pada taraf melahirkan teori-teori sosial, kader KAMMI paling tidak harus menghargai pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh intelektual muslim, serta meresponsnya secara proporsional.
Dengan “tauhid” sebagai basis worldview, riset-riset sosial yang dilakukan kader kAMMI sebenarnya sudah memiliki memiliki acuan aksiologis, yaitu ilmu sebagai alat untuk menunjukkan peran profetis pemuda bagi masyarakat. Pada titik ini pula karakter KAMMI sebagai harakatut-tajdid atau gerakan pembaruan menjadi nyata.
Tantangan kini ada di pundak para muktamirin dan segenap kader KAMMI di seluruh Indonesia. Mampukah kita menerjemahkan paradigma intelektual profetik dalam arah gerak kita ke depan? Semoga muktamar menjadi momentum untuk menjawabnya.
Nashrun minallah wa fathun qarib.
Bahan Bacaan
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. “Kritiklah dengan Tulisanmu!” dalam Ersis Warmansyah Abbas (ed.) 2008. Menulis Mudah: Dari Babu sampai Pak Dosen. Yogyakarta: Gama Media.
___________________________. “Menulislah untuk Dakwah” dalam Edo Segara et. al. 2010. Menulis Tradisi Intelektual Muslim. Yogyakarta: Youth Media.
Amin Sudarsono. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia.
F. Budi Hardiman. 2008. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hans Fink. 2010,. Filsafat Sosial: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas penterjemah Sigit Djatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua.
Kuntowijoyo. 2009. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mahmoud Ayoub. 2004. Islam dan Teori Dunia Ketiga: Pemikiran Keagamaan Mu’ammar Qadhdhafi penterjemah Wahdad Qurdi dan Abdullah Haq. Bogor: Humaniora Press.
****
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.. Anggota Biasa KAMMI. Di kepengurusan KAMMI akfif sebagai Humas Komisariat KAMMI UGM.
Kurang dari dua bulan lagi, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) akan melangsungkan muktamarnya yang ke-7. Tahun ini, yang bertindak sebagai tuan rumah dari penyelenggaraan muktamar adalah Banda Aceh. Seperti biasa, muktamar akan memperbarui hal-hal penting dalam pengorganisasian KAMMI seperti AD/ART, GBHO, dan tentu saja kepemimpinan.
Dalam usia yang telah mencapai 12 tahun, tentu sudah sewajarnya KAMMI memiliki pembaruan-pembaruan wacana dan paradigma, Dengan realitas sosial yang sudah sampai pada era pascamodern, bagaimana KAMMI memperbarui jati dirinya sebagai gerakan intelektual profetik, sesuai paradigma gerakan KAMMI yang kedua?
Gerakan Intelektual KAMMI
KAMMI adalah gerakan intelektual profetik. Pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan, seperti apa format intelektual profetik yang digadang-gadangkan oleh kader KAMMI dalam konstruk realitas pascamodern?
Tafsir resminya menyebutkan bahwa intelektual profetik adalah mereka yang meletakkan determinasi ruh atas akal, menderivasikan ilmu untuk kemanusiaan, dan mempertemukan nalar wahyu dan nalar akal. Dengan kata lain, worldview-nya sudah jelas, yaitu wahyu.
Akan tetapi, dengan realitas yang kian absurd, tools apa yang digunakan oleh kader KAMMI untuk mengejawantahkan worldview tersebut? Bagaimana mentransformasikan “wahyu” tidak hanya dalam basis epistemologi, tetapi juga dalam metodologi ilmu?
Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Dari teologi, bertransformasi ke dalam filsafat sosial, perumusan teori sosial, lalu perancangan agenda perubahan sosial.
Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan.
Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah pembacaan makro, perlu ada upaya untuk merumuskan teori dan aplikasi konkret dari pembacaan makro tersebut. Bagaimana caranya? tentu saja melalui riset-riset empiris yang dilakukan secara langsung.
Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.
Memang, kita sangat perlu membedakan cara berpikir “ala Barat” dengan “ala Islam” dalam tataran epistemologis. Akan tetapi, apakah kita harus menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dalam soal-soal filsafat ilmu an sich? Mengapa kita tidak segera beranjak ke tahapan selanjutnya, yaitu perumusan teori sosial, jika cara pandang mengenai kebenaran kita sudah bersifat final?
Tentu cara pandang KAMMI mengenai kebenaran final dan tegas. Basis ontologisnya sudah jelas: nalar wahyu mendeterminasi nalar akal. Akan tetapi, pada basis metodologis, kita menghadapi problem kurangnya pembuktian-pembuktian empiris dari cara pandang yang dianut.
Ketika dihadapkan pada fakta-fakta sosial kontemporer, kader KAMMI akan cenderung membuka referensi dari pemikir Islam abad awal. Padahal, konteks dan realitas sosialnya sama sekali berbeda. Sudahkah kita melakukan refleksi dan pembongkaran atas realitas sosial yang lebih kontemporer? Berapa banyak penelitian sosial yang dilahirkan oleh kader-kader KAMMI sebagai bakti intelektualnya?
Pertanyaan lain yang lebih bersifat metodologis, sudahkah teori-teori sosial yang dianggap “bias Barat” tersebut diverifikasi ulang? Untuk memverifikasi di lapangan, bagaimana metodologi yang dibangun? Lalu, bagaimana teori-teori sosial dalam paradigma dan worldview Islam dioperasionalisasikan sebagai sebuah metode penelitian?
Hal-hal semacam ini, kendati terlihat sepele dan sangat teknis operasional, penting untuk menunjukkan bahwa gerakan intelektual profetik KAMMI sudah dapat dioperasionalkan oleh kader-kadernya.
Maka, agenda reinterpretasi paradigma KAMMI yang dapat penulis tawarkan adalah penempatan kembali gerakan riset sebagai alat untuk membaca dan membongkar realitas sosial secara lebih menyeluruh. Karena era sudah mengharuskan kita untuk bersifat spesialis dalam keilmuan, maka gerakan riset adalah gerakan interdisipliner. Sebab itu, riset juga bagian dari amal jama’i.
Selama ini, riset yang dilakukan oleh kader-kader KAMMI cenderung individual dan dilakukan untuk kebutuhan akademik semisal skripsi atau hibah riset dari kampus masing-masing. Jika logika tersebut diteruskan, rise menjadi sesuatu yang sporadis, pragmatis, dan tidak melambangkan paradigma intelektual profetik yang diusung oleh KAMMI.
Sah-sah saja menggunakan dana yang diberikan oleh kampus atau pemerintah dalam melakukan riset. Akan tetapi, jika orientasinya adalah mendapatkan dana an sich, kader KAMMi terlalu pragmatis untuk itu. Riset-riset KAMMI adalah riset yang penuh dengan makna keberpihakan sosial. Tujuannya jelas: untuk membela kaum yang termarjinalkan oleh struktur sosial.
Membangun Tradisi Intelektual
Tentu saja, gerakan riset tersebut memerlukan modal berupa kebiasaan membaca, menulis, serta mengamati fakta sosial. Kader-kader KAMMI minmal memiliki budaya intelektual tersebut dengan tujuan menumbuhkan semangat untuk membongkar realitas sosial secara mengakar. Tradisi membaca, menulis, mengamati fakta sosial, dan mengkritisi fakta tersebut perlu disehatkan dan digiatkan kembali dalam aktivitas KAMMI.
Selain itu, tradisi tersebut juga harus dilandasi oleh semangat membongkar realitas secara kritis. Tradisi membaca diiringi oleh tradisi menulis dan mengamati fakta sosial, sehingga idealisme yang ditanamkan kepada kader KAMMI tidak berhenti pada tataran normatif saja, tetapi juga masuk pada cara berpikir yang lebih kritis.
Tradisi intelektual akan sangat erat kaitannya dengan tiga hal: pembongkaran realitas secara kritis, adanya budaya dialektik, dan semangat untuk menuliskan gagasan. Apapun bentuk realitasnya, kader KAMMI mesti mampu membongkarnya secara mandiri dan tuntas. Tanpa intervensi, tanpa paksaan, sesuai kredo KAMMI pertama.
Pembongkaran realitas tersebut bisa dimulai dari titik yang paling sederhana, semisal bagaimana realitas yang ada di lingkungan kampus atau masyarakat sekitar kita tinggal. Ini juga akan menuntun seorang kader, meminjam istilah Amin Sudarsono, ke dalam level “kesadaran kritis” yang bersifat dialogis ke kader lain.
Sebagai contoh, tradisi intelektual KAMMI perlu membongkar hal-hal yang selama ini problematis karena belum didiskusikan secara tuntas oleh kader-kader kritis KAMMI. Bagaimana, misalnya, hubungan KAMMI dengan PKS yang notabene memiliki akar ideologi yang sama?: Atau, mengapa KAMMI terjun dalam percaturan politik kampus dengan menggunakan pelbagai kendaraan politik? Bagaimana hubungan KAMMI dengan entitas gerakan mahasiswa lain?
Oleh karena itu, arus informasi kepada kader perlu difasilitasi oleh KAMMI secara kelembagaan. Maka, sebagai konsekuensinya, KAMMI perlu memiliki media, entah bulletin sederhana atau penerbitan dalam bentuk yang lebih luas.
Persoalan selanjutnya, Bagaimana membangun tradisi intelektual dan riset bagi kader KAMMI? Jika boleh urun saran, ada beberapa hal yang ingin penulis tawarkan.
Pertama, melakukan tradisi pengamatan (observarsi). Kendati sepele, hal ini sangat penting untuk melahirkan semangat kembali ke realitas dan kontekstualisasi. Tradisi pengamatan ini, selain juga untuk analisis sosial, juga membuat kader berpikir reflektif mengenai fakta sosial yang selama ini ia geluti.
Observasi berarti membuka mata lebar-lebar mengenai realitas dan fakta sosial. Kader KAMMI tentu adalah kader yang paham bagaimana kehidupan sosial berjalan. Bahwa dakwah harus dilakukan ke segala arah. Dengan adanya observasi dan “melihat” realitas secara proporsional, kita akan mempunyai pandangan yang komprehensif mengenai “apa” yang akan kita lakukan ke depan.
Secara lebih jauh, tradisi pengamatan tersebut dapat dijabarkan secara lebih luas ke dalam aktivitas wawancara atau survey sederhana. Riset sosial biasa diawali oleh perumusan masalah. Pada tahap ini, pengamatan akan membantu perumusan masalah secara lebih konkret dan berpihak.
Kedua, menggiatkan budaya diskusi dan penulisan. Setelah melakukan pengamatan atas realitas sosial, interpretasi mesti didiskusikan. Amin Sudarsono menyebutnya sebagai “kesadaran kritis kolektif” atau syuro, atau dalam bahasa Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman, ini adalah tradisi demokrasi yang deliberatif.
Budaya diskusi mengimplikasikan semua kader memiliki posisi yang egaliter, dan membuka refleksi mengenai cara berpikir orang lain. Selain itu, diskusi juga menjadi sarana pengembangan nalar dan komunikasi bagi kader KAMMI.
Setelah didiskusikan, tentu saja hasil diskusi atau gagasan-gagasan baru yang muncul perlu didokumentasikan. Oleh karena itu, kader perlu menulis. Gagasan-gagasan baru perlu dikembangkan melalui aktivitas penulisan untuk menjaga kesinambungan dan melatih berpikir secara sistematis.
Ketiga, membentuk departemen keilmuan di masing-masing Komisariat, Daerah, Wilayah, atau bahkan Pusat. Harapannya, departemen baru ini akan menyinergiskan aktivitas-aktivitas pengamatan sosial, diskusi, dan kepenulisan bagi aktivis KAMMI sehingga riset dapat menjadi agenda kolektif kader.
Perumusan departemen baru ini penting untuk dipertimbangkan di arena muktamar. Sebab, KAMMI perlu tools dan perangkat sistem untuk menyelaraskan paradigma intelektual profetik dalam agenda-agenda gerakan KAMMI. Riset, sebagai tawaran ilmiah bagi arah gerakan hari ini, perlu dilembagakan dalam sebuah departemen khusus. Ini akan memberikan wajah baru gerakan mahasiswa dalam merangkai era pascamodern secara lebih profetis.
Sebagaimana telah penulis kemukakan, riset gerakan KAMMI bersifat interdisipliner karena mengakomodasi latar belakang akademis (spesialisasi ilmu) kader yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu ada pembagian ranah kerja dalam operasionalnya, tetapi tetap mengacu pada tujuan riset yaitu keberpihakan sosial dan tauhid. Logika ini yang membedakan riset kader KAMMI dengan riset mahasiswa biasa.
Menghadapi Tantangan Zaman
Dengan demikian, aktivitas keilmuan kader menjadi penting untuk digerakkan oleh KAMMI. Era telah bergerak ke arah era teknologi informasi. Jika pengelolaan wacana dan gerak intelektual tidak diperbarui, penulis khawatir KAMMI akan terjebak pada romantisme dan tidak ada dinamisasi bagi langkah-langkahnya.
Kalaupun kader KAMMI belum sampai pada taraf melahirkan teori-teori sosial, kader KAMMI paling tidak harus menghargai pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh intelektual muslim, serta meresponsnya secara proporsional.
Dengan “tauhid” sebagai basis worldview, riset-riset sosial yang dilakukan kader kAMMI sebenarnya sudah memiliki memiliki acuan aksiologis, yaitu ilmu sebagai alat untuk menunjukkan peran profetis pemuda bagi masyarakat. Pada titik ini pula karakter KAMMI sebagai harakatut-tajdid atau gerakan pembaruan menjadi nyata.
Tantangan kini ada di pundak para muktamirin dan segenap kader KAMMI di seluruh Indonesia. Mampukah kita menerjemahkan paradigma intelektual profetik dalam arah gerak kita ke depan? Semoga muktamar menjadi momentum untuk menjawabnya.
Nashrun minallah wa fathun qarib.
Bahan Bacaan
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. “Kritiklah dengan Tulisanmu!” dalam Ersis Warmansyah Abbas (ed.) 2008. Menulis Mudah: Dari Babu sampai Pak Dosen. Yogyakarta: Gama Media.
___________________________. “Menulislah untuk Dakwah” dalam Edo Segara et. al. 2010. Menulis Tradisi Intelektual Muslim. Yogyakarta: Youth Media.
Amin Sudarsono. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia.
F. Budi Hardiman. 2008. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hans Fink. 2010,. Filsafat Sosial: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas penterjemah Sigit Djatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua.
Kuntowijoyo. 2009. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mahmoud Ayoub. 2004. Islam dan Teori Dunia Ketiga: Pemikiran Keagamaan Mu’ammar Qadhdhafi penterjemah Wahdad Qurdi dan Abdullah Haq. Bogor: Humaniora Press.
****
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.. Anggota Biasa KAMMI. Di kepengurusan KAMMI akfif sebagai Humas Komisariat KAMMI UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar