Perlawanan
tak dihasilkan hanya dari tautan kompleks antara analisis dan geraka.
Ia diproduksi oleh sebuah aktivitas-tak-berguna yang sering disebut
dengan menulis....
I
Seorang
mahasiswa datang dari daerahnya yang agak terpencil tapi agak moderen
di ujung selatan pulau seberang, membawa sejumlah harap. Tak banyak
bekal ia bawa selain kesungguhan, tekad, dan cita-cita. Ia resah dengan
lingkungannya, gelisah dengan realitasnya, kritis terhadap kondisi
masyarakatnya. Keresahan, kegelisahan, dan kritisisme itu melahirkan
idealisme: mengantarkan persinggungannya dengan dunia aktivis yang
kadung distigma negatif oleh kawan-kawannya, orang-orang kaya dari
ibukota itu.
II
Jauh di sana,
seorang petani sedang bernegosiasi dengan para pemodal. Mereka ingin
membeli -membebaskan- lahannya guna usaha pertambangan. Izin usaha ada
di tangan mereka, yang didapat dengan menyuap kepala daerah. Ganti rugi
sudah disiapkan, cukup untuk membeli tanah tempat sang petani mencari
hidup dari generasi ke generasi. Tetapi petani itu menolak. Ia tak punya
apa-apa lagi untuk mencari uang, kecuali berhuma. Lalu anda tahu
lanjutannya: sawah itu dibongkar paksa, dengan kekerasan, tanpa
daya-upaya dari petani untuk melawannya. Kuasa.
III
Mahasiswa itu tak sekadar kuliah. Ia turut hadir dalam diskusi-diskusi membedah realitas, membongkar fakta dan data. Ia ikuti training gerakan,
mengharap dirinya turut merasakan radikalitas dan militansi bergerak,
senafas dengan idealisme yang ia miliki. Materi kuliah ia bawa sebagai
alat kritiik, senjata dalam membedah realitas yang timpang. Timbul
semangat-baru; belajar tak sekadar kuliah, melainkan juga
di-luar-kuliah; mengamalkan ilmu dalam senyap-perlawanan.
IV
Seorang
buruh di kota besar itu sibuk aktif di serikat pekerja, mencoba
memperjuangkan nasibnya yang sering-kali ditindas oleh majikannya. Siang
hari ia bekerja, malam hari ia hadiri sel-sel pertemuan kawannya,
sesama buruh. Hari ini gaji kian mencekik, ia rencanakan pemogokan.
Walau ancaman PHK menghadang. Buruh tak takut. Ia teringat Marsinah,
mungkin, yang ditindas atas nama relasi-kuasa negara dan modal; tapi
justru itu yang jadi pemacu semangatnya untuk mogok. Mengancam
perusahaan. Menanti konsesi untuk nasib buruh yang lebih baik.
V
Di Bunderan UGM, rupanya hari ini mau diadakan demonstrasi. Isunya agak njlimet: bongkar
kasus Century. Mahasiswa aktif berjejer menentang perampasan uang
rakyat yang dituduhkan itu. Spanduk digelar lengkap dengan rontek dan
atribut aksinya. Satu jam cukup untuk orasi dan teatrikal. Lalu, massa
membubarkan diri dengan tenang. Pimpinan organisasinya tak terlihat.
Mungkin, menanti kucuran dana dari mereka yang "bersimpati".
VI
Tapi
di desa itu, usahawan tambang tetap dengan gencar mencari cara untuk
membebaskan lahan petani. Pemda sudah disuap, apa lagi yang ditunggu?
Preman ada di belakang, apa lagi yang ditakutkan? Tak ada yang bisa
menghalangi, tentu saja. Walau petani marah sawahnya digusur paksa.
Walau perangkat desa mencoba membela. Tapi rupanya persoalan sederhana
saja: kalah kuasa.
VI
Pemogokan itu
segera digelar. Perusahaan marah karena efisiensi produksinya
terganggu. Buruh tak mau bekerja. Mitra usaha ribut. Tuntutan buruh
sederhana: kenaikan upah. Tentu saja pabrik tak mau rugi. Jika dulu yang
didatangkan Kodim -tentara- sekarang yang datang tentara berpakaian
sipil. Preman. Atas nama aparat keamanan. Konsesi ditawarkan, tapi tetap
gagal. Pemogokan ditindak kekerasan.
VII
Mahasiswa
yang resah itu kian marah setelah melihat pemberitaan koran. Petani
ditindas, buruh ditindas. Sementara yang diaksikan justru Century yang
tak jelas. Biar beras diimpor, tak ada mahasiswa yang marah. Mungkin
karena arahan partainya. Biar buruh protes, tak banyak yang tergerak.
Mungkin dibilang kuno atau karena mereka mungkin tak tahu apa-apa soal
buruh itu.
VIII
Tapi si mahasiswa
itu hanya sendiri. Ia belum sekuasa rekan-rekannya, senior-seniornya,
yang pandai mencari uang operasional untuk membiayai aksi. Tak pandai
membroker untuk sekadar mencari dana gerakan. Yang bisa
dilakukannya hanya satu: menulis. Meratap dalam hening. Melampiaskan
kekesalan, dalam satu dua paragraf tulisan singkat.
IX
Si mahasiswa mencoba meletakkan Islam sebagai alat analisis. Bahwa Islam bukan agama yang hanya digulirkan membela status-quo; kekuasaan
yang korup. Bukan untuk melegitimasi penindasan. Bukan hanya untuk
mencari-uang. Ia berkenalan dengan teologi pembebasan, Islam Kiri, dan
segala macam lainnya. Ia lahap Ashgar, Hanafi, Arkoun, Ahmad Dahlan,
Kunto, sampai Al-Banna dan Quthb. Ia menemukan varian Islam baru, yang
progresif, tapi tanpa melupakan identitas. Ketika rekan-rekannya masih
bergulat dengan identitas -yang dikonstruksi dalam lingkaran-lingkaran
itu, yang sudah berada dalam tahap pasca-identitas. Substansi. untuk
pembebasan: rakyat tertindas.
X
Lalu
ia tersadar. Inilah zaman baru. Postmodernitas telah menciptakan
gen-gen baru pergerakan yag tak lagi "suci"; tertaut relasi-kuasa di
luar sana. Maka perlawanan kian senyap. Wacana dicipta dalam hening.
Perjuangan tak lagi heroik. Sebab, ada kuasa-kuasa lain di luar sana.
Kuasa media, kuasa akademik, kuasa modal. Media mencipta wacana negatif
tentang gerakan mahasiswa. Akademik mengkrangkeng kampus dalam aktivitas
perkuliahan, yang sebenarnya tak meramu segala macam pengetahuan, tapi
hanya melahirkan formalitas-formalitas "ilmiah". Modal membiayai aksi
mahasiswa untuk kepentingan gerakan mereka. Politik? Sudah dikuasai
pemilik modal, bahkan yang berbaju agama sekalipun.
XI
Dan
di malam yang larut, mahasiswa itu masih menulis. Melawan dalam senyap.
Memberontak dalam diam. Memahami dunia dalam kesunyian. Karena satu-hal
yang ia mengerti: Kuasa dunia hanya bisa dilawan dalam senyap dan
diamnya goresan pena, yang menceritakan makna dengan tanpa-prasangka.
Karena dunia adalah relasi-kuasa; Siapa yang berkuasa, ia yang akan
berjaya.
XII
Catatan-catatan
ringkas tak berhubungan ini: sekadar pengisi kegalauan, pengisi semangat
dalam malam yang hening, sunyi, senyap, dan sepi. Dalam cengkeraman
studi yang kian suram.
Manggung, 31 Oktober 2011.
Sebelum Ujian Tengah Semester
Tidak ada komentar:
Posting Komentar