AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR [*]
Dua tahun silam, Aliman Syahrani, Ketua PD
Pemuda Muhammadiyah HSS, pernah menulis soal dikotomi belajar agama [1]. Seakan-akan, kalau
belajar agama atau "mengaji" itu harus di tempat tertentu saja (yang
benar). Itu menjadi sebuah titik kritis tentang pemilihan tempat pengajian,
yang dianggap atau diklaim sebagai tempat atau organisasi pam-bujur-nya, pa-harat-nya, pa-Islam-nya, pa-alim-nya, dan lain-lain
yang, menurut Aliman Syahrani, melambangkan chauvinistic
doctrine.
Benarkah hal tersebut? Apakah memang
"mengaji" itu harus tunduk dan taat pada ustadz atau guru, karena
memang beliau yang punya otoritas tunggal?
****
Dalam hidup saya, ada beberapa definisi
terhadap istilah "mengaji". Kata ini memang memiliki beberapa arti
dengan latar belakang massa
keagamaan yang berbeda.
Makna "mengaji" pertama muncul
ketika saya masih kecil, yaitu "membaca Al-Qur'an". Sejak TK, saya
disuruh orang tua untuk belajar mengaji di Langgar Al-Fitrah, dekat rumah.
Mulai lancar membaca Al-Qur'an ketika SD. Terus hingga wisuda TK Al-Qur'an
kelas 5 SD, lantas dilanjutkan belajar mengaji berlagu sampai SMP. Dalam kurun
waktu tersebut, kata "mengaji" didefinisikan sebagai belajar membaca
Al-Qur'an, dari soal makharijul
huruf sampai seni membaca dengan tartil
dan tilawah yang
diajarkan guru mengaji.
Makna "mengaji" kedua muncul
ketika saya SMA. Waktu itu, saya mulai aktif di forum "pengajian"
agama di mesjid-mesjid. Waktu itu saya mulai ikut pengajian fiqh Ustadz
Fathurrahman Gazali (sekarang jadi penceramah di Kauman) di Mesjid Al-Jihad,
tiap malam Senin ba'da Maghrib. Aktivitas itu mulai saya lakukan ketika kelas 3
SMP. Istilah mengaji kemudian berubah menjadi "mengikuti ceramah
agama". Jadi, kalau ada istilah mengaji di Mesjid, itu artinya sekarang
mengikuti pengajian keagamaan di Mesjid. Dan sifatnya umum.
Sementara itu, makna "mengaji"
ketiga saya kenal ketika kuliah, ketika saya bersentuhan dengan komunitas
tarbiyah. "Mengaji" di sini ya forum halaqah atau sel perkaderan Tarbiyah.
"Mengaji" fungsinya memisahkan insider
dan outsider kader.
Jadi, kalau ingin bersua dengan sistem di Tarbiyah yang kompleks itu, jalannya
adalah "mengaji". Sayup-sayup terdengar ada yang mengatakan bahwa
"ngaji" itu wajib, tapi toh itu khusus untuk kader Tarbiyah saja, tak
berlaku bagi saya.
Jadi, ada tiga makna kalau kita bicara soal
"ngaji". Intinya belajar agama, tapi makna yang dibawa lebih kompleks
dari itu. Saya akan berfokus pada makna kedua dan ketiga, yang berbicara agama
secara lebih utuh dan memusingkan.
****
Terlepas dari soal identitas primordial
"jama'ah"
atau organisasi, mengaji sesungguhnya punya latar sosiologis, historis, dan
kultural tersendiri dalam konteks ke-Indonesia-an.
Istilah "mengaji" dikenal luas di
kalangan "santri" -dalam makna sosiologis [2]. Istilah ini bermakna
"menuntut ilmu" bagi orang yang mengaji, atau pengabdian masyarakat
bagi yang memberi pengajian. Mengaji biasanya dilaksanakan di Masjid atau
pondok pesantren. Hubungan antara Ustadz yang memberi pengajian dan peserta
pengajian adalah relasi keilmuan, artinya ada "sesuatu" yang
diberikan dalam konteks keilmuan oleh ustadz yang bersangkutan.
Dari latar kebahasaan, ada dua kata yang dekat dengan "ngaji". Pertama, aji yang di zaman pra-Islam berarti kesaktian. Mengaji berarti mendalami kesaktian tertentu sehingga ia punya keahlian tertentu di bidang bela diri atau sejenisnya. Kedua, ngadino atau belajar agama. Ngadino asal katanya yaitu diin, yang memang terjemahannya agama. Istilah ini dikenal dalam masyarakat Jawa.
Dari latar kebahasaan, ada dua kata yang dekat dengan "ngaji". Pertama, aji yang di zaman pra-Islam berarti kesaktian. Mengaji berarti mendalami kesaktian tertentu sehingga ia punya keahlian tertentu di bidang bela diri atau sejenisnya. Kedua, ngadino atau belajar agama. Ngadino asal katanya yaitu diin, yang memang terjemahannya agama. Istilah ini dikenal dalam masyarakat Jawa.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah ini berbeda
karakter dalam masing-masing komunitas. Muhammadiyah, NU, Tarbiyah, HTI,
Persis, dll. masing-masing punya karakter pengajian tersendiri. Kita bisa ambil
contoh pada Muhammadiyah, NU, dan Tarbiyah yang jelas-jelas berbeda karakter
pengajiannya. Setiap level punya karakter tersendiri.
Di kaum nahdhiyyin,
misalnya, mengaji terasa tak afdhal tanpa membaca kitab, baik kitab
klasik ataupun kitab ulama-ulama lokal. Jika pengajiannya di masyarakat,
biasanya tema-tema yang sesuai dengan kondisi. Penyampaian biasanya disisipi
humor segar. Ciri khas kaum Nahdhiyyin
adalah melestarikan budaya, yang biasanya terintegrasi dalam
penyampaian pengajian agama.
Namun model pengajiannya akan berbeda di
komunitas Muhammadiyah. Ciri khas pengajian di sini adalah adanya sesi tanya
jawab dan penekanan yang kuat pada dalil Al-Qur'an serta Hadits. Muhammadiyah
mengajarkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan Hadits. Purifikasi tersebut
kemudian diaplikasikan dalam ijtihad sosial dan pengembangan pendidikan. Oleh
sebab itu, pengajian Muhammadiyah nuansa ilmiahya lebih kental ketimbang nuansa
kultural.
Dan di sini jama'ah pengajian memang diberi
ruang kesempatan untuk bertanya, klarifikasi, bahkan mengoreksi ustadz, karena
penceramah bukanlah orang yang paling tahu, tetapi sama-sama mengkaji
berdasarkan ilmu yang dimiliki. Jadi, tak jarang jama'ah banyak menghujani
ustadz dengan banyak pertanyaan dalam beberapa kesempatan.
Di komunitas tarbiyah, sepengetahuan saya, basis pengajiannya
adalah pada sel, bernama halaqah. Pada
model pengajian halaqah ini,
nuansa ukhuwah antar-anggota
dan ideologisasi ajaran keagamaan lebih kental. Sehingga, soliditas dan
solidaritas kelompok ini kuat. Tak heran jika komunitas ini melahirkan
struktur kelompok yang homogen dan menyamakan basis-basis karakter anggota
-kecuali mereka yang "bandel"-dan komunikasi struktural kuat.
Pengorganisiran juga tak jarang melalui halaqah.
Sementara di kalangan Salafi, pengajian
adalah menu rutin. Biasanya, pengajian adalah sarana ideologisasi sebab
menekankan beberapa materi tertentu yang homogen. Modelnya hampir sama dengan
pengajian Muhammadiyah, hanya saja penekanan ideologisasinya tertentu. Tidak
ada jama'ah yang melakukan klarifikasi kepada ustadz, karena memang relasi
mereka adalah antara guru dan murid yang belajar dan mengajarkan ilmu.
Susunan materinya kuat di hadits, tapi keras
dalam praktik. Bid'ah sangat
dibenci dan diperangi. Itulah sebabnya, jama'ah Salafi sangat menguasai hadits
dan cukup keras dalam bersikap kepada Ahlul
Bid'ah, sebab penekanan itu memang sering dilakukan di pengajian.
Dengan demikian, tujuan dan jenis pengajian
di masing-masing komunitas berbeda. Ini belum termasuk basis Persis, Al-Irsyad
(yang mungkin relatif sama dengan Muhammadiyah), Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh,
dan lain sebagainya. Lantas, dengan keberagaman ini, apakah memang kita harus
menspesialisasi diri mengaji hanya di satu komunitas, yang berarti membuka
kesempatan fanatik, atau seperti apa? Bagaimana menyikapinya?
*****
Pemaparan di atas telah memberikan sebuah
gambaran bahwa Islam itu sesungguhnya tidak bisa dimaknai tunggal. Selalu ada
pluralitas penafsiran di dalamnya. Persoalannya, semua yang "plural"
itu punya sandaran nash sendiri-sendiri, dan dikesankan satu sama lain terjadi
fragmentasi. Ini yang repot.
Persoalannya ada pada ummat. Apa yang harus
dilakukan? Dalam konteks ini, ummat berada dalam kondisi memilih (ikhtiar).
Oleh sebab itu, perlu ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan dalam
menghadapi pengajian-pengajian yang semakin marak. Ini murni perspektif saya.
Pertama, penting untuk menumbuhkan sikap diri yang
selektif dan klarifikatif terhadap kebenaran ketika mengaji (belajar agama).
Sikap "memperbandingkan paham agama" -meminjam istilah KH Mas
Mansyur- perlu dilakukan, yaitu membandingkan kajian agama di satu tempat dan
tempat lain dalam permasalahan yang sama. Pada gilirannya, nash-lah yang akan
menjawabnya. Dan kita bisa melihat kebenaran bukan pada orangnya (tidak
fanatik), melainkan pada maksud dan isi penyampaiannya.
Kedua, menghindari mistifikasi dan kultus individu adalah penting
ketika kita belajar agama. Ketika mengikuti forum2 kajian nama, penting untuk
tidak menganggap bahwa "yang mengajar" adalah paling suci, paling
benar. Tidak. Mereka bukan sumber kebenaran, sebab sumber kebenaran adalah
Al-Qur'an dan Hadits. Mistifikasi dan kultus bisa menyebabkan fanatik. Dan
fanatisme mengarah pada sikap mengklaim kebenaran sendiri padahal ia sendiri
tak tahu dasar dan dalilnya apa.
Apa yang disampaikan ustadz ketika kajian
agama, di manapun tempatnya, tidak semuanya benar. bertanyalah jika mampu.
koreksilah jika perlu. Jangan terima mentah-mentah, gunakan akal dan nash untuk
mencernanya. Ini yang saya sebut sebagai sikap "beragama secara
kritis".
Ketiga, mengembangkan sikap beragama secara ilmiah, selain kriutis.
Belajar agama secara ilmiah berarti mengacu pada sumber kebenaran dan bisa
memilah mana "fakta" (nash) dan mana opini dari pernyataan ustadz.
Ayat Qur'an itu fakta, tapi penjelasan dari ustadznya adalah opini yang mesti
senantiasa kita perbandingkan dengan ceramah di tempat lain.
Nash Al-Qur'an bernilai mutlak, absolut,
tapi opini dari penceramah adalah bersifat relatif. Sehingga, opini dan
penjelasan tadi yang perlu diuji, apakah dengan pertanyaan, klarifikasi, atau
perbandingan dengan tempat lain. Jama'ah mesti bisa memilah dan memilih, mana yang
merupakan fakta (termasuk kemutlakan nash)
dan mana yang hanya bersifat opini dan interpretasi. Perdebatan tentu dilakukan
di ranah yang kedua.
Keempat, seperti petuah KH Mas Mansyur dulu, senantiasa memperluas paham
agama [3]. Ini
juga merupakan satu bentuk sikap beragama ilmiah. Sebagai pencari ilmu, kita
hendaknya terus mencari dan mencari tanpa finalitas, sebab ilmu itu luas, tak
berujung, dan perlu dipisahkan mana kebenaran dan mana yang tidak, mana yang
fakta dan mana yang opini, dan mana yang bisa dipertanggungjawabkan mana yang
tidak. Dan melihat dalam multi-perspektif, bukan ketunggalan.
Ilmu dan pengetahuan tentu tidak akan datang
jika tidak dicari. Dan keduanya juga tidak datang hanya pada satu pintu. Oleh
sebab itu, sikap terbaik, menurut saya, adalah memperluas pemahaman keagamaan
kita dengan terus membuka wawasan. Tetapi, perlu ada "filter" yang
menyaring wawasan tersebut. Itulah daya kritis dan pengetahuan dasar keagamaan
yang kita miliki.
*****
Allah sudah menyediakan Al-Qur'an dan ada
pula hadits-hadits nabi. Jika masalahnya terjadi pada ranah ibadah mahdhah atau aqidah, yang
memerlukan legitimasi nash secara
tekstual, pendekatan yang digunakan adalah merujuk pada dua sumber primer tadi.
Sebaliknya, jika permasalahannya terjadi pada ranah muamalah, kita bisa mengupas dengan mengembangkan
pendekatan dan teori secara lebih kontekstual.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang terkenal
itu: "Al ashlu fil ibadah al
man'u hatta yadullu dalil 'ala fi'lihi';Wal ashlu fil mu'amalah al ibahah
hatta yadullu dalil 'ala tahrimihi". Hukum asal dari
Ibadah adalah dilarang sampai ada dalil/landasan untuk melakukannya, dan hukum
asal dari Mu'amalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Kitab
masalah lima
menjelaskan ini secara lebih detail.
Untuk itulah, berarti sikap dalam
"mengaji" bukanlah sikap menunggu, melainkan mencari. Al-Juwaini
pernah mengatakan, menuntut ilmu itu perlu nalar yang keras dan
perjuangan yang sulit dan lama (jahd
an-nafs wa badzl al-qarihah) [4].
Mengaji adalah mencari; dan untuk itu, berpikir kritis dalam pengajian menjadi
keharusan. Jika hanya diterima mentah-mentah, tentu akan berpotensi menjatuhkan
kita pada taqlid dan
fanatik buta.
Lantas, bagaimana dengan adab? Kita tidak
perlu mempertentangkan adab menuntut
ilmu dengan kritisisme dalam mencari ilmu. Hal yang pertama perlu diposisikan
adalah bahwa ustadz yang
memberi ceramah adalah manusia biasa; mereka juga bisa salah. Namun, dalam
konteks keilmuan, posisi mereka adalah guru yang mesti dihormati, namun bukan tak
mungkin dikoreksi. Menghormati guru adalah dengan melakukan koreksi tetapi
dengan cara yang baik.
Cara yang baik itulah seni yang harus
dipelajari oleh penuntut ilmu. Dalam beberapa kesempatan pengajian di Banjarmasin, justru
jama'ah yang melakukan koreksi dengan meng-compare
ceramah dengan hadits dan ayat yang ada. Akhirnya, dengan argumentasi nash itu, sang ustadz melakukan
kajian ulang, bahkan ada yang sampai merevisi. Dan itu sah-sah, keduanya tidak
menunjukkan ego ketinggian ilmu.
Tanpa adab, ilmu akan sulit masuk. Tapi
tanpa daya kritis, ilmu hanya akan menjadi "racun", tempat orang
menjadikan opininya sebagai kebenaran tunggal hanya karena mengutip ayat
Al-Qur'an. Tentu itu tidak kita inginkan. Adab berjalan sebagai sikap positif
menghargai posisi orang yang berilmu; tetapi kritisisme adalah pendukungnya.
Adab yang disertai rasa kritis akan menjadikan pengajian berjalan secara lebih
ilmiah dan nyaman.
Sebab itu, sikap-sikap positif dalam
pengajian perlu kembali dikembangkan. "Mengaji" bukan sekadar
menyerahkan diri kita secara total untuk dicuci otaknya, melainkan tempat
menempa kesadaran dan keberpikiran. halaqah
tarbiyah bisa saja mengideologisasi pikiran kita tentang jamaah, tapi sebagai penuntut
ilmu, kita harus kritis dan terus memperluas paham agama agar ideologi tersebut
tidak sesat ontologis, terutama dalam penyampaian.
Inilah yang mendasari adanya beberapa
majelis seperti Tarjih di
Muhammadiyah atau Hisbah di
Persis: untuk memastikan bahwa pengajian itu jalan, tetap mengacu pada teks,
tetapi juga bisa menjadi penopang religius atas sikap-sikap persyarikatan
selama ini. Dan basisnya adalah pengajian, yang tentu juga tak boleh dilupakan.
Hal yang harus dihindari adalah sikap
kritis, menganggap ajaran yang dikaji itu yang paling benar. Meminjam istilah
Aliman Syahrani, menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya
benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang
lain berpikiran serupa. Kebenaran yang mutlak itu hanya kebenaran yang
digariskan Allah, selebihnya bersifat relatif sehingga perlu dialog/komunikasi.
Fanatisme, rasa pa-Islam-nya, pam-bagus-nya
dan lain sebagainya bukan sikap menuntut ilmu, sebab ilmu terbentang tanpa
finalitas untuk mencarinya. Fanatisme -sikap mengeksklusi kelompok dan klaim
kebenaran sepihak- hanya cermin dari sikap kesombongan diri manusia. Bahkan,
jika terjatuh pada sikap chauvinistik,
bisa mengakibatkan kekerasan massa
yang sama sekali jauh dari ajaran Islam.
Sudah saatnya sikap fanatik ideologis dibah
menjadi sikap kritis ontologis; kritis, klaririfikatif terhadap kebenaran,
tetapi tetap ilmiah dan terbuka. Dan inilah salah satu substansi pengajian:
mengajarkan Islam di masyarakat secara benar, bukan provokatif.
****
Pengajian adalah penting dalam hidup
bermasyarakat [5].
Menjadi sulit untuk memisahkan pengajaran agama dari hidup bermasyarakat. Maka
dari itu, sebagai bagian dari masyarakat, juga penuntut ilmu, kita semua perlu
bersiap diri menghadapi ceramah yang akan diterima waktu pengajian, di manapun
tempatnya.
Salah satu contoh persiapan itu ialah
berpikir kritis. Bisakah kita semua berpikir, tidak tercuci otak oleh
kajian-kajian? Atau justru terbuai dengan "ketaatan" hingga ter-shibghoh untuk fanatik hanya
dengan satu pendekatan? Kiranya hal kedua perlu diantisipasi dengan pikiran
kritis kita terhadap informasi keagamaan yang diterima.
Semoga, meminjam Aliman Syahrani, kita tidak
terjatuh pada dogmatisme yang membuat kita mengklaim kebenaran sendiri. Dan
semoga "mengaji" benar-benar membawa kita ke jalan yang diridhai
Allah, bukan jalan proyek uang dan kekuasaan yang semu.
Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.
-----
Catatan Akhir
[*] Penulis adalah peserta tidak tetap pengajian malam selasa di
Madrasah Mu'allimin Yogyakarta. masih
mahasiswa.
[1] Lihat blog penulis,
http://kucapa.blogspot.com/2009/08/adakah-dikhotomi-belajar-agama.html
[2] Dalam makna sosiologis, saya merujuk pada tesis Clifford Geertz
soal tipologi masyarakat Jawa, yaitu santri, abangan, dan priyayi.
"Santri" adalah mereka yang punya semangat keagamaan tinggi dan dalam
basis primordial berafiliasi pada komunitas Muslim.
[3] Lihat 12 Langkah Muhammadiyah.
[4] Dikutip dari Khaled Abou El-Fadl, Musyawarah Buku, Serambi, 2002 (terjemahan).
[5] Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, hidup
bermasyarakat adalah sunnah (qudrat-iradat)
Allah atas manusia, dan dengan demikian, hidup kita mesti tak jauh dari
masyarakat. Hidup bermasyarakat adalah keniscayaan bagi hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar