Selasa, 08 November 2011

"Mengaji"

AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR [*]

Dua tahun silam, Aliman Syahrani, Ketua PD Pemuda Muhammadiyah HSS, pernah menulis soal dikotomi belajar agama [1]. Seakan-akan, kalau belajar agama atau "mengaji" itu harus di tempat tertentu saja (yang benar). Itu menjadi sebuah titik kritis tentang pemilihan tempat pengajian, yang dianggap atau diklaim sebagai tempat atau organisasi pam-bujur-nya, pa-harat-nya, pa-Islam-nya, pa-alim-nya,  dan lain-lain yang, menurut Aliman Syahrani, melambangkan chauvinistic doctrine.

Benarkah hal tersebut? Apakah memang "mengaji" itu harus tunduk dan taat pada ustadz atau guru, karena memang beliau yang punya otoritas tunggal?

****

Dalam hidup saya, ada beberapa definisi terhadap istilah "mengaji". Kata ini memang memiliki beberapa arti dengan latar belakang massa keagamaan yang berbeda.

Makna "mengaji" pertama muncul ketika saya masih kecil, yaitu "membaca Al-Qur'an". Sejak TK, saya disuruh orang tua untuk belajar mengaji di Langgar Al-Fitrah, dekat rumah. Mulai lancar membaca Al-Qur'an ketika SD. Terus hingga wisuda TK Al-Qur'an kelas 5 SD, lantas dilanjutkan belajar mengaji berlagu sampai SMP. Dalam kurun waktu tersebut, kata "mengaji" didefinisikan sebagai belajar membaca Al-Qur'an, dari soal makharijul huruf sampai seni membaca dengan tartil dan tilawah yang diajarkan guru mengaji.

Makna "mengaji" kedua muncul ketika saya SMA. Waktu itu, saya mulai aktif di forum "pengajian" agama di mesjid-mesjid. Waktu itu saya mulai ikut pengajian fiqh Ustadz Fathurrahman Gazali (sekarang jadi penceramah di Kauman) di Mesjid Al-Jihad, tiap malam Senin ba'da Maghrib. Aktivitas itu mulai saya lakukan ketika kelas 3 SMP. Istilah mengaji kemudian berubah menjadi "mengikuti ceramah agama". Jadi, kalau ada istilah mengaji di Mesjid, itu artinya sekarang mengikuti pengajian keagamaan di Mesjid. Dan sifatnya umum.

Sementara itu, makna "mengaji" ketiga saya kenal ketika kuliah, ketika saya bersentuhan dengan komunitas tarbiyah. "Mengaji" di sini ya forum halaqah atau sel perkaderan Tarbiyah. "Mengaji" fungsinya memisahkan insider dan outsider kader. Jadi, kalau ingin bersua dengan sistem di Tarbiyah yang kompleks itu, jalannya adalah "mengaji". Sayup-sayup terdengar ada yang mengatakan bahwa "ngaji" itu wajib, tapi toh itu khusus untuk kader Tarbiyah saja, tak berlaku bagi saya.

Jadi, ada tiga makna kalau kita bicara soal "ngaji". Intinya belajar agama, tapi makna yang dibawa lebih kompleks dari itu. Saya akan berfokus pada makna kedua dan ketiga, yang berbicara agama secara lebih utuh dan memusingkan.

****

Terlepas dari soal identitas primordial "jama'ah" atau organisasi, mengaji sesungguhnya punya latar sosiologis, historis, dan kultural tersendiri dalam konteks ke-Indonesia-an.

Istilah "mengaji" dikenal luas di kalangan "santri" -dalam makna sosiologis [2]. Istilah ini bermakna "menuntut ilmu" bagi orang yang mengaji, atau pengabdian masyarakat bagi yang memberi pengajian. Mengaji biasanya dilaksanakan di Masjid atau pondok pesantren. Hubungan antara Ustadz yang memberi pengajian dan peserta pengajian adalah relasi keilmuan, artinya ada "sesuatu" yang diberikan dalam konteks keilmuan oleh ustadz yang bersangkutan.

Dari latar kebahasaan, ada dua kata yang dekat dengan "ngaji". Pertama, aji yang di zaman pra-Islam berarti kesaktian. Mengaji berarti mendalami kesaktian tertentu sehingga ia punya keahlian tertentu di bidang bela diri atau sejenisnya. Kedua, ngadino atau belajar agama. Ngadino asal katanya yaitu diin, yang memang terjemahannya agama. Istilah ini dikenal dalam masyarakat Jawa.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, istilah ini berbeda karakter dalam masing-masing komunitas. Muhammadiyah, NU, Tarbiyah, HTI, Persis, dll. masing-masing punya karakter pengajian tersendiri. Kita bisa ambil contoh pada Muhammadiyah, NU, dan Tarbiyah yang jelas-jelas berbeda karakter pengajiannya. Setiap level punya karakter tersendiri.

Di kaum nahdhiyyin, misalnya, mengaji terasa tak afdhal tanpa membaca kitab, baik kitab klasik ataupun kitab ulama-ulama lokal. Jika pengajiannya di masyarakat, biasanya tema-tema yang sesuai dengan kondisi. Penyampaian biasanya disisipi humor segar. Ciri khas kaum Nahdhiyyin adalah melestarikan budaya, yang biasanya terintegrasi dalam penyampaian pengajian agama.

Namun model pengajiannya akan berbeda di komunitas Muhammadiyah. Ciri khas pengajian di sini adalah adanya sesi tanya jawab dan penekanan yang kuat pada dalil Al-Qur'an serta Hadits. Muhammadiyah mengajarkan untuk kembali pada Al-Qur'an dan Hadits. Purifikasi tersebut kemudian diaplikasikan dalam ijtihad sosial dan pengembangan pendidikan. Oleh sebab itu, pengajian Muhammadiyah nuansa ilmiahya lebih kental ketimbang nuansa kultural.

Dan di sini jama'ah pengajian memang diberi ruang kesempatan untuk bertanya, klarifikasi, bahkan mengoreksi ustadz, karena penceramah bukanlah orang yang paling tahu, tetapi sama-sama mengkaji berdasarkan ilmu yang dimiliki. Jadi, tak jarang jama'ah banyak menghujani ustadz dengan banyak pertanyaan dalam beberapa kesempatan.

Di komunitas tarbiyah, sepengetahuan saya, basis pengajiannya adalah pada sel, bernama halaqah. Pada model pengajian halaqah ini, nuansa ukhuwah antar-anggota dan ideologisasi ajaran keagamaan lebih kental. Sehingga, soliditas dan solidaritas kelompok ini kuat.  Tak heran jika komunitas ini melahirkan struktur kelompok yang homogen dan menyamakan basis-basis karakter anggota -kecuali mereka yang "bandel"-dan komunikasi struktural kuat. Pengorganisiran juga tak jarang melalui halaqah.

Sementara di kalangan Salafi, pengajian adalah menu rutin. Biasanya, pengajian adalah sarana ideologisasi sebab menekankan beberapa materi tertentu yang homogen. Modelnya hampir sama dengan pengajian Muhammadiyah, hanya saja penekanan ideologisasinya tertentu. Tidak ada jama'ah yang melakukan klarifikasi kepada ustadz, karena memang relasi mereka adalah antara guru dan murid yang belajar dan mengajarkan ilmu.

Susunan materinya kuat di hadits, tapi keras dalam praktik. Bid'ah sangat dibenci dan diperangi. Itulah sebabnya, jama'ah Salafi sangat menguasai hadits dan cukup keras dalam bersikap kepada Ahlul Bid'ah, sebab penekanan itu memang sering dilakukan di pengajian.

Dengan demikian, tujuan dan jenis pengajian di masing-masing komunitas berbeda. Ini belum termasuk basis Persis, Al-Irsyad (yang mungkin relatif sama dengan Muhammadiyah), Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan lain sebagainya. Lantas, dengan keberagaman ini, apakah memang kita harus menspesialisasi diri mengaji hanya di satu komunitas, yang berarti membuka kesempatan fanatik, atau seperti apa? Bagaimana menyikapinya?

*****

Pemaparan di atas telah memberikan sebuah gambaran bahwa Islam itu sesungguhnya tidak bisa dimaknai tunggal. Selalu ada pluralitas penafsiran di dalamnya. Persoalannya, semua yang "plural" itu punya sandaran nash sendiri-sendiri, dan dikesankan satu sama lain terjadi fragmentasi. Ini yang repot.

Persoalannya ada pada ummat. Apa yang harus dilakukan? Dalam konteks ini, ummat berada dalam kondisi memilih (ikhtiar). Oleh sebab itu, perlu ada beberapa sikap yang perlu dikembangkan dalam menghadapi pengajian-pengajian yang semakin marak. Ini murni perspektif saya.

Pertama, penting untuk menumbuhkan sikap diri yang selektif dan klarifikatif terhadap kebenaran ketika mengaji (belajar agama). Sikap "memperbandingkan paham agama" -meminjam istilah KH Mas Mansyur- perlu dilakukan, yaitu membandingkan kajian agama di satu tempat dan tempat lain dalam permasalahan yang sama. Pada gilirannya, nash-lah yang akan menjawabnya. Dan kita bisa melihat kebenaran bukan pada orangnya (tidak fanatik), melainkan pada maksud dan isi penyampaiannya.

Kedua, menghindari mistifikasi dan kultus individu adalah penting ketika kita belajar agama. Ketika mengikuti forum2 kajian nama, penting untuk tidak menganggap bahwa "yang mengajar" adalah paling suci, paling benar. Tidak. Mereka bukan sumber kebenaran, sebab sumber kebenaran adalah Al-Qur'an dan Hadits. Mistifikasi dan kultus bisa menyebabkan fanatik. Dan fanatisme mengarah pada sikap mengklaim kebenaran sendiri padahal ia sendiri tak tahu dasar dan dalilnya apa.

Apa yang disampaikan ustadz ketika kajian agama, di manapun tempatnya, tidak semuanya benar. bertanyalah jika mampu. koreksilah jika perlu. Jangan terima mentah-mentah, gunakan akal dan nash untuk mencernanya. Ini yang saya sebut sebagai sikap "beragama secara kritis".

Ketiga, mengembangkan sikap beragama secara ilmiah, selain kriutis. Belajar agama secara ilmiah berarti mengacu pada sumber kebenaran dan bisa memilah mana "fakta" (nash) dan mana opini dari pernyataan ustadz. Ayat Qur'an itu fakta, tapi penjelasan dari ustadznya adalah opini yang mesti senantiasa kita perbandingkan dengan ceramah di tempat lain.

Nash Al-Qur'an bernilai mutlak, absolut, tapi opini dari penceramah adalah bersifat relatif. Sehingga, opini dan penjelasan tadi yang perlu diuji, apakah dengan pertanyaan, klarifikasi, atau perbandingan dengan tempat lain. Jama'ah mesti bisa memilah dan memilih, mana yang merupakan fakta (termasuk kemutlakan nash) dan mana yang hanya bersifat opini dan interpretasi. Perdebatan tentu dilakukan di ranah yang kedua.

Keempat, seperti petuah KH Mas Mansyur dulu, senantiasa memperluas paham agama [3]. Ini juga merupakan satu bentuk sikap beragama ilmiah. Sebagai pencari ilmu, kita hendaknya terus mencari dan mencari tanpa finalitas, sebab ilmu itu luas, tak berujung, dan perlu dipisahkan mana kebenaran dan mana yang tidak, mana yang fakta dan mana yang opini, dan mana yang bisa dipertanggungjawabkan mana yang tidak. Dan melihat dalam multi-perspektif, bukan ketunggalan.

Ilmu dan pengetahuan tentu tidak akan datang jika tidak dicari. Dan keduanya juga tidak datang hanya pada satu pintu. Oleh sebab itu, sikap terbaik, menurut saya, adalah memperluas pemahaman keagamaan kita dengan terus membuka wawasan. Tetapi, perlu ada "filter" yang menyaring wawasan tersebut. Itulah daya kritis dan pengetahuan dasar keagamaan yang kita miliki.

*****

Allah sudah menyediakan Al-Qur'an dan ada pula hadits-hadits nabi. Jika masalahnya terjadi pada ranah ibadah mahdhah atau aqidah, yang memerlukan legitimasi nash secara tekstual, pendekatan yang digunakan adalah merujuk pada dua sumber primer tadi. Sebaliknya, jika permasalahannya terjadi pada ranah muamalah, kita bisa mengupas dengan mengembangkan pendekatan dan teori secara lebih kontekstual.

Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang terkenal itu: "Al ashlu fil ibadah al man'u hatta yadullu dalil  'ala fi'lihi';Wal ashlu fil mu'amalah al ibahah hatta yadullu dalil 'ala  tahrimihi". Hukum asal dari Ibadah adalah dilarang sampai ada dalil/landasan untuk melakukannya, dan hukum asal dari Mu'amalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Kitab masalah lima menjelaskan ini secara lebih detail.

Untuk itulah, berarti sikap dalam "mengaji" bukanlah sikap menunggu, melainkan mencari. Al-Juwaini pernah mengatakan, menuntut ilmu itu perlu nalar yang  keras dan perjuangan yang sulit dan lama (jahd an-nafs wa badzl al-qarihah) [4]. Mengaji adalah mencari; dan untuk itu, berpikir kritis dalam pengajian menjadi keharusan. Jika hanya diterima mentah-mentah, tentu akan berpotensi menjatuhkan kita pada taqlid dan fanatik buta.

Lantas, bagaimana dengan adab? Kita tidak perlu mempertentangkan adab menuntut ilmu dengan kritisisme dalam mencari ilmu. Hal yang pertama perlu diposisikan adalah bahwa ustadz yang memberi ceramah adalah manusia biasa; mereka juga bisa salah. Namun, dalam konteks keilmuan, posisi mereka adalah guru yang mesti dihormati, namun bukan tak mungkin dikoreksi. Menghormati guru adalah dengan melakukan koreksi tetapi dengan cara yang baik.

Cara yang baik itulah seni yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu. Dalam beberapa kesempatan pengajian di Banjarmasin, justru jama'ah yang melakukan koreksi dengan meng-compare ceramah dengan hadits dan ayat yang ada. Akhirnya, dengan argumentasi nash itu, sang ustadz melakukan kajian ulang, bahkan ada yang sampai merevisi. Dan itu sah-sah, keduanya tidak menunjukkan ego ketinggian ilmu.

Tanpa adab, ilmu akan sulit masuk. Tapi tanpa daya kritis, ilmu hanya akan menjadi "racun", tempat orang menjadikan opininya sebagai kebenaran tunggal hanya karena mengutip ayat Al-Qur'an. Tentu itu tidak kita inginkan. Adab berjalan sebagai sikap positif menghargai posisi orang yang berilmu; tetapi kritisisme adalah pendukungnya. Adab yang disertai rasa kritis akan menjadikan pengajian berjalan secara lebih ilmiah dan nyaman.

Sebab itu, sikap-sikap positif dalam pengajian perlu kembali dikembangkan. "Mengaji" bukan sekadar menyerahkan diri kita secara total untuk dicuci otaknya, melainkan tempat menempa kesadaran dan keberpikiran. halaqah tarbiyah bisa saja mengideologisasi pikiran kita tentang jamaah, tapi sebagai penuntut ilmu, kita harus kritis dan terus memperluas paham agama agar ideologi tersebut tidak sesat ontologis, terutama dalam penyampaian.

Inilah yang mendasari adanya beberapa majelis seperti Tarjih di Muhammadiyah atau Hisbah di Persis: untuk memastikan bahwa pengajian itu jalan, tetap mengacu pada teks, tetapi juga bisa menjadi penopang religius atas sikap-sikap persyarikatan selama ini. Dan basisnya adalah pengajian, yang tentu juga tak boleh dilupakan.

Hal yang harus dihindari adalah sikap kritis, menganggap ajaran yang dikaji itu yang paling benar. Meminjam istilah Aliman Syahrani, menjadi hak setiap orang untuk meyakini bahwa pendapatnya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Kebenaran yang mutlak itu hanya kebenaran yang digariskan Allah, selebihnya bersifat relatif sehingga perlu dialog/komunikasi.

Fanatisme, rasa pa-Islam-nya, pam-bagus-nya dan lain sebagainya bukan sikap menuntut ilmu, sebab ilmu terbentang tanpa finalitas untuk mencarinya. Fanatisme -sikap mengeksklusi kelompok dan klaim kebenaran sepihak- hanya cermin dari sikap kesombongan diri manusia. Bahkan, jika terjatuh pada sikap chauvinistik, bisa mengakibatkan kekerasan massa yang sama sekali jauh dari ajaran Islam.

Sudah saatnya sikap fanatik ideologis dibah menjadi sikap kritis ontologis; kritis, klaririfikatif terhadap kebenaran, tetapi tetap ilmiah dan terbuka. Dan inilah salah satu substansi pengajian: mengajarkan Islam di masyarakat secara benar, bukan provokatif.

****

Pengajian adalah penting dalam hidup bermasyarakat [5]. Menjadi sulit untuk memisahkan pengajaran agama dari hidup bermasyarakat. Maka dari itu, sebagai bagian dari masyarakat, juga penuntut ilmu, kita semua perlu bersiap diri menghadapi ceramah yang akan diterima waktu pengajian, di manapun tempatnya.

Salah satu contoh persiapan itu ialah berpikir kritis. Bisakah kita semua berpikir, tidak tercuci otak oleh kajian-kajian? Atau justru terbuai dengan "ketaatan" hingga ter-shibghoh untuk fanatik hanya dengan satu pendekatan? Kiranya hal kedua perlu diantisipasi dengan pikiran kritis kita terhadap informasi keagamaan yang diterima.

Semoga, meminjam Aliman Syahrani, kita tidak terjatuh pada dogmatisme yang membuat kita mengklaim kebenaran sendiri. Dan semoga "mengaji" benar-benar membawa kita ke jalan yang diridhai Allah, bukan jalan proyek uang dan kekuasaan yang semu.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.

-----

Catatan Akhir
[*] Penulis adalah peserta tidak tetap pengajian malam selasa di Madrasah Mu'allimin Yogyakarta. masih mahasiswa.
[1] Lihat blog penulis, http://kucapa.blogspot.com/2009/08/adakah-dikhotomi-belajar-agama.html
[2] Dalam makna sosiologis, saya merujuk pada tesis Clifford Geertz soal tipologi masyarakat Jawa, yaitu santri, abangan, dan priyayi. "Santri" adalah mereka yang punya semangat keagamaan tinggi dan dalam basis primordial berafiliasi pada komunitas Muslim.
[3] Lihat 12 Langkah Muhammadiyah.
[4] Dikutip dari Khaled Abou El-Fadl, Musyawarah Buku, Serambi, 2002 (terjemahan).
[5] Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, hidup bermasyarakat adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia, dan dengan demikian, hidup kita mesti tak jauh dari masyarakat. Hidup bermasyarakat adalah keniscayaan bagi hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar