Minggu, 20 November 2011

Pasca-Proseduralisme

Kemarin, saya berbincang dengan dua orang kawan mengenai format parlemen ideal. Kebetulan keduanya berasal dari fakultas eksakta, yang sehari-hari tidak bersentuhan langsung dengan ilmu politik.

Di sela-sela perbincangan, muncul satu pertanyaan yang waktu itu terlintas di pikiran saya, dan cukup mengganggu: mengapa bisa DPR (parlemen) Indonesia melahirkan banyak koruptor, orang-orang yang "asal-bunyi" dan sama sekali tidak punya kompetensi profesional, padahal mereka mengklaim dipilih dan mewakili rakyat ketika Pemiu?

Persoalan Sistem?
Masalah seperti ini mungkin akan menjadi daily problem bagi mahasiswa ilmu politik. Tapi tetap saja mengganggu. Pembahasan mengenai sistem politik selalu akan menceritakan masalah-masalah seperti ini, dan di kemudian hari, masalahnya akan tetap sama.

Sebagai mahasiswa yang meminati perbandingan politik, saya secara refleks tentu akan merefer ke beberapa negara lain yang sistem politiknya stabil. Katakanlah, misalnya, Australia. rekrutmen para politisi -dalam demokrasi- tentu akan dilakukan lewat jalur partai politik, lalu Pemilu. Anggota parlemen akan berasal dari mereka yang direkrut oleh Partai Politik.

Dalam seting demokrasi Indonesia saat ini, partai politik menempati posisi yang istimewa. Sistem proporsional yang diterapkan, dengan mempertimbangkan pluralitas pilihan politik masyarakat, menempatkan partai politik sebagai aktor utama. Jawabnya sederhana: sebab sistem Pemilu proporsional meniscayakan kita untuk memilih partai, atau setidaknya kandidat yang diunggulkan partai.

Dalam proses politik di parlemen, secara otomatis partai politik dan kandidat yang diunggulkannya memiliki peran dan kewenangan yang sangat besar. Hampir semua perumusan UU ditentukan oleh partai politik di parlemen yang memiliki kursi. Logika yang digunakan sederhana: partai politik memiliki legitimasi elektoral karena ia dipilih oleh rakyat, dan oleh sebab itu punya hak untuk merepresentasikan masyarakat di DPR.

Oleh sebab itu, dalam seting politik Indonesia saat ini, partai politik begitu hegemonik. Setiap proses kebijakan akan memerlukan partai politik, sehingga posisinya begitu menentukan. Lantas, apakah dengan kewenangan dan kekuasaan yang besar itu, partai politik memiliki "tanggung jawab" -atau setidaknya kontrol publik- agar para politisi yang dibawa ke parlemen itu berkualitas?

Hal ini yang saat ini menjadi permasalahan cukup besar. Pemberian wewenang yang besar pada parlemen -yang notabene dihuni oleh partai politik- tidak diiringi oleh garansi rekrutmen politik yang benar. Tidak ada mekanisme yang menyeleksi para politisi dengan mekanisme yang tepat.

Bagaimana mungkin partai yang mengaku antikorupsi dan bersih seperti PKS, misalnya, bisa memiliki politisi yang anti terhadap gerakan antikorupsi itu sendiri? Atau, mengapa masih ada sosok yang asal-bicara di partai pemenang pemilu sekelas Partai Demokrat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi refleksi yang begitu hebat dalam diri para pemerhati politik, seperti saya.

Hanta Yuda (2010) melihat hegemoni partai ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif dalam politik Indonesia. Sebab, sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia tidak kompatibel dengan presidensialisme karena melahirkan kekuatan politik yang fragmentaris. Indonesia menerapkan dua sistem yang, menurut Hanta, akan saling-berbenturan: presidensialisme dan multipartai. Keduanya akan berbenturan karena berpotensi saling menyandera.

Penelitian Hanta Yuda pada tahun 2006 -skripsi Sarjana- menyebutkan bahwa selama masa pemerintahan SBY-JK, secara eksternal dan internal Presiden tersandera oleh kepentingan partai, antara lain dalam pemilihan menteri, koalisi, dan lain sebagainya. Di sisi lain, banyak partai yang memainkan "politik dua kaki", menyebabkan dukungan politik terhadap pemerintah menjadi labil dan sering digoyang-goyang.

Oleh sebab itu, Hanta Yuda menawarkan rekayasa kelembagaan untuk menanggulangi problem-problem prosedural di atas. Namun, dalam konteks politik Indonesia saat ini, di mana hegemoni partai masih terlampau besar, akan muncul pesimisme baru terhadap proseduralisme. Sebab, tentu saja parta politik tidak akan serta-merta "jujur" dan "baik hati" menyerahkan prosedur yang meng-konservasi kekuasaan mereka. Zur wille fur macht, kata Nietzsche.

Dan dengan demikian, perlu rekayasa lain yang melampaui proseduralisme tersebut. Apakah studi politik sudah menjangkau bagian ini?

Hegemoni Modal
Proseduralisme mungkin mengajarkan kita bagaimana berpolitik dalam sistem yang tepat, tetapi tidak menceritakan seluruhnya bagaimana politik itu dikendalikan. Selama bertahun-tahun Orde Baru, kita mengira kontestasi politik berjalan natural -secara akademis- tetapi tentu saja ada "sesuatu yang salah" dari macam-macam cara pengendalian itu.

Indonesia sudah melampaui otoriterisme politik sejak Soeharto jatuh pada tahun 1998, Akan tetapi, apakah dengan demikian otoriterisme itu lantas hancur begitu saja dan rest in peace bersama Soeharto dan beberapa kroninya?

Gerakan tahun 1998 memang meruntuhkan fondasi rezim Soeharto dan Orde Baru, tapi tidak meruntuhkan sendi kekuatan otoriterisme lama. Sebab, meminjam Vedi Hadiz dan Richard Robison, terjadi sebuah fenomena reorganising power, rekonsolidasi kekuatan lama dalam bentuk yang baru, yang sejatinya juga diarahkan untuk totalitas kekuasaan.

Mekanisme demokratis-institusional yang dirancang untuk membangun pilar demokrasi -Pemilu- memang memberikan kesempatan bagi kelompok marjinal untuk berkompetisi. Wajar jika kemudian begitu banyak partai yang berkompetisi pada Pemilu 1999. Namun, perlu dicatat, pemenang Pemilu sesungguhnya bukan didasarkan pada simpati dan pilihan rakyat, tetapi justru pada modal yang banyak berseliweran.

Sebagai contoh, mari kita lihat data statistik. Siapa sih yang sebenarnya memenangi Pemilu dari 1999-2004?

Dari 48 lebih partai yang berlaga, tercatat hanya maksimal 8 partai yang mendapatkan kursi signifikan (di atas 20 kursi). Pada pemilu 1999, hanya lima partai besar (PDIP, Golkar, PAN, PPP, PKB) yang mendapatkan jumlah kursi signifikan. Keduanya melahirkan konfigurasi tiga aliran yang dominan sebagai arus utama politik pada waktu itu. Di tahun 2004, hasil Pemilu menambahkan Partai Demokrat dan PKS dalam konfigurasi partai tersebut. Sementara Pemilu 2009 menambahkan Partai Gerindra dan Hanura.

Dari konfigurasi tersebut, semua partai dapat kita lihat menampilkan struktur di balik posisi mereka. Golkar dan PDIP adalah potret "faksi reformis"dari kekuatan lama. PDIP di akhir Orde Baru merupakan oposisi dari kekuatan PDI yang ditopang oleh struktur kekuasaan Orde Baru. Partai Golkar adalah transformasi "Golkar Lama" yang diisi oleh faksi pemodal, menyebabkan adanya posisi politik yang sudah kuat sejak awal.

Sementara itu, PAN, PKB, PPP merepresentasikan basis Islam Kultural terbesar: NU dan Muhammadiyah. Gerindra, Hanura, dan Demokrat ditopang oleh ketokohan Wiranto, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (ketiganya mantan punggawa militer yang reformis). Dan PKS punya basis massa kelompok Tarbiyah yang menguasai mahasiswa di kampus-kampus besar (LDK/Musholla Kampus).

Dari segi basis ideologi, partai politik juga menampilkan kecenderungan untuk "bergerak ke tengah" (political centrism, Sartori) yang meniscayakan partai untuk meninggalkan basis ideologi awalnya. Mengapa? Jawabnya sederhana: karena realitas politik kini menampilkan pemilih yang tidak lagi melihat sentimen primordial sebagai referensi elektoral. Pemilih menjatuhkan pilihan pada timbangan yang bisa dikatakan lebih "pragmatis", dari segi citra, track record, atau mungkin popularitas dan apa yang menguntungkan.

Akhirnya, politik memang tak bisa melepaskan diri dari kekuatan modal. Topangan ideologis partai boleh dikatakan minim, sebab tidak semua partai menampilkan ekspresi ideologis yang khas. Citra kini lebih dominan. Dalam bahasa Eric Louw, politik sekarang sudah bergerak menuju professionalization; semua direkayasa secara profesional. Dan ini artinya, politics is about business.

Dan memang akhirnya memang menjadi satu keniscayaan jika terjadi politik uang. Sebab, meminjam Yasraf, logika politik adalah totalitas menuju kekuasaan. Semua sumber daya dikerahkan untuk mendapatkan kursi. Dengan kekuatan kapital, disertai kemampuan memoles citra, semua menjadi niscaya. Praktik politik uang kini bahkan terjadi sampai level Pilkades, jauh di akar rumput sana.

Pertanyaannya, apakah memang politik itu berbiaya tinggi? High-costed politics memang niscaya ketika demokrasi dilakukan dengan logika pasar; mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Dan tentu saja, aras politik menjadi terbuka lebih luas.

Proseduralisme kini sekadar menjadi instrumen kekuasaan. Sebab, praktik politik di parlemen telah ditentukan oleh deal-deal politik tingkat tinggi antar-elite, keanggunan citra, atau kekuatan modal yang tak terbatas. Proseduralisme dikendalikan oleh kuasa-kuasa tertentu, yang, tentu saja, bergerak mengikuti hukum dasar politik: pengerahan sumber daya menuju totalitas kekuasaan.

Dan artinya, proseduralisme harus dilampaui: dengan membongkar relasi-relasi kuasa di sekelilingnya.

Pasca-Proseduralisme
Nalar politik proseduralistis tak lepas dari jerat-jerat kuasa. Kontestasi politik kini berubah menjadi kontestasi citra dan tampilan menuju-kuasa -sesuatu yang sebenarnya tak terelakkan dalam seting demokrasi dan perkembangan teknologi. Alhasil, politik digeret "kembali ke metafisika", pada relasi-relasi kuasa yang sifatnya tidak nyata, dan memainkan kesadaran pemilih.

Dan itu artinya, pembacaan realitas politik tidak lagi hanya bertumpu pada "teori sistem" yang selama ini menjadi arus besar kajian politik kita. "Teori sistem" bukan harus dihilangkan, tetapi diperluas ranahnya melampaui kesisteman dan realitas politik nyata. Sistem politik kini menjadi ter-kabur-kan oleh mereka yang berada di luar institusi.

Pasca-proseduralisme berarti melampaui sekat-sekat proseduralistis dalam membaca realitas politik kontemporer. Artinya, bicara soal politik tak sekadar bicara sistem. Ada "kuasa" di luar sistem yang mempermainkan dan mengendalikan permainan di dalam. Tapi pertanyaannya, siapakah "kuasa" itu?

Membicarakan "kuasa" akan tampak membicarakan "perdukunan politik". Politisi itu ibarat dukun. Ia menggunakan kekuatan mistiknya untuk memanggil "roh" dan "jin", agar melakukan operasi politik. "Roh" dan "Jin" itu mengemukan dalam berbagai bentuk. Ia bisa berbentuk "agama", dalil-dalil yang dipelintir untuk kepentingan tertentu, lantas memobilisir massa untuk melayani kepentinganya. Atau dalam bentuk "citra" yang memanipulasi kesadaran rakyatnya.

Agama tampil kembali setelah lama disingkirkan oleh proseduralisme demokrasi. Tapi, alih-alih menampilkan diri secara transformatif dalam bentuk etika sosial, ia justru digunakan untuk kepentingan tertentu oleh beberapa gelintir elit. Ia bisa mengatasnamakan dakwah dan lain sebagainya. Ia masuk ke dalam proses demokrasi dan terjun dalam aktivitas sosial. Tapi ia diarahkan untuk totalitas kekuasaan. Dan artinya, berdimensi politik praktis.

Komunikasi juga tampil dalam wujud teknologi tanpa batas, menjadikannya sebagai alat pencitraan. Kesadaran nasionalisme juga ditumbuhkan, tapi secara semu saja, semua untuk totalitas kekuasaan. Dan semua variabel kini sudah diarahkan menuju ke sana. Dalam komunikasi politik, kita mengenal istilah "spin doctoring", profesional yang terjun ke politik untuk membantu tercapainya tujuan berkuasa. Akademisi tampil dalam proyek-proyek politik tertentu.

Dan artinya, tesis awal politik sebagai "totalitas menuju kekuasaan" masih dapat kita terima. Hanya saja, totalitas kekuasaan itu semakin bergerak liar, tak lagi terbatasi oleh sistem. Demokrasi yang dikerangkai oleh semangat sistem pada awalnya adalah melembagakan kekuasaan sebagai sebuah mekanisme kompetitif, agar semua berjalan fair. Tapi yang disebut fairness itu lambat laun ditinggalkan oleh monopoli kuasa.

Politik bergeser dari sekadar mekanisme demokratis menuju "persaingan rimba". Sebab, prosedur sekarang di-"akal"-i untuk kepentingan kuasa. Politics is all about interest. Karena politik hanya dipandang sebagai kepentingan, tak ada lagi pembicaraan soal etika. Prosedur berubah menjadi instrumen kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan mereka yang berpunya.

Era pasca-prosedural mengimplikasikan adanya bentuk "pelembagaan" baru melampaui institusi politik formal. Persoalan politik sejatinya tidak diputuskan di arena parlemen, dalam perdebatan yang hangat dan panjang, tapi di kamar-kamar hotel dalam pertemuan setengah-kamar. Keputusan dihasilkan dari deal-deal mereka yang berkepentingan. Dan artinya, politik direduksi menjadi sekadar kompromi elite!

Kompromi elite ini melahirkan broker-broker anggaran di kementerian yang siap menadahkan tangan untuk meng-konsumsi anggaran rakyat. Partai-partai menjadikan kementerian sebagai bancakan; memobilisasi sumber daya dari proyek yang didapat. Motifnya dua, kapital dan kuasa.

Apa dampaknya? Wajar jika politisi berjarak dengan akar rumput. Dalam seting multipartai Indonesia yang nuansanya adalah penguatan partai, penjarakan ini begitu nyata. Gaya hidup mewah dan parlente di parlemen tidak berimbang dengan kesusahan di akar rumput. Sebab, rakyat menjadi sekadar instrumen untuk dimobilisasi. Dan artinya, rakyat hanya menjadi "simbol" untuk mendapatkan legitimasi yang juga "simbolik" terhadap kekuasaan politik yang absolut!

Tantangan Ilmu Politik
Fakta-fakta ini mengantarkan kita pada diskursus politik kontemporer. Logika demokrasi berbasis competitive elitism yang kemudian membawa kita pada sebuah keniscayaan baru dalam teoretisasi ilmu politik. Bahwa sejatinya, ilmu politik harus bisa membongkar relasi-relasi kuasa baru yang menjelma dalam praktik-praktik politik dewasa ini.

Pembongkaran relasi-kuasa sebetulnya bukan sesuatu yang sifatnya "metafisis" atau "mistis". Sebaliknya, ilmu politik dituntut untuk mampu mendemistifikasi praktik politik yang "di awang-awang" -elitis- menjadi terang-benderang. Dan perlu ada pembacaan fakta yang lebih menyeluruh dari realitas politik yang terjadi.

Semangat membongkar relasi-kuasa adalah: "jangan ada dusta di antara kita". Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan pembongkaran ini.

Pertama, demistifikasi. menjadikan sesuatu yang "gelap" menjadi "terang-benderang". Artinya, politisi harus mampu menyingkap kegaiban-kegaiban politik. Dan untuk itu, relasi intensional antar-aktor perlu dibaca. Pembacaan sejarah atas praktik politik dan pendekata genealogis atas sejarah bisa menjadi alternatif wacana baru. Artinya, relasi-kuasa yang terlihat gaib dapat didekati dengan sebuah analisis yang kompleks.

Ini meniscayakan redefinisi soal "power" -yang selama ini menjadi konsep paling mendasar dalam ilmu politik. "Power" bisa didekati secara psiko-politik, how to control mind and action of other men (Morgenthau, 1948). Begitu juga konsep lain yang instrumentalistik terhadap kekuasaan, serta membongkar pelembagaan-pelembagaan politik yang selama ini dianggap sudah mapan, termasuk Demokrasi.

Kedua, desakralisasi. Selama ini, ada beberapa hal yang diperlalukan "sakral" sehingga dianggap tidak layak dibahas dalam ilmu politik, semisal agama. Padahal, agama kerap menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam memobilisir massa ataupun kader. Agama punya daya pengikat doktriner yang sangat kuat, sehingga jika otoritas keagamaan dikendalikan, massa yang ikut akan bisa sangat fanatik.

Ini menjelaskan mengapa mobilisasi massa yang punya fanatisme kuat dapat memenangkan satu kelompok dalam Pemilu. Sebab, demokrasi meniscayakan adanya suara mayoritas pada massa yang tidak-sepenuhnya punya kesadaran politik. Artinya, jika ada otoritas yang mampu menggerakkan kesadaran politik massa dengan sesuatu yang "sakral", massa akan bergerak. Dan hanya agama yang bisa melakukan itu.

Oleh sebab itu, strategi desakralisasi secara ontologis perlu dilakukan melalui pembacaan ulang (double reading) atas teks-teks agama. Hal yang "sakral" dan "dijadikan-sakral" perlu dipisahkan dan dibongkar. Sehingga, unsur-unsur teologis yang memang sakral dapat menempati posisinya tanpa harus tercampur dalam analisis mengenai perilaku keagamaan.

Ketiga, deteriteorialisasi atau membongkar batas kajian ilmu politik. Selama ini, kerangka kajian ilmu politik dibatasi oleh sekat-sekat disipliner dengan bidang ilmu yang lain. Padahal, ada pertautan antara ilmu-ilmu nonpolitik dengan ilmu politik sendiri dalam beberapa diskursus kajian, utamanya yang masuk dalam perumusan kebijakan publik. Ekonomi, sosiologi, pertanian, kehutanan, bahkan teknologi sekarang sudah merambah masuk sebagai bahan kajian dalam ilmu politik.

Oleh karenanya, perlu dibangun semangat interdispliner berbasis political science. Semangat interdisipliner tersebut mengajak seluruh disiplin keilmuan untuk berdiskusi dua-arah dengan ilmu politik. Arah pertama, bagaimana ilmu politik bisa mengatur tata kelola dan penggunaan ilmu tersebut untuk kemanusiaan. Arah kedua, bagaimana ilmu-ilmu nonpolitik berkorespondensi dengan kekuasaan.

Dengan semangat interdisipliner, ilmu politik tidak kekurangan kekhasannya, yaitu meninjau hubungan yang kompleks antara kekuasaan dan masyarakat. Akan tetapi, domain kekuasaan tidak hanya dibatasi hanya sekadar pada sistem kenegaraan, melainkan juga apa yang terkandung dalam negara. Oleh sebab itu, ilmu politik juga harus meninjau secara kritis pilar-pilar pendukung negara dalam disiplin ilmu yang lain.

Dalam kaitannya dengan relasi kuasa, ilmu politik juga bisa meninjau secara kritis penggunaan ilmu untuk tujuan kekuasaan, atau dalam bahasa Herbert Marcuse: ilmu yang punya tendensi ideologis. Ilmu politik diharap dapat membongkar tendensi monopoli kebenaran satu bidang ilmu yang membuatnya melayani kekuasaan tertentu. Di sini signifikansi dan kekhasan ilmu politik.

Tiga strategi ini sebetulnya hanya segelintir cara untuk membongkar relasi kuasa di atas bangunan ilmu politik. Dan artinya membangkitkan wilayah kajian baru dalam studi-studi politik yang selama ini kita lakukan.

"Ilmu Politik Transformatif"?
Dan sebagai pengakhir, kita perlu mencermati sebuah tesis baru dari Prof. Purwo Santoso mengenai "ilmu sosial transformatif" yang meniscayakan ilmu politik untuk tidak hanya turun dalam tataran teoritis, tetapi juga praksis.

Menurut Purwo Santoso, ilmu sosial mesti berdimensi transformatif. Ia tidak sekadar menjelaskan fakta-fakta sosial secara objektif, melainkan juga menghadirkan subjek dalam realitas tersebut. Berarti, ini menolak sebuah klaim pemisahan teori dan praksis.

Ilmu sosial bukan berarti penjarakan “subjek” atas “objek” yang ditelitinya. Seharusnya, subjek juga bagian dari realitas yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan masyarakat, dan artinya, seorang ilmuwan politik adalah ilmuwan yang bisa bermasyarakat dan mampu menghadirkan semangat berpolitik secara etis di masyarakatnya, aktif maupun pasif.

Tetapi bagaimana melakukannya secara praksis? Terkadang, opsi yang dipilih sangat simplistis: terjun ke dunia politik. Sebetulnya tidak semuanya seperti itu. Jalan lain yang bisa dilakukan adalah mengadvokasi hasil-hasil riset politik secara konkret, baik sebagai tawaran kebijakan ke atas maupun pemberdayaan ke bawah.

Riset politik dapat menjadi sesuatu yang bisa diperjuangkan, seperti tawaran Hanta Yuda mengenai rekayasa institusional guna menghindari inkompatibilitas sistem presidensialisme dan multipartai. Riset-riset sejenis bisa menjadi sesuatu yang berguna dalam pengambilan kebijakan publik atau pembuatan UU.

Dan semangat untuk melakukannya sebetulnya sederhana: jangan ada dusta di antara kita. Sudah saatnya ilmu politik membongkar kedustaan-kedustaan politik yang selama ini memanipulasi kesadaran kita sebagai pemilih. Sehingga kehadiran ilmu politik menjadi signifikan bagi teori maupun praksis politik yang ada.

Nuun wal Qalami wa Maa Yasthuruun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar