Minggu, 20 November 2011

Komunitas ASEAN Tanpa 'Keamanan'?

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Nusa Dua, Bali, baru saja ditutup. Perundingan tersebut telah menghasilkan kesepakatan Bali Concord III yang berisi banyak pencapaian di antara negara-negara ASEAN, utamanya penguatan kerjasama di bidang ekonomi.

Menarik untuk diulas, sudah sejauh mana pembicaraan tentang kerjasama keamanan ASEAN diperluas?

Mengikuti EU?
Jika diurai dari sejarahnya, ada sebuah kecurigaan bahwa model regionalisme ASEAN akan didesain dengan mengikuti alur regionalisme Uni Eropa yang telah berjalan selama puluhan tahun -sebelum berdiri entitas supranasional dengan nama Eropa itu.

Regionalisme Uni Eropa dibentuk pertama kali oleh kerjasama ekonomi (European Coal and Steel Community) yang mengatur kerjasama antara 6 negara Eropa (kemudian menjadi founding members) di bidang industri baja dan batubara. Seting politik Eropa waktu itu adalah "Perang Dingin", dimana membentuk kerjasama pertahanan antar-negara Eropa hanya akan membuat kecurigaan-kecurigaan baru.

Oleh sebab itu, wajar jika kemudian regionalisme Eropa berkembang dengan basis kerjasama ekonomi, hingga penyatuan moneter (mata uang Euro) dan fiskal. Uni Eropa berkembang lebih sebagai supranasional -daripada sekadar regionalisme- yang mengedepankan ekonomi.

Sejarah penyatuan Eropa dalam EU sesungguhnya adalah sejarah yang sangat panjang. Sejarah peperangan dalam Hubungan Internasional, baik sebelum maupun sesudah Westphalia 1648, sangat banyak terjadi di Eropa.

Kejenuhan atas situasi yang begitu konfliktual itu membuat negara-negara Eropa menandatangani perjanjian Westphalia tahun 1648, menjadi cikal-bakal formasi negara-bangsa yang menjadi topik utama dalam Hubungan Internasional dalam jangka waktu yang sangat lama.

Tetapi, tentu saja situasi konfliktual itu tak serta-merta dapat dieliminir. Perang Dunia I dan II adalah simbol betapa konfliktualnya Sejarah Eropa. Begitu juga Perang Dingin. Ini menyebabkan pembicaraan mengenai kerjasama pertahanan pasti akan bernuansa konfliktual, bahkan membawa kecurigaan tentang ancaman-ancaman baru.

Oleh sebab itulah, titik awal kemunculan regionalisme EU adalah kerjasama ekonomi -EEC. Resesi yang terjadi berkali-kali, serta industri yang berkembang pesat menyebabkan beberapa negara melihat ini sebagai titik mula pembangunan kerjasama yang lebih baik. And it works.

Uni Eropa terbentuk dari serangkaian perjanjian di Schengen, Maastricht, hingga Lisabon. Dan konturnya semakin lama semakin mengarah pada kerjasama politik.

Dan hal ini sepertinya coba ditiru oleh ASEAN. Arah yang terlihat adalah kerjasama ekonomi menjadi prioritas, antara lain terkait perdagangan dan penghapusan visa perbatasan. Ini menandakan, ada kecenderungan untuk menekankan kerjasama ekonomi sebagai pilar utama -padahal ada dua pilar lain yang juga penting.

Sesungguhnya ada dua persoalan yang hingga saat ini masih belum clear dibicarakan di tingkat ASEAN. Pertama, keamanan kolektif yang masih menjadi wacana di tingkatan elite negara-negara kunci; Kedua, identitas ASEAN yang belum dirumuskan secara mendetail dan belum diterima di akar-rumput. Mari berfokus ke poin pertama saja.

Problem Keamanan
Bali Concord II di Bali tahun 2003 telah memberi arah baru regionalisme ASEAN: adanya tiga pilar kerjasama yang meliputi pilar politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Tiga pilar ini kemudian kita kenal sebagai fondasi Komunitas ASEAN, yang dipertegas kembali dalam Piagam ASEAN tahun 2007.

Penting untuk mengupas poin pertama, yaitu persoalan keamanan yang menjadi kunci dari regionalisme ASEAN. Mengapa keamanan menjadi penting? Sebab, jika kerjasama di sektor ini bisa lebih nyata ditampakkan, kecurigaan antar-negara ASEAN yang selama ini terjadi bisa segera dapat diminimalisir.

Persoalan keamanan di ASEAN adalah sesuatu yang sangat kompleks. Bali Concord II tahun 2003 sudah cukup berani mendobrak kegamangan soal isu keamanan di tingkat regional, walau pada praktiknya kecurigaan itu masih ada. Keamanan masih didefinisikan pada skala negara, bukan kawasan.

Selama bertahun-tahun, ASEAN dihadapkan pada pilihan sulit: bagaimana menghapus sikap saling curiga di antara negara anggotanya dalam masalah keamanan-politik?

Harus diakui, selama ini, ASEAN belum cukup mumpuni menyelesaikan konflik di antara negara-negaranya, terutama terkait perbatasan. Malaysia dan Singapura punya problem serius terkait air minum (Singapura disuplai dari Johor). Hubungan erat Singapura dan Israel memicu kecurigaan Indonesia dan Malaysia

Malaysia dan Indonesia bersengketa soal pulau. Thailand dan Kamboja sengketa soal kuil di perbatasan. Hegara-negara Indocina punya problem terkait Sungai Mekong. Wilayah Laut Cina Selatan sejak lama menjadi sengketa Malaysia, VIetnam, Singapura, dan tentu saja Cina.

Dan kondisi ini terjadi sering sekali, walau tidak sampai mengarah pada konflik terbuka (kecuali kasus Thailand-Kamboja). Apa yang bisa diusahakan lagi?

Persepsi "Ancaman"
Dalam keamanan internasional, poin paling penting dalam turbulensi antar-negara akan bermula dari persepsi mengenai ancaman. Thomas Hobbes menyebutnya sebagai "fear", ketakutan. Ketegangan bermula dari ancaman yang sebenarnya dikonstruksikan sendiri.

Ketika Kambodia melakukan aktivitas di perbatasan yang bersengketa, dengan alasan konservasi cagar budaya, Thailand merespons dengan mengirimkan angkatan bersenjata. Persoalannya sederhana: Thailand melihat aktivitas militer Kambodia di perbatasan sebagai ancaman, dan harus direspons pula oleh ancaman itu.

Sudah barang tentu, ancaman itu tidak muncul dengan serta-merta. Ada proses pembentukannya. Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde melihatnya dalam sebuah formula: ada existential threat dan speech act yang menyertainya.

Menurut analis mazhab Kopenhagen ini, speech act memiliki peran penting. Tanpa adanya provokasi lisan maupun tindakan, existential threat tidak akan berubah menjadi threat dan melahirkan konflik. Oleh sebab itu, tindakan provokatif, misalnya, yang dilakukan Kambodia, berubah menjadi sebuah tawaran melakukan konflik terbuka.

Dan pilar keamanan ASEAN selama ini masih tak kunjung membuka pintu untuk membahas kesalahpahaman itu. ASEAN masih harus menghadapi satu prinsipnya yang selama ini menjadi ikon keamanan ASEAN: non-interference. Mungkin maksudnya adalah untuk menghargai kedaulatan masing-masing negara, tetapi menjadi problematis karena menyiratkan kemandulan ASEAN dalam resolusi konflik internal mereka.

Seyogianya, ASEAN harus mampu mendekonstruksi ancaman-ancaman laten yang selama ini membayangi beberapa negara. Sebab, dengan laju perkembangan ASEAN di bidang ekonomi, kerjasama mesti diperluas.

Ini belum untuk menyebut identitas ASEAN yang, untuk ukuran massa akar-rumput, absurd. Sebab, transformasi lintas-budaya masih belum dilakukan, terutama untuk wilayah Indocina dan Melayu. Contoh sederhana saja: Ada berapa sih orang Indonesia yang mampu menerima budaya Melayu sebagai satu kesatuan budaya dengan Indonesia? Ketika ada klaim soal produk budaya saja, misalnya, masih muncul pro-kontra di kedua negara.

Padahal, pilar sosial-budaya ASEAN adalah pilar penting dalam Komunitas ASEAN, selain juga keamanan. Kalau tidak disikapi, model regionalisme ASEAN akan tidak berimbang.

ASEAN boleh-boleh saja mengklaim adanya integrasi ekonomi, tapi tetap terhambat karena tidak bisa mengintegrasikan aspek politik dan budayanya. Membuka konektivitas tanpa menghilangkan kecurigaan tetap akan menciptakan penjarakan tertentu.

Sehingga, dalam konteks keamanan, perlu ada perundingan yang lebih komprehensif guna benar-benar menciptakan komunitas keamanan yang komprehensif. Jangan sampai, meminjam istilah senior saya di kampus, agenda Komunitas Keamanan ASEAN hanya menjadi "talk shop" di forum-forum perundingan.

Perlu Dobrakan
Dan untuk itu, perlu ada sedikit dobrakan dari negara-negara ASEAN untuk mewujudkan masyarakat keamanan ASEAN yang stabil dan komprehensif. Secercah harapan sudah dijatuhkan ketika perundingan di Bali, tetapi apa hasil yang kita dapat?

Bali Concord III lagi-lagi belum merumuskan sesuatu yang "baru" dalam soal keamanan. Meski sudah ada kesepakatan bersama soal penanggulangan terorisme, perompakan, nonproliferasi senjata nuklir (dan pemakaian energi) hingga kejahatan transnasional yang menjadi domain keamanan manusia (human security), upaya resolusi konflik kawasan sepertinya masih menemui stagnasi.

Stagnasi tersebut dapat dilihat dari belum adanya rumusan yang memungkinkan ASEAN masuk ke wilayah konflik dengan menekan masing-masing negara. Penyebabnya mungkin sederhana: prinsip non-interference masih secara tradisional dipegang oleh negara-negara yang bersangkutan.

Dengan demikian, prinsip non-interference mengimplikasikan mekanisme penyelesaian bilateral. Kita berharap peta jalan penyelesaian konflik dapat mendobrak hal tersebut.

Belum lagi soal senjata. Perdebatan yang hangat soal nuklir memang menjadi sebuah potret ketegangan sendiri. PLTN yang dibuat oeh Indonesia, yang pada awalnya kepentingannya adalah energi, tentu akan menjadi kecurigaan di negara-negara lain, utamanya Malaysia dan Singapura. Persoalan bukan pada nuklir-nya, tapi pada ancaman konfliknya.

Oleh sebab itulah kita menantikan adaya perkembangan yang lebih signifikan dalam pembahasan soal keamanan ini. Tentu saja dengan tidak hanya bergulat pada persoalan ekonomi. Agar KTT ASEAN tidak menjadi "talk shop" bagi elit pengambil kebijakan luar negeri (foreign policy), penting bagi segenap komponen memikirkan strategi dekonstruksi ancaman secara jangka-panjang.

Dan saya percaya, masyarakat ASEAN 2015 dengan tiga pilarnya dapat menjadi sebuah awal baru untuk regionalisme Asia Tenggara yang lebih komprehensif, lebih damai.

Salam Satu ASEAN!

Banjarmasin, 20 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar