"Seorang santri yang besar di pesantren, lalu terlempar dalam realitas urban yang sarat kontradiksi, dan mempelajari Marxisme, barangkali akan menemukan Marxisme-nya sendiri yang lahir dari persilangan hibrid yang tak akan sederhana antara kitab kuning dan filsafat" -Muhammad Al-Fayyadl-
Ideologi
sudah mati, begitu titah Daniel Bell beberapa puluh tahun silam.
Rupanya, kematian ideologi ini dianggap serius sebagai kemunculan centrism dalam politik, moderatism dalam agama, maupun universalisme dalam
teori sosial. Kiranya, pemilahan dunia menjadi ideologi-ideologi yang
fragmentaris, saling meniadakan satu sama lain, dan saling berkonflik
itu harus direvisi, karena dunia sudah satu saat ini dalam ideologi
pasar?
Benarkah itu bakal terjadi? Apakah memang pertentangan ideologi itu sudah mati?
****
Tak
ada yang meragukan bahwa Karl Marx dan Sayyid Quthb berada di jalan
yang sama sekali berseberangan. Antara materialisme di satu sisi -dan
idealisme di sisi lain. Namun, percayakah anda, bahwa walau jalan
keduanya membentang ke arah berlawanan, terdapat titik-titik di mana
-rupanya- pernah ada persilangan antara kedua tokoh dari dua peradaban
yang berbeda ini?
Kita tentu kenal tokoh pertama. Namanya
menjadi semacam azimat bagi gerakan anti-kapitalisme di awal-awal
industrialisasi, hingga menjadi tokoh yang dipuja-puji oleh negara
penganut komunisme. Ia menulis sebuah "kitab kuning" yang menjadi acuan
gerakan penolak kapitalisme: Modal.
Marx, yang
sangat materialistis, mengkritik idealisme Hegelian dengan sangat
sengit, skeptis terhadap agama, dan tidak percaya pada kekuatan
metafisis sebagai pembangkit perubahan sosial yang dianggapnya
mengalienasi manusia, seringkali dianggap berada di sentrum
titik paling "kiri", radikal, dan diasosiasikan sebagai "hantu" bagi
kapitalisme yang menjangkiti dunia pada eranya.
Namun, di sisi lain, dengan tak kalah radikalnya, Sayyid Quthb yang dianggap pula sebagai "spectre"
bagi kaum nasionalis militer Mesir itu mengampanyekan revolusi tauhid,
perang terhadap materialisme, jihad melawan semua hal yang bertentangan
dengan tauhid, serta memurnikan aqidah dari perselingkuhannya dengan
kuasa-kuasa yang tak genuine dari Islam.
Yang
benar adalah benar; dan yang salah tak mungkin bisa menjadi benar:
inilah prinsipnya yang sangat tegas soal Aqidah. Dalam tubuhnya yang
renta oleh siksaan rezim militer Mesir, suaranya tetap lantang
meneriakkan kalimah haq: tauhid takkan tergantikan oleh hal yang sifatnya material. Oleh sebab itulah, namanya selalu dikenang dan harum bagi kalangan Jamaah Jihad.
Keduanya
tentu berada pada kutub yang berseberangan. Tidak ada yang bisa menolak
hal itu. Namun, apakah perbedaan keduanya itu adalah perbedaan yang
vis-a-vis; hitam-putih, dan tak mungkin bertemu?
Baik
penganut Marx-isme dan Islam-isme, tentu saja akan menyatakan ya. Dalam
ranah kebenaran yang subjektif, keduanya pasti akan saling menegasikan
satu sama lain. Itulah ideologi. Kebenaran sifatnya final, tak ada
tawar-menawar. Marxisme akan vis-a-vis dengan Islam, dan sebaliknya,
Islam juga akan vis-a-vis dengan sosialisme. Sebab, tak bisa tidak,
kemutlakan Islam atas Marxisme -atau sebaliknya- adalah harga mati!
Akan
tetapi, dalam ranah kebenaran yang objektif, yang tidak diserimpungi
oleh kuasa subjek, apakah jawaban demikian masih bertahan? Saya kira
bisa ya, bisa juga tidak. Pada tingkat yang lebih rendah: strategi dan
taktik gerak (stratak), ataupun perjuangan politik, keduanya masih
mungkin bersilangan, alias bertemu di satu titik yang rumit, tak
sederhana.
Marxisme boleh saja mengklaim berbeda dengan
Islamisme pada ranah kebenaran. Tapi, ketika dihadapkan pada realitas
sosial yang dipenuhi oleh relasi-kuasa yang saling menindas (yang
lemah), bagaimana respons keduanya?
Marx ketika berhadapan
dengan kapitalisme segera mencurigai mereka merampas peran negara dan
menjadikannya sebagai arena kekuasaan. Dan benar saja: negara adalah
manifestasi kekuasaan kaum kapitalis, mereka yang punya modal, dan tidak
serta-merta berpihak pada mereka yang membutuhkan.
Apa yang ia tuduhkan dalam kitab kuningnya yang lain, "Ideologi Jerman", soal posisi negara yang jadi alat tawur kepentingan borjuis pemilik modal, segera terbukti dalam era pasca-kapitalisme yang mewujud di negara-negara berkembang.
Vedi
Hadiz dan Richard Robison menyebutnya sebagai "oligarki". Foucault
membahasakannya dengan "relasi kuasa". Negara tidak seindah yang
dibayangkan kaum liberal, rupanya. Negara yang diduga netral, mengayomi,
dan mengacu pada hukum legal, nyatanya hanya selubung dari kaum
kapitalis agar ia bisa melebarkan praksis kekuasaannya. Dan untuk itu,
Marx menitahkan pengikutnya untuk melakukan satu hal yang sepertinya
besar: revolusi.
Tetapi, ternyata Sayyid Quthb rupanya berpikir tak jauh berbeda. Ketika represi Gamal Abdul Nasser pada kelompok Al-Ikhwan Al-Muslimun, berada
pada titik terpuncaknya, dan oleh karenanya harus menyebabkan ia dan
ribuan aktivis gerakan ini ditangkap, Quthb justru mengkhotbahkan
perlawanan secara lebih hebat.
Melalui bukunya yang tersohor, Petunjuk Jalan, ia menggelorakan iman para mujahid dengan seruan jihadnya yang berlandas pada Tauhid. Ia tidak sekadar menjadikan Tauhid sebagai "pandangan dunia" (at-tashawwur al-Islamy),
tapi juga secara lebih luas menjadikan Tauhid sebagai alat
menggelorakan perlawanan terhadap rezim yagn menindas. Ia tak sekadar
bicara soal kapitalisme; ia juga bicara soal dimensi agama yang
revolusioner.
Sandaran Quthb dalam bicara soal perlawanan tak se-njlimet Marx
yang bergumul dengan teks-teks filsafat. Bagi Quthb, Al-Qur'an cukup
menjadi penyemangat. Untuk itulah ia menyeru para pemuda untuk menjadi
generasi Qur'ani. Karena, baginya, revolusi akan bermula dari sana.
Revolusi dalam Islam, berarti penghancuran segala bentuk pemberhalaan
manusia yang merintangi hubungannya dengan sang pencipta.
Dari
sini, ia kemudian bicara soal perubahan sosial alias revolusi. Titik
tolaknya memang berbeda dari Marx, tapi nalar revolusionernya
bersentuhan. Menurut Quthb, Perubahan Islam berarti meninggalkan sistem
produk manusia untuk memilih sistem ciptaan Allah. Dan dalam level
kolektif-masyarakat, konsekuensi logisnya adalah revolusi berbasis
Tauhid, mengecam segala bentuk kekuasaan yang menindas (karena berbeda
dengan basis aqidah yang kuat), serta menyerukan kembali pada sang
pencipta: Allah!
Maka dari pemikiran inilah, saat dakwah
dihalangi oleh kekuatan politik atau kekuasaan, maka jihad harus
menetralisir kekuatan itu sehingga dakwah bebas disebarkan. Jihad
dengan demikian adalah praksis revolusioner dari Tauhid. Dan ini yang
kemudian digelorakannya untuk melawan rezim Nasser, lalu Sadat, dan
akhirnya Mubarak.
Marx dan Quthb boleh-boleh saja dianggap
berbeda karena memulai pada titik yang bertentangan. Tapi, tak dapat
dinafikan, praksis keduanya bertemu di satu titik. Itulah revolusi.
Gagasan keduanya tentang revolusi mengilhami banyak gerakan Islam maupun
gerakan sosialis yang anti-kapitalisme. Quthb mengilhami Jamaah Jihad,
sementara Marx menjadi inspirator komunisme.
Gagasan
keduanya yang revolusioner memberi titik tekan yang berbeda ketika
dibandingkan dengan pemikiran lain. Teks-teks Marxisme segera menjelma
menjadi sesuatu yang sangat ditakuti waktu itu. Sebab, ia tak hanya
berarti ontologis semata, bercerita tentang sesuatu, melainkan juga
mengajak pada perubahan. Kaum Buruh yang selama ini diperas tenaganya
oleh prosedur kapitalisme, tentu akan terkesima. Ia ditakuti negara.
Begitu
juga Quthb. Buku-bukunya tidak lantas menjadi sesuatu yang melenakan
umat Islam pada spiritualitas yang terlampau dalam, tetapi menjadi
semacam api pengobar semangat untuk berjuang atas nama Islam. Aktivis
muslim kelas menengah -yang posisi sosialnya agak ke bawah karena
melihat praktik penindasan atas umat- juga akan terkesima. Dan akhirnya,
ia ditakuti oleh negara hingga mengakibatkan ulama ini dihukum mati.
Revolusi keduanya tentu akan membawa kita pada dua output yang
berbeda. Tapi, Marx dan Quthb seakan mengajarkan pada kita satu hal
yang beririsan: Teks itu bukan sekadar teks kosong, yang bisa saja jadi
dalih penguasa untuk mengasingkan rakyatnya dari realitas empiris atau
idealisasi nilai yang kokoh, tetapi juga sebuah teks yang memihak. Teks
adalah alat perlawanan. Dan dalam konteks hegemoni modal seperti saat
ini, Teks adalah pendukung perubahan sosial.
Marx dan
Quthb juga seakan berbicara, bahwa revolusi itu niscaya. Ketika
penindasan telah terkulminasi menjadi sebuah letupan kekecewaan yang
berujung pada ketidakpuasan, senjata perlawanan pasti akan segera
diangkat. Kaum Buruh dan Aktivis Jihad -yang ditangkap karena dianggap
terlampau radikal itu- jika ditindas, tentu akan melawan.
Dan
ekspresi perlawanan ini bermacam-macam, tidak tunggal. Ada yang bisa
dipahami dalam kerangka "sekadar" pemogokan atau demonstrasi anarkis
"biasa", tetapi juga ada yang mengekspresikan perlawanannya dengan
merusak fasilitas umum maupun meledakkan bom di tempat yang
disimbolisasi sebagai alat modal.
Ekspresi perlawanan
itulah yang kemudian jadi sebuah diskursus menarik manakala kita bicara
soal terorisme maupun gerakan sosial-politik. Di Inggris, orang-orang
ramai merusuh karena tak tahan lagi dengan himpitan kehidupan yang kian
menggila. Sementara di Afghanistan, banyak yang mengangkat senjata untuk
membunuhi tentara Amerika yang datang ke bumi para Mullah itu untuk merampas kekayaan mereka yang sebenarnya banyak itu.
Ada yang murni perlawanan langsung, tapi tentu saja ada pula yang lebay, Dan akhirnya muncullah istilah terorisme itu. Mengapa terorisme muncul? Salah satu sebab yang bisa saya katakan, adalah karena kelebayan beberapa
orang dalam mendefinisikan "siapa itu musuh" tapi keliru dalam
menjalankan aksinya. Mereka yang memprovokasi kerusuhan di beberapa
negara Eropa, lebay dalam mengekspresikan kekecewaannya hingga berujung pada kekerasan massa.
Marx
dan Quthb boleh saja mengaku berbeda, tapi pada titik-titik yang
penulis gambarkan di atas, mereka ternyata bersinggungan. Meskipun
tujuan akhirnya berbeda.Yang satu menuju pada materialisme, dan yang
satunya mengarah ke idealisme. Jika ada konflik terjadi karena
pertentangan ini, sebenarnya tak terelakkan mengingat dimensi radikal
dari kedua pemikiran ini yang sangat kuat.
Marx dan Quthb
seolah ingin berpesan: tidak ada yang salah dengan radikalisme, asalkan
ekspresinya tepat. Jika salurannya tak tepat, kita berarti ingin
melakukan pembantaian massal. Ekspresi radikalisme yang salah inilah
yang patut dikritik habis-habisan. Sebab, ia akan menjerumuskan
perubahan sosial menjadi aksi individual yang anarkis, tak mau mengakui
peran negara secara a priori.
Di sinilah pertemuan
keduanya. Walau tak pernah bertemu langsung karena dua masa yang
berbeda, Marx dan Quthb adalah penyemangat revolusi bagi pengikut
keduanya. Tanpa revolusi, sepertinya akan hambar membicarakan Marx dan
Quthb.
***
Hari-hari ini, orang-orang
sepertinya enggan bicara soal ideologi. Sebab, ternyata pemilahan
ideologi itu banyak bertendensi kekuasaan. Dulu, Orde Baru memilah
partai berdasar ideologi; tapi tentu saja rezim ini memaksakan ideologi
itu dalam realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Jelas, motifnya
adalah kekuasaan.
Tapi, apakah ideologi itu sudah
benar-benar mati, sebagaimana dituturkan Daniel Bell itu? Ternyata tidak
juga. Sebab, globalisasi telah pula melahirkan komunalisme dan relasi
yang semakin fragmentaris antar-komunitas. Islam dan Sosialisme adalah
dua commune yang berbeda. Ia melahirkan satu struktur
masyarakat di satu kutub dengan struktur masyarakat lain di kutub
satunya. Dan wajar jika kemudian dua entitas itu sering dirundung
konflik, seperti Soeharto lakukan 45 tahun silam untuk membangun Orde
Baru.
Tapi jangan lupa pula, ternyata masih ada pertemuan
di antara pertentangan itu, yaitu pada gagasan perubahan sosial. Dunia
tidak dipersepsikan selinear kaum Konservatif, sebab ia mempersepsikan
linearitas itu karena ada tendensi berkuasa. Dan sebaliknya, sejarah
dunia adalah sejarah perubahan, karena ia membawa manusia pada satu
kontinum ke kontinum lain jika memang kondisi memungkinkan perpindahan
itu.
Jelas, ini mempertemukan Karl Marx dan Sayyid Quthb.
"Sejarah adalah manifestasi perjuangan kelas", seperti kata Marx. Atau
mewakili tutur kata Quthb, "sejarah adalah bentuk kemenangan umat Islam
atas kebatilan". Keduanya, walau bertitik tolak dari dan menuju ke arah
yang sama sekali berbeda, menyiratkan seberkas pesan yang sama:
bergeraklah untuk melawan penindasan itu!
Saya kira, ada
tanda tanya yang bisa saja mengganggu. Apakah tidak mungkin kedua
pemikiran ini bertemu, berdialektika, bersinergi, dan membunuh musuh
mereka yang sama, yaitu kekuasaan yang korup? Wallahu a'lam bish shawwab.
ide yg manis nih,cantik bahasanya.
BalasHapusthanks de umar, nambah referensi filosofis..