Rabu, 30 November 2011

Mengorupsi Agama?

Kementerian Agama terkorup? Bagi pembaca Kompas, mungkin berita di penghujung bulan November itu akan membuat anda terkejut. KPK melansir angka integritas kementerian, dan hasilnya angka integritas Kementerian ini anjlok, hanya sekitar 5,37%. Padahal, standard integritas pusat yang diajukan adalah 7,07%, mengisyaratkan problem gratifikasi dan korupsi yang kadung melekat pada kementerian ini.

Kompleksnya Urusan Umat
Bukan soal Kompas yang merilis berita, bukan pula soal muru'ah umat yang dipertaruhkan dalam masalah ini. Tetapi, apa benar urusan Kementerian Agama, yang seharusnya bebannya besar karena mengurusi persoalan ibadah kolektif umat,  anjlok oleh risywah -korupsi- yang justru dilarang oleh agama itu sendiri?

Banyak urusan umat yang menggantung di Kementerian Agama. Haji, Madrasah, Pesantren, Idul Fitri, Kerukunan Antarumat Beragama, Ormas Islam, dan lain sebagainya. Tak mudah mengurusi masalah itu, apakah perlu ditambah dengan masalah korupsi yang turut menjalar?

Baru-baru ini, Suara Muhammadiyah melansir tata kelola ibadah haji yang bermasalah. Mulai dari kuota, pondokan hingga konsumsi ketika wukuf, padahal jama'ah haji kita berjumlah tak sedikit, juga banyak diisi oleh orang-orang tua yang perlu perhatian.

Kita tentu tak lupa dengan korupsi soal Dana Abadi Umat yang menyeret mantan Menteri Agama ke penjara. Persoalan pendanaan ibadah haji memang kompleks dan banyak menuai masalah. ONH yang kian tinggi (ditambah yang plus-plus itu) belum lagi dengan antrean menyebabkan dana mengendap -kata seorang blogger. Ini perlu jadi perhatian sendiri.

Sejak zaman kolonial, persoalan adalah pada kapal mana yang mengangkut jamaah haji. Muhammadiyah sudah mencoba menjembatani dengan menyewa kapal sendiri waktu itu. Sekarang, persoalan bertambah kompleks seiring adanya kuota. Jadi, tanpa korupsi dan integritas yang bermasalah pun, persoalan haji sudah cukup memusingkan.

Persoalan lain di Kementerian Agama adalah pendidikan; ratusan pesantren tersebar di negeri ini, menunggu ayoman Kementerian Agama. Tak terhitung madrasah dari berbagai latar ormas yang harus mengurusi dirinya sendiri lantaran Kementerian Agama punya banyak hajatan.

Tiap tahun kita harus menonton pertunjukan itsbat, terutama ketika Idul Fitri diprediksi berbeda. Perbedaan ijtihadiy antara Muhammadiyah yang menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal (bulan di atas ufuk) dengan NU yang menggunakan rukyat hilal secara langsung, menjadi politis ketika pemerintah memutuskan untuk menggunakan metode imkan rukyat.

Perdebatan soal pendekatan mana yang digunakan bisa saja dilakukan secara ilmiah; tetapi yang jadi persoalan adalah adanya "kuasa" dari Kementerian untuk mengarusutamakan pendekatan tertentu. Saya kira persoalan bukan pada pendekatan mana yang paling bisa diterima, tetapi pada penggunaan kuasa untuk konklusi tertentu yang akhirnya menyudutkan satu golongan.

Ini menjadi problematis: sebab Idul Fitri akhirnya jadi arena pertunjukan kuasa, bukan ajang saling-mempersaudarakan. Kementerian Agama sibuk mengurusi sidang itsbat, tetapi di mana mereka dalam penyaluran zakat fitrah, yang lebih utama sebab adalah kewajiban agama, sehingga penyaluran akhirnya diserahkan ke masing-masing masjid?

Artinya, persoalan integritas kementerian agama bukan sekadar "citra angka" sebagai kementerian terkorup, tetapi pada pembenahan kelembagaan. Kepada siapa umat ini berharap untuk urusan mereka yang sangat kompleks?

(Tidak) Mengorupsi Agama
Risywah, suap, korupsi adalah sesuatu yang dilarang agama. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menyuap dan disuap keduanya dilaknat dalam agama. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah: 188, Allah telah menegaskan lagi bahwa dilarang membawa harta ke muka hakim untuk memakan harta dengan jalan yang batil.

Memakan harta dengan jalan yang batil jelas dilarang dalam Islam. Tidak ada agama yang membolehkan korupsi. Persoalan korupsi bukan sekadar persoalan "mengambil hak orang lain", tetapi juga memutus kesempatan orang lain mendapatkah hak".

Dan memang Ironis jika hal yang dilarang agama justru terjadi di Kementerian Agama. Lantas bagaimana? Apakah memang kita tidak lagi memerlukan Kementerian Agama, karena korupnya kementerian itu dengan aparatus birokrasinya?

Tentu saja tidak. Kita masih memerlukan Kementerian Agama untuk persoalan-persoalan umat yang menumpuk. Juga untuk mengatur kerukunan antarumat beragama yang kian bermasalah. Kementerian Agama masih harus "hadir" untuk menjadi "penengah", bukan justru menjadi kekuatan politik yang bermain-main dengan "kuasa".

Saat ini, kapitalisme sedang berada dalam wujudnya yang predatoris, memakan sendi-sendi mereka yang tak berpunya. Agama harus menjadi pelindung dan pengayom bagi umatnya yang miskin, lemah, dan papa. Sebab agama membawa misi pembebasan, mengeluarkan umatnya dari zhulumat kepada cahaya.

Dan pada titik inilah Kementerian Agama harus hadir. Umat memerlukan pendidikan agama yang berkualitas, oleh sebab itulah kementerian agama mesti mengayomi pesantren-pesantren dengan aparatus sumber dayanya. 

Umat memerlukan Kementerian Agama yang berada di tengah, mampu mengelola konflik horisontal, memahami keberbedaan dalam umat sebagai sesuatu yang harus dikelola agar dapat memperkaya khasanah. Bukan dengan kuasanya justru mengakumulasi sumber daya yang ada dan akhirnya menjauhkannya dari umat.

Dan korupsi adalah ekses dari akumulasi sumber daya oleh segelintir orang. Korupsi adalah "nilai-lebih" dari tindak akumulasi kapital. Jika agama jatuh pada gratifikasi yang tak sehat itu, agama dengan sendirinya jatuh pada cengkeraman kapitalisme yang kian hari kian membudaya di negeri ini. Kementerian Agama hanya menjadi alat untuk membudayakan korupsi, membudayakan sesuatu yang justru dilarang etik agama itu sendiri.

Perlu Transparansi
Menjauhkan Kementerian agama dari stigma kementerian terkorup memang berat. Saya kira, yang perlu jadi perhatian serius saat ini adalah memperbaiki pengelolaan urusan-urusan agama dengan melibatkan semua stakeholder, terutama ormas-ormas Islam. Transparansi adalah konsekuensi logis. Jangan sampai agama justru menjadi sosok gelap karena ketertutupannya, atas dalil yang dipelintir.

Akuntabilitas, terutama soal dana, kini dipertaruhkan oleh Kementerian Agama. Haruskah Kementerian Agama bubar karena gagal menjalankan misinya dalam mengemban amanah-amanah kolektif umat? Semoga saja tidak.

Umat menunggu lembaga agama yang membebaskan, bukan yang melenakan umat dengan tampilan luar yang memukau tapi korup di dalam diri. Jangan sampai, tesis Marx soal "agama adalah candu rakyat" dibuktikan justru oleh birokrat-birokrat dari Kementerian Agama itu sendiri. Mari pekikkan takbir perbaikan.

Billahi fi Sabilil Haq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar