Kementerian Agama terkorup? Bagi pembaca Kompas, mungkin berita di
penghujung bulan November itu akan membuat anda terkejut. KPK melansir
angka integritas kementerian, dan hasilnya angka integritas Kementerian
ini anjlok, hanya sekitar 5,37%. Padahal, standard integritas pusat yang
diajukan adalah 7,07%, mengisyaratkan problem gratifikasi dan korupsi
yang kadung melekat pada kementerian ini.
Kompleksnya Urusan Umat
Bukan soal Kompas yang merilis berita, bukan pula soal muru'ah umat
yang dipertaruhkan dalam masalah ini. Tetapi, apa benar urusan
Kementerian Agama, yang seharusnya bebannya besar karena mengurusi
persoalan ibadah kolektif umat, anjlok oleh risywah -korupsi- yang justru dilarang oleh agama itu sendiri?
Banyak
urusan umat yang menggantung di Kementerian Agama. Haji, Madrasah,
Pesantren, Idul Fitri, Kerukunan Antarumat Beragama, Ormas Islam, dan
lain sebagainya. Tak mudah mengurusi masalah itu, apakah perlu ditambah
dengan masalah korupsi yang turut menjalar?
Baru-baru ini,
Suara Muhammadiyah melansir tata kelola ibadah haji yang bermasalah.
Mulai dari kuota, pondokan hingga konsumsi ketika wukuf, padahal jama'ah
haji kita berjumlah tak sedikit, juga banyak diisi oleh orang-orang tua
yang perlu perhatian.
Kita tentu tak lupa dengan korupsi
soal Dana Abadi Umat yang menyeret mantan Menteri Agama ke penjara.
Persoalan pendanaan ibadah haji memang kompleks dan banyak menuai
masalah. ONH yang kian tinggi (ditambah yang plus-plus itu) belum lagi
dengan antrean menyebabkan dana mengendap -kata seorang blogger. Ini perlu jadi perhatian sendiri.
Sejak
zaman kolonial, persoalan adalah pada kapal mana yang mengangkut jamaah
haji. Muhammadiyah sudah mencoba menjembatani dengan menyewa kapal
sendiri waktu itu. Sekarang, persoalan bertambah kompleks seiring adanya
kuota. Jadi, tanpa korupsi dan integritas yang bermasalah pun,
persoalan haji sudah cukup memusingkan.
Persoalan lain di
Kementerian Agama adalah pendidikan; ratusan pesantren tersebar di
negeri ini, menunggu ayoman Kementerian Agama. Tak terhitung madrasah
dari berbagai latar ormas yang harus mengurusi dirinya sendiri lantaran
Kementerian Agama punya banyak hajatan.
Tiap tahun kita harus menonton pertunjukan itsbat, terutama ketika Idul Fitri diprediksi berbeda. Perbedaan ijtihadiy antara Muhammadiyah yang menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal (bulan di atas ufuk) dengan NU yang menggunakan rukyat hilal secara langsung, menjadi politis ketika pemerintah memutuskan untuk menggunakan metode imkan rukyat.
Perdebatan
soal pendekatan mana yang digunakan bisa saja dilakukan secara ilmiah;
tetapi yang jadi persoalan adalah adanya "kuasa" dari Kementerian untuk
mengarusutamakan pendekatan tertentu. Saya kira persoalan bukan pada
pendekatan mana yang paling bisa diterima, tetapi pada penggunaan kuasa
untuk konklusi tertentu yang akhirnya menyudutkan satu golongan.
Ini
menjadi problematis: sebab Idul Fitri akhirnya jadi arena pertunjukan
kuasa, bukan ajang saling-mempersaudarakan. Kementerian Agama sibuk
mengurusi sidang itsbat, tetapi di mana mereka dalam penyaluran
zakat fitrah, yang lebih utama sebab adalah kewajiban agama, sehingga
penyaluran akhirnya diserahkan ke masing-masing masjid?
Artinya,
persoalan integritas kementerian agama bukan sekadar "citra angka"
sebagai kementerian terkorup, tetapi pada pembenahan kelembagaan. Kepada
siapa umat ini berharap untuk urusan mereka yang sangat kompleks?
(Tidak) Mengorupsi Agama
Risywah, suap,
korupsi adalah sesuatu yang dilarang agama. Dalam sebuah hadits riwayat
Abu Daud dan Tirmidzi Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menyuap
dan disuap keduanya dilaknat dalam agama. Dalam Al-Qur'an Surah
Al-Baqarah: 188, Allah telah menegaskan lagi bahwa dilarang membawa
harta ke muka hakim untuk memakan harta dengan jalan yang batil.
Memakan
harta dengan jalan yang batil jelas dilarang dalam Islam. Tidak ada
agama yang membolehkan korupsi. Persoalan korupsi bukan sekadar
persoalan "mengambil hak orang lain", tetapi juga memutus kesempatan
orang lain mendapatkah hak".
Dan memang Ironis jika hal
yang dilarang agama justru terjadi di Kementerian Agama. Lantas
bagaimana? Apakah memang kita tidak lagi memerlukan Kementerian Agama,
karena korupnya kementerian itu dengan aparatus birokrasinya?
Tentu
saja tidak. Kita masih memerlukan Kementerian Agama untuk
persoalan-persoalan umat yang menumpuk. Juga untuk mengatur kerukunan
antarumat beragama yang kian bermasalah. Kementerian Agama masih harus
"hadir" untuk menjadi "penengah", bukan justru menjadi kekuatan politik
yang bermain-main dengan "kuasa".
Saat ini, kapitalisme
sedang berada dalam wujudnya yang predatoris, memakan sendi-sendi mereka
yang tak berpunya. Agama harus menjadi pelindung dan pengayom bagi
umatnya yang miskin, lemah, dan papa. Sebab agama membawa misi
pembebasan, mengeluarkan umatnya dari zhulumat kepada cahaya.
Dan
pada titik inilah Kementerian Agama harus hadir. Umat memerlukan
pendidikan agama yang berkualitas, oleh sebab itulah kementerian agama
mesti mengayomi pesantren-pesantren dengan aparatus sumber dayanya.
Umat
memerlukan Kementerian Agama yang berada di tengah, mampu mengelola
konflik horisontal, memahami keberbedaan dalam umat sebagai sesuatu yang
harus dikelola agar dapat memperkaya khasanah. Bukan dengan kuasanya
justru mengakumulasi sumber daya yang ada dan akhirnya menjauhkannya
dari umat.
Dan korupsi adalah ekses dari akumulasi sumber
daya oleh segelintir orang. Korupsi adalah "nilai-lebih" dari tindak
akumulasi kapital. Jika agama jatuh pada gratifikasi yang tak sehat itu,
agama dengan sendirinya jatuh pada cengkeraman kapitalisme yang kian
hari kian membudaya di negeri ini. Kementerian Agama hanya menjadi alat
untuk membudayakan korupsi, membudayakan sesuatu yang justru dilarang
etik agama itu sendiri.
Perlu Transparansi
Menjauhkan
Kementerian agama dari stigma kementerian terkorup memang berat. Saya
kira, yang perlu jadi perhatian serius saat ini adalah memperbaiki
pengelolaan urusan-urusan agama dengan melibatkan semua stakeholder, terutama
ormas-ormas Islam. Transparansi adalah konsekuensi logis. Jangan sampai
agama justru menjadi sosok gelap karena ketertutupannya, atas dalil
yang dipelintir.
Akuntabilitas, terutama soal dana, kini
dipertaruhkan oleh Kementerian Agama. Haruskah Kementerian Agama bubar
karena gagal menjalankan misinya dalam mengemban amanah-amanah kolektif
umat? Semoga saja tidak.
Umat menunggu lembaga agama yang
membebaskan, bukan yang melenakan umat dengan tampilan luar yang memukau
tapi korup di dalam diri. Jangan sampai, tesis Marx soal "agama adalah
candu rakyat" dibuktikan justru oleh birokrat-birokrat dari Kementerian
Agama itu sendiri. Mari pekikkan takbir perbaikan.
Billahi fi Sabilil Haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar