Resensi Buku
Judul buku : Pos-Islamisme (Judul Asli: Making Islam Democratic: Social Movements and Post-Islamist Turns)
Penulis : Dr. Asif Bayat
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal : xviii + 431 halaman
Peresensi : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pergulatan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah memberi warna baru dalam diskursus Political Islam kontemporer.
Kaum Islamis yang menjadi oposisi utama di masa pemerintahan otoriter
mulai mengadopsi demokrasi sebagai strategi politik mereka.
Wacana-wacana demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan sejenisnya –yang
dulu ditentang karena dianggap berasal dari Barat— justru menjadi
“jalan” untuk merebut kekuasaan. Klaim Huntington (1997) bahwa Islam
tidak kompatibel dengan demokrasi terbantahkan; demokrasi justru
mendapatkan tempat di hati mereka yang sangat memperjuangkan “negara
Islam” dan “syariah”.
Gambaran di atas menjadi tema sentral dari buku Dr. Asif Bayat, seorang scholar terkemuka dari Universitas Leijden, Belanda, yang banyak meneliti tentang studi Islam kontemporer, bil khusus gerakan sosial Islam. Buku tersebut diberi titel “Making Islam Democratic”
dan didasarkan pada studi Bayat mengenai perkembangan gerakan Islam di
Iran dan Mesir, dua negara Timur Tengah yang banyak dihuni oleh gerakan
Islamis.
Asif Bayat memulai tulisannya dengan
mempertanyakan sebuah “pertanyaan keliru”: apakah Islam sesuai dengan
demokrasi? Pertanyaan ini, bagi Bayat, adalah keliru dan tidak relevan.
Baginya, persoalan bukan terletak pada sesuai tidaknya Islam
dan demokrasi, tetapi bagaimana proses adaptasi yang dilakukan oleh umat
Islam sehingga ide demokrasi bersesuaian dengan realitas umat yang ada
(h. 8).
Sehingga, pandangan dunia (worldview)
yang dianut oleh kaum Islamis tidak serta-merta menolak demokrasi
–seperti selama ini diklaim oleh para ideolog mereka. Akan tetapi,
seperti studi Prof. Vedi R. Hadiz, kritisisme tersebut didasarkan pada
sebuah upaya pencarian solusi mengatasi defisit sosial-ekonomi-politik
yang disebabkan oleh ekspansi kapital negara-negara Barat sejak era
imperialisme.
Gerakan sosial di dua negara yang menjadi
subjek penelitian Bayat, Mesir dan Iran, memiliki dua pendekatan berbeda
dalam mengartikulasikan “Islamisme”. Gerakan-gerakan di Iran lebih
memilih “serangan frontal” atas simbol-simbol kekuatan Islam yang
diinterpretasikan oleh negara, sementara Mesir lebih menggunakan “cara
reformis” atau “perang posisi” –meminjam wacana Gramscian— vis-à-vis
negara (h. 76). Ini yang disebut oleh Asif Bayat sebagai
“pos-Islamisme”, atau tren-tren pergeseran wacana dalam sebuah ranah
besar “Gerakan Islamisme”.
Mempertautkan Islam dan Demokrasi
Mengapa
gerakan Islam di dua negara ini menampilkan perbedaan yang mencolok
dalam pilihan wacananya? Asif Bayat memberikan argumen kunci: perbedaan
struktur politik menentukan arah gerak gerakan Islamis.
Di
Iran, Bayat melihat gerak Islamisme bergerak lebih inklusif dan
pro-kebebasan, sementara Mesir mengalami fenomena yang berlawanan, yaitu
mengarah pada “Islamisasi Ruang Publik” (h. 79). Perbedaan ini, menurut
Bayat, disebabkan oleh struktur politik yang berbeda. Iran menampilkan
struktur politik yang kental dengan nuansa Islam sementara Mesir justru
kental dengan sekularisme dan ide-ide sosialisme.
Ketika
mengelaborasi perubahan sosial-politik di Iran, Bayat menemukan beberapa
fakta menarik. Di sana, ada kecenderungan gerakan-gerakan mahasiswa,
gerakan perempuan, ruang publik kota, dan intelektual keagamaan untuk
bergerak menjadi lebih “liberal”, keluar dari ruang batas doktrin Islam
yang dibangun oleh negara (h. 159). Penyebabnya tentu sederhana: warisan
revolusi Islam menjadikan struktur negara Islam sangat kuat, berlawanan
dengan kehendak generasi muda dan kelas menengah yang ingin lebih
merdeka.
Ini tentu berbeda dengan Mesir yang lebih akrab
dengan sekularisme. Gerakan-gerakan Islamis pasca-1980 cenderung untuk
mendekatkan Mesir dengan Islam tetapi pada lajur yang sama sekali tidak
politis, seperti ekspansi dakwah ke level elite yang menginginkan input spiritual
sebagai ganti hedonisme duniawi, penguasaan kaum profesional dan
wirausaha, serta mulai bicara soal “pluralisme” dalam masyarakat Islam
(h. 328). Jika dibaca dari struktur politik Mesir yang otoriter,
sekular, dan ditopang oleh militer yang kuat, gejala ini tentu dapat
dimengerti.
Ada dua kecenderungan menarik yang ditemukan
oleh Bayat. Kecenderungan pertama lebih menitikberatkan pada gerakan
pro-demokrasi dan menginginkan kebebasan secara lebih luas. Sementara
golongan kedua lebih akrab dengan argumentasi akar rumput, ide-ide
sosialisme, dan “kesetaraan kelas”. Golongan ini banyak terlibat dalam
masyarakat sipil yang bergerak di akar-rumput. Produksi wacana mereka
tidak jauh dari pendekatan kelas, sebagaimana direpresentasikan Ali
Syariati di Iran (h. 51).
Dua kecenderungan ini terlihat
di Mesir dan Iran, bahkan dalam wujud gerakan Islamis sendiri.
Post-Islamisme di Mesir menampilkan sebuah suasana “liberalisasi”
(mengutip Prof. Darmaningtyas) yang terjadi pada gerakan Ikhwanul
Muslimin. Bayat, misalnya, mencatat adanya pernyataan Mustafa Masyhur,
seorang tokoh IM yang sangat disegani, mengenai “pluralisme” Padahal,
wacana ini sangat dekat dengan liberalisme yang membawa seorang tokohnya
pada pengkafiran oleh negara.
Liberalisasi juga tercermin
dari adanya fragmentasi wacana keislaman di tokoh IM pasca-Al Banna.
Faksi pertama, diwakili oleh Sayyid Quthb, menampilkan karakter Islam
yang “keras”, skripturalis, serta mengesankan corak perlawanan terhadap
wacana-wacana Barat. Sementara faksi kedua, diwakili Hasan Al-Hudhaiby
yang mewarisi semangat gradualis dari Al-Banna, lebih moderat,
kontekstualis, serta menampilkan “perang posisi” alih-alih perlawanan
frontal kepada negara dan wacana-wacana Barat.
Dua faksi
ini, diakui oleh Prof. Vedi R. Hadiz dalam kuliah umumnya di Fisipol UGM
(2011), masih terwariskan di antara pegiat Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Dengan adanya proses demokratisasi, wacana moderat akhirnya mendapatkan
tempat lebih nyaman di hati masyarakat Mesir, terbukti dari kemenangan
partai mereka di Pemilu.
Pengalaman Indonesia
Bagaimana
relevansi pembacaan Asif Bayat ini terhadap kondisi gerakan Islamis di
Indonesia? Walaupun secara struktur politik dekat dengan Mesir dan Turki
yang memperlihatkan perlawanan kaum Islamis vis-à-vis rezim sekular,
Indonesia tidak serta merta memperlihatkan gejala Islamisme yang inheren
dengan kedua negara tersebut.
Radikalisme keagamaan di
Indonesia disebabkan bukan oleh kuatnya identitas “agama” di diri
pemeluknya, tetapi justru oleh desakan ekonomi dan politik yang gagal
dipenuhi oleh rezim politik (Umar, 2011). Hal ini kemudian mengemuka
oleh terfragmentasinya “Islam Politik” yang mengambil jalur moderat, nonviolent, atau demokrasi formal (PKS, HTI, dll) dengan “Islam Politik” yang jalurnya radikal.
Studi
Dr. Yudi Latif tentang Islamisasi dan Sekularisasi di Indonesia
memperlihatkan gejala ini. Meminjam argumen Dr. Yudi Latif, proses
Islamisasi dan Sekularisasi tidak akan terjadi secara total karena kedua
proses tersebut –Islamisasi dan Sekularisasi— berjalan secara simultan
dan beriringan. Islamisasi bergerak dari bawah secara kultural, melalui
pembudayaan di masyarakat. Sementara sekularisasi difasilitasi negara
Hindia-Belanda dan juga diwariskan dalam struktur politik kontemporer.
Kesimpulan
Latif, adanya simultansi proses “Islamisasi dari bawah” dan
“sekularisasi dari atas” ini menampilkan ketidakmungkinan “Islamisasi
Total” dan “sekularisasi total”. Keduanya terus memainkan dialektika
sejak kemerdekaan hingga saat ini. Kaum “Islam Politik” boleh
mengonsolidasi diri di parlemen, dalam wujud PKS, misalnya, tetapi
mereka tetap tidak memiliki akar yang kuat dalam seting keindonesiaan.
Sebab, gejala Islamisasi itu terbentuk secara kultural dalam wadah-wadah
organisasi kemasyarakatan macam NU atau Muhammadiyah.
Yang
menarik untuk diulas adalah peta gerakan Islamis di Indonesia sendiri.
Proses demokratisasi yang telah bergulir sejak 1998 membawa perubahan
wacana di kalangan Islamis. Jika sebelum 1998 kalangan Islamis masih
berkutat pada dakwah yang tanzhimi (berorientasi
perkaderan dan struktur organisasi tertutup), pasca-1998 dakwah mereka
mulai masuk pada ranah politik formal (parpol atau ormas).
Perubahan ini juga terjadi pada diskursus internal pada gerakan Islamis itu sendiri. Orientasi tanzhimi yang
berhaluan skriptural dalam penafsiran keagamaan perlahan mulai
bergeser. Persis seperti kata Bayat, ada pergeseran haluan keagamaan
menjadi lebih inklusif, justru pada kaum Islamis itu sendiri.
Peta kecenderungan ini dapat dilihat pada jama’ah tarbiyah yang mengadopsi ideologi IM sebagai basis geraknya (Rahmat, 2005). Pasca-1998, tarbiyah mendapatkan
momentum politik melalui proses demokratisasi. Partai Keadilan
(sekarang PKS) dideklarasikan dan menjadi kendaraan politik baru.
Perolehan politik yang stabil pada Pemilu 2004 dan 2009 menempatkan
kader-kader partai ini di parlemen.
Akibatnya, terjadi
perubahan orientasi. Basis dakwah kini diarahkan tidak hanya kepada
parlemen, tetapi juga relasi yang lebih baik dengan negara dan pemilik
modal. Taujih ustadz banyak mengulas masalah ekonomi, dengan
harapan ada suntikan kapital kepada partai. Dalam analisis Vedi R. Hadiz
(2011), ada kecenderungan PKS untuk mengadopsi model Partai AKP di Mesir yang memiliki basis ekonomi kuat, alias menguasai struktur borjuasi nasional.
Dengan
demikian, karena kebutuhan partai adalah mendapatkan suara dan
membiayai kampanye, konstruksi pendekatan politik-keagamaan menjadi
lebih inklusif. Kampanye partai tidak lagi mempersoalkan masalah syariah, tetapi lebih populis dengan menggaet kawula muda.
Tidak berbeda dengan Mustafa Masyhur yang bicara soal pluralisme,
beberapa elit partai menyatakan diri sebagai “partai terbuka”,
mengakibatkan adanya faksionalisasi dengan kubu konservatif (Munandar,
2011).
Pergeseran orientasi ini, jika meminjam wacana Asif
Bayat, adalah indikasi kuat munculnya gejala “post-Islamism” dalam
gerakan Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, ini merupakan
implikasi globalisasi dan cepatnya akses informasi yang menyebabkan
hubungan antar-gerakan Islam pada skala global semakin cepat. Artinya,
peluang menguatnya gerakan “post-Islamisme” juga cukup kuat di
Indonesia.
Catatan Kritis
Buku Asif
Bayat ini cukup memberikan gambaran mengenai tren perubahan perilaku
gerakan Islam abad 21. Pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana
post-Islamisme bertahan jika lajur demokrasi benar-benar dikuasai oleh
gerakan Islam.
Arab Spring 2011 telah membuka
jalan baru bagi kalangan Islamis untuk tampil ke dalam politik praktis
melalui jalur demokratis. Pertanyaannya, apakah “demokrasi” yang
diakomodasi oleh kalangan Islamis itu hanya “lipstik” untuk menarik
simpati rakyat, bagian dari strategi politik, ataukah memang benar-benar
tujuan dari aktivis politik Islamis itu? Buku ini (yang ditulis enam
tahun sebelum Arab Spring) belum menjawab pertanyaan itu.
Akan tetapi, fenomena Arab Spring justru
membuka peluang bagi penstudi Islam Politik untuk menelaah arah
perubahan itu. Buku ini menawarkan kerangka metodologis yang khas. Islam
tidak hanya dilihat pada pendekatan tekstual belaka, tetapi perlu pula
menyertakan pendekatan sosiologis. Sehingga, kacamata yang digunakan
dalam melihat Islam dapat lebih objektif, tidak melulu skeptis atau
justru terjebak pada truth claim.
Tren perubahan
gerakan Islam tentu tidak bergerak secara linear. Masih terbuka
kemungkinan perubahan peta gerakan Islam setelah musim semi berlalu.
Apakah pola perubahan tren Islamisme itu akan menyebar ke seluruh dunia
dan menampilkan wajah baru politik Islam, masih menjadi pertanyaan yang
perlu dijawab secara lebih tuntas.
Referensi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. “Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia”. Jurnal Sosial Politik. Vol. 23 No. 2 (2011): 165-183.
Arief Munandar. Antara
Jemaah dan Partai Politik”, Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Depok: FISIP UI, 2011. Disertasi tidak diterbitkan
Asif Bayat. Post-Islamisme diterjemahkan oleh Faiz Tajul Millah. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Darmaningtyas. “Liberalisasi Kalangan Islamis”. Koran Tempo, 19 November 2011
Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Martin van Bruinesen. Comparing Secularism and Political Islam in Turkey and Indonesia Can Turkey’s AKP be a model to be followed in Indonesia? Kuliah umum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Oktober 2009.
Vedi R. Hadiz. Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. Oxford: CRISE, 2010.
____________. Islamic New Populism in Indonesia, Turkey and Egypt: A Political Economic Perspective. Kuliah Umum di Fisipol UGM, Yogyakarta, November 2011.
Yudi Latif. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
*) Peresensi adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati Studi Timur Tengah dan Political Islam