Kamis, 16 Februari 2012

Memerangi Korupsi Anggaran

Beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh beberapa pemberitaan di media massa soal Nazaruddin. Kasus Hambalang yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini terus bergulir. Rupanya, masih ada tujuh kasus lain yang menunggu Nazar di meja hijau.

Semua kasus tersebut berada pada ranah pengadaan barang dan jasa di beberapa kementerian. Ironisnya, beberapa kasus justru terjadi pada lima perguruan tinggi yang seharusnya menjadi avant garde tata kelola pemerintahan yang baik.

Apakah memang korupsi sudah begitu akut, hingga menjalar hingga sektor pendidikan tinggi? Mengapa proses anggaran di negeri ini begitu rawan praktik korupsi?

Korupsi Anggaran
Beberapa masalah di atas jelas merefleksikan komplikasi korupsi yang cukup akut dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam proses anggaran serta pengadaan barang dan jasa.

Sesuai PP 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa, setiap proyek yang nilainya lebih dari Rp 200 juta harus diselesaikan melalui proses lelang (tender). Artinya, jika proyek pemerintah tersebut senilai miliaran Rupiah, seluruh investor yang ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut harus berkompetisi terlebih dulu.

Tentu saja, melalui proses lelang tersebut, diharapkan terjadi persaingan yang sehat dan fair bagi setiap investor untuk mendapatkan proyek. Akan tetapi, kasus Nazaruddin membuka mata kita bahwa proses pengadaan barang & jasa tidak serta-merta berjalan sebagaimana mekanisme yang ada.

Kita dapat bedah beberapa kasus, misalnya, seperti kasus Hambalang (Pembangunan Wisma Atlet). Proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai 191 Milyar itu menyeret beberapa pejabat ke meja hijau karena kasus suap, di antaranya Wafid Muharram, Sesmenpora.

Persoalan pada proyek tersebut mungkin dapat digambarkan sederhana. Nazaruddin, sebagai peserta lelang, melakukan suap kepada Sesmenpora (Wafid) untuk mengegolkan proyek tersebut pada proses lelang. Hasilnya dapat diketahui: proyek mengalir ke PT Anak Negeri, perusahaan Nazaruddin.

Praktik suap untuk mengamankan proyek anggaran adalah modus yang, ironisnya, sangat lumrah dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Tetapi ketika melihat perkembangan kasus, kita akan lebih terkejut lagi: permainan terjadi tidak hanya pada proses lelang, tetapi sudah diatur hingga menyeret anggota DPR lain –jika yang disampaikan Nazar benar.

Praktik percaloan anggaran semacam ini dapat ditemui benang merahnya jika melihat kasus Nazaruddin yang lain: kasus pengadaan alat dan penunjang laboratorium di beberapa Universitas.

Salah satu modus korupsi yang terjadi adalah penggelembungan harga. Kerugian negara pada kasus yang juga melibatkan Nazaruddin di APBN 2010 itu kabarnya mencapai 7 Miliar.

Kasus ini menjadi ‘pintu masuk’ untuk menelisik kasus korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Jelas, praktik pengadaan barang dan jasa yang melalui proses tender tak lepas dari permainan broker politik yang “menumpang” proyek untuk kepentingan modal politik.

Mengutip Abdullah Dahlan (ICW), Percaloan anggaran ini bisa melalui perantara dengan fee yang diajukan oleh anggota DPR maupun birokrasi yang memiliki link dengan pengusaha.

Jalinan erat antara politisi, birokrat, dan pengusaha ini jelas bersifat koruptif. Ia menguasai sumber daya publik yang ada dan mengakumulasikannya untuk dana politik.

Jalan yang bisa diajukan untuk mencegah hal ini tentu saja adalah dengan membongkar pendanaan partai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Lagi-lagi, celahnya, aturan politik kita tidak menyiapkan infrastruktur sistem yang mendukung proses ini.

Sehingga, proses politik kita menjadi sangat oligarkis: diatur oleh segelintir pihak dan elit untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Oligarki
Dalam perspektif korupsi politik, otoritas yang tersentralisir secara penuh akan cenderung korup. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kata Lord Acton.

Begitu juga dengan praktik oligarki antara kementerian (birokrasi), DPR (politisi), maupun perusahaan rekanan dalam pengadaan barang dan jasa. Kasus Nazaruddin telah membuktikan bahwa proses anggaran yang tidak sehat rawan berimplikasi pada munculnya calo-calo anggaran.

Ironisnya, jika kita telaah kasus-kasus korupsi anggaran yang terjadi, modusnya justru melibatkan orang-orang dari partai politik. Padahal, seharusnya partai politik mengemban amanah mulia untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sengkarut oligarki antara kementerian, DPR, dan perusahaan rekanan ini, meminjam analisis Hanta Yuda (2010), terjadi karena mismatch antara presidensialisme dan multipartai di Indonesia, atau “presidensialisme setengah hati”.

Dalam logika presidensialisme efektif, kabinet yang terbentuk seyogianya adalah zaken kabinet. Artinya, Presiden memiliki otoritas penuh untuk memilih jajaran menterinya tanpa harus tersandera kepentingan politik.

Dalam konteks presidensialisme “setengah hati” –dalam bahasa Hanta Yuda— posisi kementerian justru dihuni oleh figur titipan partai politik sebagai implikasi deal antara presiden dan pemerintahan koalisi.

Implikasi negatifnya, pemerintahan menjadi tersandera oleh kepentingan partai. Yang lebih parah, masuknya unsur partai politik di kementerian justru membuka peluang bagi pemburu rente dari partai yang bersangkutan untuk menguasai proyek anggaran di kementerian yang bersangkutan.

Sehingga, alih-alih membuka persaingan tender proyek secara fair, proses lelang menjadi “bancakan” permainan partai. Ujung-ujungnya, muncullah kasus seperti “sapi jenggot” atau “hambalang” yang jelas menunjukkan oligarki yang pelik itu.

Mereduksi Potensi Korupsi
Sehingga, jika konsisten dengan analisis ini, ada dua hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, kementerian mesti disterilkan dari kepentingan kapital partai untuk menumpuk bekal di 2014 nanti.

Cara paling radikal adalah me-reshuffle menteri yang memang terbukti korup dan nepotis dalam proses anggaran dan mekanisme pengelolaan proyek. Jika tidak memungkinkan, eksponen partai dapat dilarang untuk terlibat dalam proses anggaran maupun pengelolaan proyek untuk menghindari konflik kepentingan.

Kedua, segera membongkar transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai. Ini penting untuk melihat arus dana tidak jelas yang masuk ke partai. Jika dana yang bersangkutan berasal dari percaloan, perlu ada tindakan yang jelas untuk menghentikan aliran dana ini.

Salah satu strategi untuk mengantisipasi ini adalah melalui UU Pemilu baru –yang justru  dibuat oleh DPR sendiri. Tantangan beratnya tentu di sini. Jika tak ada pengawalan serius dari elemen masyarakat sipil, UU Pemilu kita hanya akan menjadi alat meneguhkan kekuasaan politik status-quo saat ini.

Dua jalan tersebut meniscayakan adanya peran serta masyarakat sipil untuk mengawal proses politik di negeri ini. Tak terkecuali, tentu saja, gerakan mahasiswa. Pertanyaannya, sanggupkah gerakan mahasiswa berdiri tegak di atas kepentingan mahasiswa sendiri, tanpa harus terpenjara oleh kepentingan politik yang berkelindan dengan modal dan kekuasaan?

Biarlah waktu yang menjawabnya karena ikhtiar kita untuk memerangi korupsi di negeri ini. Salam cinta, cita, dan karya untuk pembebasan!

Billahi fi sabilil haq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar