Kamis, 16 Februari 2012

Dari Gelanggang Mahasiswa ke Indonesia Mengajar

Rabu, 25 Januari 2012. Hari ini, saya dan beberapa teman bertemu dengan seorang senior di BEM UGM. Mantan aktivis Senat Mahasiswa era 90an awal, sekarang mengelola sebuah yayasan yang cukup fenomenal dengan penerjunan fresh graduate untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil.

Beliau ialah Hikmat Hardono. Sempat lama mengelola Senat Mahasiswa UGM -yang sekarang menjadi BEM KM UGM- dan akhirnya terjun ke dunia masyarakat sipil selepas lulus dari UGM. Sekarang, beliau menjadi Direktur Indonesia Mengajar yang cukup dikenal mendobrak dunia pendidikan Indonesia dengan program pengiriman pengajar muda ke Maluku, Kalimantan, Riau, dan beberapa daerah terpencil lain.

Pertemuan saya dengan Mas Hikmat pada malam ini adalah pertemuan yang kedua. Sebelumnya, saya sempat bertemu dan ngobrol dengan beliau di pertengahan tahun 2011 lalu dengan topik pembicaraan yang sedikit berbeda: sejarah transformasi kelembagaan Senat Mahasiswa UGM sampai menjadi BEM UGM.

Waktu itu, urusan saya masih sebagai tim alumni BEM KM UGM yang sempat kami inisiasi dengan Ketika itu hanya sempat berbincang beberapa lama bersama dua alumni Senat yang lain: Bu Yundrie Erdani serta mas Cahyo Pamungkas (peneliti LIPI, mantan Ketua BEM UGM) yang waktu itu sedang penelitian doktoral di Yogyakarta.

Membersamai mas Hikmat kali ini adalah mas Icus (mas Susilo) yang sempat saya temui beberapa kali di event Indonesia Mengajar. Saya baru tahu kalau beliau juga mantan aktivis di UGM. Diskusi kali ini agak santai, di angkringan lesehan Kali Code, tempat favorit saya dan beberapa kawan untuk diskusi santai malam hari. Saya bersama beberapa kawan di BEM UGM 2012, termasuk Giovanni van Empel, Presiden BEM sekarang.

Pemaparan mas Hikmat kali ini cukup menarik, soal bagaimana IM lahir dan atas semangat apa IM itu kemudian menjelma menjadi sebuah program yang cukup sustainable dan fenomenal. Tapi saya tidak hendak mendeskripsikan Indonesia Mengajar -tentu publik sudah tahu banyak soal ini. Yang ingin saya soroti adalah sebuah sisi lain dari Indonesia Mengajar: pertautannya yang unik dengan gelanggang mahasiswa UGM, wa bil khusus Senat dan BEM UGM era 1990an.

Indonesia Mengajar lahir atas prakarsa Dr. Anies Baswedan, salah seorang intelektual muda Indonesia yang kapasitasnya cukup diakui dunia. Semangat yang mendasari Pak Anies untuk mendirikan IM sebetulnya tak lepas dari pertautan gagasannya dengan Prof. Koesnadi Hardjasoematri, mantan Rektor UGM yang di masa mudanya sempat menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UGM dan mensponsori projek pengerahan tenaga mahasiswa (PPTM) -cikal bakal KKN-PPM UGM yang sekarang.

Dari latar historis yang bisa saya lacak di Senat Mahasiswa UGM dulu, Pak Koesnadi dan Pak Anies memang pernah bersentuhan langsung. Ketika Anies Baswedan masih menjadi Ketua Senat Mahasiswa FE UGM, Prof. Koesnadi menjabat sebagai Rektor. Dari penuturan beberapa aktivis yang sezaman dengan pak Anies, Prof. Koesnadi memang dikenal dekat dengan mahasiswa. Beliaulah yang mendorong untuk dibentuknya Senat Mahasiswa UGM -sesuatu yang terlihat menakutkan bagi rezim Orde Baru waktu itu.

Tapi ada sesuatu yang kemudian menarik dari beliau: gagasan yang sangat orisinil soal kiprah mahasiswa di masyarakat. Ini yang menjadi semangat zaman dari Dewan Mahasiswa era beliau. Ketika euforia gerakan mahasiswa ekstra sangat mengakar di mahasiswa pada era-era tersebut, beliau melakukan dobrakan: menginisiasi proyek pengerahan tenaga mahasiswa ke daerah-daerah terpencil. Proyek ini diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa UGM -yang bermarkas di Gelanggang- serta difasilitasi oleh UGM yang waktu itu dipimpin oleh Prof. Sardjito. Tujuannya adalah untuk memberikan akses yang lebih besar bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Koesnadi muda ketika itu dikirim ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tak tanggung-tanggung, dua tahun beliau habiskan di sana untuk mengajar. Dan selepas kembali ke Yogya, beliau membawa dua orang anak Kupang untuk bersekolah di Yogyakarta. Salah satu di antara dua anak itu bernama Adrianus Mooy, yang kelak di era Soeharto menjadi Menteri Keuangan. Inilah kontribusi real mahasiswa pertama bagi masyarakat.

Koesnadi sendiri akhirnya menyelesaikan kuliahnya setelah 14 tahun menjadi mahasiswa. Selepas kuliah dan akhirnya menjadi dosen, Koesnadi kemudian mencoba melembagakan program tersebut ke dalam sebuah kurikulum pembelajaran mahasiswa yang integratif. Jadi, mahasiswa tidak hanya cerdas konseptual, tetapi juga harus cerdas sosial. Kira-kira itu yang dibayangkan Prof. Koesnadi. Dari sini, lahirlah konsep KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang hingga kini masih menjadi 'menu wajib' bagi mahasiswa UGM untuk lulus.

Jadi, pertautan antara KKN dan Proyek-proyek pemberdayaan mahasiswa ke daerah -sebagaimana jadi tren saat ini- sebetulnya tak terpisahkan dari Dewan Mahasiswa UGM. Kira-kira hal ini yang menjadi inspirasi Anies Baswedan untuk menginisiasi Indonesia Mengajar, dalam konteks yang lebih berbeda, sesuai nafas zaman saat ini. Dan secara kebetulan pula, Anies Baswedan sendiri adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM.

Tapi, apakah hanya karena Anies Baswedan adalah mantan Ketua Senat, lantas Indonesia Mengajar kemudian identik dengan Senat atau Dewan Mahasiswa? Entah kebetulan atau tidak, hampir semua lingkar dalam dari Indonesia Mengajar adalah mantan aktivis Senat, atau minimal aktivis gelanggang. Ada, misalnya, mas Hikmat, yang dulu sempat menjadi aktivis Senat dalam jangka waktu yang cukup lama.

Selain mas Hikmat, saya kenal mbak Chiku, dulu Sekretaris Umum Gama Cendekia, senior saya di HI UGM. Lalu ada mbak Yundrie Erdani yang satu generasi dengan mas Hikmat di Senat. Kebetulan pula suami Mbak Yundrie adalah eksponen Senat Mahasiswa UGM yang cukup senior, salah satu peletak dasar Senat di tahun 1991. Sampai saat ini, keberadaan alumni Senat Mahasiswa UGM ini banyak terwadahi di Forum Kagamamuda.

Di sinilah pertautan dengan cerita mas Hikmat malam ini. Indonesia Mengajar mungkin terlihat sederhana jika dibandingkan dengan KKN-PPM yang sudah jadi program reguler UGM. Tapi karena konteks programnya yang out of the box, keluar dari mainstream pendidikan atau "guru" yang selama ini dianggap harus berasal dari lulusan Fakultas atau Universitas Pendidikan, berpadu dengan model pendidikan yang bisa dilakukan oleh lulusan fresh graduate universitas ternama di negeri ini.

Mungkin ini pula yang terjadi ketika Prof Koesnadi menginisiasi PPTM tahun 1955 dulu. Alih-alih mengikuti stream mahasiswa yang berpolitik praktis melalui gerakan mahasiswa, Prof. Koesnadi memperkenalkan cara baru aksi mahasiswa melalui pendidikan. Dan outputnya berjalan baik. Hasil-hasil pemikiran yang out of the box ini yang perlu ditelaah lagi.

Kuncinya, menurut Mas Hikmat, sederhana saja: Pertanyakan sesuatu yang selama ini dianggap 'benar'. Pertanyakan saja apapun yang selama ini mapan dan secara turun-temurun diwariskan. Hal ini yang perlu dilakukan di BEM KM UGM saat ini. Saatnya membebaskan diri dari sekat-sekat apapun untuk kemudian melakukan dobrakan dan menginisiasi kreativitas.

Sejarah Indonesia Mengajar tak terlepas dari kiprah mahasiswa yang berpikir keluar dari mainstream. Tak perlu menjadi Ketua BEM hanya untuk mempertahankan hegemoni atau merebut kekuasaan. Tapi, mampukah amanah ini dijawab dengan 'menuliskan ulang' BEM KM UGM secara lebih baru lagi ke depan?

Kata mas Hikmat, konsepnya sederhana saja: mulai dari berpikir untuk tidak terikat pada belenggu mainstream yang kadang menjebak dan membatasi gerak mahasiswa untuk berpikir lebih kreatif. Indonesia Mengajar lahir dari serangkaian sejarah yang bertaut dengan mahasiswa. Hanya semangat zaman yang kemudian membedakan.

Dan akhirnya, mari bersama-sama membangun kembali UGM, Indonesia, dan Dunia dengan Cinta, Cita dan Karya.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun. [umar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar