Minggu, 22 Juli 2007

Fenomena Generasi Muda

Mencari Pelajar Reformis

Reformasi tak dapat dilepaskan dari peranan pelajar dan mahasiswa sebagai aktor utamanya। Dimulai pada tanggal 12 mei 1998 ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak, gejolak pun meluas dan mengakibatkan kekacauan di mana-mana. Puncaknya, selama tiga hari gedung DPR-MPR dikepung oleh ribuan aktivis dan mahasiswa yang meneriakkan satu kata : Reformasi! Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatan presiden dan menyerahkan kedudukan kepada BJ Habibie.

Sekarang, tak terasa sembilan tahun sudah reformasi bergulir। Selama sembilan tahun tersebut, terjadi dinamika dan pergantian kepemimpinan pada level nasional, sehingga menyebabkan pola pergerakan mahasiswa dan pelajar tidaklah sesignifikan era 1998 lalu. Peta perpolitikan sekarang lebih cenderung menampilkan elit-elit politik di lembaga legislatif dan eksekutif sebagai aktor, sedangkan pelajar, mahasiswa, aktivis, dan buruh lebih diposisikan sebagai “penikmat”. Hal ini berimplikasi pada penurunan idealisme pelajar yang akhirnya menyebabkan para pelajar cenderung back to school. Kondisi seperti ini terus terjadi sampai sekarang, di mana para pelajar lebih diarahkan untuk belajar dengan giat agar dapat lulus Ujian Nasional yang disebut-sebut sebagai “pintu keberhasilan siswa”.

Episode seperti ini merupakan hal yang tak dapat dipungkiri dalam realitas negara kita yang sedang tumbuh dan berjuang menghadapi krisis। Memang, sah-sah saja jika pemerintah menginginkan agar para pelajar Indonesia memiliki kapasitas intelektual yang tinggi sehingga untuk ke depan diharapkan muncul figur-figur yang berpotensi mengangkat bangsa ini menjauhi jurang keterpurukan. Akan tetapi, sikap pemerintah yang secara tidak langsung mengalihkan perhatian pelajar dari pentingnya berkontribusi secara nyata di masyarakat ini juga akan berdampak pada ketidaksiapan mental pelajar ketika ia dilepas ke dunia nyata pada saat mahasiswa. Oleh karena itu, sangat diperlukan pelajar-pelajar yang tidak hanya “unggul”, tetapi juga “reformis”.

Sekarang muncul pertanyaan baru : Bagaimanakah karakteristik pelajar reformis? Dalam pandangan penulis, pelajar reformis memiliki empat karakteristik yang terintegrasi dalam pola pikirnya। Pertama, pelajar reformis adalah pelajar yang mampu menganalisis problematika sosial secara kritis dengan pandangannya sendiri, bukan dengan pandangan orang lain. Pelajar reformis akan mampu menganalisis permasalahan secara kritis tanpa adanya pengaruh pandangan orang lain. Jikapun ada, pandangan orang lain tersebut tidaklah signifikan ada pada pandangan pelajar, melainkan hanya menjadi acuan agar buah pemikirannya memiliki legitimasi teoritis yang kuat. Kedua, pelajar reformis adalah pelajar yang memiliki kepekaan dengan perubahan yang terjadi. Pelajar reformis seyogianya tidak stagnan pada satu isu, tetapi juga memerhatikan isu-isu lain dan menganalisisnya secara kritis tanpa mengesampingkan nilai-nilai kesopanan di masyarakat.

Ketiga, pelajar reformis adalah pelajar yang berpikiran maju dan futuristik, tidak terpaku dengan kondisi yang dialami sekarang। Pemikiran pelajar reformis tidak hanya menjangkau apa yang akan dicapai pada saat ini, tetapi juga bersifat jangka panjang, sehingga pelajar dapat memikirkan implikasi-implikasi dari apa yang telah dilakukannya. Keempat, pelajar reformis adalah pelajar yang tak kenal lelah memerjuangkan kepentingannya dan selalu bekerja keras agar kepentingannya dapat terpenuhi. Karakteristik terakhir ini seringkali memicu konflik antara siswa dan sekolah, sehingga berimplikasi pada pencitraan negatif pelajar yang memiliki karakteristik seperti ini. Oleh karena itu, karakteristik ini juga memerlukan kontrol dan pembinaan dari orang yang lebih tua.

Jika kita melihat realitas pelajar sekarang yang mayoritas lebih berorientasi pada kesenangan semu, sangat sulit untuk mencari pelajar dengan karakteristik di atas। Hal ini, menurut penulis, disebabkan oleh adanya paradigma yang salah yang menimpa pelajar. Paradigma tersebut antara lain paradigma school-centered, yaitu paradigma pelajar yang menganggap bahwa sekolah adalah segala-galanya, sehingga yang ada pada benaknya hanya belajar, belajar, dan belajar. Paradigma seperti ini keliru, sebab seorang pelajar juga harus melihat aspek sosial dari ilmu yang dipelajari. Apa gunanya sebuah ilmu jika hanya menjadi hafalan tanpa diimplementasikan?

Paradigma kedua adalah paradigma parent-centered atau teacher-centered, yang menganggap bahwa semua persoalan harus dikembalikan pada orang yang lebih tua dengan alasan pengalaman yang lebih bayak dan ilmu yang lebih tua। Sekilas anggapan ini benar saja, akan tetapi jika paradigma ini terus-menerus dipertahankan, di mana letak kemandirian pelajar? Pelajar tidak akan dapat mengeluarkan idealismenya, karena di mata orang tua idealisme pelajar akan dianggap sebagai tindakan ‘melawan arus’. Pemikiran pelajar harus didasari oleh kemampuan untuk mengembangkan ide-ide pribadi yang berarti membuka cakrawala pemikiran pelajar. Jika unsur pemikiran orang lain terlalu dominan, praktik brainwashing dapat dilakukan dengan mudah, dan ini harus dihindari oleh pelajar yang reformis.

Paradigma ketiga ialah paradigma friend-centered, di mana sikap pelajar lebih cenderung untuk berpikiran sehaluan dengan teman-temannya। Pemikiran ini jelas akan membuat idealisme pelajar terpasung, sementara pemikirannya tidak akan berkembang. Sejatinya, pemikiran teman hanya berfungsi sebagai konsiderasi bagi pelajar dalam mengambil sikap, bukan sebagai decider dari sikap pelajar tersebut.

Paradigma-paradigma seperti ini jika kita telaah lebih dalam akan bermuara pada satu karakteristik, yaitu doubtfulness atau keragu-raguan। Keragu-raguan akan membuat pelajar diombang-ambingkan oleh gelombang globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif, tetapi juga membawa nilai-nilai yang tidak sejalan dengan identitas bangsa. Keragu-raguan ini harus dihilangkan dari dalam diri pelajar, dan sikap kemandirian harus ditanamkan dalam identitas pelajar.

Jika para pelajar mau sedikit saja merenungkan makna reformasi, Insya Allah karakteristik pelajar reformis dapat dikembangkan dalam diri pelajar. Walaupun gejolak terjadi, pelajar akan mampu mengambil sikap yang strategis dan tidak terombang-ambingkan oleh kepentingan yang tidak jelas. Untuk itu, perubahan dari dalam diri pelajar harus dilakukan sekarang juga, dan paradigma sesat harus segera dihilangkan. Ingat, pelajarlah harapan bangsa ini di masa depan!

Minggu, 08 Juli 2007

Fenomena Nelayan

Tengkulak dan Kehidupan Nelayan Jepara

Artikel ini merupakan rangkuman dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Kelurahan Ujung Batu, Jepara, Jawa Tengah bersama rekan-rekan peserta kegiatan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional 2007। Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 26-29 Juni 2007 di Kampus Kelautan Universitas Diponegoro, Jepara. Data-data pada penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan kuesioner. Adapun dalam penarikan sampel kami menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan tujuan responden yang semuanya berprofesi sebagai nelayan dapat memaparkan kehidupan mereka dalam berinteraksi dengan tengkulak. Di samping itu, kami juga menggunakan metode Quote sampling, yaitu penarikan sampel pada jumlah yang telah ditentukan (60 Responden). Sementara itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi gambaran singkat mengenai kehidupan nelayan di Jepara agar dapat dijadikan perbandingan dengan daerah lain yang juga memiliki potensi di sektor kelautan.

Secara umum, Jepara memang memiliki lokasi yang strategis dalam pengembangan perekonomian। Menurut Priyanto dkk. (2006), Jepara memiliki topografi yang khas dan lengkap. Seperti terlihat pada dataran tinggi di sekitar pegunungan Muria sampai pantai di daerah utara seperti Teluk Awur. Kondisi semacam ini menyebabkan Jepara memiliki sisi kehidupan ekonomi berbasis kelautan yang berpotensi memberi sumbangan dalam perekonomian daerah. Kedekatan dengan laut ini juga membuat banyak warga Jepara yang berprofesi sebagai pencari ikan atau nelayan. Sebagai implikasinya, berkembang pula profesi lain yang memiliki keterkaitan erat dengan nelayan, yaitu tengkulak atau orang yang membeli hasil laut dengan harga yang murah dari nelayan tetapi menjual hasil laut tersebut dengan harga yang tinggi.

Dari penelusuran awal kami, penduduk Kelurahan Ujung Batu Kabupaten Jepara berjumlah 3।971 orang dengan 70% berprofesi sebagai nelayan. Dari 60 responden yang mengisi kuesioner, sebanyak 44 orang atau 73,33% mengatakan bahwa hasil melaut mereka mencukupi kebutuhan hidup nelayan sehari-hari. Bahkan ada satu responden yang mengatakan bahwa hasil yang dicapainya dalam melaut sangat mencukupi kebutuhannya. Sementara itu, hanya 15 responden atau 25% yang mengatakan bahwa hasil yang mereka capai dalam melaut tidak cukup. Tidak ada responden yang mengatakan bahwa hasil yang mereka capai dalam melaut sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Mengenai tempat penjualan hsil melaut, nelayan di desa Ujung Batu lebih memilih untuk menjual hasil tangkapan yang mereka peroleh dari melaut kepada para tengkulak, kendati tengkulak tersebut tidak memiliki patokan harga resmi। Hal tersebut tergambar dari tingginya jumlah responden yang mengaku menjual hasi tangkapan ke tengkulak, yaitu 40 orang atau 66,67%. Sementara itu, responden yang mengaku menjual hasil tangkapan ikan kepada Tempat Pelelangan Ikan hanya berjumlah 20 orang atau 33,33%. Data ini menunjukkan bahwa nelayan lebih memercayai tengkulak daripada TPI. Data di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada nelayan yang menjual hasil tangkapan ke pasar.

Dari data yang telah didapat, mayoritas nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tengkulak memiliki keadaan sandang yang sedang, yaitu 26 responden atau 65%। Sisanya, para responden mengatakan bahwa keadaan sandang mereka baik (13 orang) dan sangat baik (1 orang). Sementara itu, mayoritas responden yang memilih untuk menjual hasil tangkapan ke TPI mengatakan bahwa keadaan sandang mereka baik (11 orang). Dari responden yang menjual hasil tangkapan ke TPI, ternyata ada satu responden yang mengatakan bahwa keadaan sandangnya buruk. Sisanya, delapan responden mengatakan kualitas sandangnya baik.

Dari data yang didapat, dapat kita simpulkan bahwa ternyata keadaan papan nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tengkulak berkisar pada level sangat baik sampai buruk। Mayoritas nelayan dalam kelompok ini menganggap bahwa kualitas papan mereka sedang (26 orang). Ada tiga responden dalam kelompok nelayan ini yang mengaku kualitas pangan mereka buruk. Sementara itu, keadaan pangan nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tempat pelelangan ikan berkisar pada level baik sampai buruk. Tidak ada yang menganggap kualitas pangan mereka sangat baik. Mayoritas nelayan menganggap bahwa kualitas pangan mereka sedang (10 orang). Lima responden mengaku bahwa kualitas mereka buruk.

Jika dibandingkan dengan nelayan yang menjual hasil tangkapan ikan kepada tempat pelelangan ikan, tengkulak ternyata memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika ditinjau dari pendidikan anak। Hal ini dibuktikan pada jumlah anak yang tidak bersekolah pada masing-masing kelompok. Jumlah anak nelayan yang tidak bersekolah pada kelompok nelayan yang menjual hasil tangkapan pada tengkulak adalah tiga orang atau 7,5%. Jumlah ini lebih sedikit daripada jumlah anak nelayan yang tidak bersekolah pada kelompok nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tempat pelelangan ikan. Pada kelompok ini, anak nelayan yang tidak bersekolah berjumlah empat orang atau 20%.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Ujung Batu mengenai pengaruh tengkulak terhadap kesejahteraan nelayan di wilayah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan tengkulak ternyata memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan nelayan di Ujung Batu, Jepara। Selain itu, dilihat dari pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan keluarga, nelayan yang menjual hasil tangkapan ikannya ke tengkulak secara umum lebih sejahtera dibanding dengan nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke Tempat Pelelangan Ikan। Untuk itu, keberadaan Pemerintah Kabupaten Jepara selaku pemegang otoritas publik sangat diperlukan agar dapat lebih arif, bijaksana, aspiratif, dan mampu mengakomodasi semua keinginan masyarakat nelayan dalam kebijakan-kebijakan publik yang dibuat.

Bagi pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Selatan yang juga memiliki potensi di sektor kelautan dan perikanan, kami sarankan agar dapat mengkaji permasalahan tengkulak ini secara lebih mendalam, dan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tentunya, hal ini juga memerlukan perhatian semua pihak. Sinergisasi visi dan misi ke depan sangat diharapkan agar kehidupan nelayan dapat lebih sejahtera.