KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan karunianya yang telah diberikan kepada kita, sehingga tugas makalah sosiologi ini dapat diselesai dengan baik dan tepat waktu.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bu Dra. Khairiah selaku pengajar Sosiologi kelas XII IPS yang telah mengamanatkan kepada kami untuk menyelesaikan tugas makalah tentang lembaga keluarga ini. Kiranya apa yang kami tulis dan kami ungkapkan dalam makalah tersebut dapat menjadi sumbangan dalam khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu sosiologi.
Kami meminta maaf sebelumnya apabila masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam pembahasan makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaannya.
Akhirnya kami berharap tugas makalah sosiologi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.
A. Latar Belakang Penulisan
Sosiologi, sebagai salah satu bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan interaksinya, memiliki banyak aspek yang harus digali. Untuk memperdalam pengetahuan serta pemahaman kita mengenai salah satu cabang sosiologi yakni sosiologi keluarga, perlu adanya analisis teoritis (theoretical analysis) yang membahas masalah lembaga/ institusi keluarga dan secara khusus membahas masalah jumlah dan perbedaan umur anak, latar belakang suku, tingkat ekonomi dan pendidikan, serta komunikasi dan interaksi keluarga dengan masyarakat dan budaya sekitarnya.
Keluarga, dalam perspektif antropologi budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan konsep kekerabatan. Kita mengetahui bahwa Indonesia dengan beraneka ragam suku dan budayanya memiliki tiga mazhab besar sistem kekerabatan : Sistem patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Ketiga sistem ini membentuk suatu hubungan yang akhirnya menjadi lembaga keluarga secara utuh.
Jika kita analisis dalam perspektif sosiologi, keluarga sebagai lembaga memiliki peranan dalam interaksi sosial di masyarakat. Bagaimana peran institusi keluarga dalam membentuk suatu interaksi sosial kami analisis secara gamblang dalam makalah ini.
B. Untuk Apa Makalah ini Ditulis?
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Sebagai tugas dalam mata pelajaran sosiologi yang diberikan oleh Dra. Siti Khairiah
2. Sebagai alat untuk memperjelas konsep lembaga keluarga dalam sudut pandang sosiologi dan antropologi budaya
3. Untuk lebih menggali struktur dan konsep keluarga yang ada pada masyarakat sekarang.
4. Sebagai khazanah dalam ilmu sosiologi.
C. Keluarga Sebagai Lembaga: Definisi Teoritis
Ilmu sosiologi telah mengalami perkembangan pesat beberapa dekade terakhir. Perkembangan ini mengakibatkan semakin luasnya ruang lingkup pembahasan masalah-masalah sosial yang terjadi di era sekarang.
Keluarga, yang pada awalnya merupakan suatu problema internal yang tidak dianalisis secara sosial, sekarang menjadi bagian dari ruang lingkup ilmu sosiologi. Keluarga dimasukkan ke dalam wacana sosiologi karena telah dipandang sebagai suatu lembaga sosial (social institution) yang memiliki perangkat dan struktur tersendiri.
Lembaga sosial pasti tak akan dapat terpisahkan dari dua unsur, yaitu norma sosial dan struktur sosial. Soekanto (1982) menerjemahkan lembaga sosial sebagai keselarasan antara norma dan peraturan yang menjadi ciri lembaga tersebut. Adapun Polak (1960) menegaskan bahwa lembaga bersifat abstrak dan merupakan suatu konsepsi.
Suatu lembaga mencakup sistem peraturan-peraturan dan terdiri atas kode, norma, ideologi, dan sistem abstrak lain yang tertulis maupun tidak. Selain itu, lembaga sosial bersandar pada perasaan, pikiran, sikap, dan kepercayaan yang kuat pada seorang individu (Polak, 1960). Sementara Horton & Hunt (1984) berpendapat bahwa lembaga sosial merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan yang oleh masyarakat dianggap penting.
Adapun lembaga keluarga didefinisikan oleh Giddens (1993) sebagai kelompok yang secara langsung dihubungkan oleh hubungan-hubungan kekeluargaan, di mana anggota dewasa memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak-anak. Johnson (1986) lebih menekankan pada aspek, kelompok, di mana menurutnya keluarga adalah kelompok yang terdiri atas orang tua dan anak-anak.
Sedangkan Horton & Hunt (1984) menyatakan bahwa suatu keluarga mungkin merupakan : (1) suatu kelompok yang memiliki nenek-moyang yang sama; (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan; (3) pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak; (4) pasangan tanpa nikah (zina, pen.) yang mempunyai anak; (5) satu orang dengan beberapa anak. Mengenai poin (4), agama Islam telah dengan jelas melarang hal tersebut dan menganggap bahwa masalah tersebut adalah zina.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, di mana keluarga memberikan pengaruh penting pada pembentukan dasar kepribadian di usia muda (Polak, 1960). Keluarga, dalam sudut pandang yang lebih normatif diterjemahkan sebagai kelompok kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu lainnya (Horton & Hunt, 1984). Ini artinya, ada kewajiban dari kepala keluarga untuk mengayomi anggota-anggota keluarganya.
Dalam sudut pandang psikologi, keluarga juga memegang peranan yang sangat krusial dalam perkembangan seorang anak. Menurut Setiawan (2007), keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Di sinilah peran serta orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dari tindak kekerasan terhadap anak.
Ketika orangtua cekcok dan diketahui oleh seorang anak, lanjut Setiawan (2007), hal tersebut dapat membuat anak tertekan secara psikis. Anak akan mudah murung dan sedikit tidak terbuka kepada orang tuanya dalam banyak hal. Oleh karena itu, ketika orangtua sedang bertengkar dan ada anak di sampingnya, hendaklah orangtua menghentikan sementara perkelahiannya demi perkembangan dan pertumbuhan seorang anak.
Ini berarti dari keluarganya anak pertama kali belajar mengenai berbagai hal, entah itu bahasa, perilaku, sopan santun dan adat istiadat. Maka tak heran, keluarga yang kuat dan harmonis serta mampu mendidik anak-anaknya dengan baik akan dapat menguatkan stabilitas negara (Setiawan, 2007).
D. Kategorisasi dan Fungsi Keluarga
Para sosiolog pada dasarnya menggolongkan sistem keluarga menjadi dua, yaitu keluarga dengan sistem konsanguinal dan keluarga dengan sistem konjugal (Sunarto, 2004; Suteng & Saptono, 2007; Polak, 1960; Horton & Hunt, 1984).
Akan tetapi, muncul penggolongan di luar dua jenis keluarga tersebut, yaitu keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas atau extended family (Horton & Hunt, 1984; Suteng & Saptono, 2007). Di luar itu, ada keluarga virilokal atau keluarga batih ditambah keluarga batih para putra dalam keluarga batih senior tersebut. Sistem keluarga ini ada pada masyarakat Nias (Suteng & Saptono, 2007).
Keluarga konjugal menurut Horton & Hunt (1984) adalah keluarga yang didasarkan pada pertalian perkawinan atau kehidupan suami-isteri. Adapun keluarga konsanguinal lebih menitikberatkan pada ikatan keturunan dan hubungan sedarah pada sejumlah orang kerabat (Horton & Hunt, 1984; Polak, 1960).
Suteng & Saptono (2007) mencontohkan keluarga dengan sistem konsanguinal ini pada keluarga Jepang dan Tionghoa tradisional, di mana seorang anak lelaki akan lebih memihak orang tuanya ketika ada perselisihan antara isteri dan mertua. Di sini, hubungan emosional atas kaitan darah dianggap lebih penting. Sebaliknya, keluarga dengan sistem konjugal cenderung menafikan peran orang tua dan lebih mengedepankan cinta kasih dengan isteri (Suteng & Saptono, 2007).
Selain tipe keluarga di atas, ada pula sistem keluarga batih dan keluarga luas. Keluarga batih (nuclear family). Keluarga batih, atau yang diistilahkan oleh Prof. Djojodigoeno sebagai brajat mandiri, adalah satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak (Polak, 1960; Suteng & Saptono, 2007).
Sementara keluarga luas (extended family) adalah keluarga batih ditambah kerabat lain dengan siapa hubungan baik dipertahankan (Horton & Hunt, 1984). Salah satu tupe keluarga luas ini adalah joint family, di mana ada beberapa orang anggota keluarga lelaki kakak beradik deserta anak-anak mereka dan saudara perempuan yang belum menikah (Suteng & Saptono, 2007).
Dalam perspektif antropologi budaya, ada enam kelompok kekerabatan yang sering muncul di Indonesia, antara lain keluarga ambilineal kecil, keluarga ambilineal besar, klan kecil, klan besar, frater, dan moety. Kekerabatan ini muncul dengan dua sistem perkawinan, yaitu sistem perkawinan eksogami dan endogami (Mu’in, 2004).
Sistem perkawinan ini menandai keberadaan tiga mazhab besar kekerabatan di Indonesia, yaitu sistem keluarga patrilineal, matrilineal, dan bilateral. Sistem patrilineal secara genealogis berarti semua kekerabatan dinisbatkan kepada ayah. Di sini, jika seorang anak perempuan menikah berarti ia melepaskan diri dari kekerabatan ayahnya dan pindah ke garis kekerabatan suaminya.
Adapun secara kultural sistem patrilineal berarti kepemimpinan total berada pada pihak ayah. Sebaliknya, sistem matrilineal menisbatkan kekerabatan pada ibu, dan secara kultural kewajiban untuk membayar mas kawin dan nafkah adalah kewajiban isteri. Sistem matrilineal ini diterapkan pada struktur masyarakat Minang (Mu’in, 2004).
Menurut Horton & Hunt (1984), masyarakat Amerika cenderung untuk membangun rumah tangganya sendiri setelah pernikahan. Sistem ini disebut dengan sistem perkawinan neolokal (neolocal marriage). Sistem ini menurut para aktivis persamaan gender merupakan sebuah sistem yang memungkinkan untuk menghindari subordinasi laki-laki di atas perempuan.
Adanya budaya patriarkhi dituding sebagai penyebab masalah keluarga, terutama kekerasan pada perempuan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Setyowati, M.Sc., Deputi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan (PKHP) pada lokakarya di Aula Haram Manyarah Pemprov Kalsel, 27 September 2007.
Shadily (1993) menyatakan bahwa lembaga keluarga dengan pernikahan yang didasarkan atas ikatan pernikahan telah diakui oleh hamper semua lapisan masyarakat. Ia berpendapat bahwa pernikahanlah yang membedakan manusia dengan hewan ataupun makhluk lain. Kondisi yang kontras terjadi di Amerika Serikat, di mana ada istilah posselq untuk mengategorikan pasangan yang berkeluarga tanpa hubungan pernikahan (Horton & Hunt, 1984).
Mengenai fungsi keluarga, Horton & Hunt merumuskan fungsi keluarga menjadi tujuh macam, antara lain:
1. Fungsi Pengaturan Seksual
2. Fungsi Reproduksi
3. Fungsi Sosialisasi
4. Fungsi Afeksi
5. Fungsi Penentuan status
6. Fungsi perlindungan
7. Fungsi Ekonomis.
Pada intinya, keluarga dibangun untuk meningkatkan solidaritas sosial, atau, dalam perspektif fungsionalis, digunakan untuk lebih meneguhkan keterikatan antaranggota yang ada sehingga akan muncul gemeinschaft (paguyuban) sebagai implikasinya.
E. Aturan-Aturan (Rules of Family Life)
Dalam membentuk keluarga, setidaknya ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing individu. Aturan-aturan tersebut mengacu pada norma dan nilai sosial di masyarakat, terutama norma agama. Sebab, mengacu pada sebuah hadits, pernikahan dipandang sebagai sunnah oleh Rasulullah.
Acuan-acuan tersebut, sebagaimana ditulis oleh Suteng & Saptono (2007), antara lain:
1. Adanya aturan tentang perkawinan eksogami dan endogami. Dalam masyarakat Bugis, perkawinan endogami antarsaudara sepupu dinilai sebagai perkawinan yang ideal. Akan tetapi, perlu diingat bahwa agama (terutama Islam) melarang perkawinan sedarah dan perkawinan sesusuan.
2. Ada aturan Monogami dan poligami. Mengenai monogami, jelas semua norma membolehkan. Adapun mengenai poligami, ada yang melarang dan ada yang memperbolehkan. Agama Islam memperbolehkan poligami (An-Nisa: 3-5) dengan catatan hanya empat orang wanita yang boleh dinikahi. Mengenai poliandri, Banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan kebingungan mengenai status anak hasil perkawinan. Horton & Hunt (1984) mencontohkan suku Toda di India Selatan yang menganut sistem perkawinan poliandri ini.
3. Adanya perkawinan kelompok atau group marriage antara dua pasangan yang lebih pada waktu yang sama. Pada dasarnya, perkawinan ini diperbolehkan. Mengenai poligini, banyak yang tidak melakukan hal tersebut.
4. Ada aturan tersendiri mengenai sistem matrilineal, patrilineal, dan bilateral yang telah dijelaskan di atas. Pada intinya, walaupun secara genetis dan genealogis ada kecenderungan untuk menisbatkan keturunan pada satu garis, harus ada persamaan hak dan kewajiban secara kultural. Superordinasi atau subordinasi seyogianya tidak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Mengenai tempat tinggal, ada konsep matrilokal, patrilokal, bilokal, dan neolokal yang telah dijelaskan di atas. Yang jelas, tempat tinggal pascaperkawinan harus memiliki legitimasi secara moral dan agama. Menurut Sunarto (2004), ada juga sistem matri-patrilokal di mana pasangan berpindah menetap dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, juga ada konsep avunkulokal yang mirip dengan konsep mamak pada masyarakat matrilineal Minangkabau. Dalam konsep ini, laki-laki menetap di desa paman dari pihak ibu.
F. Contoh Masalah Keluarga : Kekerasan pada Anak
Pada dasarnya, masalah keluarga terdiri atas banyak jenis. Selain kekerasan pada anak, juga ada kekerasan terhadap isteri dan perceraian. Akan tetapi, kami akan mengetengahkan permasalahan kekerasan terhadap anak ini mengingat kasus-kasus ini cukup terselubung dikarenakan adanya paradigma pada orang tua yang memosisikan anak sebagai “beban” dan adanya pemahaman yang cenderung menganggap persoalan anak sebagai kasus domestik (local case) yang tidak memerlukan intervensi hukum dalam penyelesaiannya (Mulyadi, 2006; Suryadi, 2007)
Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak dalam kerangka UU tersebut harus mendapatkan hak-hak berupa hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak tersebut harus dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Adapun kekerasan dikenal dalam bahasa Inggris sebagai violence (Shadily,1984). Kekerasan merupakan bagian dari konflik sosial yang tak terkendali oleh masyarakat atau mengabaikan sama sekali norma dan nilai-nilai sosial yang ada sehingga berwujud pada tindakan destruktif (Muin,2004).
Sementara kekerasan terhadap anak dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Child Abuse. Istilah ini didefinisikan oleh Gill (1973) sebagai tindakan yang memengaruhi perkembangan anak sehingga perkembangannya menjadi tidak optimal lagi. Adapun menurut Snyder (1983), child abuse didefinisikan sebagai perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual.
Berdasarkan pengaduan masyarakat melalui hotline services dan pemantauan Pusdatin Komnas Perlindungan Anak terhadap 10 media cetak, selama tahun 2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak ditambah 130 kasus penelantaran anak.
Adapun dari penelusuran kami di berbagai media cetak dan elektronik, kami mendapat gambaran umum faktor penyebab kekerasan pada anak. Gambaran tersebut terungkap melalui statement dari berbagai analis kekerasan pada anak.
Secara umum, faktor-faktor penyebab tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Faktor sosiokultural, yaitu nilai/norma yang ada di masyarakat, hubungan antar manusia, dan kemajuan zaman. Menurut Sitohang (2007), kekerasan terhadap anak tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh faktor ini. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keadaan yang berasal dari anak itu sendiri, yang dikarenakan kondisi fisik yang ‘berbeda’, kondisi mental yang berbeda, tingkah laku berbeda, temperamen berbeda, dan status yang berbeda.
2. Kondisi perekonomian keluarga yang dilanda krisis. Menurut Rachma Fitriati, kasus-kasus kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa enam bulan terakhir ini, sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi.
3. Praktik-praktik kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri dan anaknya. Hal ini merupakan implikasi dari lima faktor pemicu kekerasan terhadap anak yaitu degradasi moral, kesalahan pola asuh, paparan media, tingginya kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan negera yang berpadu menjadi satu
4. Latar Belakang perlakuan dari orang tua terdahulu. Psikolog perkembangan Ardanti Ratna Widyastuti (Danti) mengajak kita untuk melihat masa 30-40 tahun ke belakang, bila ingin mencari akar permasalahan apa yang terjadi saat ini. Sebagaimana dikutip oleh Harian Pikiran Rakyat, beliau mengatakan bahwa dahulu, banyak orang tua yang berlaku kasar dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka.
5. Sikap mental yang tidak sehat dari orang tua atau pengasuh. Sikap tersebut tercermin dari perilaku yang merasa tidak bersalah, bahkan mencari justifikasi atas profesi atau perilaku yang sudah jelas tidak bisa diterima oleh masyarakat karena bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
6. Kesalahan paradigma masyarakat dalam menilai posisi anak. Dr. Seto Mulyadi dalam artikelnya di Harian Kompas, Kak Seto mengatakan bahwa ada paradigma keliru tentang anak di kalangan banyak orangtua. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orangtua masuk akal.
7. Rendahnya pemahaman keagamaan dan kualitas keimanan. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Yoyoh Yusroh mengatakan bahwa jika orang tua telah memiliki bekal agama yang cukup maka tidak akan tega melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dengan alasan apapun.
G. Kesimpulan
Dari analisis di atas, kami dapat kami simpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Keluarga merupakan lembaga yang memiliki peranan penting dalam proses alih kebudayaan, di mana keluarga adalah elemen terkecil dan fundamental dalm pendidikan seorang individu.
2. Keluarga, baik ditinjau secara genetis maupun secara kultural, memiliki sistem interaksi tersendiri yang membuat keluarga sebagai lembaga dapat memasuki struktur dan lapisan sosial di masyarakat.
3. Masalah keluarga, seperti kekerasan terhadap anak dan kekerasan terhadap isteri yang dikategorikan sebagai perilaku kriminal sudah seharusnya dijadikan isu publik sehingga persoalan kekerasan dalam keluarga ini jika telah melampaui batas dapat memasuki ranah hukum. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kemelut internal keluarga sebaiknya tidak dimasukkan ke ranah hukum secara terburu-buru, namun harus diselesaikan dulu secara internal dalam keluarga itu sendiri.
Fungsi keluarga sebagaimana yang disebutkan oleh Horton & Hunt (1984), seyogianya diperhatikan oleh keluarga beserta aturan-aturan yang mengkhususkannya.
1. Faktor sosiokultural, yaitu nilai/norma yang ada di masyarakat, hubungan antar manusia, dan kemajuan zaman. Menurut Sitohang (2007), kekerasan terhadap anak tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh faktor ini. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keadaan yang berasal dari anak itu sendiri, yang dikarenakan kondisi fisik yang ‘berbeda’, kondisi mental yang berbeda, tingkah laku berbeda, temperamen berbeda, dan status yang berbeda.
2. Kondisi perekonomian keluarga yang dilanda krisis. Menurut Rachma Fitriati, kasus-kasus kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa enam bulan terakhir ini, sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi.
3. Praktik-praktik kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri dan anaknya. Hal ini merupakan implikasi dari lima faktor pemicu kekerasan terhadap anak yaitu degradasi moral, kesalahan pola asuh, paparan media, tingginya kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan negera yang berpadu menjadi satu
4. Latar Belakang perlakuan dari orang tua terdahulu. Psikolog perkembangan Ardanti Ratna Widyastuti (Danti) mengajak kita untuk melihat masa 30-40 tahun ke belakang, bila ingin mencari akar permasalahan apa yang terjadi saat ini. Sebagaimana dikutip oleh Harian Pikiran Rakyat, beliau mengatakan bahwa dahulu, banyak orang tua yang berlaku kasar dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka.
5. Sikap mental yang tidak sehat dari orang tua atau pengasuh. Sikap tersebut tercermin dari perilaku yang merasa tidak bersalah, bahkan mencari justifikasi atas profesi atau perilaku yang sudah jelas tidak bisa diterima oleh masyarakat karena bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
6. Kesalahan paradigma masyarakat dalam menilai posisi anak. Dr. Seto Mulyadi dalam artikelnya di Harian Kompas, Kak Seto mengatakan bahwa ada paradigma keliru tentang anak di kalangan banyak orangtua. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orangtua masuk akal.
7. Rendahnya pemahaman keagamaan dan kualitas keimanan. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Yoyoh Yusroh mengatakan bahwa jika orang tua telah memiliki bekal agama yang cukup maka tidak akan tega melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dengan alasan apapun.
G. Kesimpulan
Dari analisis di atas, kami dapat kami simpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Keluarga merupakan lembaga yang memiliki peranan penting dalam proses alih kebudayaan, di mana keluarga adalah elemen terkecil dan fundamental dalm pendidikan seorang individu.
2. Keluarga, baik ditinjau secara genetis maupun secara kultural, memiliki sistem interaksi tersendiri yang membuat keluarga sebagai lembaga dapat memasuki struktur dan lapisan sosial di masyarakat.
3. Masalah keluarga, seperti kekerasan terhadap anak dan kekerasan terhadap isteri yang dikategorikan sebagai perilaku kriminal sudah seharusnya dijadikan isu publik sehingga persoalan kekerasan dalam keluarga ini jika telah melampaui batas dapat memasuki ranah hukum. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kemelut internal keluarga sebaiknya tidak dimasukkan ke ranah hukum secara terburu-buru, namun harus diselesaikan dulu secara internal dalam keluarga itu sendiri.
Fungsi keluarga sebagaimana yang disebutkan oleh Horton & Hunt (1984), seyogianya diperhatikan oleh keluarga beserta aturan-aturan yang mengkhususkannya.
H. Saran
Keluarga sangat penting bagi tiap individu dalam menghadapi perubahan sosial budaya. Oleh karena itu keluarga seharusnya dapat menjadi pengontrol dan pengawas bagi anggota-anggotanya. Selain itu kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seharusnya dapat dicegah apabila ada toleransi antar anggota keluarga.
Kami mengharapkan, keluarga dapat menjalankan fungsi dan perannya masing-masing sebagai bagian terkecil masyarakat. Bukankah perubahan itu dapat dimulai dari hal yang terkecil?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.
Dirdjosisworo, Soedjono, 1973. Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1989. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
_________________________________, 1989. Kamus Indonesia-Inggris. Jakarta: Gramedia.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1996. Sosiologi Edisi Keenam (Alih bahasa oleh Aminudin Rahman dan Tito Sobari). Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mu’in, Idianto, 2004, Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.
________________, Sosiologi SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.
Mulyadi, Seto, 2006. Kekerasan Pada Anak. Artikel dimuat di Kompas, 14 Januari 2006.
Polak, J.B.A.F Mayor, 1960, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Malang : Ichtiar.
Saptono dan Bambang Suteng. 2007. Sosiologi untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Phibeta.
Setiawan, Benni, 2003. Hentikan Tindak Kekerasan Terhadap Anak. Artikel dimuat di Koran Surya, 24 Maret 2007.
Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sitohang, Nur Asnah, 2004. Asuhan Keperawatan Pada Anak Child Abuse. Medan : USU Digital Library.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Indonesia.
Suryadi, 2007. Kekerasan Pada Anak, Kapan Berakhir? Artikel dimuat di Banjarmasin Post.
Pikiran Rakyat, 24 Maret 2006
Undang-Undang RI No. 23 Th. 2002.
Artikel ini merupakan Adaptasi dari Makalah Penulis ketika masih berstatus sebagai pelajar SMAN 1 Banjarmasin (2007). Didedikasikan untuk Bu Dra. Siti Khairiah, pengajar Sosiologi SMAN 1 Banjarmasin yang telah mengajar dengan sepenuh hati dan mendampingi penulis dalam berbagai kejuaraan karya tulis ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar