Jumat, 11 Mei 2012

Alabio: Potret Pergumulan Intelektual "Kaum Tuha" dan "Kaum Muda"

Berdasarkan penelitian Lemlita IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan  berdiri di mulai dari  Alabio  pada tahun 1925 yang dipelopori H. M. Japeri dan  H. Usman Amin. Baru setelah itu menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).

Berawal dari Alabio
Courtesy of Wikipedia
Mungkin agak sulit membayangkan bahwa Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan yang disebut-sebut "modernis" -jika tipologi ini bisa dipakai- bermula perkembangannya di Bumi Kalimantan Selatan pada sebuah 'desa' yang letaknya hampir 5 jam dari Kota Banjarmasin dan terletak di hulu Sungai bagian utara: Alabio.

Pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi 'tanah kelahiran' dari Muhammadiyah di Kalimantan Selatan ini. Saya ke Alabio dalam rangka memberi pelatihan kepenulisan dan jurnalistik kepada kawan-kawan mahasiswa dan pelajar di Amuntai, ibukota HSU yang berjarak 8 km dari Alabio (memenuhi undangan KAMMI dan FOSPEL Amuntai).

Secara kebetulan, saya juga punya 'darah' Alabio. Kakek dari ibu saya, Guru Nasri, adalah seorang guru di Alabio yang juga terlibat dalam persyarikatan hingga akhir hayatnya. Sehingga, dari Amuntai, saya langsung menyempatkan untuk 'singgah' di Alabio, sekadar makan itik dan shalat zuhur.

Berbicara Muhammadiyah di Banjar takkan terlepas dari Alabio. Meskipun berkembang pesat dan bermarkas di Banjarmasin, Muhammadiyah terlebih dulu maju dan berkembang dari desa ini. Sampai-sampai, pada tahun 2010 silam calon Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seakan-akan 'dipilih' pada latar primordial ini. Begitu penting dalam latar sejarah persyarikatan di Banua.

Alabio berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Wilayah ini sekarang masuk teritorial Hulu Sungai Utara. Warganya beternak itik  (bebek) yang menjadi ciri khas daerah ini. Begitu masuk ke Jembatan Alabio saja kita sudah disambut dengan patung itik.

Namun, selain beternak itik, jiwa dagang Urang Alabio juga kuat. Daerah ini juga dikenal dengan kelakar humornya, "mahalabio", sebagai bukti kepandaian 'urang banjar' dalam bersilat lidah.

Posisinya 'terkepung' di antara wilayah basis kaum Nahdhiyyin, seperti, misalnya, Amuntai (yang terkenal dengan KH Idham Chalid, mantan Ketua Umum PBNU), Pemangkih (Tuan Guru H Muhammad Ramli, pondok pesantren Ibnul Amin), atau Danau Panggang (Tuan Guru KH Asmuni/Guru Danau). Namun, dari daerah inilah bersemi benih 'modernisme' Muhammadiyah yang bergumul dengan tradisi 'kaum tuha' di Hulu Sungai.

Telaah Sosiologis
Sebagaimana jamak kita pahami, modernisme Islam biasanya berakar di wilayah-wilayah perkotaan. Di Jawa Tengah, misalnya, Muhammadiyah tumbuh pesat dari Yogyakarta, kota yang bersemai tradisi keraton yang cukup kuat. Wilayah lain di mana Muhammadiyah tumbuh pesat adalah Pekalongan, kota batik yang berada di pesisir utara pulau Jawa. 

Di Jawa Timur, Muhammadiyah terkembang dari Tambak Beras, di mana KH Mas Mansyur berdialektika dengan KH Wahab Chasbullah tentang modernitas, menjadikan mereka berpisah menjadi pimpinan dua organisasi Islam yang saling berhadapan.

Secara sosiologis, kita dapat memetakan pola konsentris masyarakat di Kalimantan Selatan menjadi dua bagian besar (lihat, misalnya: Darliansyah Hasdi, 2009). 

Pertama, masyarakat pahuluan yang tinggal di hulu Sungai Barito. Masyarakat Pahuluan ini tinggal di daerah yang kita kenal sebagai 'banua lima' (Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung). Ciri khas masyarakat ini adalah, kebanyakan, tidak bisa menyebut huruf 'e' dan 'o'. (ciri khas urang pahuluan).

Kedua, masyarakat Banjar Kuala yang tinggal di muara Sungai Barito, dari Marabahan, Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Pelaihari. Entah mengapa, banyak di antara urang Banjar Kuala ini (termasuk saya) yang tidak bisa menyebut huruf R. Ini jadi ciri khas tersendiri. 

Wilayah Banjar Pahuluan dulu pernah menjadi ibukota kerajaan Banjar Hindu. Ibukota kerajaan pernah berpusat di Amuntai (Candi Agung) dan Margasari Rantau. Namun, masuknya Islam di abad ke-16 dengan berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin mengubah peta konsentrasi penduduk. Wilayah perkotaan menjadi berpusat di daerah Muara.

Sehingga, jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis, 'kelas menengah' akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama Banjarmasin. Mengapa? Sebab posisinya strategis, berada di Muara Sungai yang berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Ini sebabnya dari dulu Banjarmasin terkenal sebagai kota perdagangan.

Sementara itu, pada abad ke-18, Kesultanan Banjar memindahkan pusat pemerintahannya ke Martapura (dulu bernama Kayutangi). Di era inilah lahir seorang ulama kenamaan, Syekh Arsyad Al-Banjari yang berdakwah dari Dalam Pagar (tanah yang diberikan oleh Sultan Rahmatillah). Sehingga, secara sosiologis ini menjelaskan mengapa wilayah Martapura sangat religius dan sangat fanatik dengan ulamanya.

Pembentukan 'style' faham keagamaan masyarakat Banjar, menurut saya, berakar dari tipologi ini. Jika kita simpulkan secara linear, seharusnya dengan interaksinya yang mudah dengan pihak luar, Banjarmasin akan sangat 'modernis'. 

Sementara itu, wilayah Martapura akan sangat fanatik dengan "Tuan Guru"-nya, terutama dengan 'trah' Palampayan (sebagai contoh, ada Mufti KH Jamaluddin dari Surgi Mufti atau KH Zaini Ghani dari Sekumpul yang merupakan keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari). Ini bisa dilihat dari posisi Guru Sekumpul yang sangat disegani dan ketika beliau meninggal, masyarakat merasa kehilangan yang sangat besar.

Adapun Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), akan bertipe tradisional dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang sangat kuat. 

Masyarakatnya hidup mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh figuritas ulama yang sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren sebagai wadah kaderisasi ulama. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa hal ini membedakan 'tipe' ulama di Hulu Sungai dan Martapura.

Jika kesimpulan tersebut kita ikuti secara linear, maka Muhammadiyah seharusnya tumbuh pesat dari wilayah Muara. Hal ini memang benar dan diafirmasi. Namun, pada faktanya, sebelum tumbuh di Banjarmasin dan wilayah Muara, Muhammadiyah justru bergeliat dari Alabio. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kaum Tuha dan Kaum Muda
Sebagaimana dinyatakan Hairus Salim HS (2009), identitas suku dan agama di Banjar memang punya ciri yang sangat khas, yaitu ada 'ketumpang-tindihan' dua identitas itu. Bagi urang Banjar, ada sebuah adagium 'Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar'. 

Menurut Hairus Salim, hal ini berimplikasi pada model keber-Islaman orang Banjar yang sangat menjunjung tinggi tradisi agama, biarpun itu sudah bercampur dengan sesuatu yang "di luar" agama (bahasa  kaum modernis: Bid'ah).

Hal ini terjadi di kalangan 'Kaum Tuha' menghadapi kelahiran kaum Muda atau Muhammadiyah ini. Beragam perdebatan agama terjadi, dan itu akhirnya menjadi sesuatu yang umum. Di Kandangan, Barabai, bahkan Banjarmasin, perselisihan paham agama ini terjadi.

Muhammadiyah bahkan awal mulanya disangka 'keluar dari agama' karena amalannya bertolak belakang dengan amalan Tuan Guru di pengajian. Misalnya, tidak pakai qunut subuh atau tidak ber-ushalli dalam Shalat. Tetapi, karena keteguhan prinsip agama dari para pendahulu, dialektika ini terjadi.

Ada sebuah istilah yang cukup sering digunakan melihat fragmentasi ini: 'kaum muda' dan 'kaum tuha'. Kaum Muda merujuk pada kalangan Muhammadiyah dan 'Islam Modernis', sementara Kaum Tuha merujuk pada NU dan 'Islam Tradisionalis'.

Istilah ini mengemuka karena yang membawa Muhammadiyah ke Banjar adalah orang-orang Muda. Nanti akan kita temukan pergumulan pedagang Usman Amin dan H. Jaferi yang membawa Muhammadiyah ke Alabio.

'Kaum Tuha' kukuh dengan adat dan tradisinya. Mereka ditopang oleh struktur pesantren dan jejaring pengajian (majelis Ta'lim) di desa-desa. Tuan Guru biasa membacakan 'kitab' dan peserta pengajian membacakan. Relasinya sangat kuat. 

Guru menjadi figur yang sangat dihormati karena ke-alim-annya. Dalam wilayah agama, tak ada yang bisa membantah kaum Tuha.

Belakangan, ada beberapa 'kaum Muda' yang kritis. Terlebih setelah akses informasi atas kitab terbuka. H. Jaferi yang menuntut ilmu ke berbagai daerah rupanya kurang puas. Ia berinteraksi dengan H. Usman Amin, seorang pedagang Alabio di Surabaya yang sudah menerima Muhammadiyah.

Singkat kata, pergumulan dua orang ini melahirkan Muhammadiyah. Respons kaum Tuha juga keras. Sebab, keberadaan Muhammadiyah akan merusak tradisi keagamaan yang berpilar kuat di Kalimantan Selatan. Ini mungkin dampak dari kultur masyarakat Banjar yang monolitik dalam keagamaan -meminjam bahasa Hairus Salim. 

Dan pertentangan ini terkadang menjalar juga pada relasi sosial. Kaum Muda dan Kaum Tuha menjadi sebuah fenomena sosial tatkala faham keagamaan juga meluber hingga pergaulan di warung-warung, di rumah-rumah, atau bahkan pada soal sosial lain.

Di Alabio, rupanya hal ini terjadi. Keluarga saya menuturkan, "sungai" seakan menjadi pembatas, mana wilayah kaum muda dan mana daerah kaum Tuha. Yang di seberang sungai terkadang 'kada merawa' dengan kaum muda, atau perdebatan berakhir agak panas. 

Tetapi, kerukunan tetap terjaga, karena terkadang pula terjadi pernikahan antara 'kaum muda' dan 'kaum Tuha'. Sesuatu yang bagi saya agak lucu, mengingat pada tingkat 'mertua' atau 'keluarga' perbedaan pendapat dalam hal agama terkadang membawa pada kada berawaan atau kada betaguran, walaupun setelah di mesjid berjamaah lagi.

Ini yang menjelaskan mengapa di keluarga saya, ketika terjadi perbedaan hari raya (yang hal ini sering terjadi antara Muhammadiyah dan NU), kakek dan nenek berbeda pendapat di satu rumah adalah hal yang biasa. Sebab, ada 'percampuran' kaum Muda dan kaum Tuha. Kakek adalah zuriyat Kalampayan yang sangat fanatik dengan tradisi, sementara nenek justru dibesarkan di lingkungan pendiri Muhammadiyah.

Friksi dan Pergumulan yang lebih bersifat intelektual ini jelas dipengaruhi oleh soal-soal sosial. Maka, yang jadi pertanyaan, mengapa justru Muhammadiyah bertumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang 'terkepung' oleh tradisionalisme seperti Alabio?

Sejarah Muhammadiyah
courtesy of Radar Banjarmasin
Berbicara tentang Muhammadiyah di Alabio takkan lepas dari dua nama: H. Jaferi dan H. Usman Amin. Berikut saya kutipkan sejarah singkat Muhammadiyah di Alabio dari situs PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan (http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html)

"Di Surabaya, ketika itu bertempat tinggal seorang berasal dari Alabio, yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka di kalangan masyarakat Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya di Surabaya, dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M. Japeri sering mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman Amin, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan, panti-panti asuhan dan memelihara mesjid-mesjid, gerakan itu ialah Muhammadiyah.
 
H. M. Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian dengan hasil bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di Indonesia sendiri, terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri seperti Mesir, Arabia, India, dan lain-lain.
 
Semuanya itu menimbulkan rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang Muhammadiyah kepadanya.
 
Sebelum secara resmi menerima dan menabur benih Muhammadiyah di Alabio, H. M. Japeri sudah mulai berusaha dengan lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan memajukan umat Islam di Alabio dan sekitarnya, yakni dengan jalan mengajak persatuan, memberikan pengajaran dan tabligh sepanjang kemauan ajaran agama Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Bersungguh-sungguh beliau merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan yang kolot dengan cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.
 
Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan-perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan kesukaran dalam usahanya mencari keridhaan Allah.
 
Dalam bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja pergi sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. 

Ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu sekaligus untuk melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha Muhammadiyah.
 
Sayang sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923. Yang beliau tengok ialah makam kubur KH. A. Dahlan di Karangkajen, Yogyakarta.
 
Sekembalinya dari Yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan teman-teman beliau sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan budiman, yang berhasil kemudian secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.
 
Teman-teman beliau yang menjadi orang-orang pertama bersama beliau mendirikan Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera dan lain-lain.
 
H. M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota Muhammadiyah dan No. 12.541 menyatakan jumlah anggota Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini. "

Itulah Muhammadiyah, menyebar dari sebuah desa bernama Alabio. Memang tidak bisa dikatakan bahwa semua orang Alabio adalah 'kaum muda'. Ada juga 'kaum tuha' di sini, tapi dialektika itu bermula dari sini, dan juga berjalan dengan harmonis di desa kecil ini.

Di Alabio pula berdiri salah satu Mesjid Muhammadiyah tertua di Kalimantan Selatan, Mesjid Al-Amin. Mesjid ini diberi nama dari pendiri Muhammadiyah, H. Usman Amin. Mesjid ini awalnya bernama mesjid Kajang, tidak jauh dari Muara Tapus.

Di samping Mesjid, ada Madrasah Muallimin Alabio yang kini dikembangkan menjadi Pesantren yang langsung dikelola oleh PW Muhammadiyah Kalsel. Salah satu pesantren Muhammadiyah di antara pesantren kaum tradisionalis. Amal usaha yang mula-mula berdiri, selain sekolah, adalah panti asuhan di pertengahan dekade 1930-an.

Muhammadiyah  dengan megah berdiri dari sebuah desa yang tak begitu besar: Alabio. Itulah sebabnya, beberapa tokoh Muhammadiyah Kalimantan Selatan adalah Urang Alabio. Sebut saja, misalnya, Syarwani Nunci, Adijani Al-Alabij, Umransyah Alie, Riza Rahman, Khairullah, sampai Abdul Chalik Dahlan.

Sudah berulang kali Ketua Muhammadiyah dijabat Urang Alabio. Mungkin H. Hasan Tjorong atau Gt Abdul Muis jadi pengecualian, berasal dari Banjarmasin dan Martapura. Tapi tetap saja banyak Urang Alabio-nya.

Jika anda berjalan ke Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, salah satu Mesjid Muhammadiyah yang cukup terkenal di Banjarmasin, jangan terkejut jika di sana banyak Urang Alabio. Dan kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang atau guru.

Penjelasan Sosioekonomis
Lantas, mengapa Muhammadiyah berkembang dan kemudian menyebar, bergumul secara dialektis dengan 'kaum Tuha' justru dari sebuah desa bernama Alabio?

Perihal sosioekonomis mungkin jadi penjelasan. Harus diakui, kebanyakan Urang Alabio yang menjadi anggota Muhammadiyah adalah pedagang dan guru. Di Banjarmasin, urang Alabio banyak yang jadi jamaah Mesjid Al-Jihad, dan rata-rata punya mobilitas sosial ekonomi cukup kuat dengan berdagang. Bahkan seorang ustadz pun berdagang (Ustadz Riza Rahman). Selebihnya, menjadi guru atau dosen.

Profesi berdagang, baik sekadar di pasar maupun di wilayah yang lebih luas, mempengaruhi cara berpikir Urang Alabio. Bacaan kitab tidak lagi melulu terpaku pada Tuan Guru karena pergaulan yang luas mengakibatkan bacaan bertambah. Alhasil, daya kritis meningkat. Apalagi yang berprofesi sebagai guru atau dosen, jelas akan bergumul dengan yang namanya bacaan.

Hal ini menyebabkan kritisisme terhadap Tuan Guru dan tatanan Tradisi menguat. Lahirlah 'pemberontakan kultural', semisal dengan pendeklarasian Muhammadiyah. Posisi ini semakin kuat dengan masuknya beberapa ambtenaar di pemerintahan seperti Kyai Hasan Corong ke Muhammadiyah di Banjarmasin. Masyarakat semakin teredukasi.

Dalam corak berpikir semacam ini, kritisisme terhadap Tuan Guru menjadi ciri khas pemikiran keagamaan kaum Muda atas kaum Tuha. Dan penjelasan seperti ini bisa dibaca pada munculnya 'kelas menengah' Urang Alabio di Kalimantan Selatan.

Lemlita IAIN Antasari pernah merilis penelitian tentang korelasi antara profesi pedagang Urang Alabio dengan pemikiran keagamaan Muhammadiyah untuk mengupas hal ini. Tesis Kuntowijoyo bahwa agama dipengaruhi oleh struktur ekonomi bisa kita baca kebenarannya di sini.

Dan dengan hal ini, kemunculan Muhammadiyah di Hulu Sungai bisa terbaca dengan lebih mudah. Alabio, dengan segenap ciri khasnya, menjadi salah satu khazanah Islam di Kalimantan Selatan.

"Ulama" Mahalabio
"Wahini zaman sudah moderen jadi ulama kada tapakai lagi. Maka pas tekana jalan rusak, sidin sarik amun diaspal " Candaan seorang teman di salah satu blog. "Sekarang sudah moderen, ulama tidak lagi diakui", katanya . Kaum Tuha pasti akan sarik (marah), seandainya ini tidak dibaca dengan gaya 'mahalabio'.

Ya, humor khas Alabio yang menjadikan sesuatu yang serius menjadi candaan -karena diungkapkan dengan ambigu, he he. Humor khas urang Banjar ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pergumulan kaum muda dan kaum tuha tidak berlatar konflik sosial.

 Jadi, meski 'kaum muda' dan 'kaum tuha' bergumul secara intelektual, kada berawaan secara sosial, tetap saja bercandaannya sama, alias katuju Mahalabio. Masyarakatnya memang sangat humoris.  

Bicara soal mahalabio, saya jadi terkenang dengan Ustadz Darliansyah Hasdi, penceramah Muhammadiyah di Sungai Lulut yang suka mahalabio ketika ceramah, baik di Al-Jihad sampai Hasanuddin. Kini beliau telah tiada, rupanya berpulang ke rahmatullah di tahun 2010 silam. Salah satu ustadz favorit saya ketika mengaji duduk di SMA dulu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.

Inilah yang bisa dipetk dari perjalanan kemaren, walau tak lama berada di Alabio. Itik panggang dan nasi lakatan di Pasar Alabio cukup menjadi pemuas kerinduan sebelum ke Yogya lagi. Ah, semoga bisa pulang lagi.

Yogyakarta, 11 Mei 2012.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus tulisannya bang, saya alumni dari ponpes Nurul Amin Muhammadiyah Alabio. Ponpes yg anda mksud di tulisan di atas. Hee