Selasa, 06 April 2010

Teknologi, Kapital, dan Peran Negara


“In most economies the private sector is the main source of technology development and transfers”
-Brendan Baker dan Akira Goto-

Persoalan teknologi dalam ekonomi politik internasional, sejak pasca-Perang Dunia II, ramai diperdebatkan. Teknologi tidak saja menjadi sebuah pelengkap dalam kehidupan, tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern. Oleh karena itu, inovasi dan transfer teknologi menjadi isu yang cukup penting dalam ekonomi politik internasional.

Membaca Perspektif: Relasi Negara, Swasta, dan Teknologi

Sebelum menganalisis artikel Brendan Baker & Akira Goto berjudul “Technological Systems, Inovation and Transfer (2009), kita perlu memahami tiga kacamata yang digunakan untuk menganalisis teknologi dalam ekonomi politik internasional: merkantilisme, liberalisme, dan strukturalisme. Logika merkantilis menempatkan negara sebagai aktor utama dalam pengelolaan, transfer, dan inovasi teknologi. Lahirlah industrialisasi sebagai manifes dari perspektif merkantilisme dalam teknologi.

Perspektif ini coba dibantah oleh liberalisme yang menafikan peran negara terlalu besar: pihak swastalah yang memegang peran penting. Gagasan pihak swasta sebagai aktor inovasi dan transfer teknologi, serta negara sebagai penyedia riset dan teknologi menjadi wujud nyata dari liberalisasi pengelolaan teknologi (Baker & Goto, 2009). Sehingga, kemampuan teknologi akan sangat tergantung oleh kapital yang dimiliki dalam melakukan inovasi dan transfer teknologi. Gagasan liberal, seperti dikatakan oleh Todaro (1978), mengharapkan terjadinya “interdependensi” atau hubungan saling-bergantung dalam pengelolaan teknologi, yaitu ketika proses transfer teknologi berjalan lancar.

Sedangkan perspektif strukturalisme, berkaca pada kontgradiksi-kontradiksi yang terjadi ketika sudut pandang liberal diterapkan, menolak peran pasar yang terlalu sentral. Seperti diungkapkan oleh Rubinstein (1931) di atas, teknologi dan ilmu pengetahuan modern merupakan turunan dari kapitalisme dan hanya akan menumbuhkan borjuasi yang melestarikan tradisi penindasan terhadap kaum marjinal, jika pengelolaan teknologi tersebut diserahkan kepada pasar.

Marx (1887) mengkritik proses kapitalisme industrial yang memanfaatkan surplus-value atau nilai-lebih, yang dihasilkan dari waktu kerja buruh yang lebih besar dari kemampuan optimumnya, sehingga keuntungan pemilik modal menjadi lebih besar dan berlipat ganda. Ketika teknologi diserahkan kepada pebisnis, proses yang akan terjadi pada kelas pekerja juga akan berkisar pada surplus-value ini. Padahal, menurut Marx (1887), proses ini membuat para pekerja “opposes himself to nature”: melawan logika alam.

Sistem Inovasi Teknologi: Nasional, Regional, dan Global

Apa yang telah ditulis oleh Baker & Goto tentang national systems of innovation telah memberi sebuah tawaran bagi pengelolaan teknologi. Gagasan ini berawal dari asumsi bahwa performa kompetitif sebuah negara tergantung pada kemampuan teknologi dari perusahaan nasional, dan kemampuan teknologi tersebut juga tergantung pada faktor-faktor eksternal dari perusahaan negara, seperti fasilitas pengembangan dan kemampuan keuangan (h. 253).

Menurut Baker & Goto, inovasi dan transfer teknologi ddilakukan dengan melibatkan setidaknya tiga variabel penting. Pertama, adanya sektor privat yang melakukan inovasi dan penemuan teknologi. Kedua, peran pemerintah mendukung sektor privat dengan melakukan pembiayaan R&D secara konsisten. Ketiga, adanya relasi yang terjalin baik pada level regional, yang dibagi oleh Baker & Goto menjadi tiga regional: Asia-Pasifik “Eropa”, Asia Timur, dan Asia Tenggara, agar distribusi dari transfer teknologi ini lebih merata.

Dengan mengacu pada logika ini, Baker & Goto masuk pada sebuah kacamata pandang liberalistik, yang mengacu pada interdependensi antara negara maju (European-Asia Pacific) kepada negara berkembang (ASEAN). Baker & Goto mengilustrasikan adanya aliran teknologi dan sumber daya manusia (pekerja) yang dihasilkan dari interdepensi ini. Aliran utama dari Amerika Serikat ke Jepang telah melahirkan aliran lain ke negara-negara di Asia Timur dan ASEAN (h. 261).

Dalam konteks tenaga kerja, sistem inovasi nasional dari teknologi berimplikasi pada aliran tenaga kerja terdidik yang dihasilkan dari alih teknologi oleh perusahaan multinasional. Tentu saja, besarnya investasi asing (FDI) telah memberi kontribusi pada tenaga kerja penyerapan tenaga kerja bagi perusahaan, dan artinya mengurangi pengangguran (h. 266). Jaringan yang dibuat oleh Taiwan dan Jepang, juga sebagian Asia Tenggara, melalui tenaga kerja yang didik di AS, telah berkontribusi pada alih teknologi ke negara tersebut.

Aliran-aliran tersebut tentu saja tidak langsung datang ke negara tersebut. Menurut Baker & Goto, sistem inovasi yang bersifat nasional tersebut perlu diperluas ke level regional dengan menginternasionalisasikan sistem riset dan pengembangan mereka (h. 267). Pertukaran teknologi, dengan konteks regional yang semakin maju, perlu dilakukan ke negara-negara yang bertetangga, sehingga pengeluaran alih teknologi tidak lagi terlalu besar.

Untuk itulah, Baker & Goto berkesimpulan bahwa sistem inovasi yang berskala nasional, regional, bahkan global dengan menempatkan riset dan pengembangan sebagai peran negara, dan perusahaan multinasional, dapat menjadi sebuah alternatif solusi untuk menemukan sistem transfer dan inovasi teknologi bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik (h. 270). Struktur industri dan teknologi yang dimainkan oleh MNC, dengan negara sebagai pemain dalam R&D, memerlukan pembangunan struktur regional yang nantinya akan mengarah pada sistem inovasi yang bersifat global (h. 271).

Dengan membaca logika berpikir sebagaimana yang ditawarkan oleh Baker & Goto ini, penulis berkesimpulan bahwa cara pandang yang digunakan sangat khas dan berkarakter liberal, dengan kerjasama erat antara institusi negara, sektor privat, dan aktor-aktor transnasional yang mewarnai hubungan ekonomi di suatu negara. Persoalannya, apakah distribusi teknologi, jika proses transfernya diberikan pada MNC dan negara hanya menjadi penyedia jasa R&D, dapat diterima oleh semua elemen, termasuk orang-orang miskin yang marjinal karena tidak adanya kapital? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada kritik mengenai kontradiksi liberal yang ditawarkan dalam ekonomi politik teknologi.

Dimensi yang Terabaikan

Tawaran Brendan Baker & Akira Goto di atas sekilas memberi sebuah angin segar bagi sebagian kalangan, bahwa dengan efek spill-over dan trickle-down yang dihasilkan dari proses alih teknologi antara negara maju dan negara berkembang, secara otomatis kesejahteraan rakyat akan terpengaruh. Namun, benarkah hal tersebut terjadi dalam konteks negara yang kapitalnya tidak kuat?

Setidaknya, ada beberapa implikasi jika kita mempercayai pasar terlalu besar dalam pengelolaan, inovasi, dan transfer teknologi. Pertama, jika swasta –apalagi swasta asing—memegang peranan terlalu besar dalam inovasi teknologi, penggunaannya justru digunakan bukan untuk kepentingan negara, melainkan untuk kepentingan bisnis. Teknologi digunakan untuk mengakumulasi kapital sehingga dapat menjadi sarana melipatgandakan keuntungan.

Di sini, kita patut mempertanyakan peran perusahaan multinasional. Apakah kita dapat seyakin Baker & Goto dengan menyatakan bahwa perusahaan multinasional berperan sangat penting dalam transfer teknologi? Persoalannya bukan mampu atau tidak mampu, tetapi pada “untuk apa” teknologi tersebut digunakan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, beberapa perusahaan multinasional tidak hanya melakukan alih teknologi, tetapi juga menggunakan teknologi untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Di lain pihak, rakyat masih terperangkap pada kemiskinan yang, ironisnya, bersifat struktural.

Rais (2008: 258) menyebut fenomena ini sebagai “state-corporate crime” atau kejahatan korporasi yang dibiarkan atau difasilitasi oleh negara. Kasus Papua menjadi sebuah bukti bahwa alih teknologi yang melibatkan pihak swasta tidak berakhir manis, justru mengundang penderitaan. Sebagai daerah terbesar ketiga dalam sumber daya emas dan nomor satu terbesar dalam produksi tembaga, mestinya Papua menjadi daerah yang sejahtera. Akan tetapi, di Yahukimo, rakyat justru kelaparan ketika di samping mereka terjadi penambangan emas secara besar-besaran yang dilakukan oleh oknum perusahaan multinasional. Apakah, dengan kasus tersebut, ada spill-over atau tricke down effects yang didapatkan dari kerjasama “manis” dengan perusahaan multinasional,? Tentu saja tidak.

Kedua, terciptanya disparitas berbasis kapital yang dimiliki dan borjuasi di level lokal dan nasional. Ketika alih teknologi diserahkan pada pasar tanpa kontrol dari negara, teknologi menjadi barang konsumsi yang harus dibayarkan dengan uang. Tentu saja, biaya untuk konsumsi produk ini sangat tergantung pada biaya produksi. There is no free lunch.

Lantas, dengan adanya Baker & Goto mungkin telah menggambarkan adanya aliran tenaga kerja terdidik yang diciptakan dari sistem inovasi teknologi yang bersifat nasional, regional, bahkan global tersebut. Tetapi, kita juga tak boleh lupa bahwa aliran tenaga kerja yang tak terdidik dan terperangkap pada jebakan outsourcing akibat kebijakan nilai-lebih yang diberlakukan oleh perusahaan multinasional juga berjumlah lebih banyak.

Ketika hal ini terjadi, akan muncul setidaknya dua masalah. Pertama, mereka yang tidak memiliki modal besar akan termarjinalkan dalam aktivitas perekonomian karena tak mampu berkompetisi secara modal. Hal ini akan melahirkan kemiskinan yang terjadi bukan karena mereka tidak mampu bersaing atau mencari pekerjaan, tetapi karena kondisi objektif mengharuskan demikian. Jika kita pandang dari kacamata strukturalisme, situasi semacam ini disebut sebagai kemiskinan struktural.

Kedua, munculnya kelas-kelas pekerja yang tersubordinasi oleh borjuasi. Pemilik modal besar atau industriawan pasti akan memerlukan tenaga kerja untuk menjalankan aktivitas produksi. Kemiskinan akan membuat mereka yang miskin bekerja kepada pemilik modal besar. Muncullah term-term seperti kerja kontrak (outsourcing), buruh, dan lain sebagainya. Dalam artikel Baker & Goto di atas, proses spill-over dan trickle-down tersebut tidak terjadi di beberapa negara, justru meneguhkan borjuasi atau kelas pemilik modal yang “high-tech” serta menciptakan disparitas dengan kaum miskin yang marjinal (secara politik maupun ekonomi) karena ketidakmampuan mereka membeli teknologi.

Penulis lain seperti Hadiz (1999) mengkritik teori negara pasca-kolonial yang sangat bertumpu pada logika di atas. Negara pasca-kolonial seakan-akan diposisikan sebagai sebuah negara yang siap untuk menerima pengaruh eksternal apapun, padahal yang akan muncul sebenarnya hanya penindasan kelas marjinal oleh kelas pemodal. Alih teknologi yang dilakukan tergesa-gesa hanya menumbuhkan dependensi antara negara core dan peripheral.

Letak ketidaktepatan analisis Baker & Goto adalah pada analisisnya yang hanya berfokus sentral pada negara-negara tertentu, seperti Malaysia, Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan negara-negara maju lain. Baker & Goto tidak melihat Myanmar yang masih berada di jurang kemiskinan akibat otoritarianisme. Baker & Goto tidak melebarkan analisis pada negara-negara Asia Selatan yang eknominya kurang mapan. Apakah sistem inovasi teknologi, jika diaplikasikan di negara-negara tersebut, juga menghasilkan interdependensi?

Maka, mengutip istilah Brata (2007), korupsi yang paling hebat adalah ketika muncul kaum borjuis yang memperkaya diri secara besar-besaran, tetapi menolak perbaikan taraf hidup rakyat miskin yang tertindas secara struktural. Kelas pekerja dan kelas marjinal akan menjadi korban ketika teknologi dikuasai oleh oligarkhi kompleks antara negara, pemilik modal, dan para teknokrat yang melakukan proses perencanaan dan produksi.

Simpulan Analisis: Where is the Role of State?

Maka, kontradiksi-kontradiksi liberal yang digagas oleh Baker & Goto karena fokus analisisnya yang terlalu mengabaikan posisi rakyat dan berpihak pada pasar perlu diluruskan. Peran negara dalam ekonomi transfer dan inovasi teknologi bukan hanya sebatas R&D (litbang), tetapi juga dalam proses distribusi kepada rakyat. Persoalan sentralitas peran negara mungkin masih dalam perdebatan, tetapi negara tetap harus berperan untuk menjaga agar teknologi dapat dikonsumsi oleh semua pihak, termasuk rakyat miskin yang marjinal.

Oleh karena itu, mengutip istilah Paul Krugman (2008), bahwa proses liberalisasi tidak lantas diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di semua negara. Justru, liberalisasi hanya menghasilkan inequality dan disparitas yang mengharuskan adanya redistribusi. Liberalisasi teknologi, dengan kerjasama kompleks antara pasar dan negara, juga berpotensi menghasilkan disparitas tersebut. Sugiono (1999), justru menyebut bahwa negara-pasar hanyalah sebuah gagasan: konsepsi pasar diterjemahkan secara berbeda di banyak negara.

Maka, kedaulatan negara pada perekonomian, masih sangat diperlukan dalam batas-batas tertentu. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Pemerintahan Yudhoyono-Boediono yang akan menjawabnya dalam lima tahun ke depan.

Daftar Pustaka

Baker, Brendan dan Akira Goto. Technological Systems, Innovation and Transfers. Artikel dikutip dari reading bricks mata kuliah Ekonomi Politik Internasional, cluster Ekonomi Politik Teknologi, 2009.

Brata, Ravi. The New Golden Age (New York: Palgrave-MacMillan, 1997).

Clements, Kevin. From Left to Right in Development Theory, pent. Endi Haryono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kedua).

Hadiz, Vedi R. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial (Yogyakarta: Insist Press, 1999).

Krugman, Paul. “Inequality and Redistribution” dalam Narcis Serra dan Joseph Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a New Global Governance? (Oxford: Oxford University Press, 2007).

Marx, Karl. Das Kapital: Kritik der Politischen Oekonomie, translated by Samuel Moore and Edward Aveling (New York: L.W. Schmidt, 1887).

Rais, Mohammad Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008).

_____________________. Beranikah Indonesia Menghentikan Penjajahan Freeport? Tidak. Disampaikan dalam Acara Seminar dan Launching Buku “Beranikah Indonesia Menghadapi Penjajahan Freeport?” Gedung Nusantara V DPR-RI, 28 Maret 2007.

Rubinstein, Mark. Relations of Science, Technology, and Economics Under Capitalism and in the Sovyet Union. Makalah dipresentasikan pada Kongres Internasional mengenai Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di London, 29 Juni – 31 Juli 1931, oleh Delegasi USSR. Artikel Didownload dari http://www.marxists.org/subject/science/essays/rubinstein.htm

Serra, Narcis, Shari Spiegel, dan Joseph E. Stiglitz. “Introduction: From the Washington Consensus Towards a New Global Governance” dalam Narcis Serra dan Joseph Stiglitz. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a New Global Governance? (Oxford: Oxford University Press, 2007).

Sugiono, Muhadi. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Todaro, Michael P. Economic Development in The Third World pent. Mursid Amiruddin (Jakarta: Ghalia, 1987).

Tidak ada komentar: