Sebagai sebuah negara demokratis dan menerapkan nilai-nilai liberalisme, UK (Inggris) jelas sangat menghormati hak-hak asasi manusia. Inggris telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan European Convention of Human Rights (EHCR) yang telah menggariskan adanya perlindungan atas hak-hak kaum sipil. Protocol dari ICCPR dan Protocol 12 dari EHCR menyebutkan, hak-hak minoritas harus mendapat proteksi hukum dari tindakan-tindakan pelanggaran HAM[1].
Payung Hukum Proteksi Hak-Hak Minoritas
Pada dasarnya, proteksi terhadap hak minoritas telah diregulasi oleh pemerintah Inggris melalui Human Rights Act di tahun 1998 yang telah membuka pintu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Mengingat sistem hukum Inggris yang menyesuaikan diri dengan sistem hukum di Negara-negara bagian, maka regulasi yang bersifat komprehensif dapat kita temui di Negara-negara bagian tersebut.
Laporan Open Society Institute tahun 2002 menyebutkan bahwa perlindungan hak-hak minoritas dalam hal anti-diskriminasi dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Inggris (
Masih menurut laporan Open Society Institute, setidaknya ada 30 undang-undang yang relevan, 38 statutory instruments (instrument hukum yang digunakan di Irlandia dan Irlandia Utara), 11 codes of pratices (peraturan khas anglo-saxon), dan 12 petunjuk langsung yang relevan dalam mengatur persoalan anti-diskriminasi secara legal[3]. Adanya peraturan-peraturan tersebut
Selain itu, masing-masing daerah juga memiliki biro yang khusus menangani persoalan diskriminasi. Akan tetapi, tidak semua daerah meregulasi persoalan mengenai diskriminasi beragama –persoalan yang kami jadikan focus analisis utama— dalam tata hukum di daerahnya. Laporan Open Society Institute menyebutkan bahwa hanya Irlandia Utara yang memberi porsi perlindungan atas diskriminasi berbau agama.[4]
Dalam konteks proteksi terhadap hak-hak minoritas, Human Rights Act (HRA), legal basis dari proteksi dan anti-diskriminasi yang disahkan pada tahun 1998 pada dasarnya merupakan penyesuaian dari European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (EHCR) yang dilaksanakan dalam sistem Anglo-Saxon. Section 13 dari HRA telah menjamin bahwa ada kebebasan individu untuk beragama. Hal ini juga tertuang dalam EHCR Article 9 yang pada intinya memberi kebebasan pada individu untuk melaksanakan pemikiran, ajaran, dan aktivitas keagamaan yang dianutnya secara bebas.
Article 9 tersebut berbunyi,
Article 9. Freedom of Thought, Conscience, and Religion
(1) Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief, in worship, teaching, practice and Observance;
(2) Freedom to manifest one's religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others.
European Convention on Human Rights, Article 9[5]
Pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu Uni Eropa, peraturan anti-diskriminasi telah ada seiring dengan munculnya EHCR. Bagian terpenting dari konvensi tersebut, berdasarkan rekomendasi Open Society Institute, adalah protocol 12 yang membahas persoalan non-diskriminasi terhadap minoritas secara lebih mendetail.
Protocol 12 tersebut merupakan penjabaran dari Article 14 European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms[6]. Tidak jelas apakah pemerintah Inggris mengadopsi protocol ini dalam sistem hukum mereka. Article 14 tersebut selengkapnya berbunyi,
Article 14. Prohibition of discrimination
The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this Convention shall be secured without discrimination on any ground such as sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status.
European Convention on Human Rights, Article 14[7]
Adapun protocol 12 yang merupakan penjelasan dari Article 14 tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut,
Protocol 12
(1) The enjoyment of any right set forth by law shall be secured without discrimination on any ground such as sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status;
(2) No one shall be discriminated against by any public authority on any ground such as those mentioned in paragraph 1.
European Convention on Human Rights, Article 14, Protocol 12[8]
Protocol 12 tersebut menyebutkan bahwa semua orang harus dijamin hak-haknya dari semua bentuk diskriminasi, salah satunya berkaitan dengan agama. Dengan adanya protocol ini, kasus-kasus diskriminasi yang dialami oleh beberapa muslimah dengan alasan mengenakan jilbab atas dasar ajaran Islam seharusnya tidak terjadi. Setiap orang memiliki hak untuk menjalankan ajaran agamanya secara bebas dan non-diskriminatif selama ajaran tersebut tidak mengganggu hak orang lain.
Kasus Bushra Noah dan Shabina Begum: Bukti Lemahnya Proteksi?
Persoalannya, ada beberapa kasus yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan keagamaan yang “dilarang” oleh masyarakat. Beberapa bulan yang lalu, media terkemuka Inggris, BBC, melaporkan bahwa seorang muslimah, Bushra Noah (19), memenangkan tuntutan sebesar £4,000 atas sebuah salon yang tidak mengizinkannya mengenakan jilbab untuk bekerja (BBC, 16/6/2008)[9].
Ms. Noah menyatakan pada BBC bahwa pihak salon telah menolak lamaran pekerjaannya dengan alasan, “due to headscarf (jilbab, pent). Ms. Noah kemudian mengajukan sebuah gugatan kepada pihak salon di pengadilan Inggris terkait hal ini yang kemudian dimenangkan oleh Ms. Noah. Kasus ini juga diberitakanan oleh harian The Sun ((17/6/2008) yang menyebut kasus ini dalam pemberitaannya sebagai “religious discrimination”[10].
Kemenangan Bushra Noah dapat dipandang dari dua perspektif. Pertama, kasus yang dihadapi oleh Bushra Noah menunjukkan bahwa keberadaan minoritas masih menghadapi suara-suara yang tidak diinginkan dari masyarakat Inggris. Penolakan dari pemilik salon mengindikasikan adanya kecenderungan negatif terhadap minoritas atau bahkan islamophobia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah karena berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
Kedua, kemenangan dari Bushra Noah ini mengindikasikan masih adanya perhatian pemerintah Inggris berkaitan dengan persoalan hak minoritas kendati regulasi hukum yang bersifat permanen dan mendetail masih belum ada. Pemerintah Inggris masih melihat hak yang dimiliki oleh Bushra Noah sebagai sebuah kasus hukum, sehingga diskriminasi terhadap minoritas dapat terselesaikan. Hanya saja, regulasi hukum yang mengatur hak-hak minoritas ini masih sangat diperlukan, terutama dalam hal diskriminasi di kehidupan beragama.
Kasus serupa dialami oleh Shabina Begum (15) yang juga sempat memenangkan gugatan atas Denbigh High School, Luton, Bedfordshire, Inggris atas tuduhan serupa, mengenakan jilbab sebagai seragam sekolah. Kemenangan Shabina Begum di tingkat Court of Appeal ini juga diberitakan oleh BBC (2/3/2005)[11]. Majalah Gatra (6/3/2005) dalam pemberitaannya menyambut hasil di Court of Appeal ini dengan memberi judul berita “Kemenangan Kecil Shabina”[12].
Namun, secara mengejutkan pihak sekolah memenangkan kasus ini di tingkat House of Lords dengan pertimbangan, a person's right to hold a particular religious belief was absolute (i.e. could not be interfered with), but that a person's right to manifest a particular religious belief was qualified (i.e. it could be interfered with if there was a justification)[13]. Pengajuan kasus di tingkat House of Lords yang menjadi tempat pengajuan banding tertinggi di Inggris ini diberitakan oleh BBC (
Dalam kasus ini, tidak adanya regulasi permanen dari pemerintah Inggris mengenai diskriminasi berbasis agama menjadi sebuah permasalahan. Fakta bahwa tidak semua daerah memiliki regulasi yang cukup untuk memproteksi hak-hak kaum minoritas menjadikan adanya multi-interpretasi atas aktivitas keagamaan tertentu. Selain itu, fakta bahwa adanya stigma tertentu atas minoritas juga mempersulit proteksi.
Kasus Shabina Degum di atas juga menjadi persoalan serius ketika pemerintah Inggris dihadapkan pada penghargaan atas HAM dengan disiplin pendidikan di sana. Laporan Open Society Institute di atas menyebutkan bahwa banyak umat Islam yang belajar di sekolah lokal dengan keberagaman siswanya[15]. Pada dasarnya, disiplin pendidikan bukan merupakan sebuah penghalang bagi seorang siswi untuk melaksanakan ajaran agamanya. kendati menurutu House of Lords kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama di tempat umum dibatasi oleh peraturan.
Kesimpulan
Pada dasarnya, Inggris telah memiliki perangkat perlindungan hukum atas hak-hak minoritas, dalam hal ini Human Rights Act tahun 1998. Perlindungan ini jika diintegrasikan ke semua daerah di
Maka, hal yang perlu dievaluasi dari sistem perlindungan hak-hak minoritas di Inggris adalah aksesibilitas dari semua orang di Inggris untuk menjalankan keyakinannya masing-masing tanpa diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi yang menjadi salah satu aspek penting dalam HAM harus dapat diterapkan di Inggris untuk menjamin hak-hak minoritas di
[1] Open Society Institute. 2002. Monitoring Minority Protection in The EU: Situation of Moslems in The
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] ibid.
[5] Council of
[7] Council of
[8] Ibid.
[9] British Broadcasting Channel,
[10] The
[11] British Broadcasting Channel,
[12] Gatra, 6 Maret 2005. Kemenangan Kecil Shabina. Diakses dalam situs Gatra, http://www.gatra.com/2005-03-06/artikel.php?id=82475
[13] Kesimpulan ini diambil oleh
[14] British Broadcasting Channel,
[15] Open Society Institute, op.cit.