AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR
Saya baru saja membaca tulisannya Pak Heru
Prasetia soal Muhammadiyah di blog beliau. Judulnya "Saya dan
Muhammadiyah". Tulisannya agak lama. Ditulis kira-kira setahun silam,
ketika Jogja sedang menggelar hajatan Muktamar Seabad yang melibatkan pengurus
dan penggembira dari seantero penjuru Indonesia.
Yang menarik, tulisan itu mengupas
Muhammadiyah dari perspektif Nahdhatul Ulama, yang selama ini sering dianggap
vis-a-vis dengan modernisme Muhammadiyah. Sehingga, lahir sebuah perspektif
yang sangat berbeda dari tulisan-tulisan lain tentang Muhammadiyah. Saya
mengenal penulisnya, sebagai seorang aktivis PMII tahun 1990an, dan sekarang
mengelola sebuah lembaga masyarakat sipil bernama Lafadl Initiatives di Yogyakarta.
Saya pun menjadi tertarik untuk membahas
masalah ini dari sudut pandang sebaliknya. Tentu saja, dengan perspektif yang
sangat subjektif. Saya lebih memilih menceritakan lewat jalur pengalaman, siapa
tahu ada rekan-rekan yang mungkin pengalamannya mirip. Bagi yang merasa bosan,
dipersilakan mengabaikan.
****
Berbeda dengan mas Heru Prasetia, dalam
sejarah hidup saya, justru NU yang sering dipersepsikan dalam makna yang
peyoratif. Saya lahir di sebuah lingkungan Muhammadiyah yang kental di Kalimantan
Selatan -sebuah daerah basis Nahdhatul Ulama di Kalimantan. Sebagai keluarga
"Muhammadiyah", tentu saja lingkungan keluarga saya sangat menolak
tradisi-tradisi yang "tidak diajarkan dalam Qur'an dan Sunnah", yang
artinya jatuh pada TBC -Takhayul, Bid'ah, Churafat.
Dengan konstruksi dan didikan keluarga yang
bersemangat keagamaan modernis tersebut, wajar jika kemudian saya tumbuh besar
sebagai seorang yang memperjuangkan visi modernisme dalam keagamaan, yaitu
bersikap kritis terhadap realitas umat.
Saya masih ingat betul, tulisan pertama yang
saya tulis dan dipublikasikan (walau hanya untuk level majalah dinding
sekolah) berjudul singkat: Bid'ah;
tulisan tersebut mengupas perilaku yang mengada-ada dalam agama.
Ini adalah keresahan pertama saya terhadap
realitas keagamaan yang dipengaruhi oleh pelbagai tradisi keagamaan yang saya
persepsikan tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunah, yang, tentu saja, sangat
dipengaruhi oleh doktrin anti-TBC dari Muhammadiyah. Ketika itu, saya masih
bersekolah di SD Muhammadiyah di daerah.
Lambat laun, saya masih memegang teguh
pemikiran keagamaan modernis tersebut, walau saya kemudian pindah ke Sekolah
Menengah Pertama. Di sana, semua guru agama berpaham keagamaan tradisionalis,
atau sering disebut NU, yang dulu banyak saya kritik ketika SD. Tentu saja saya
kemudian menjadi siswa yang cerewet, banyak tanya, baik ketika mata pelajaran
Agama Islam atau pengajian agama yang dilakukan oleh sekolah tiap Jumat pagi.
Waktu itu, issue-issue keagamaan di masyarakat
memang cukup kental mengupas fenomena-fenomena sepele dalam tajuk ibadah
mahdhah. Masalah seperti Qunut, Tahlilan, Yasinan, Tarawih 23
raka'at, dan lain sebagainya sering berserimpung dengan aktivitas ibadah di
masyarakat.
Perbincangan biasanya akan semakin
"panas" jika bicara soal hari raya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa
metode hisab dan rukyat yang dilakukan oleh
Muhammadiyah dan NU akan berbenturan ketika Idul Fitri atau Idul Adha.
Pasalnya, yang menggunakan metode hisab
pasti akan berhari raya terlebih dulu, asalkan hilal sudah lewat 0
derajat melalui hisab. Sementara NU mensyaratkan harus terlihat mata. Ini juga
sering menjadi masalah yang agak pelik di masyarakat.
Perdebatan di tengah masyarakat yang muncul
sederhana: kalangan NU mengatakan bahwa "ini amalan yang sudah dikerjakan
oleh orang-orang tua dulu", sementara Muhammadiyah berkata "amalannya
tidak ada dalilnya di Qur'an dan Sunnah". Jangan salah. Hal-hal seperti
ini justru seringkali membawa riak-riak di tengah masyarakat antara kubu NU dan
Muhammadiyah.
Di penghujung akhir SMP, saya mulai aktif di
pengajian-pengajian Muhammadiyah meski belum terlalu sering, karena kesibukan
ujian akhir nasional. Muhammadiyah di Banjarmasin identik dengan pengajian;
tiap-tiap mesjid mesti punya agenda pengajian, dan itu dikoordinasikan di
tingkatan daerah. Jadi, tiap mesjid punya agenda pengajian di hari yang
berbeda. Saya mula-mula aktif di Mesjid Hasanuddin Majedie (yang punya
pemahaman keagamaan segaris dengan Muhammadiyah) lalu ke Mesjid Al-Jihad, yang
memang merupakan mesjid Muhammadiyah tulen.
Pada forum-forum pengajian itu, saya justru
mendapatkan penguatan "ideologi" anti-TBC yang selama ini saya pegang
teguh. Akan tetapi, pada forum pengajian itu, pembahasan mengenai hal-hal
keagamaan dilakukan secara ilmiah, dengan mengupas dasar dan dalil yang ada,
disertai argumentasi rasional. Hal ini membuka pintu masuk bagi saya untuk
mengkaji masalah-masalah yang dulu saya kritik, secara lebih terbuka, dan
membuka pikiran.
Pun ketika di masa SMA, saya masih aktif di
forum-forum pengajian itu. Tapi seiring keaktifan, persepsi saya mengenai
aktivitas keagamaan kaum "nahdhiyyin" mulai berubah menjadi lebih
"ilmiah", alih-alih fanatik. Apalagi, di masa SMA ini saya juga
bersentuhan dengan aktivitas kaum "harakah", dari Hizbut Tahrir,
kemudian ke Tarbiyah yang sampai sekarang masih saya "sentuh". Dan
tentu saja dengan beberapa kawan dan "guru" yang berlatar NU.
Kebetulan salah seorang kawan dekat saya
adalah seorang nahdhiyyin tulen,
pernah nyantri di pondok
pesantren NU terkenal di Jawa Timur ketika SMP. Dengannya, saya banyak terlibat
perdebatan, yang kadang-kadang juga geje;
seputar masalah-masalah keagamaan. Dan ini menarik; dua perspektif
yang cukup "fanatik" pada waktu itu bertemu, tapi secara fair terdiskusikan dalam beberapa
kesempatan.
Meski demikian, perhatian saya ketika SMA ini
lebih terfokus pada masalah-masalah organisasi. Saya waktu itu menjadi Ketua
MPK di sekolah, yang sedikit-banyaknya tidak lagi berhadapan dengan
problem-problem keagamaan, tetapi sosial. Misalnya, anggaran sekolah yang tidak
transparan, dugaan korupsi, sampai pungutan yang tidak jelas -komersialisasi-
atas nama biaya pendidikan. Jadi, tidak banyak lagi mengurusi problem di atas.
Di masyarakat saya juga memilih aktif di
Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, sebuah organisasi remaja mesjid yang cukup
dikenal di level Kota Banjarmasin. Keaktifan tersebut dilanjutkan bahkan ketika
Pemuda Muhammadiyah Cabang diaktifkan kembali pada tahun 2007, menjelang
Musyawarah Daerah yang juga saya ikuti ketika itu. Jadi, ketika SMA saya sudah
menentukan pilihan keagamaan, walau juga di sisi lain aktif di
kegiatan-kegiatan "harakah" yang waktu itu mendominasi SMA.
Di sini, gaya
pandang saya soal "nahdhiyyin" menjadi lebih berbeda lagi;
masalah-masalah paham keagamaan tetap menjadi isu yang krusial, tetapi
aktivitas lebih sering sosial. Di masyarakat, NU dan Muhammadiyah berada di
aras yang sama. Walau berbeda paham keagamaan, tapi aktivitas sosial menjadi
tidak lagi berbeda. Hanya basis komunal yang membedakan.
Dan pemahaman soal nahdhiyyin sedikit demi sedikit berkembang ketika
saya menjalankan ibadah 'umrah di penghujung masa SMA. Umrah memberi saya insight baru soal agama, yang
lebih terbuka, sebab di sana
aktivitas keagamaan sangat beragam. Orang India
melakukan shalat dengan gaya
mazhab Hanafi mereka, orang-orang Syiah dengan ritual mereka yang khas ketika
sa'i, dan lain sebagainya. Ketika umrah, saya seakan-akan dituntut untuk
menerima pluralitas paham keagamaan, asal atas nama Islam.
Selepas SMA, saya melanjutkan studi di sebuah
universitas yang cukup terkenal di Yogyakarta.
Di sini, saya menemukan fenomena lain lagi. Di Yogyakarta, rupanya, semua
mesjid dalam tatacara shalatnya lebih dekat ke Muhammadiyah. Saya sempat salah
mendefinisikan mesjid dekat kontrakan sebagai mesjid Muhammadiyah, ternyata
bukan. Jama'ahnya berlatar belakang afiliasi yang beragama. Tapi, tatacara
shalatnya tidak berbeda.
Belakangan, saya semakin memahami bahwa
persoalan Muhammadiyah-NU tidak menjadi masalah yang terlampau besar di sini. Relasi
Muhammadiyah-NU begitu cair; tidak diiringi oleh nuansa-nuansa konflik, apalagi
kekuasaan, seperti di Kalimantan Selatan. Justru, yang membuat saya agak
terkejut, konflik yang terjadi adalah antara Muhammadiyah dan Tarbiyah, dua
komunitas yang sebetulnya menjadi tempat persinggahan organisasional saya
ketika SMA.
Ketika kuliah, pikiran saya soal
Muhammadiyah-NU lambat laun terabaikan, melihat kondisi. Ketika kuliah, saya
memang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, terutama di
kampus. Walaupun masih rajin mengikuti pengajian di beberapa tempat. Keaktifan
saya justru lebih banyak di komunitas tarbiyah, walau di sana juga tidak jadi siapa-siapa, hanya
sekadar menuntut ilmu. Apalagi, ketika kuliah saya semakin banyak
"melahap" teks-teks keilmuan, baik dalam ilmu politik hingga
filsafat. Ini semakin mempengaruhi mainset saya soal nahdhiyyin dan muhammadiyin.
Namun, dengan keterlibatan di "tempat
lain" tersebut, saya justru menemukan banyak hikmah. Pemikiran yang
semakin plural, tidak lagi memonopoli kebenaran hanya pada entitas tertentu,
menjadi semakin kuat saya rasakan. Islam tidak lagi ditafsiri hanya dalam
perspektif yang "tunggal", tetapi bisa jadi dipersilangkan hingga
muncul pertemuan-pertemuan. Islam tidak lagi dibingkai hanya dalam kerangka
ideologis, tetapi juga ontologis, yang mensyaratkan kita untuk berpikir.
Kendati demikian, pergolakan pemikiran
dan paham keagamaan kerap melahirkan "kegalauan" tersendiri.
Menyikapi konflik antara Tarbiyah dan Muhammadiyah, yang dua-duanya adalah
komunitas yang saya ikuti sejak duduk di bangku SMA, kerap membuat galau.
Sebab, ada beberapa doktrin Tarbiyah yang secara naluriah saya pertanyakan,
bahkan tertolak oleh nalar "Muhammadiyah" yang saya pegang erat-erat.
Namun, harus diakui, kegalauan dan
keterlibatan di banyak "tempat" itu kemudian menggeser cara pandang
saya terhadap kaum Nahdhiyyin, yang
dulu saya kritik banyak ketika sekolah. Pikiran saya semakin terbuka dengan
pemikiran kawan-kawan yang berlatar Nahdhiyyin
dan tampil sebagai intelektual kampus terkemuka. Apalagi saya
berkenalan dengan post-tradisionalisme yang dipopulerkan oleh kawan-kawan PMII.
Dari mereka saya belajar pemikiran kritis, yang mungkin hanya dapat saya
temukan padanannya ketika kuliah.
Dan artinya, persepsi saya tentang Nahdhiyyin menjadi berubah secara
drastis. Sikap oposisif dalam pemikiran menjadi mencair dalam beberapa hal
tertentu. Ini membuktikan sebuah tesis yang sering saya pakai, sebetulnya:
segala hal akan mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri.
****
Dalam interaksi saya dengan kalangan Nahdhiyyin, sebetulnya ada
beberapa figur yang saya anggap sebagai "guru" -dalam makna informal-
yang berlatar belakang Nahdhiyyin yang
kental. Mereka tak hanya berperan membentuk karakter saya, kadang-kadang juga
menjadi teman diskusi dan tempat berguru dalam beberapa hal hidup.
Sosok "guru" pertama adalah seorang
guru agama di SMA saya. Beliau adalah seorang penganut NU yang kental, lulusan
sebuah pesantren salafiyah NU
yang cukup terkenal di daerah Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut. Tentu saja juga
lulusan IAIN. Pernah menjadi fungsionaris di HMI Cabang Banjarmasin. Dari beliaulah saya pertama kali
berkenalan dengan organisasi, dan tentu saja pergerakan (saya waktu itu sudah
menggandrungi politik).
Ketika duduk di kelas 1 SMA, atas arahan
beliau dan melibatkan beberapa rekan Tarbiyah , saya sempat mengorganisir
kegiatan di malam tahun baru bagi siswa muslim. Dibuka oleh Asisten
Pemerintahan di Pemprov Kalsel. Acara itu sempat membuat beberapa senior yang
berafiliasi dengan Hizbut Tahrir agak
sentimen. Sebab, sekolah saya adalah basis perkaderan Hizbut Tahrir yang sedang
berkembang. Sehingga, aksi saya membuka pintu bagi kelompok lain untuk masuk ke
sekolah.
Dari beliaulah saya mengenal kritisisme. Saya
sering mendiskusikan beberapa hal terkait transparansi anggaran sekolah dengan
beliau, yang dengan senang hati menjawab keresahan saya soal itu. Ketika saya
bermasalah dengan Wakasek Kesiswaan soal tulisan saya yang cukup
"keras" mengkritik kebijakan sekolah di Opini sebuah harian lokal di
Kota Banjarmasin, beliau-lah salah satu guru yang bersikap objektif pada posisi
saya dan memberi beberapa insight soal
apa yang saya lakukan. Dari beliau, saya belajar banyak soal kritisisme.
Dan ada satu cerita lucu berkait dengan
identitas Nahdhiyyin beliau.
Suatu ketika, saya datang ke beliau membawa sebuah buku kecil berjudul mujarrobat. Bagi kalangan NU,
tentu kenal dengan buku ini. Dengan logika Muhammadiyah yang saya bawa
(anti-TBC), saya mempertanyakan isi buku itu kepada beliau. Tapi, di luar
perkiraan saya, beliau justru mengulasnya dari sudut pandang Tasawuf, yang berlawanan dengan
logika Muhammadiyah yang saya bawa tadi. Untung saja, tidak dituding Wahabi, he he.
Belakangan, saya mendengar bahwa beliau
terlibat polemik dengan Kepala Sekolah -yang juga sering sekali saya kritik di
media massa ketika SMA- dan akhirnya dengan
seorang pejabat di Kota Banjarmasin. Konsekuensinya, beliau akhirnya
pindah, tidak lagi mengajar di SMAN 1 Banjarmasin, tetapi kembali ke habitus beliau dengan mengajar di
sebuah pesantren NU.
Sosok guru kedua, adalah seorang aktivis tarbiyah yang lama kuliah di Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Berbeda dengan kebanyakan
aktivis Tarbiyah yang
saya kenal (dengan identitas yang homogen), identitas beliau lebih kuat Nahdhiyyin. Perkenalan saya
pertama kali dengan beliau adalah ketika saya sedang mencari dana di DPRD
Kalsel untuk keberangkatan ke Jakarta.
Dari sana, saya
semakin sering diskusi dengan beliau di banyak kesempatan.
Di Banjarmasin, beliau lebih memilih profesi
sebagai wartawan di sebuah harian terbesar di Kalimantan Selatan. Karena saya
sering menulis di harian itu, saya justru lebih sering bertemu beliau di kantor
redaksi. Keperluan saya adalah mengambil honor tulisan, sementara keperluan beliau
adalah ngantor.
Kadang-kadang beliau yang menginformasikan kalau tulisan saya dimuat. Pernah
pula meminta saya memberi opini di koran tersebut.
Dari beliaulah saya pertama kali mengenal
KAMMI, organisasi yang kemudian saya ikuti ketika kuliah. Beliau dulu pernah
aktif sebagai pengurus di KAMMI Daerah Yogyakarta dan cukup tajam dalam
kapasitas tulisan. Jadi, saya banyak berguru dengan beliau soal kepenulisan.
Tentu saja dalam diskusi-diskusi yang sifatnya informal. Belakangan saya
ketahui bahwa beliau adalah aktivis yang cukup disegani oleh aktivis-aktivis
KAMMI Yogya. Setidaknya oleh beberapa senior ketika saya masih awal-awal
kuliah.
Dan beliau pula yang secara terbuka
menyampaikan identitas Nadhiyyin beliau.
Berbeda dengan kawan-kawan Tarbiyah yang
lain yang memilih mengabaikan hal itu. Beliau sempat bergabung dengan PMII di
UIN Sunan Kalijaga, yang terkenal sebagai basis PMII di Yogyakarta. Sehingga,
ketika berada di Tarbiyah, saya merasa tidak perlu untuk menutupi identitas Muhammadiyah yang memang sudah
membentuk saya sejak kecil. Dari sana
saya belajar keterbukaan.
Dari beliau, saya belajar mengenai
keterbukaan. Beliau yang pernah aktif di PMII UIN Sunan Kalijaga, secara
terbuka menyatakan diri sebagai warga Nadhiyyin
kepada publik. Dan tidak ada yang keberatan dengan deklarasi itu.
Berbeda halnya dengan kawan-kawan Tarbiyah lain yang saya kenal, yang mungkin
lebih memilih menyembunyikan -atau mungkin menghilangkan- habitus awalnya
ketika bergabung dengan Tarbiyah.
Dari beliau, kemudian saya mencoba untuk
memahami Tarbiyah secara
kritis. Bahwa Tarbiyah bukan
sekadar ketaatan pada Murabbi, atau
ketaatan terhadap jamaah, tapi
lebih luas: kesadaran kritis. Tarbiyah
tidak menghilangkan kritisisme dalam berpikir, yang mungkin sudah
jadi karakter bentukan Muhammadiyah yang saya ikuti. Belakangan, saya bahkan
memahami bahwaTarbiyah juga
tidak menutup kemungkinan bersilangan dengan habitus
lain, terutama NU dan Muhammadiyah. (Baca notes saya tentang
"tarbiyah persilangan").
Sekarang, beliau lebih memilih untuk aktif di
sebuah NGO terkenal di Jakarta,
alih-alih masuk jadi pengurus partai. Tentu saja dengan identitas tarbiyah yang kental, tapi
bersilangan dengan identitas NU. Dari beliau, saya berkenalan dengan beberapa
aktivis KAMMI Yogyakarta -dan KAMMI UGM- yang kini tersebar dengan berbagai
profesi di Jakarta.
Sosok ketiga yang saya pandang sebagai
"guru" adalah seorang aktivis PMII -gerakan mahasiswa yang berlatar
ideologi NU dan Aswaja. Saya baru bertemu beliau sekali, ketika beliau menjadi
pemateri Daurah Siyasi beberapa
waktu lalu. Beliau terkenal sebagai aktivis muda NU, pernah menjadi Ketua PMII
UGM, PMII Sleman, dan Ketua Bidang Kaderisasi PB PMII. Sekarang justru kembali
ke habitus beliau,
mengelola pesantren.
Dari beliau, saya belajar mengenai kerangka
berpikir kritis dan radikal. Wacana yang saya kembangkan akhir-akhir ini,
mengenai Islam Transformatif, sebetulnya banyak saya pelajari dari beliau.
Pertemuan dengan beliau yang hanya sekali itu banyak membuka cakrawala berpikir
saya mengenai pemikiran keagamaan. Walau baru sekali, saya merasa
"berguru" dengan beliau, terutama untuk hal ketajaman intelektual dan
kesederhanaan hidup.
Tulisan-tulisan beliau yang tajam kerap
menjadi referensi saya, terutama ketika saya membuat rangkaian tulisan mengenai
Islam, Kekuasaan, dan Postmodernisme yang akhirnya jadi naskah buku. Sayang
belum ada kepastian apakah naskah buku itu layak terbit atau tidak.
Sosok keempat malah lebih misterius lagi:
tidak pernah saya temui orangnya, tidak pernah berinteraksi langsung, namun
hadir mengubah cakrawala dan cara berpikir saya. Sosok ini baru saja hadir
dalam hidup saya, menghantui dengan tulisan-tulisannya yang tajam namun dengan
abstraksi bahasa sederhana. Sebagai seorang yang ingin menempuh jalan hidup
intelektual, saya merasa inferior, belum menjadi apa-apa dibanding beliau.
Beliau adalah aktivis NU tulen, lulusan
pesantren NU di Jawa Timur, dan meneruskan kuliah di filsafat UIN Sunan
Kalijaga. Di semester kedua dan ketiga, jika saya tak salah dalam membaca
lintas perjalanan intelektual beliau, tulisannya sudah akrab dengan koran-koran
nasional. Di semester keenam, beliau menerbitkan sebuah buku tentang Jacques
Derrida, yang sempat saya salahpahami sebagai skripsi atau disertasi, tapi
ternyata tulisan biasa. Buku yang bahkan hingga saat ini masih saya baca karena
ketajaman isi dan analisisnya, plus bahasa yang tak susah dimengerti.
Dari beliau, saya banyak belajar soal
filsafat. Ketertarikan saya dengan filsafat memang sudah lama, tapi tidak
seintens sekarang. Dan beliau memberi saya banyak insight soal ini. Di salah satu tulisannya, beliau
mengupas tajam relasi antara "santri" dan "marxisme" yang
kita kenal kini sebagai "post-tradisionalisme". Tulisan yang tajam,
apik, dan mampu membedah persilangan tradisi pesantren dan Marxisme, sehingga
tidak harus dipertentangkan.
Di Muhammadiyah, ada beberapa aktivis yang
mirip beliau, tapi dari segi kepenulisan, saya masih belum menemukan figur
intelektual muda yang setara pemikirannya dengan beliau. Apalagi di KAMMI, yang
tidak banyak bergulat dalam intelektualitas dan pemikiran, hanya satu-dua orang
yang mungkin bisa saya sandingkan namanya dengan beliau.
Belakangan, saya ketahui beliau akan
melanjutkan studi Master di Paris, tentu di bidang filsafat. Beliau salah satu Nahdhiyyin yang pemikirannya saya
jadikan "guru", walau tak pernah bersua sekali jua pun, dalam
forum-forum ataupun perjumpaan langsung.
*****
Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam
sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi,
Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU
berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab
"tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan
seterusnya.
Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran
itu menjadi terasa. Pengalaman saya menyatakan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda
pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk
memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan
oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas;
bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.
Bagi saya, Nahdhiyyin
tetap menjadi sesuatu "yang lain". Tapi bukan berarti tak
bisa disentuh. Nahdhiyyin mengajarkan
pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir
menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya
juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme,
perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.
NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas.
Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit
melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Mungkin itu terjadi pada saya. Ketika
bersentuhan dengan harakah, seperti
Tarbiyah, misalnya, ikatan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammadiyah dalam
kerangka berpikirnya yang saya terima menyebabkan kebudayaan tersebut terbawa
ketika bersentuhan dengan mereka.
Dan dari seorang warga nahdhiyyin saya belajar untuk
tidak menenggelamkan habitus kebudayaan
itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat.
Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah
(qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai
konsekuensi logisnya, saya harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari
keberbudayaan saya.
Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin
mencair, terutama di Yogyakarta dan kota-kota
besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah, masih
ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi
penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan
ujung-ujungnya ketegangan.
Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik
horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari
itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu
juga dengan aktivis-aktivis harakah itu.
Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran
yang sebenarnya tak perlu.
"Al-Islam
mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam
itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan
yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana:
agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin,
sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai
konsekuensi keberagaman.
****
Membaca NU dari perspektif Muhammadiyah memang
terasa sangat subjektif. Apalagi jika hanya berkaca dari pengalaman saya.
Tulisan ini tidak bertendensi untuk mengupas pemikiran orang lain, tetapi hanya
menjadi refleksi diri dari pengalaman hidup yang saya temui selama ini. Anda
mungkin tidak setuju, saya persilakan saja.
Dan karena ini tentang nahdhiyyin dan muhammadiyyin, saya akan
mengakhiri tulisan ini dengan penutup yang sering sekali digunakan di dua ormas
ini:
Wallahu Muwaffiq ila aqwamith thariq.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.