Ditulis oleh Fatchul Muin, M.Hum, Dosen FKIP Unlam yang memicu tanggapan dari Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Terinspirasi oleh berita di Radar Banjarmasin, Sabtu, 26 Juli 2008 berjudul “Dikembalikan, Tapi Dipungut Lagi?”, saya mencoba untuk menulis artikel ini. Dalam artikel berita dikemukakan soal pungutan biaya penyelenggaraan pendidikan. Konon, menurut ketentuan pungutan tanpa dasar yang jelas, dilarang. Sehingga, saya berasumsi bahwa sekolah, khususnya di Banjarmasin, dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuk dipilih. Sekolah menjadi serba salah. Sekolah mendapat “tekanan berat” dari berbagai arah. Memang, pelarangan tentu ada dasarnya. Namun, dalam melarangan adanya pungutan mustinya dibarengi kebijakan yang meringankan semua pihak (khususnya, sekolah dan orang tua siswa). Berikut ulasannya.
Sebagaimana dimaklumi selama ini, pendidikan terhadap anak bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat dan para orang tua. Tanggung jawab ketiga pihak itu tentu sudah dijalankan sesuai dengan porsi masing-masing. Secara khusus, sebagaimana yang saya ketahui dan alami ketika masih sekolah, tanggung jawab orang tua yang harus diemban oleh orang tua, salah satu di antaranya, adalah pemenuhan sumbangan yang berupa uang pangkal dan SPP. Sejauh yang saya ketahui, uang pangkal dan SPP ditentukan oleh pihak sekolah. Kini, sumbangan berganti nama (uang pengembangan dan iuran komite) dan ditentukan melalui “musyawarah” antara sekolah, komite sekolah dan para orang tua siswa. Kedua macam sumbangan sebenarnya setali tiga uang atau sama saja. Yakni, sama-sama merogoh kocek orang tua siswa.
Selama ini pula, tidak muncul persoalan berarti. Namun, dua tahun terakhir, ketika diwacanakan pendidikan murah atau kalau perlu gratis, sumbangan pendidikan memunculkan persoalan cukup pelik bagi sekolah. Sebab, konon kabarnya, kucuran dana operasional pendidikan di sekolah tak mampu untuk membiayai semua keperluan sekolah. Sementara, pihaknya tidak diperbolehkan memungut uang dari wali siswa secara sepihak. Pungutan uang sekecil apapun, tanpa melalui mekanisme musyawarah, akan diobok-obok oleh LSM dan disemprit oleh pihak-pihak berwenang. Pihak sekolah benar-benar berada dalam kondisi dilematis: memungut, salah; tidak memungut, tak ada duit.
Urusan finansial di sekolah tak bakal menjadi masalah bilamana pihak berwenang mengucurkan dana yang cukup guna operasionalisasi pendidikan di sekolah. Pertanyaannya: apakah pihak berwenang telah menyediakan dana yang cukup?.
Perlu sokongan dana
Ada sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya: ingin sukses, berkorbanlah. Menggapai kesuksesan besar perlu biaya yang besar pula. Menginginkan pendidikan dengan mutu yang memadai tanpa pembedaan latar belakang ekonomi orang tua siswa, perlu sokongan dana yang memadai pula. Anggota masyarakat yang cukup berkemampuan dan menginginkan anak bangsa ini maju, tentu saja, diharapkan bersedia merogoh koceknya untuk penyelenggaraan pendidikan (via orang tua asuh atau lainnya). Orang tua yang berharap anaknya berhasil dalam belajar, sudah barang tentu, hendaknya melakukan hal yang sama. Pendek kata, segala sesuatu tanpa bea (baca: pengorbanan) hasilnya tak maksimal alias ala kadarnya.
Menurut informasi dari salah seorang Wakasek salah satu SMA favorit di Kota Balikpapan, Pemerintah Kota Balikpapan mengucurkan dana bantuan atau subsidi untuk pendidikan. Bantuan untuk siswa SMA (negeri/swasta) lebih kurang 50 % dari dana yang harus dibayar; SMP (negeri/swasta) dan SD (negeri/swasta) mungkin saja gratis bila dana bantuan cukup untuk operasionalisasi pendidikan. Bila dana bantuan ternyata kurang, maka kekurangan itu dimusyawarahkan antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Dalam musyawarah, ditetapkan sumbangan sukarela tapi mengikat. Besaran sumbangan sukarela ini tidak sama antara orang yang satu dengan lainnya. Tidak dipukul rata. Orang tua/wali siswa diharapkan memberikan subsidi silang kepada orang tua/wali siswa kurang mampu. Agak rumit memang, namun hal itu dapat dilakukan.
Ini berarti penyelenggaraan pendidikan di sana tak mengalami masalah dalam pembiayaan, sebab pemerintah setempat menyokong dana kepada sekolah. Sokongan dana ini pada gilirannya akan meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Pembiayaan penyelenggaraan tetap saja seperti biasa, bahkan bisa lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, namun pihak sekolah disokong dana yang memadai. Pak walikotanya memenuhi janji untuk meringankan beban masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian, sebagaimana dituturkan oleh Wakasek itu, pendidikan gratis-tis itu hal yang tak mungkin. Semua pihak, khususnya orang tua siswa, harus menanggung sebagian dari biaya pendidikan. Mana ada yang gratis sekarang ini.
Di kota ini?. Kayaknya, kebijakan seperti itu koq belum terdengar. Yang terdengar selama ini, tak boleh ada pungutan dalam penerimaan siswa baru (PSB); setelah PSB selesai, tak boleh ada pungutan dari orang tua/siswa dalam bentuk apapun sebelum ada musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Banyak pengelola pendidikan di sekolah berada di bawah bayang-bayang ketakutan. Berani melakukan pungutan, harus siap terkena semprit. Sampai-sampai, menyediakan tetek bengek atribut sekolah, seragam dan lain-lain perlu dilengkapi dengan surat pernyataan yang berbunyi: “Saya memesan/membeli barang tersebut atas kemauan sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun” yang ditandatangani oleh siswa dan walinya. Ini refleksi dari ketakutan yang luar biasa!. Saya kira semua kita tahu, atribut dan seragam sekolah (khusus baju batik, topi, kaos kaki, kerudung yang tak ada di pasaran) dari dulu disediakan oleh sekolah. Sebentar lagi, heboh soal pengadaan buku mungkin terjadi lagi. Kita tunggu reaksi apa yang bakal muncul?
Tidak baik memang, membanding-membandingkan dengan pihak/kota lain. Namun, perlu juga kita memperhatikan kiprah pihak lain dan bila beberapa hal di antaranya patut diadoptasi, kenapa tidak?. Kita seringkali mendengar istilah studi banding. Sejumlah anggota dewan, pengelola sekolah, atau dosen/mahasiswa melakukan studi banding ke wadah orang. Apa gunanya studi banding? Ya itu tadi, kalau kita dapati hal-hal bagus di wadah orang, kita manfaatkan untuk membangun di wadah kita. Kiranya, perlu juga mengintip penyelenggaraan pendidikan di kota dari provinsi tetangga itu.
Pungutan dilarang
Pelarangan terhadap sesuatu pasti didasarkan pada perilaku menyimpang yang terjadi selama ini. Untuk mengeliminir (setidak-tidaknyanya, meminimalisir) perlu dilakukan pelarangan. Ini kebijakan yang perlu dihormati. Karena, sekecil apapun, pungutan, misalnya, tetap saja melanggar ketentuan. Bila pungutan uang pengembangan dan iuran komite harus didasarkan pada musyawarah, hendaknya sekolah tidak coba-coba memungut sebelum ada kesepakatan dalam musyawarah. Kegiatan musyawarah untuk menentukan besaran uang sumbangan, hendaknya didasarkan pada rencana kegiatan/pengeluaran/pembiayaan yang realistis dan bermuara pada peningkatan mutu pembelajaran.
Insentif boleh saja tinggi. Namun, insentif tinggi harus dibarengi dengan tingkat pelayanan yang sepadan. Rencana anggaran untuk pengadaan/peningkatan fasilitas boleh saja besar. Namun, anggaran yang besar itu harus direalisasikan sesuai dengan rencana anggaran yang telah ditetapkan. Dengan jalan itu dan hanya dengan jalan itu, anggaran pendapatan dan belanja sekolah akan mengantarkan pembelajaran bermutu dan pada gilirannya anak didik bisa memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan. Proses bagus dan hasil maksimal. Konsekuensi logisnya, damai di sekolah dan damai di masyarakat; damai guru dan damai siswa. Pendek kata, tiada kecewa di sana dan tiada gerutu di sini. Di sana-sini, yang ada adalah kepuasaan semua pihak. Alangkah indahnya bila sebuah sekolah mampu menciptalan kondisi itu.
Soal buku pelajaran
Setiap awal tahun pelajaran, para orang tua/wali siswa sering dipusingkan dengan pengadaan buku-buku pelajaran. Mereka diwajibkan menebus buku-buku pelajaran. Sempat ada pelarangan terhadap guru/sekolah merangkap sebagai penyedia buku-buku pelajaran. Sejumlah guru takut menjual buku pelajaran yang diasuhnya. Sehingga, mereka hanya mewajibkan anak didik memiliki buku itu. Tetapi ternyata, ada sejumlah orang tua siswa pusing ketika membeli sendiri di toko buku. Sebab, buku-buku yang dimaksud ternyata tidak selalu tersedia di toko buku tertentu. Pendek kata, dia harus pergi dari toko buku yang satu ke toko yang lain. Ternyata, ongkos yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang ujungan yang diterima oleh bapak/ibu guru. Tak salah-salah amat, bila kita membantu bapak/ibu guru. Biarkanlah beliau ikut menyalurkan buku pelajaran yang ditawarkan oleh penerbit atau pihak manapun.
Diakui atau tidak, buku pelajaran itu penting dalam serangkaian proses pembelajaran. Sekarang bukan zamannya lagi kita menerapkan sistem catat, sebab bahan yang dicatat telah tersedia. Sehingga, pengadaan buku pelajaran menjadi sebuah keharusan. Dalam hal ini, bila guru/sekolah menjadi penyedia buku-buku pelajaran, seyogyanya pihaknya mengatur cara pembayaran sedemikian rupa sehingga kelak tidak memberatkan siswa/orang tua siswa yang kurang mampu.
Untuk keperluan jauh ke depan, bila pembelajaran menekankan pada proses sesuai dengan tuntutan kurikulum dan ditunjung buku/referensi memadai, maka dalam menempuh ujian nasional para siswa tidak perlu lagi diantarkan, sebagaimana disinyalir selama ini, dengan cara-cara yang tidak mendidik. Hendaknya, para guru/sekolah tidak dihadapkan pada kondisi dilematis.
Penutup
Upaya meringankan masyarakat dalam pendidikan hendaknya tidak hanya didasarkan pada niat/keinginan belaka; harus ada tindakan nyata. Pendidikan perlu biaya. Bila pihak berwenang ingin meringankan biaya pendidikan, tindakan nyata yang semestinya ditempuh adalah memberikan sokongan dana. Dan, masyarakat cukup mampu perlu diminta partisipasinya melalui orang tua asuh, memberikan sokongan dana lebih dari yang ditetapkan atau memberikan donasi dengan cara lain. Dengan cara itu, beban masyarakat kurang mampu akan menjadi lebih ringan. Komitmen semua pihak perlu dibangun, khususnya dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Setelah dana tersedia, sekolah hendaknya berkomitmen untuk benar-benar memanfaatkan dana itu untuk kepentingan penyelenggaran pendidikan. Bagaimana menurut anda? (Penulis: Staf Pengajar FKIP Unlam Banjarmasin)
(Pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008)
Terinspirasi oleh berita di Radar Banjarmasin, Sabtu, 26 Juli 2008 berjudul “Dikembalikan, Tapi Dipungut Lagi?”, saya mencoba untuk menulis artikel ini. Dalam artikel berita dikemukakan soal pungutan biaya penyelenggaraan pendidikan. Konon, menurut ketentuan pungutan tanpa dasar yang jelas, dilarang. Sehingga, saya berasumsi bahwa sekolah, khususnya di Banjarmasin, dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuk dipilih. Sekolah menjadi serba salah. Sekolah mendapat “tekanan berat” dari berbagai arah. Memang, pelarangan tentu ada dasarnya. Namun, dalam melarangan adanya pungutan mustinya dibarengi kebijakan yang meringankan semua pihak (khususnya, sekolah dan orang tua siswa). Berikut ulasannya.
Sebagaimana dimaklumi selama ini, pendidikan terhadap anak bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah, masyarakat dan para orang tua. Tanggung jawab ketiga pihak itu tentu sudah dijalankan sesuai dengan porsi masing-masing. Secara khusus, sebagaimana yang saya ketahui dan alami ketika masih sekolah, tanggung jawab orang tua yang harus diemban oleh orang tua, salah satu di antaranya, adalah pemenuhan sumbangan yang berupa uang pangkal dan SPP. Sejauh yang saya ketahui, uang pangkal dan SPP ditentukan oleh pihak sekolah. Kini, sumbangan berganti nama (uang pengembangan dan iuran komite) dan ditentukan melalui “musyawarah” antara sekolah, komite sekolah dan para orang tua siswa. Kedua macam sumbangan sebenarnya setali tiga uang atau sama saja. Yakni, sama-sama merogoh kocek orang tua siswa.
Selama ini pula, tidak muncul persoalan berarti. Namun, dua tahun terakhir, ketika diwacanakan pendidikan murah atau kalau perlu gratis, sumbangan pendidikan memunculkan persoalan cukup pelik bagi sekolah. Sebab, konon kabarnya, kucuran dana operasional pendidikan di sekolah tak mampu untuk membiayai semua keperluan sekolah. Sementara, pihaknya tidak diperbolehkan memungut uang dari wali siswa secara sepihak. Pungutan uang sekecil apapun, tanpa melalui mekanisme musyawarah, akan diobok-obok oleh LSM dan disemprit oleh pihak-pihak berwenang. Pihak sekolah benar-benar berada dalam kondisi dilematis: memungut, salah; tidak memungut, tak ada duit.
Urusan finansial di sekolah tak bakal menjadi masalah bilamana pihak berwenang mengucurkan dana yang cukup guna operasionalisasi pendidikan di sekolah. Pertanyaannya: apakah pihak berwenang telah menyediakan dana yang cukup?.
Perlu sokongan dana
Ada sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya: ingin sukses, berkorbanlah. Menggapai kesuksesan besar perlu biaya yang besar pula. Menginginkan pendidikan dengan mutu yang memadai tanpa pembedaan latar belakang ekonomi orang tua siswa, perlu sokongan dana yang memadai pula. Anggota masyarakat yang cukup berkemampuan dan menginginkan anak bangsa ini maju, tentu saja, diharapkan bersedia merogoh koceknya untuk penyelenggaraan pendidikan (via orang tua asuh atau lainnya). Orang tua yang berharap anaknya berhasil dalam belajar, sudah barang tentu, hendaknya melakukan hal yang sama. Pendek kata, segala sesuatu tanpa bea (baca: pengorbanan) hasilnya tak maksimal alias ala kadarnya.
Menurut informasi dari salah seorang Wakasek salah satu SMA favorit di Kota Balikpapan, Pemerintah Kota Balikpapan mengucurkan dana bantuan atau subsidi untuk pendidikan. Bantuan untuk siswa SMA (negeri/swasta) lebih kurang 50 % dari dana yang harus dibayar; SMP (negeri/swasta) dan SD (negeri/swasta) mungkin saja gratis bila dana bantuan cukup untuk operasionalisasi pendidikan. Bila dana bantuan ternyata kurang, maka kekurangan itu dimusyawarahkan antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Dalam musyawarah, ditetapkan sumbangan sukarela tapi mengikat. Besaran sumbangan sukarela ini tidak sama antara orang yang satu dengan lainnya. Tidak dipukul rata. Orang tua/wali siswa diharapkan memberikan subsidi silang kepada orang tua/wali siswa kurang mampu. Agak rumit memang, namun hal itu dapat dilakukan.
Ini berarti penyelenggaraan pendidikan di sana tak mengalami masalah dalam pembiayaan, sebab pemerintah setempat menyokong dana kepada sekolah. Sokongan dana ini pada gilirannya akan meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Pembiayaan penyelenggaraan tetap saja seperti biasa, bahkan bisa lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, namun pihak sekolah disokong dana yang memadai. Pak walikotanya memenuhi janji untuk meringankan beban masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian, sebagaimana dituturkan oleh Wakasek itu, pendidikan gratis-tis itu hal yang tak mungkin. Semua pihak, khususnya orang tua siswa, harus menanggung sebagian dari biaya pendidikan. Mana ada yang gratis sekarang ini.
Di kota ini?. Kayaknya, kebijakan seperti itu koq belum terdengar. Yang terdengar selama ini, tak boleh ada pungutan dalam penerimaan siswa baru (PSB); setelah PSB selesai, tak boleh ada pungutan dari orang tua/siswa dalam bentuk apapun sebelum ada musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Banyak pengelola pendidikan di sekolah berada di bawah bayang-bayang ketakutan. Berani melakukan pungutan, harus siap terkena semprit. Sampai-sampai, menyediakan tetek bengek atribut sekolah, seragam dan lain-lain perlu dilengkapi dengan surat pernyataan yang berbunyi: “Saya memesan/membeli barang tersebut atas kemauan sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun” yang ditandatangani oleh siswa dan walinya. Ini refleksi dari ketakutan yang luar biasa!. Saya kira semua kita tahu, atribut dan seragam sekolah (khusus baju batik, topi, kaos kaki, kerudung yang tak ada di pasaran) dari dulu disediakan oleh sekolah. Sebentar lagi, heboh soal pengadaan buku mungkin terjadi lagi. Kita tunggu reaksi apa yang bakal muncul?
Tidak baik memang, membanding-membandingkan dengan pihak/kota lain. Namun, perlu juga kita memperhatikan kiprah pihak lain dan bila beberapa hal di antaranya patut diadoptasi, kenapa tidak?. Kita seringkali mendengar istilah studi banding. Sejumlah anggota dewan, pengelola sekolah, atau dosen/mahasiswa melakukan studi banding ke wadah orang. Apa gunanya studi banding? Ya itu tadi, kalau kita dapati hal-hal bagus di wadah orang, kita manfaatkan untuk membangun di wadah kita. Kiranya, perlu juga mengintip penyelenggaraan pendidikan di kota dari provinsi tetangga itu.
Pungutan dilarang
Pelarangan terhadap sesuatu pasti didasarkan pada perilaku menyimpang yang terjadi selama ini. Untuk mengeliminir (setidak-tidaknyanya, meminimalisir) perlu dilakukan pelarangan. Ini kebijakan yang perlu dihormati. Karena, sekecil apapun, pungutan, misalnya, tetap saja melanggar ketentuan. Bila pungutan uang pengembangan dan iuran komite harus didasarkan pada musyawarah, hendaknya sekolah tidak coba-coba memungut sebelum ada kesepakatan dalam musyawarah. Kegiatan musyawarah untuk menentukan besaran uang sumbangan, hendaknya didasarkan pada rencana kegiatan/pengeluaran/pembiayaan yang realistis dan bermuara pada peningkatan mutu pembelajaran.
Insentif boleh saja tinggi. Namun, insentif tinggi harus dibarengi dengan tingkat pelayanan yang sepadan. Rencana anggaran untuk pengadaan/peningkatan fasilitas boleh saja besar. Namun, anggaran yang besar itu harus direalisasikan sesuai dengan rencana anggaran yang telah ditetapkan. Dengan jalan itu dan hanya dengan jalan itu, anggaran pendapatan dan belanja sekolah akan mengantarkan pembelajaran bermutu dan pada gilirannya anak didik bisa memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan. Proses bagus dan hasil maksimal. Konsekuensi logisnya, damai di sekolah dan damai di masyarakat; damai guru dan damai siswa. Pendek kata, tiada kecewa di sana dan tiada gerutu di sini. Di sana-sini, yang ada adalah kepuasaan semua pihak. Alangkah indahnya bila sebuah sekolah mampu menciptalan kondisi itu.
Soal buku pelajaran
Setiap awal tahun pelajaran, para orang tua/wali siswa sering dipusingkan dengan pengadaan buku-buku pelajaran. Mereka diwajibkan menebus buku-buku pelajaran. Sempat ada pelarangan terhadap guru/sekolah merangkap sebagai penyedia buku-buku pelajaran. Sejumlah guru takut menjual buku pelajaran yang diasuhnya. Sehingga, mereka hanya mewajibkan anak didik memiliki buku itu. Tetapi ternyata, ada sejumlah orang tua siswa pusing ketika membeli sendiri di toko buku. Sebab, buku-buku yang dimaksud ternyata tidak selalu tersedia di toko buku tertentu. Pendek kata, dia harus pergi dari toko buku yang satu ke toko yang lain. Ternyata, ongkos yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang ujungan yang diterima oleh bapak/ibu guru. Tak salah-salah amat, bila kita membantu bapak/ibu guru. Biarkanlah beliau ikut menyalurkan buku pelajaran yang ditawarkan oleh penerbit atau pihak manapun.
Diakui atau tidak, buku pelajaran itu penting dalam serangkaian proses pembelajaran. Sekarang bukan zamannya lagi kita menerapkan sistem catat, sebab bahan yang dicatat telah tersedia. Sehingga, pengadaan buku pelajaran menjadi sebuah keharusan. Dalam hal ini, bila guru/sekolah menjadi penyedia buku-buku pelajaran, seyogyanya pihaknya mengatur cara pembayaran sedemikian rupa sehingga kelak tidak memberatkan siswa/orang tua siswa yang kurang mampu.
Untuk keperluan jauh ke depan, bila pembelajaran menekankan pada proses sesuai dengan tuntutan kurikulum dan ditunjung buku/referensi memadai, maka dalam menempuh ujian nasional para siswa tidak perlu lagi diantarkan, sebagaimana disinyalir selama ini, dengan cara-cara yang tidak mendidik. Hendaknya, para guru/sekolah tidak dihadapkan pada kondisi dilematis.
Penutup
Upaya meringankan masyarakat dalam pendidikan hendaknya tidak hanya didasarkan pada niat/keinginan belaka; harus ada tindakan nyata. Pendidikan perlu biaya. Bila pihak berwenang ingin meringankan biaya pendidikan, tindakan nyata yang semestinya ditempuh adalah memberikan sokongan dana. Dan, masyarakat cukup mampu perlu diminta partisipasinya melalui orang tua asuh, memberikan sokongan dana lebih dari yang ditetapkan atau memberikan donasi dengan cara lain. Dengan cara itu, beban masyarakat kurang mampu akan menjadi lebih ringan. Komitmen semua pihak perlu dibangun, khususnya dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Setelah dana tersedia, sekolah hendaknya berkomitmen untuk benar-benar memanfaatkan dana itu untuk kepentingan penyelenggaran pendidikan. Bagaimana menurut anda? (Penulis: Staf Pengajar FKIP Unlam Banjarmasin)
(Pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008)
1 komentar:
Tetaplah terus bersemangat. Salam hangat.
Posting Komentar