Euforia kemenangan Barrack Obama dalam Pemilu AS akan menemui momentum pentingnya pada 20 Januari 2009 ini: Pelantikan Obama sebagai Presiden AS ke-44. Pada event penting ini, publik akan menilai starting point yang dibuat oleh Obama untuk membuktikan retorika ‘Change We Can’ yang disuarakannya ketika kampanye.
Wajar jika dunia berharap pada figur Obama yang sering disebut-sebut sebagai antitesis dari George W. Bush –figur yang dianggap realis. Obama sering digambarkan sebagai seorang idealis dan akan mengubah paradigma politik luar negeri AS yang sangat struggle for power. Kampanye Obama yang selalu menawarkan perubahan (‘Change We Can’) ditangkap oleh komunitas global sebagai sinyal harapan dan perubahan.
Benarkah demikian? Nur Rahmat Yuliantoro, Dosen Hubungan Internasional UGM dalam website pribadinya (http://dragonandeagle.blogspot.com/2008/11/new-changed-america-dont-get-too.html) pernah mengatakan, “Don’t get too excited!” Jangan berlebihan dalam menyikapi kemenangan Obama dan mengharap perubahan. Karena, apa yang disuarakan oleh Barrack Obama hanya retorika kampanye dan belum dibuktikan secara empiris dalam kebijakan yang akan diambilnya.
Memang, Obama mewakili kelompok yang berbeda haluan dengan rezim sebelumnya. Obama lebih optimis dalam menyongsong masa depan yang lebih damai. Obama memiliki visi untuk mengembalikan citra Amerika melalui perubahan dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuat oleh rezim Bush. Dan yang lebih penting, Obama adalah Presiden dari kalangan minoritas pertama di Amerika Serikat yang pernah hidup di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta menjadikan Obama sebagai aktor protagonis yang akan membawa tatanan kehidupan dunia yang damai. Sekalipun Obama adalah seorang yang idealis, kita harus berbicara dalam tataran Amerika Serikat yang sejak dua dekade yang lalu telah menjadi negara unipolar. Ketika Obama datang, ia akan menghadapi banyak tantangan untuk negara sekaliber Amerika Serikat, terutama dalam birokrasi dan lobi-lobi di sekitar White House. Apalagi banyak figur lain yang berada di balik kemenangan Obama yang tidak diketahui publik.
Setidaknya, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan dalam figur Barrack Obama.
Pertama, walaupun Obama sering menyuarakan perubahan (‘Change’), kita harus mengakui bahwa Obama masih harus menghadapi kekuatan lobi yang pro terhadap Israel di birokrasi dan Kongres AS. Faktor inilah yang, seperti diakui oleh G.R. Berridge, pakar diplomasi, memegang peranan kunci dalam politik luar negeri AS.
Kedua, sikap diam Obama terhadap isu Gaza serta dukungannya terhadap Israel masih menandakan kedekatan Obama dengan Israel, sehingga penyelesaian kasus Gaza diperkirakan masih akan terhambat. Obama sendiri bahkan dalam kampanye menyatakan dirinya sebagai true friend of Israel, dan jelas mengindikasikan kecenderungan politik luar negeri Obama.
Ketiga, Obama harus menghadapi tantangan besar yaitu merestabilisasi perekonomian AS, dan hal ini bukan merupakan perkara yang mudah. Krisis ekonomi global telah menelan beberapa lembaga keuangan raksasa sehingga efeknya tidak hanya dirasakan oleh AS, tetapi juga oleh negara-negara lain. Perlu diingat, Obama tidak mungkin mengintervensi pasar di negara yang sangat liberal seperti AS. Obama mungkin memiliki visi, tetapi penjabaran visi tersebut juga memerlukan perangkat birokrasi dan sistem yang kuat. Apalagi, defisit yang diwariskan oleh Bush juga sangat besar.
Dengan demikian, kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya, apakah Obama masih konsisten dengan idealismenya, atau terjatuh dalam pusaran realisme politik yang tertanam dalam politik luar negeri AS. Maka, tak salah jika Pak Rahmat yang sekarang sedang S3 di Australia mengatakan: Don’t Get too Excited! let's not be fooled by what he has promised!
Wajar jika dunia berharap pada figur Obama yang sering disebut-sebut sebagai antitesis dari George W. Bush –figur yang dianggap realis. Obama sering digambarkan sebagai seorang idealis dan akan mengubah paradigma politik luar negeri AS yang sangat struggle for power. Kampanye Obama yang selalu menawarkan perubahan (‘Change We Can’) ditangkap oleh komunitas global sebagai sinyal harapan dan perubahan.
Benarkah demikian? Nur Rahmat Yuliantoro, Dosen Hubungan Internasional UGM dalam website pribadinya (http://dragonandeagle.blogspot.com/2008/11/new-changed-america-dont-get-too.html) pernah mengatakan, “Don’t get too excited!” Jangan berlebihan dalam menyikapi kemenangan Obama dan mengharap perubahan. Karena, apa yang disuarakan oleh Barrack Obama hanya retorika kampanye dan belum dibuktikan secara empiris dalam kebijakan yang akan diambilnya.
Memang, Obama mewakili kelompok yang berbeda haluan dengan rezim sebelumnya. Obama lebih optimis dalam menyongsong masa depan yang lebih damai. Obama memiliki visi untuk mengembalikan citra Amerika melalui perubahan dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuat oleh rezim Bush. Dan yang lebih penting, Obama adalah Presiden dari kalangan minoritas pertama di Amerika Serikat yang pernah hidup di Indonesia.
Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta menjadikan Obama sebagai aktor protagonis yang akan membawa tatanan kehidupan dunia yang damai. Sekalipun Obama adalah seorang yang idealis, kita harus berbicara dalam tataran Amerika Serikat yang sejak dua dekade yang lalu telah menjadi negara unipolar. Ketika Obama datang, ia akan menghadapi banyak tantangan untuk negara sekaliber Amerika Serikat, terutama dalam birokrasi dan lobi-lobi di sekitar White House. Apalagi banyak figur lain yang berada di balik kemenangan Obama yang tidak diketahui publik.
Setidaknya, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan dalam figur Barrack Obama.
Pertama, walaupun Obama sering menyuarakan perubahan (‘Change’), kita harus mengakui bahwa Obama masih harus menghadapi kekuatan lobi yang pro terhadap Israel di birokrasi dan Kongres AS. Faktor inilah yang, seperti diakui oleh G.R. Berridge, pakar diplomasi, memegang peranan kunci dalam politik luar negeri AS.
Kedua, sikap diam Obama terhadap isu Gaza serta dukungannya terhadap Israel masih menandakan kedekatan Obama dengan Israel, sehingga penyelesaian kasus Gaza diperkirakan masih akan terhambat. Obama sendiri bahkan dalam kampanye menyatakan dirinya sebagai true friend of Israel, dan jelas mengindikasikan kecenderungan politik luar negeri Obama.
Ketiga, Obama harus menghadapi tantangan besar yaitu merestabilisasi perekonomian AS, dan hal ini bukan merupakan perkara yang mudah. Krisis ekonomi global telah menelan beberapa lembaga keuangan raksasa sehingga efeknya tidak hanya dirasakan oleh AS, tetapi juga oleh negara-negara lain. Perlu diingat, Obama tidak mungkin mengintervensi pasar di negara yang sangat liberal seperti AS. Obama mungkin memiliki visi, tetapi penjabaran visi tersebut juga memerlukan perangkat birokrasi dan sistem yang kuat. Apalagi, defisit yang diwariskan oleh Bush juga sangat besar.
Dengan demikian, kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya, apakah Obama masih konsisten dengan idealismenya, atau terjatuh dalam pusaran realisme politik yang tertanam dalam politik luar negeri AS. Maka, tak salah jika Pak Rahmat yang sekarang sedang S3 di Australia mengatakan: Don’t Get too Excited! let's not be fooled by what he has promised!
2 komentar:
Sekarang banyak orang di dunia berharap terlalu tinggi pada Obama. Mneurut saya, itu harapan yang muluk-muluk...
Obama, sangat populer. Kompetensinya, tidak perlu diragukan. Namun, ketika dunia mengharap komentarnya mengenai agresi Israel ke Palestina, pria berkulit hitam itu, memilih bungkam.
Sehebat apa pun presiden Amerika, dia tidak akan kuasa melawan konspirasi jahat...
Sikap diam Obama tersebut bukan hanya tidak ingin terlibat dalam kisruh sekarang, Pak Taufik. Sejak kampanye, Obama memamg telah menyatakan kedekatan dengan Israel sebagai formulasi politik luar negerinya ketika menjabat.
Dirilis oleh Al-Jazeera, Obama menyatakan, "Jerusalem will remain the capital of Israel and it must remain undivided". Untuk lebih menegaskan posisinya tersebut, beliau berkomentar, "I will never compromise when it comes to Israel's security".
Komentar tersebut jelas sepihak dan terkesan tidak melihat pada realitas. Ketika ditanya tentang Hamas, Obama berkata, "We must isolate Hamas unless and until they renounce terrorism, recognise Israel's right to exist, and abide by past agreements".
Hal ini jelas tidak membedakan Bush dan Obama, bahwa mereka pada dasarnya sama-sama mencari posisi "aman" ketika berbicara tentang persoalan Israel. Sehingga, bukan sebuah kejutan ketika Obama bersikap diam atau pro-Israel ketika negara yang dibela keamanannya tersebut harus membunuh lebih dari 1000 warga Palestina.
Maka, sikap terbaik adalah tidak larut dalam euforia kemenangan Obama, tetapi tetap kritis dalam menilai kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Jangan berharap lebih dari apa yang dapat dilakukan oleh seorang Obama, seberapa idealisnya dia, di sebuah negara adidaya dengan lobi-lobi Zionis yang hegemonik...
Kita 'kan tidak tahu siapa saja yang berada di belakang Obama, Pak Taufik?
Posting Komentar