Demokratisasi tengah berjalan menju kedewasaan. Bagi sebuah negeri yang baru mengenal makna demokrasi, Pemilu menjadi sebuah ritual politik lima-tahunan yang secara rutin dan periodik diselenggarakan untuk memilih aktor-aktor baru dalam sistem politik. Begitu pula Indonesia. Sejarah mencatat, Pemilu 2009 ini akan menjadi pesta demokrasi keempat sepanjang sejarah kemerdekaan RI.
Dilema Partai Politik
Duverger (1954) secara rinci menjelaskan partai politik dalam rejim pemilihan yang ada. Duverger mencermati bahwa kesalahan demokrasi yang tidak berjalan sempurna sebenarnya bukan terletak pada aturan kepartaian atau sistem pemilihan yang memungkinkan banyak partai mengikutinya, tetapi lebih pada kondisi internal partai yang mengalami fenomena –meminjam istilah Robert Michels—“hukum besi oligarki”.
Bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem multipartai? Patut diketahui, demokrasi di Indonesia masih masih sarat dengan euforia nirsubstansi serta patologi. Sistem multipartai jelas sangat memungkinkan masuknya berbagai kepentingan di panggung parlemen. Maka, pada titik ini sistem demokrasi multipartai sangat berpotensi menjadi ajang kontestasi kepentingan dan perebutan kekuasan antarelit politik.
Namun perlu diingat pula bahwa sistem multipartai tersebut tak hanya dipahami sebagai jalan menuju kekuasaan, Sistem multipartai yang dianut oleh Indinesia juga harus dipahami sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terserak. Institusionalisasi demokrasi juga didorong atas dasar harapan untuk memperbaiki keadaan yang sekarang jauh dari ide awal reformasi.
Persoalannya, demokrasi di Indonesia diwarnai oleh berbagai patologi politik. Maraknya korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga pelanggaran hukum justru dilakukan oleh wakil rakyat. Fakta ini mengimplikasikan sebuah fenomena baru, yaitu menurunnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap parlemen. Implikasi lanjutannya, muncul gerakan “golongan putih” yang sebetulnya lebih diwarnai oleh nuansa ketidakpercayaan dan kekecewaan rakyat terhadap institusi perwakilan mereka (DPR).
Lantas, apakah dengan demikian partai politik telah terdelegitimasi di Indonesia?
Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Secara normatif, beberapa ilmuwan politik seperti Duverger (1959), Michels (1915), atau Lasswell (1950) masih memandang partai politik sebagai aktor utama dalam sistem politik Indonesia. Kendati menurut Michels ada sebuah tendensi untuk terjadinya oligarki kepartaian sebagai implikasi logis dari perkembangan partai politik, kita tetap tak dapat menafikan bahwa partai politik masih menjadi sarana rekrutmen dan sosialisasi politik yang penting bagi pembangunan politik.
Sebagai sarana rekrutmen politik, partai politik telah menjadi sebuah sarana bagi sistem politik Indonesia untuk memungkinkan rakyat masuk ke ranah politik secara terbuka. Hal ini pun masih sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 yang memberi hak kepada warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
Sarana rekrutmen politik ini kemudian menjadi sebuah alat untuk melakukan sosalisasi politik. Partai politik yang berkarakter sebagai partai kader akan secara konsisten dan gradual memberikan pemahaman kepada kader-kadernya untuk dapat memiliki sikap serta pandangan politik sesuai nilai yang dipahami oleh partai. Dengan demikian, terjadi sosialisasi politik dalam bentuk kaderisasi partai dan pelayanan masyarakat yang rutin.
Pencitraan Positif
Maka, sikap kita di sini bukan mendelegitimasi partai politik, tetapi justru berupaya untuk mendorong partai politik agar memperbaiki citra yang buruk sehingga merek mampua memberikan kotribusi yang lebih baik. Fenomena “golongan putih” yang ketika orde baru menjadi sebuah simbol perlawanan intelektual, sekarang justru tidak relevan ketika ternyata stabilitas pemerintahan akan sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi politik warganya. Namun jelas, citra dan kinerja partai politik juga patut dibenahi.
Bagaimana seharusnya partai politik memperbaiki citra mereka? Penulis mencoba mengelaborasi beberapa pandangan terkait hal ini.
Pertama, partai politik harus bertransformasi menjadi partai kader. Kecenderungan partai politik yang berdiri di Indonesia pasca-reformasi ternyata lebih identik dengan basis massa atau basis figur dibandingkan kader. Karakteristik partai pun menjadi berbeda, karena partai yang membasiskan diri pada massa memiliki kecenderungan hanya bermain menjelang Pemilu untuk mendapatkan legitimasi politik.
Berbeda halnya dengan partai kader yang secara rutin dan berkala melakukan proses kaderisasi. Dengan adanya kader yang terstruktur serta terideologisasi secara politik, sosialisasi politik dapat dilakukan secara rutin pula. Dengan sosialisasi politik yang baik, rekrutmen politik pun akan berjalan secara selektif dan mengacu pada sistem. Hal ini akan berdampak pada kualitas organisasi partai yang lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, partai politik perlu melakukan peremajaan secara rutin terkait sistem, kader, dan pemikiran. Selama ini, banyak elit politik yang sebenarnya telah bermain di panggung politik dalam satu partai selama lebih dari dua periode. Fenomena ini kurang baik karena secara pemikiran mereka telah terkooptasi oleh sistem lama. Peremajaan perlu dilakukan secara rutin untuk menyegarkan pemikiran tersebut.
Maka, partai politik yang ideal pada dasarnya adalah partai yang digawangi dan dijalankan oleh kaum muda. Penulis tidak menafikan peran politisi kawakan yang telah bermain lama, tetapi untuk menyegarkan proses kaderisasi dan seleksi politik, perlu adanya regenerasi periodik antara politisi tua ke politisi yang lebih muda.
Kesimpulan
Dengan demikian, partai politik yang pada tahun 2009 ini akan dipilih oleh rakyat Indonesia patut melakukan evaluasi dan pembenahan sistemik pada tubuh internal mereka. Jika partai politik tetap melakukan langkah-langkah seperti yang dijalankan sekarang, citra mereka jelas akan semakin memburuk hingga akhirnya muncul persepsi yang buruk pula mengenai politik.
Untuk itu, peremajaan dan kaderisasi perlu dilakukan secara konsisten. Mari membenahi sistem politik Indonesia, mari membersihkan wajah partai politik kita.
2 komentar:
sebenarnya knapa sih Indonesia pake sistem multi partai???
kalo di Amerika kan cuma 2, republik sama demokrat
jadi ga bingung milihnya....
sistem multipartai memang bukan yang ideal di Indonesia, tetapi bagi sebuah negara yang umur demokrasinya masih belum begitu panjang dan emosi politiknya belum begitu stabil, sistem multipartai masih tetap dapat diberlakukan....
Kalau di Amerika, sistem dwipartai juga diikuti oleh tingkat pendidikan politik masyarakatnya yang tinggi dan lingkungan politik yang mendukung. Jika Indonesia diberlakukan seperti itu, kadar representatifnya akan begitu lemah dan khawatirnya akan muncul oligarki seperti zaman orde baru.
Memang, sistem multipartai banyak kelemahannya, tetapi juga akan menjadi sebuah peluang untuk lebih mendewasakan demokrasi dengan mendorong masyarakat untuk memilih.
Kata saiful mujani, partisipasi politik adalah "jantung" demokrasi, dan rakyat perlu stimulus berupa partai yang mewakili ideologi politiknya...
Posting Komentar