Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Artikel ini pernah dimuat di Republika, 20 Juni 2009.
Paulo Freire pernah memperkenalkan sindroma “pendidikan bisu” dalam dunia pendidikan. Dalam sebuah bukunya, Pedagogy of Oppressed (1978), Freire menguraikan jenis sindroma tersebut dalam kebijakan pendidikan dan praktek pendidikan nasional. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.
Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone dan bocoran soal pada waktu ujian. Begitu banyak pula siswa yang menjadi korban “tidak lulus” hanya karena gagal ujian. Tahun 2009 menjadi saksi bisu pengadilan sosial bagi mereka yang dilabeli “bodoh” hanya karena tak lulus ujian.
Kita patut prihatin. Mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban. Pendeknya, siswa diajari moralitas tetapi juga diajari untuk melakukan kejahatan. Contradictio Interminis.
Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Begitu pula ketika siswa tidak lulus, guru yang mendapat kemarahan orang tua. Apakah semua kesalahan siswa, kesalahan sekolah, atau kesalahan pemerintah mesti ditimpakan hanya kepada guru?
Tentu saja tidak. Guru tidak selalu salah. Motif para oknum guru yang membocorkan soal ujian sebenarnya hanya untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Selain itu, banyak juga para guru yang telah melakukan upaya maksimal dalam transfer pemikiran kepada siswa. Tentunya kita tidak dapat menggeneralisasi kesalahan segelintir oknum guru kepada semua orang yang berprofesi sebagai guru.
Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah 100%. Banyak di antara mereka melakukan konspirasi kecurangan hanyalah karena tekanan eksternal dan menyelamatkan prestise sekolah. Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. K Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.
Kita pun tak dapat selalu menyalahkan siswa karena berbuat curang. Tekanan psikologis menjelang ujian tentu membuat siswa berpikir bahwa kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.
Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya juga tidak selalu. Terlepas dari penyimpangan yang terjadi, pada dasarnya pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk menjaga kualitas sumber daya manusia bangsa. Apalagi, era pasar bebas yang kompetitif berada di depan mata sehingga wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan.
Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, kesalahan tak dapat dilemparkan hanya pada satu pihak. Salah urus pendidikan adalah kesalahan kolektif sekaligus kesalahan struktural. Semua urun saham kesalahan dan harus ikut bertanggungjawab karena memiliki kontribusi pada terciptanya kesalahan kolektif ini.
Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut segera diluruskan. Baik sekolah maupun siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Apalagi pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah dapat dikatakan tidak merata dan penuh dengan keterbatasan. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut. Ini tentu saja memerlukan kerja yang sistematis dan terarah ke depan.
Persoalan-persoalan pendidikan akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Untuk itu, tetaplah bijaksana karena pendidikan memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Mari menyelamatkan pendidikan Indonesia.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM