Ada sesuatu yang menarik di Universitas Gadjah Mada satu bulan
terakhir. Sebagaimana jamak terjadi setiap lima tahun sekali, UGM akan
menggelar perhelatan "suksesi" untuk memilih pemimpin baru di level
universitas. Rektor baru akan terpilih pada tahun ini. Siapa yang akan
memegang estafet kepemimpinan? Bagaimana prosesnya?
Sejak akhir Februari lalu, Panitia ad-hoc sudah menentukan prasyarat calon rektor dan mekanisme pencalonan. Para guru besar sudah bersiap menuju kursi UGM-1. Jadilah ini kompetisi para 'begawan' untuk menuju punggawa kepemimpinan universitas.
Ketika saya membaca pemberitaan media, status para dosen, hingga diskusi-diskusi yang digelar baik oleh mahasiswa maupun universitas, terbersit sedikit rasa geli. Pemilihan Rektor ternyata hampir tak jauh berbeda dengan politik mahasiswa yang setiap tahun digelar untuk memilih Ketua BEM. Tim sukses kabarnya sudah dibentuk. Ada manuver, perkubuan, hingga statement media. Hal ini cukup lazim terjadi di pentas politik mampun.
Benakah demikian? Jika perhelatan Pemilihan Rektor (PILREK) ini adalah 'politik para begawan', lantas apa yang membedakannya dengan perilaku politik biasa?
Di titik inilah kita akan memulai diskursus. Ada dua makna "begawan" jika dilacak di "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Pertama, gelar pendeta atau pertapa. Kedua, orang yang berbahagia (mulia, suci). Istilah ini mungkin bisa dikonversi ke dalam realitas kekinian menjadi 'orang yang memiliki kedalaman ilmu dan senantiasa mencarinya'. Konversi kata "begawan" menjadi dekat dengan kehidupan para dosen karena aktivitasnya yang tak jauh dari pengembangan keilmuan.
"Begawan" seyogianya adalah mereka yang memiliki kearifan disebabkan oleh kedalaman ilmu. Para dosen layak mendapat titel "begawan" itu, sebab keseharian mereka adalah menggali ilmu, menuliskan kepada masyarakat, serta mengajarkannya kepada mahasiswa. Hidup para "begawan" berada pada kemuliaan. Ia menempati "strata" yang lebih tinggi di masyarakat karena ilmu yang dimiliki.
Oleh sebab itu, perilaku politik para "begawan" secara logis akan diliputi kearifan. Universitas sangat menjunjung tinggi etika dalam konteks akademik. Lantas, jika terjadi persaingan "politik" di antara para begawan itu -seperti dalam pemilihan rektor sekarang ini- apakah ilmu yang telah diajarkan oleh para "begawan" kepada mahasiswa itu dapat kita lihat secara nyata operasionalisasinya?
Sebagai seorang mahasiswa yang belajar ilmu politik, saya tentu menaruh sedikit perhatian dalam hal ini. Secara normatif, "politik" merujuk pada makna "mengelola kekuasaan". Harold Lasswell menyebutnya "who gets what, when, and how". Persaingan para "begawan" di kampus untuk menuju kursi Rektor UGM, walau sering disampaikan dengan argumentasi yang ilmiah, pasti akan bicara soal "siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana". Para "begawan" yang maju dalam Pemilihan Rektor pasti telah memainkan sebuah proses politik.
Kata kunci yang dapat menjadi bahan pertanyaan lebih lanjut adalah: "bagaimana" kekuasaan itu didapatkan? Ini menjadi renungan bagi kita. Di media massa, hawa persaingan itu tercium dengan jelas. Jika kita lacak serba-serbi PILREK UGM di media massa, ada sedikit "dinamika" yang mengemuka antara kubu-kubu yang tengah berkompetisi.
Sebagai contoh, di satu media, tersiar kabar gugatan terhadap MWA dari salah satu kubu berkenaan dengan proses yang terjadi selama ini. Lalu ada massa mahasiswa yang berdemonstrasi terkait proses PILREK, bukan menyuarakan aspirasi atau evaluasi kebijakan, melainkan menggugat aturan main.
Hal-hal tersebut sah adanya dalam dunia politik. Akan tetapi, titik kritisnya justru di sini: apakah perilaku politik para "begawan" yang akan tampil dalam perhelatan PILREK masih sama dengan para politisi profesional di lapangan, ataukah berbeda disebabkan kearifan dan aplikasi keilmuan secara tepat?
Status facebook seorang dosen mengingatkan: "mari mendorong proses pemilihan Rektor UGM yang kompetitif dengan berorientasi substantif, beretika, dan didasarkan atas prinsip-prinsip fair play". Etika akademik selama ini menjadi acuan aktivitas di universitas, disampaikan dalam kuliah-kuliah kepada mahasiswa. Apakah etika akademik ini mampu juga diaplikasikan dalam perilaku politik? Jika yang melakukannya adalah para "begawan", saya masih tetap memelihara optimisme.
Perhelatan PILREK adalah pentas politik para begawan. Dan tentu saja, dengan kearifan dan kedalaman ilmunya, para "begawan" diharapkan mampu untuk memainkan politik secara elegan, agar teori dan etika akademik yang diajarkan kepada mahasiswa mampu terejawantah dalam proses PILREK.
Tentu saja, dalam hal ini mahasiswa tak perlu bermain terlalu jauh. Kepentingan mahasiswa, menurut saya, sederhana saja: kebijakan yang diberikan mampu mengakomodasi aspirasi mahasiswa. Kita mengharapkan rektor yang mampu meneladani semangat Koesnadi Hardjasoemantri (alm) dengan kebijakan yang mampu menyinergikan mahasiswa dan kampus. Kita merindukan sosok Sardjito yang sederhana namun cakap dalam bekerja. Kita juga menginginkan rektor kita mampu meneladani semangat ke-Gadjah-Mada-an dalam segenap kebijakan kampus.
Tentu kita tidak mengharapkan Rektor yang terpilih dari golongan "mereka" yang disebut-sebut dalam pidato pengukuhan Prof. Heri Nugroho. Atau, rektor yang represif kepada mahasiswa. Poin pentingnya adalah bahwa rektor adalah pimpinan universitas yang notabene adalah wadah pembelajaran. Maka. mengapa tidak kita jadikan kampus sebagai wadah pembelajaran politik secara dini, dengan ditunjukkan langsung oleh para "begawan" yang mengajarkan ilmunya kepada mahasiswa?
Kata Prof. Purwo Santoso, ilmu sosial mesti bersifat transformatif. Artinya, punya dimensi praksis yang dapat diterjemahkan menjadi sebuah perilaku. Perhelatan PILREK menjadi ajang pembuktian, apakah ilmu yang selama ini kita pelajari dari dosen bersifat transformatif atau sekadar text-book. Jika diseriusi, PILREK bisa menjadi sebuah laboratorium mahasiswa, dosen, atau peneliti yang mempelajari ilmu politik untuk melihat perilaku di level yang paling dekat dan 'steril-kepentingan politik': kampus.
Untuk itu, para "begawan" perlu disemangati untuk memainkan politik yang berkarakter "begawan" pula. Pemilihan Rektor jelas berbeda dengan pemilihan Presiden Mahasiswa yang bisa menggunakan mobilisasi mahasiswa secara sporadis. Pemilihan Rektor adalah ajang memilih pemimpin yang mampu menerjemahkan semangat ke-Gadjah-Mada-an ke dalam kebijakan pendidikan dan transformasi sosial bangsa.Oleh sebab itu, semangat pemilihannya adalah semangat etika akademik, bukan sekadar politik kekuasaan.
Jika kita sudah bisa menyaksikan "politik para Begawan" secara komprehensif, saya yakin, rektor baru akan mampu menampilkan kampus Universitas Gadjah Mada yang tak luput dari cita-cita mulia UGM sebagai kampus kerakyatan. Kepada para dosen dan profesor saya ucapkan: selamat berkompetisi dalam pentas "politik para Begawan".
Sejak akhir Februari lalu, Panitia ad-hoc sudah menentukan prasyarat calon rektor dan mekanisme pencalonan. Para guru besar sudah bersiap menuju kursi UGM-1. Jadilah ini kompetisi para 'begawan' untuk menuju punggawa kepemimpinan universitas.
Ketika saya membaca pemberitaan media, status para dosen, hingga diskusi-diskusi yang digelar baik oleh mahasiswa maupun universitas, terbersit sedikit rasa geli. Pemilihan Rektor ternyata hampir tak jauh berbeda dengan politik mahasiswa yang setiap tahun digelar untuk memilih Ketua BEM. Tim sukses kabarnya sudah dibentuk. Ada manuver, perkubuan, hingga statement media. Hal ini cukup lazim terjadi di pentas politik mampun.
Benakah demikian? Jika perhelatan Pemilihan Rektor (PILREK) ini adalah 'politik para begawan', lantas apa yang membedakannya dengan perilaku politik biasa?
Di titik inilah kita akan memulai diskursus. Ada dua makna "begawan" jika dilacak di "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Pertama, gelar pendeta atau pertapa. Kedua, orang yang berbahagia (mulia, suci). Istilah ini mungkin bisa dikonversi ke dalam realitas kekinian menjadi 'orang yang memiliki kedalaman ilmu dan senantiasa mencarinya'. Konversi kata "begawan" menjadi dekat dengan kehidupan para dosen karena aktivitasnya yang tak jauh dari pengembangan keilmuan.
"Begawan" seyogianya adalah mereka yang memiliki kearifan disebabkan oleh kedalaman ilmu. Para dosen layak mendapat titel "begawan" itu, sebab keseharian mereka adalah menggali ilmu, menuliskan kepada masyarakat, serta mengajarkannya kepada mahasiswa. Hidup para "begawan" berada pada kemuliaan. Ia menempati "strata" yang lebih tinggi di masyarakat karena ilmu yang dimiliki.
Oleh sebab itu, perilaku politik para "begawan" secara logis akan diliputi kearifan. Universitas sangat menjunjung tinggi etika dalam konteks akademik. Lantas, jika terjadi persaingan "politik" di antara para begawan itu -seperti dalam pemilihan rektor sekarang ini- apakah ilmu yang telah diajarkan oleh para "begawan" kepada mahasiswa itu dapat kita lihat secara nyata operasionalisasinya?
Sebagai seorang mahasiswa yang belajar ilmu politik, saya tentu menaruh sedikit perhatian dalam hal ini. Secara normatif, "politik" merujuk pada makna "mengelola kekuasaan". Harold Lasswell menyebutnya "who gets what, when, and how". Persaingan para "begawan" di kampus untuk menuju kursi Rektor UGM, walau sering disampaikan dengan argumentasi yang ilmiah, pasti akan bicara soal "siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana". Para "begawan" yang maju dalam Pemilihan Rektor pasti telah memainkan sebuah proses politik.
Kata kunci yang dapat menjadi bahan pertanyaan lebih lanjut adalah: "bagaimana" kekuasaan itu didapatkan? Ini menjadi renungan bagi kita. Di media massa, hawa persaingan itu tercium dengan jelas. Jika kita lacak serba-serbi PILREK UGM di media massa, ada sedikit "dinamika" yang mengemuka antara kubu-kubu yang tengah berkompetisi.
Sebagai contoh, di satu media, tersiar kabar gugatan terhadap MWA dari salah satu kubu berkenaan dengan proses yang terjadi selama ini. Lalu ada massa mahasiswa yang berdemonstrasi terkait proses PILREK, bukan menyuarakan aspirasi atau evaluasi kebijakan, melainkan menggugat aturan main.
Hal-hal tersebut sah adanya dalam dunia politik. Akan tetapi, titik kritisnya justru di sini: apakah perilaku politik para "begawan" yang akan tampil dalam perhelatan PILREK masih sama dengan para politisi profesional di lapangan, ataukah berbeda disebabkan kearifan dan aplikasi keilmuan secara tepat?
Status facebook seorang dosen mengingatkan: "mari mendorong proses pemilihan Rektor UGM yang kompetitif dengan berorientasi substantif, beretika, dan didasarkan atas prinsip-prinsip fair play". Etika akademik selama ini menjadi acuan aktivitas di universitas, disampaikan dalam kuliah-kuliah kepada mahasiswa. Apakah etika akademik ini mampu juga diaplikasikan dalam perilaku politik? Jika yang melakukannya adalah para "begawan", saya masih tetap memelihara optimisme.
Perhelatan PILREK adalah pentas politik para begawan. Dan tentu saja, dengan kearifan dan kedalaman ilmunya, para "begawan" diharapkan mampu untuk memainkan politik secara elegan, agar teori dan etika akademik yang diajarkan kepada mahasiswa mampu terejawantah dalam proses PILREK.
Tentu saja, dalam hal ini mahasiswa tak perlu bermain terlalu jauh. Kepentingan mahasiswa, menurut saya, sederhana saja: kebijakan yang diberikan mampu mengakomodasi aspirasi mahasiswa. Kita mengharapkan rektor yang mampu meneladani semangat Koesnadi Hardjasoemantri (alm) dengan kebijakan yang mampu menyinergikan mahasiswa dan kampus. Kita merindukan sosok Sardjito yang sederhana namun cakap dalam bekerja. Kita juga menginginkan rektor kita mampu meneladani semangat ke-Gadjah-Mada-an dalam segenap kebijakan kampus.
Tentu kita tidak mengharapkan Rektor yang terpilih dari golongan "mereka" yang disebut-sebut dalam pidato pengukuhan Prof. Heri Nugroho. Atau, rektor yang represif kepada mahasiswa. Poin pentingnya adalah bahwa rektor adalah pimpinan universitas yang notabene adalah wadah pembelajaran. Maka. mengapa tidak kita jadikan kampus sebagai wadah pembelajaran politik secara dini, dengan ditunjukkan langsung oleh para "begawan" yang mengajarkan ilmunya kepada mahasiswa?
Kata Prof. Purwo Santoso, ilmu sosial mesti bersifat transformatif. Artinya, punya dimensi praksis yang dapat diterjemahkan menjadi sebuah perilaku. Perhelatan PILREK menjadi ajang pembuktian, apakah ilmu yang selama ini kita pelajari dari dosen bersifat transformatif atau sekadar text-book. Jika diseriusi, PILREK bisa menjadi sebuah laboratorium mahasiswa, dosen, atau peneliti yang mempelajari ilmu politik untuk melihat perilaku di level yang paling dekat dan 'steril-kepentingan politik': kampus.
Untuk itu, para "begawan" perlu disemangati untuk memainkan politik yang berkarakter "begawan" pula. Pemilihan Rektor jelas berbeda dengan pemilihan Presiden Mahasiswa yang bisa menggunakan mobilisasi mahasiswa secara sporadis. Pemilihan Rektor adalah ajang memilih pemimpin yang mampu menerjemahkan semangat ke-Gadjah-Mada-an ke dalam kebijakan pendidikan dan transformasi sosial bangsa.Oleh sebab itu, semangat pemilihannya adalah semangat etika akademik, bukan sekadar politik kekuasaan.
Jika kita sudah bisa menyaksikan "politik para Begawan" secara komprehensif, saya yakin, rektor baru akan mampu menampilkan kampus Universitas Gadjah Mada yang tak luput dari cita-cita mulia UGM sebagai kampus kerakyatan. Kepada para dosen dan profesor saya ucapkan: selamat berkompetisi dalam pentas "politik para Begawan".
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa FISIPOL UGM