Selasa, 04 September 2012

Abul Futuh


Jika ada politisi yang paling ditakuti oleh Ikhwanul Muslimin beberapa bulan terakhir, mungkin Abdul Mun'im Abul Futuh-lah orangnya. 36 tahun berjuang di Ikhwan (sejak menjadi Ketua Dewan Mahasiswa di Universitas Kairo), di Pemilu 2012 ini ia dengan berani menantang mantan koleganya di Ikhwan, Mohammed Morsy, sebagai Calon Presiden Mesir.

Ikhwan mungkin tidak takut dengan SCAF - Dewan Tinggi Militer yang selama ini memegang komando atas Mesir. Hussein Tantawi, Komandan SCAF, dipecat dengan gagah berani oleh Morsy. Ikhwan mungkin juga tidak takut menghadapi kaum revolusioner yang tiap hari, tak bosan-bosannya, berdemonstrasi di depan markas Ikhwan di Attamiya, Kairo. Tapi, dengan para 'mantan' anggotanya, Ikhwan seperti siaga.

Tak kurang dari Mahmoud Ghozlan, juru bicara IM, yang harus turun setiap hari ke kader-kadernya di 'bawah' untuk memperingatkan: barang siapa mendukung Abul Futuh waktu Pilpres, harus siap dikeluarkan dari Jamaah! Sobhi Saleh, seorang tokoh senior Ikhwan, berbicara kepada Ahram dengan nada tinggi: tidak etis bagi seorang Ikhwah untuk menyatakan pemikirannya pribadi di atas kepentingan jamaah! (menunjuk ke Abul Futuh).

Ikhwan rupanya tak main-main dengan hal ini. Abul Futuh seakan menjadi representasi dari kubu Ikhwan yang kritis. Semua 'mantan' Ikhwan berkumpul mendukungnya. Abul A'la Al-Madi, Issam Sultan, dan Salah Abdul Karim, tiga tokoh Ikhwan yang keluar setelah insiden Partai Wasat tahun 1996, berada di garis terdepan untuk mendukung Abul Futuh. Menyusul generasi muda 6 April yang juga menerima konsekuensi pahit dikeluarkan dari jamaah: Muhammad Al-Qassas, Islam Lotfy, dan Asmaa Mahfouz. Lalu 'geng Alexandria': Haytham Abul Khalil, Ibrahim Al-Za'afarany, dan Mohammad Habib. Semuanya sudah keluar dari Ikhwan.

Yusuf Al-Qaradhawy pun sampai menyatakan dukungannya: lebih cocok Abul Futuh yang jadi presiden, dan Morsy adalah wakilnya. Beruntung tidak ada yang berani menggugat Al-Qaradhawy, karena ia tidak tinggal di Mesir.

Siapakah Abul Futuh?

Beberapa penelitian terdahulu tentang Ikhwan menyebutnya sebagai 'pemimpin masa depan Ikhwan'. Carrie Rosefsky Wickham (2002) sampai menyebutnya sebagai kandidat terkuat pengganti Musthafa Mashhur setelah Murshid 'Am Ikhwan kelima ini meninggal dunia (kendati akhirnya beliau digantikan oleh Ma'mun Hudhaiby, putera kedua Hasan Al-Hudhaiby). Ia adalah generasi Ikhwan yang masuk pada era 'moderasi', ketika Ikhwan dipimpin oleh Umar At-Tilmisany.

Abul Futuh sudah menunjukkan kegemilangannya sebagai aktivis mahasiswa ketika ia menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kairo. Ia berasal dari Fakultas Kedokteran, satu angkatan dan satu fakultas dengan Issam Al-Erian yang waktu itu menjadi Ketua Jamaah Mahasiswa Muslim Kedokteran di Universitas tersebut. Keduanya kemudian sering disebut sebagai duet pimpinan generasi muda Ikhwan, dan masuk ke Ikhwan bersamaan.

Namun, di kemudian hari, keduanya berpisah jalan: Abul Futuh keluar dari Ikhwan dan mencalonkan diri sebagai Presiden, sementara Al-Erian sukses dengan karier politiknya sebagai Wakil Presiden FJP -Partai Ikhwan- dan menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan Morsy sebagai Presiden FJP.

Abul Futuh sempat mengejutkan publik ketika ia dengan berani mendebat Presiden Anwar Sadat di sebuah forum atas kebijakan politiknya pada tahun 1975. Sejak saat itu, namanya melejit. Umar Al-Tilmisani kemudian merekrutnya sebagai anggota Ikhwan, konon atas bantuan Syeikh Abbas As-Siisi, da'i kondang Ikhwan.

Abul Futuh kemudian disebut-sebut sebagai bagian penting dari generasi muda Ikhwan. Ia menjadi Sekjen Perhimpunan Para Doktor dan kini masih menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Dokter Arab.

Selain Al-Erian, ada nama-nama seperti Ibrahim Al-Za'afarani dari Minya, Haitham Abu Khalil dari Alexandria, Issam Sultan, Salah Abdul Karim, Khaled Dawoud, atau Mohammad Habib. Nama terakhir pernah menjadi orang nomor dua Ikhwan (Wakil Pemimpin Tertinggi) pada era Mehdi Aklif (2004-2009). Mereka kini mengikuti jejak Abul Futuh: konflik dengan 'kubu tua' dan dikeluarkan. Di kubu sebelah kanan yang masih sukses di Ikhwan, selain Al-Erian, ada nama Hamid Al-Gazzar, Ketua Perhimpunan Insinyur.

Generasi Muda yang tampil belakangan lain lagi: Ada Asmaa Mahfouz dan Islam Lotfy yang memprakarsai gerakan pemuda 6 April pada tahun 2008 untuk mendukung pemogokan buruh di Al-Mahallah Al-Kubra. Beberapa tokoh lain adalah Ayman Nour dan Ahmad Maher. Gerakan 6 April merupakan penentangan generasi muda pertama yang diorganisir sebelum Mubarak jatuh. Dua tahun kemudian, gerakan ini membesar dan menggagas Gerakan 25 Januari. Mubarak benar-benar tumbang. Dan semua Mesir berterima kasih kepada para pemuda!

Sayang, tokoh-tokoh muda Ikhwan ini terlalu jauh bermanuver. Mereka mendorong gerakan serupa melalui Revolution Youth Council dan berencana membentuk partai baru. Sayangnya gerakan mereka tak didukung oleh elite-elite Ikhwan, dan opsinya hanya dua: tetap di Ikhwan atau meneruskan di luar. Mereka memilih opsi yang kedua.

Kembali ke Abul Futuh. Abul Futuh memang dikenal cerdas. Ia mampu berbicara bersama faksi-faksi politik yang berseteru di era Mubarak dan dikenal sebagai salah satu intelektual paling progresif di Ikhwan -bersama Al-Erian. Ketika Mubarak akan jatuh di awal tahun 2011, ia masih sempat menulis di The Washington Post, mengampanyekan stand position Ikhwan pada masyarakat internasional, menyatakan bahwa Ikhwan bukan ancaman bagi demokratisasi Mesir. Koleganya, Al-Erian, menulis hal yang sama di New York Times.

Akan tetapi, aksi progresif Abul Futuh tetap saja menemui batasnya. Ia dihalangi bukan oleh lawan-lawan politiknya, melainkan oleh rekan-rekannya sendiri di Ikhwan: kubu konservatif dan pengusaha.

Ikhwan adalah organisasi yang sangat mengandalkan pengorganisasian, mobilisasi, dan ikatan-ikatan yang cukup kental dengan nuansa militeris. Ketidaksetujuan atas Keputusan Syura adalah sesuatu yang terlarang. Konsekuensinya cukup tegas: dikeluarkan dari jamaah. Dengan basis pengorganisian ini, Ikhwan mampu menjadi organisasi yang bisa memobilisasi massanya dalam waktu singkat, dan mampu membentuk kader-kader militan. Wajar jika FJP dapat dengan mudah memenangi Pemilu dengan suara hampir 50%.

Tetapi rupanya hal ini bukan tempat yang nyaman bagi seorang intelektual progresif seperti Abul Futuh. Pertengahan tahun 2011, ketika Ikhwan menyatakan tidak akan mencalonkan presiden dalam Pemilu, Abul Futuh melakukan manuver: ia menyatakan siap dicalonkan sebagai presiden. Statement ini jelas membuat elite-elite Ikhwan berang. Muncullah konflik di tubuh jamaah ini. Mahmoud Ghozlan, juru bicara Ikhwan, akhirnya menyatakan keputusan "Jamaah" beberapa hari kemudian: Abul Futuh dipecat.

Beberapa pihak mengaitkan hal ini dengan konflik internal Abul Futuh dengan Khairat Al-Shater, orang kuat di Ikhwan yang selama ini menjadi tokoh di balik kepemimpinan Mohammad Badie' sejak 2009. Al-Shater adalah representasi pengusaha sukses Ikhwan, penyumbang dana terbesar dengan Grup Juhainah yang dikemudikannya. Abul Futuh dan Al-Shater pernah satu penjara di dekade 1990an, dan cukup dekat dengan kubu "generasi tua" seperti Akif dan Badie'.

Ada yang menyebutkan bahwa pemecatan Abul Futuh disebabkan oleh sikap kritisnya terhadap generasi tua. Abul Futuh sudah lama terlibat perdebatan dengan faksi Qutbism Ikhwan, kata seorang blogger Mesir. Dan Al-Shater masih berada di lingkaran faksi tersebut. (catatan: Muhammad Badie' disebut-sebut sebagai bagian terkuat dari faksi itu, meski tidak kebenarannya belum bisa terkonfirmasi). Akhirnya, kedua tokoh kuat ini, Al-Shater serta Abul Futuh, berpisah jalan.

Keputusan ini membuat ramai media Mesir, terutama generasi muda. Beberapa tokoh muda Ikhwan, juga menyatakan keluar dan membentuk partai baru: Al-Tayar Al-Islamy. Ibrahim Al-Za'afarany dan Mohammad Habib mendirikan Partai An-Nahdha. Al-Madi, Abdul Karim, dan Sultan sudah lebih dulu mendirikan Al-Wasat. Lalu Dawoud mendirikan Al-Riyada, dan terakhir, Hamed Al-Dafrawi, mendirikan partai lain.

Sayangnya, partai-partai "sempalan" ini tak mendapat suara signifikan ketika Pemilu 2011-2012 lalu. Hanya Al-Wasat yang cukup perkasa, berada di urutan kelima. FJP tak terbendung dengan 47,2% suara.

Akan tetapi, ketika Abul Futuh benar-benar maju dalam Pemilihan, suara-suara kritis ini tiba-tiba terkonsolidasi. Mereka merebut basis-basis suara Ikhwan di Minya, Ismailiyah, dan Bani Suef, berhasil menempati posisi keempat. Suara Morsy yang didukung penuh Ikhwan merosot tajam: hanya mendapatkan 5 juta suara, selisih 1 persen saja dengan Ahmed Shafiq yang tiba-tiba melejit. Ikhwan kalah total di daerah-daerah perkotaan seperti Kairo, Alexandria, dan Port Said. Mereka takluk di tangan Hamdeen Sabbahi, seorang Nasserist yang populer di kalangan pejuang revolusi.

Meski demikian, Abul Futuh tetap gagal dalam menantang Morsy di putaran kedua. Alasannya, menurut saya, cukup sederhana: ketidakseriusan kubu Salafi mendukung Abul Futuh. Abul Futuh hanya sukses memukul Ikhwan di kantong-kantong suaranya. Di kalangan generasi muda perkotaan, ia kalah populer dibanding Sabbahi (Morsy hanya mendapat posisi keempat di sini). Abul Futuh hanya memenangi pemilihan di Damietta dan memperoleh urutan kedua di Giza dan Alexandria. Di daerah yang lain, ia tenggelam di antara pertarungan antara Sabbahi, Shafiq, dan Morsy.

Akan tetapi, bagi Morsy, hasil pemilihan presiden di putaran pertama menjadi pukulan telak. Afeef Al-Sadawy menggarisbawahi anjloknya suara Ikhwan, terutama di basis-basis suara Ikhwan (Alexandria, Port Said, Giza, Luxor, dll). Mehdi Akif, mantan Mursyid 'Am, menyatakan bahwa ada penurunan suara cukup tajam dalam hal ini. Hampir saja, Morsy dikalahkan oleh seorang Ahmed Shafiq, figur representasi rezim lama, yang cukup lama merepresi Ikhwan.

Beruntung, di putaran kedua Ikhwan menghadapi Shafiq. Alhasil, semua kubu oposisi rezim lama merapat ke Morsy. Hasilnya, kemenangan tipis 51,8% yang menandai masa baru Ikhwan dalam pentas kepresidenan: Morsy sebagai Presiden baru Mesir.

Sadar atau tidak, catatan-catatan selama Pemilu tersebut mengisyaratkan hegemoni yang rapuh. Dengan strategi Ikhwan sekarang yang sedang membangun hegemoni, popularitas menjadi sesuatu yang penting. Dan dengan citra Ikhwan selama ini, dengan demonstrasi-demonstrasi yang sedang ramai dilakukan, bukan tidak mungkin Ikhwan akan menjadi 'musuh publik nomor dua': setelah militer. Wacana "Ikhwanisasi" sedang ramai beredar di kalangan massa yang berdemonstrasi.

Untunglah, Ikhwan masih bisa bersyukur dengan kegarangan yang ditampakkan oleh Morsy pada militer dan Syria di Forum Gerakan Non-Blok, membuatnya masih dipuji oleh pendukung revolusi dan kaum Islamis lain, Selama performa kepresidenan Morsy masih 'garang' seperti ini, Ikhwan mungkin masih akan tetap bernafas panjang.

Akan tetapi, perlu dicatat: oligarki di tubuh organisasi Ikhwan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Mungkin saja, jika oligarki itu masih tetap bertahan dan konflik dengan suara kritis masih terjadi, masa depan Ikhwan berada dalam pertaruhan.

Dan Abul Futuh-lah yang membuktikannya.