Senin, 31 Desember 2012

Teologi Politik Muhammadiyah?


Pada tahun 1971, sidang tanwir Muhammadiyah telah mendeklarasikan sebuah khittah: bahwa Muhammadiyah bukanlah partai politik, akan menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada, serta membebaskan warganya untuk mengaktualisasikan kepentingan politiknya di manapun.

Namun, menjadi pertanyaan, seberapa relevan-kah khittah politik ini di tengah arus kebebasan politik era Reformasi? Kita perlu memberikan beberapa catatan kiritis terhadapnya.


Kebutuhan Politik
Harus diakui, walaupun Muhammadiyah telah mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah kekuatan beyond politics (dalam bahasa Amien Rais tahun 1990an, High Politics), Muhammadiyah tak bisa berlepas dari kenyataan bahwa banyak kader dan warganya yang berkecimpung di dunia politik praktis, baik di kursi pemerintahan, kepala daerah, anggota legislatif, maupun pegiat partai politik.

Kondisi ini tak terhindarkan, karena meskipun Muhammadiyah sudah meng-khittah-kan diri untuk tidak terjebak pada arus besar politik, kebutuhan warga Muhammadiyah untuk mengekspresikan kepentingan politiknya masih demikian besar. Di era keterbukaan hak politik yang dimulai sejak 1999, aktivitas berpolitik menjadi sebuah hal yang lumrah. Konsekuensinya, sedikit-demi-sedikit, Muhammadiyah mulai 'terseret' arus yang besar itu.

Saya masih ingat, di arena Musyawarah Daerah Pemuda Muhammadiyah Banjarmasin yang sempat saya ikuti enam tahun silam, rekomendasi yang dinyatakan adalah tetap mengawal otonomi daerah melalui politik. Ini bukan berarti Pemuda Muhammadiyah turun ke politik, tetapi lebih pada 'menitipkan' agenda-agenda keumatan Muhammadiyah pada kadernya di parlemen. Artinya, ada interkoneksi antara Muhammadiyah dan politik pada level ini.

Begitu juga di pemilihan-pemilihan kepala daerah atau legislatif. Kendati tidak secara formal, dulu ketika menjelang Pemilu 2004, di pertemuan-pertemuan warga Muhammadiyah selalu dikenalkan tokoh yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD-RI. Kondisi serupa terjadi pula menjelang tahun 2009 atau pemilihan kepala daerah, di mana ada warga Muhammadiyah yang akan bertarung pada pilkada.

Di tingkat desa, konsolidasi-konsolidasi serupa tentu lebih massif lagi, terkadang terjadi di pertemuan tingkat ranting.

Begitu juga di tingkatan kampus. Baik yang tergabung dengan ikatan atau tidak, kader Muhammadiyah yang terjun dalam pemilihan Ketua BEM di masing-masing universitas juga banyak. Apa yang membedakan perilaku politik warga Muhammadiyah dengan, misalnya, komunitas Tarbiyah yang sangat hegemonik di beberapa kampus besar? Pada level praksis, ini perlu kita address bersama-sama.

Tentu saja, ini menunjukkan bahwa walau Muhammadiyah bukan partai politik, lambat laun, ia punya kecenderungan untuk menjadi kekuatan politik yang besar. Jika kondisinya demikian, masihkah Khittah Politik Muhammadiyah tahun 1971 itu relevan dijadikan acuan dan pedoman?

Saya kira, persoalannya bukan terletak pada relevansi atau tidaknya, tetapi 'bagaimana' kita memaknai Khittah Politik Muhammadiyah yang lahir pada awal era Orde Baru itu. Bahwa prinsip Muhammadiyah (secara institusional) untuk tidak berpolitik praktis harus dipegang teguh, tetapi kebutuhan warganya untuk berpolitik juga perlu di-address.

Kondisi politik era reformasi sepertinya mengharuskan Muhammadiyah untuk memberikan rumusan baru terkait teologi politik baru, yang akan menjadi acuan warganya baik untuk menentukan sikap politik maupun merumuskan ijtihad-ijtihad politik. Ketika warga Muhammadiyah terjun dalam politik, setidanya ia punya 'bekal' moral untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil, membedakan mana yang benar dan salah, dan strategi-strategi apa yang harus dibuat untuk mengejawantahkan keyakinan dan cita-cita hidup (KCH) Muhammadiyah di arena politik.

Selama ini, saya mencermati bahwa ada tiga kecenderungan besar kader Muhammadiyah dalam berpolitik. Pertama, kubu Islamis yang memilih mengekspresikan identitas politiknya ke partai Islam. Salah satu yang besar adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang di beberapa tempat (termasuk Yogyakarta) sempat menyulut konflik dengan Muhammadiyah. Kita bisa kenali nama Anis Matta dan Hidayat Nur Wahid di sisi sebelah ini,  

Kedua, kubu 'kultural' yang memilih haluan PAN karena didirikan oleh beberapa okoh Muhammadiyah, termasuk Amien Rais. Akan tetapi, di beberapa daerah, PAN justru mulai ditinggalkan karena masuknya tokoh non-Muhammadiyah sebagai pimpinan, salah satunya di Banjarmasin. Larilah sebagian warga ke Partai Mataharii Bangsa, walau juga tak banyak. Ketiga, kubu politisi. Kubu ini matang dan mengambil jalan di partai lain. Kita mengenal beberapa nama seperti Hajriyanto Tohari di Golkar atau Heri Akhmadi di PDIP.

Tipologi ini menunjukkan bahwa kader-kader Muhammadiyah tidak monolitik dalam mengekspresikan identitasnya. Tetapi, di sisi lain, kita juga harus aware dengan salah satu bahaya: bagaimana berhadapan dengan pragmatisme dan politik berbiaya tinggi yang kian menjangkiti semua partai politik di Indonesia? Kondisi demikian menyebabkan Muhammadiyah awan dipolitisasi atau kader Muhammadiyah justru terjerembab korupsi yang tidak perlu.

Maka dari itu, menurut saya, tajdid  politik ini perlu dirumuskan agar kader Muhammadiyah 'berbeda' dengan aktivis partai politik lain yang ada di parlemen. Walau Muhammadiyah bukan entitas politik, tetapi ia harus memberikan acuan bagi kader-kadernya yang ingin bermain di wilayah politik praktis.

Rumusan Teologis
Berangkat dari kebutuhan itu, saya rasa Muhammadiyah perlu menegaskan kembali landasan teologisnya dalam berpolitik. Hal ini akan membedakan Muhammadiyah dengan kelompok Islam lain seperti Tarbiyah (yang punya format teologi politiknya sendiri) dan dalam praksisnya akan membedakan warga Muhammadiyah dengan orang lain.

Pekerjaan untuk merumuskan landasan teologis ini sudah seharusnya masuk menjadi agenda tarjih, terutama dalam meng-address persoalan politik kontemporer. Bagaimana, misalnya, menghadapi tender proyek anggaran? Atau, bagaimana berurusan dengan lembaga-lembaga donor yang membawa proyek dan dana segar? Apa sikap politik kita menghadapi pembangunan yang menggusur rakyat kecil? Pembahasan ini menjadi pembahasan fiqh kontemporer yang perlu didekati tidak hanya secara legal hukum, tetapi juga sosiologis.

Era politik pasca-reformasi telah sampai pada politik yang hingar-bingar, penuh transaksional, dan dihegemoni media. Pencitraan menjadi begitu lumrah. Muhammadiyah perlu beradaptasi dengan hal ini. Dan langkah untuk adaptasi tersebut, kalau boleh mengutip Haedar Nashir, adalah kembali pada rumusan 'ideologi' Muhammadiyah sendiri.

Persoalannya, sudahkah basis ideologi politik Muhammadiyah ini dirumuskan? Tentu saja, jika dalam hal yang sangat spesifik, belum ada. Selain khittah politik yang memberikan garis batas politik Muhammadiyah dengan Orde Baru, belum ada teks yang begitu signifikan mengupas acuan moral politik Muhammadiyah.

Ada beberapa gagasan, misalnya, Tauhid Sosial atau High Politics yang dulu sempat digaungkan oleh Amien Rais. Akan tetapi, mengingat pendeknya usia intelektual beliau sebelum terjun ke politik, gagasan tersebut belum menjadi rumusan yang solid bagi Muhammadiyan, dan belum pula dibakukan. Pada level pengetahuan, ada gagasan intelektual profetik Kuntowijoyo, itu pun lebih berkutat pada basis pengetahuan dan keilmuan. Ada pula buku berjudul "Hadis-Hadis Politik" yang dikarang Anang Rizka Masyhadi, tetapi hanya meng-address beberapa isu dan belum sampai pada kesimpulan yang konklusif mengenai teologi politik Muhammadiyah.

Gagasan yang cukup relevan untuk menjadi 'pintu masuk' dalam teologi politik Muhammadiyah, menurut saya, adalah gagasan Ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan oleh Haedar Nashir. Idelogi Muhammadiyah bersumber dari beberapa teks hasil kesepatakan Muktamar/Tanwir Muhammadiyah yang dibakukan secara organisasional. Gagasan ini yang perlu dikembangkan untuk melihat bagaimana Muhammadiyah memberi landasan berpolitik bagi warganya.

Haedar Nashir (2001) merumuskan kerangka idelogi gerakan Muhammadiyah pada enam dimensi. Di antaranya, Ideologi gerakan memiliki kerangka pemikiran dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran formal lainnya dalam Sistem Keyakinan dan Hidup Islami dalam Muhammadiyah.

Jika kita tafsirkan untuk landasan berpolitik, maka kita akan mendapatkan rumusan beriikut:

Khittah Muhammadiyah sebagai Sikap Politik
Khittah Muhammadiyah yang dirumuskan tahun 1971 telah menyatakan dengan jelas bahwa Muhammadiyah tidak anti-politik. Akan tetapi, "Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama". Jelas, Muhammadiyah meng-address politik sebagai bagian dari realitas yang perlu diisi oleh umat Islam, tak terkecuali kader Muhammadiyah sendiri.

Namun, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya." Statement ini menunjukkan dengan tegas posisi Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah mengekspresikan politiknya secara kultural.

Hal ini dipertegas pada statement lain bahwa, "Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban"

Bagaimana dengan kader-kader Muhammadiyah? "Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing... Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar"

Sehingga, sikap politik Muhammadiyah jelas: Muhammadiyah secara institusional tidak mengambil jalur politik, tetapi memberikan ruang kepada kader-kadernya untuk berpolitik sesuai dengan moralitas politik yang dimiliki Muhammadiyah.

Kepribadian Muhammadiyah  sebagai Moral Politik
Keprubadian Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud geraknya ialah Dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang : perseorangan dan masyarakat. Dalam konteks ini, politik berarti ialah dakwah amar ma;ruf dan nahi munkar. Kebutuhan politisi adalah mendefinisikan yang ma'ruf dan munkar dalam konteks politik.  Moral politik Muhammadiyah adalah dakwah amar ma'ruf dan nahi munkar.

Apa parameter ma'ruf dan munkar tersebut? Kepribadian Muhammadiyah sudah merumuskan: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah SWT". Konsep ini menunjukkan bahwa Muhamamdiyah menggunakan Islam sebagai dasar perjuangan politik, tetapi dilakukan dengan berorientasi pada pembangunan dan kemajuan masyarakat, demi masyarakat utama sebagai cita-cita politiknya. Islam yang dipahami Muhammadiyah tidak kaku, melainkan berkemajuan. Pada titik inilah logika politik diletakkan.

Amar ma'ruf didefinisikan mengacu pada Al-Qur'an, Sunnah, dan pendapat yang mu'tabar, serta dilakukan sesuai dengan keadaan masyarakat. Begitu juga dengan nahi munkar. Politik Muhammadiyah adalah politik keumatan. Maka dari itu, politisi Muhammadiyah seyogianya adalah politisi yang bergerak bersama umat dan memperjuangkan hak umat. Hal ini yang mendasari perjuangan politik Muhammadiyah abad ke-21.

Muqaddimah Anggaran Dasar sebagai Dasar Perjuangan Politik
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
Tauhid adalah dasar perjuangan politik Muhammadiyah yang paling utama. Seluruh aktivitas berpolitik harus dipandang sebagai ibadah, yang tentunya harus sesuai dengan rambu-rambu moralitas politik yang telah Allah gariskan. Tauhid adalah epistemologi politik Muhammadiyah, yang memandu laku gerak politik seorang warga Muhammadiyah untuk memperjuangkan aktivitasnya.

2. Hidup manusia bermasyarakat.
Pertanyaannya, cukupkah hanya bertauhid dengan segenap aspeknya yang bersifat ritus? Ternyata tidak. Hidup manusia juga tak lepas dari masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, orientasi politik Muhammadiyah adalah memperbaiki, memperjuangkan, dan berdialog bersama masyarakatnya. Tauhid harus diejawantahkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut Amien Rais sebagai "Tauhid Sosial".

3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
Konsekuensi dari tauhid sosial adalah menjadikan Islam sebagai landasan moral politik. Kepribadian Muhammadiyah telah tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Maka, sudah seyogianya pula warga Muhammadiyah menjadikan dakwah sebagailandasan moral politik untuk menciptakan ketertiban bersama.

4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
Karena Muhammadiyah percaya dengan Islam sebagai moral politik, maka konsekuensinya adalah melaksanakan ajarannya secara konsekuen. Pelaksanaan ajaran Islam itu tidak hanya pada aspek ritus, sebagai ibadah kepada Allah, tetapi juga dalam bentuk kebaikan terhadap kemanusiaan. Politik Muhammadiyah adalah politik yang berdasar pada kemanusiaan, sebagai wujud penghambaan kepada Allah.

5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba' berarti mengikuti Rasulullah dengan basis keilmuan. Artinya, tidak hanya memahami dakwah Rasulullah secara praksis, melainkan juga secara metodologis. Ini berarti, ruang-ruang tafsir atas sirah perjuangan nabi perlu dibuka kembali. Dan tentu saja, dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini, sehingga lahirlah pemahaman Islam yang historis, juga pemahaman politik yang sesuai dengan koridor Rasul tanpa harus tercerabut dari zamannya. 

6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.
Karena seorang warga Muhammadiyah tak bisa lepas dari Muhammadiyah, ketika berpolitik di manapun, ia harus kembali ke Muhammadiyah. Baik dari sekadar ikut pengajian atau menimba ilmu.  KH Ahmad Dahlan pernah berkata, "Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang... Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” Mungkin, bisa pula ditambahkan: 'jadilah politisi, dan kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu. wallahu a'lam bish shawwab.

Tajdid  sebagai Visi Politik
Muhammadiyah telah menyatakan diri sebagai gerakan tajdid. Secara letterlijk, tajdid berarti pembaharuan. Kepribadian Muhammadiyah menyebut tajdid sebagai mengembalikan pada ajaran Islam yang asli dan murni; sementara penggunaan kata lain tertera sebagai penggunaan akal dalam menjawab tantangan zaman, seperti dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”

Ketika tajdid menjadi visi Muhammadiyah, maka  politisi yang lahir dari rahim Muhammadiyah hendaknya juga bervisi demikian. Orientasi berpolitik Muhammadiyah adalah tajdid, yang berbasis pada kemajuan umat, untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Belakangan konsepsi masyarakat yang diidealkan Muhammadiyah itu disebut sebagai 'Masyarakat Utama'. Politik memainkan posisi penting untuk memastikan kekuasaan pada track  keumatan, agar pemerintahan dapat benar-benar membuka jalan bagi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Strategi tajdid ini yang penting untuk dirumuskan. KH Ahmad Dahlan telah memberikan dasar bagi tajdid, yaitu melalui pengetahuan. Dalam salah satu wasiatnya Kyai Dahlan telah berpetuah, "“Hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja." Tajdid sebagai oreientasi politik berarti membangun pengetahuan sebagai landasan pengambilan kebijakan publik, terutama di era di mana arus informasi beredar kian cepatnya.

Dan basis pengetahuan ini perlu diletakkan pada tujuannya yang mulia: memberdayakan serta membebaskan kaum miskin dari ketertindasan.

Al-Ma'un sebagai Misi Politik
Teologi Al-Ma'un merupakan pengejawantahan KH Ahmad Dahlan atas surah Al-Ma'un. Syahdan, ketika beliau mengajarkan surah Al-Ma'un kepada murid-muridnya, beliau tidak hanya mengajarkan tafsir dan tarjamahnya, tetapi juga bagaimana melaksanakannya secara nyata.

Kini, Teologi Al-Ma'un juga perlu dimaknai dalam kerangka struktural, sebab penindasan itu juga bersifat struktural. Politik Al-Ma'un adalah politik pemihakan, perlawanan, dan pemberdayaan. Pemihakan bagi mereka yang tertindas oleh struktur kapitalisme yang menjangkar di Indonesia, perlawanan terhadap koruptor dan penindas rakyat kecil, serta pemberdayaan bagi dhu'afa dan mustadh'afin.

Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui politik advokasi dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi; pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.  Dan sebab itu, perbaikan terhadap paradigma pengambilan kebijakan menjadi penting dipadukan dengan kerangka Al-Ma'un. Partai politik yang tidak berpihak pada kaum miskin, yang memonopoli proyek anggaran untuk kepentingan golongan sendiri, yang bertindak kontraproduktif dengan iklim pemberantasan korupsi, yang justru melakukan korupsi di tengah kesusahan bangsa, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un ini: untuk tidak menjadi para pendusta agama.

Kita hidup di tengah hegemoni partai-partai, yang bahkan sudah menjamah media-media massa sebagai juru bicaranya. Partai-partai yang hidup dari percaloan anggaran, cenderung menjadikan parlemen dan kementerian sebagai bancakan proyek. Kepada mereka, perlu kita ingatkan dengan Surah Al-Ma'un: jangan lupakan orang-orang fakir dan miskin agar tidak jadi pendusta agama. Partai politik yang terlampau banyak makan dari anggaran rakyat, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un agar berhati-hati, jangan menjadi pendusta agama!

Al-Ma'un menjadi misi politik utama Muhammadiyah, sehingga mereka yang miskin dan tertindas bisa terangkat nasibnya. Dan dengan demikian, Muhammadiyah bisa memuluskan jalan untuk merengkuh cita-cita politiknya: menjadi masyarakat utama.

Masyarakat Utama sebagai Cita-Cita Politik
Dan akhirnya, cita-cita politik Muhammadiyah-pun kita daku bersama: "berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT" (Matan Keyakinan & Cita-Cita Hidup Muhammadiyah). Negara yang adil, makmur, dan diridhoi Allah memerlukan kontribusi berbagai bidang, tak terkecuali politik. Politik adalah salah satu jalan untuk mewujudkan masyarakat itu, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Muqaddimah Anggaran Dasar telah menyatakan bahwa, "Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya." Oleh sebab itu, karakter politik yang dibawa oleh warga Muhammadiyah juga mesti menampilkan keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong-royong. Ini adalah cita-cita mulia politik Muhammadiyah.

Dengan demikian, kita bisa membaca 'nafas' politik yang ingin ditampilkan Muhammadiyah dan dihembuskan melalui warga-warganya yang terjun dalam dunia politik: mengambil sikap politik yang jelas, berkepribadian dan bermoral dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berdasar pada ideologi gerakan, bervisi tajdid, punya misi Al-Ma'un, dan mencita-citakan masyarakat utama.

Ikhtitam
Di penghujung tahun 2012 ini, ada baiknya kita mengambil sedikit renungan: sudah sejauh mana perilaku politik kita sesuai dengan kepribadian yang ingin ditampilkan persyarikatan? Politik Muhammadiyah jelas bukan politik yang menghiba pada kekuasaan; tetapi ia juga tidak lari dari tanggung jawab mengelola kekuasaan. Muhammadiyah memberikan ruang ijtihad untuk berpolitik pada warganya. Dan sejauh mana ruang itu digunakan sesuai dengan koridor nilai yang telah diberikan oleh persyarikatan?

Tahun 2013 perlu di-declare menjadi momentum tajdid baru Muhammadiyah. Dakwah konstitusional sudah digaungkan, apakah dakwah pemerintahan juga akan menyusul? Tentu saja, sesuai dengan khittah yang ia tegaskan 40 tahun silam.

Nasrun Minallah wa Fathun Qariib.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Warga Muhammadiyah, tinggal di Warungboto, Yogyakarta

Minggu, 09 Desember 2012

Transformasi Kelembagaan Keluarga Mahasiswa UGM 1992-2012


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*

Tak terasa, 20 tahun sudah Keluarga Mahasiswa UGM mewarnai kehidupan mahasiswa UGM. Sistem yang digadang-gadangkan sebagai 'student government' ini -dengan segenap kekurangan dan keterbatasannya- menjadi sebuah ikhtiar yang dilakukan oleh mahasiswa UGM untuk mendobrak kejumudan yang dihasilkan oleh rezim pendidikan saat itu, Beragam momentum gerakan, konflik, krisis, dan transformasi dilalui. Sampai diselenggarakannya Pemilihan Raya Mahasiswa pada tahun ini, 20 tahun sudah usia lembaga mahasiswa intrakampus di UGM ini dilalui.

Saya berkecimpung di KM UGM sejak tahun 2008, ketika masih berada di semester 1. Pada medio 2010-2011, saya dan beberapa rekan melakukan studi kecil-kecilan, diawali oleh keisengan untuk 'membongkar' sejarah organisasi yang saya tempati, yang akhirnya membawa kami pada beberapa pertemuan dengan beberapa senior serta alumni yang dulu sempat mendirikan organisasi ini. Tulisan ini adalah rangkuman beberapa hal terkait sejarah transformasi kelembagaan mahasiswa UGM yang sempat kami kumpulkan dari beberapa wawancara.

Genesis
Bicara soal keluarga mahasiswa UGM tak dapat dipisahkan dari sebuah entitas yang sempat menjadi salah satu kekuatan politik 'menakutkan' zaman Orde Baru: Dewan Mahasiswa (DM). Pada tahun 1978, secara serentak Dewan Mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia dibekukan oleh rezim Orde Baru. Dewan Mahasiswa dianggap sangat politis. Mereka mengorganisir diri menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka pada tahun 1976, yang akhirnya melahirkan Malapetaka 15 Januari (Malari), hingga mengorganisir penolakan terhadap rezim. Daoed Joesoef yang baru pulang dari Sorbonne dan diangkat jadi Menteri Pendidikan menjawab keras: Dewan Mahasiswa harus bubar.

Dalam sejarahnya, Dewan Mahasiswa UGM memiliki struktur kelembagaan yang sederhana namun sangat powerful. Dewan Mahasiswa bertipe 'negara kesatuan' (jika mengambil terminologi ilmu politik) dengan Dewan Mahasiswa Universitas sebagai entitas yang berdaulat dan Komisariat Dewan Mahasiswa di tingkat fakultas. Dewan Mahasiswa semuanya diisi oleh anggota yang telah dipilih dari masing-masing fakultas melalui pemilihan langsung. Pengambilan keputusan di Dewan Mahasiswa bersifat demokratis, dalam arti satu keputusan harus disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota. Praktis, dinamika di dalam cukup dialektis namun secara kelembagaan legitimate dan powerful.

Setelah dibubarkan tahun 1978, UGM mengalami kevakuman aktivisme internal pada medio 1980an. Gagasan untuk kembali memunculkan lembaga di tingkat universitas kembali bergulir pada akhir dekade 1980-an. Pada tahun 1987 muncul sebuah Forum bernama Forum Komunikasi Sema/BPM. Forkom Sema/BPM inilah yang kemudian melahirkan Senat Mahasiswa UGM pada tahun 1991.Forum ini digiatkan oleh beberapa tokoh mahasiswa, di antaranya Sugeng Bahagijo (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Filsafat), Abdul Latief (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik) dan Mohammad Saefuddin (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Geografi).

Forum Komunikasi ini sempat menginisiasi demonstrasi yang terkenal, yaitu penolakan Porkas/SDSB yang langsung didukung oleh Rektor UGM pada waktu itu. Rektor yang tak lain adalah Koesnadi Hardjasoemantri, mantan Ketua Dewan Mahasiswa UGM di era 1950an, langsung mengantarkan mahasiswa ke Gedung DPRD DIY pada waktu itu.

Pada tahun 1991, Mendilkbud baru (Fuad Hassan) mencoba mendinginkan situasi dengan mengeluarkan SK Mendikbud No 0457 yang mengatur pembentukan Senat Mahasiswa di tingkat Universitas. Bentuk kelembagaan baru itulah yang kemudian dikenal sebagai SMPT.  Dalam menyikapi SK Mendikbud 0457/1990 ini, ada dua perguruan tinggi yang menolak, yaitu ITB dan UGM.

ITB menolak SK ini dengan tidak membentuk organisasi kemahasiswaan di tingkat Institut. Mereka kemudian membuat Forum Komunikasi antar Himpunan mahasiswa jurusan. (FKHJ) yang hanya sebatas forum untuk koordinasi antara Himpunan untuk urusan yang sifatnya teknis. Kekuasaan tetap berada di Himpunan Jurusan. Baru tahun 1998, mahasiswa ITB kembali membentuk Keluarga Mahasiswa ITBB dengan Ketuanya yang pertama Vijaya Fitriyasa.

Sementara itu, UGM menyikapinya dengan membuat model Senat Mahasiswa yang berbeda dengan instruksi SK Mendikbud. Bentuk Senat Mahasiswa UGM ini diinisiasi oleh beberapa Ketua Senat Mahasiswa tingkat Fakultas waktu itu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa UGM. Rektor waktu itu, Koesnadi Hardjasoemantri, menyambut baik. Dibentuklah pola Senat Mahasiswa tingkat Universitas yang berawal dari Senat Mahasiswa di tingkat Fakultas.

Pada tahun 1991, tibalah masa  menandai Pada Kongres pertama SM UGM di Kaliurang, disusunlah AD/ART Keluarga Mahasiswa UGM sebagai legal basis dari kedudukan SM UGM. SM UGM menjalankan fungsi legislatif, dan fungsi eksekutifnya dijalankan oleh Badan Pelaksana SM UGM yang diketuai oleh Janoe Arijanto dan wakil ketua Kusuma SP.

Bentuk Senat Mahasiswa UGM pada awalnya adalah Lembaga Legislatif Mahasiswa biasa, dengan Senat Mahasiswa UGM yang menjalankan peran legislatif. Senat Mahasiswa kemudian menjadi lembaga tertinggi di UGM yang menggantikan peran Dewan Mahasiswa, hanya saja memegang fungsi legislatif. Bentuk ini merupakan embrio, karena posisi Senat adalah satu-satunya lembaga yang mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Bagaimana dengan peran legislatifnya? Dibentuklah Badan Pelaksana Senat Mahasiswa yang merupakan “alat” eksekutif Senat Mahasiswa  UGM.

Terpilih sebagai Ketua Umum SM UGM yang pertama, Muhammad Khoiri Umar dari Fakultas Ekonomi. Ia terpilih di Kongres setelah mengalahkan Iwan Samariansyah, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Geografi. Iwan Samariansyah kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa. Sebagai Ketua Badan Pelaksana SM (BPSM), terpilih Janoe Arijanto dari FISIPOL, dengan Wakil Ketua Kusuma SP dari Fakultas Sastra. Senat Mahasiswa pada era ini menggunakan model parlementer, artinya Badan Pelaksana bertanggung jawab kepada Senat Mahasiswa dan dipilih melalui mekanisme yang diatur oleh Senat Mahasiswa.

Namun, format baku Senat Mahasiswa sendiri dimulai pada era Anies Baswedan yang memimpin sesudahnya. Anies melakukan reformasi kelembagaan Senat Mahasiswa UGM dengan membentuk BEM UGM sebagai lembaga eksekutif mahasiswa dan Senat Mahasiswa UGM sebagai lembaga legislatif dalam payung Keluarga Mahasiswa UGM. Ini praktis hampir sama posisinya dengan Dewan Mahasiswa UGM dulu yang powerful dengan posisi dan kewenangan eksekutif yang kuat.

Pembentukan Senat Mahasiwa ini bukannya tanpa resistensi. Ketika dilangsungkan Kongres I, beberapa kelompok mahasiswa menyatakan tidak setuju dengan Konsep SM dan melakukan walk-out dari persidangan. Kelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai Komite Pembela Mahasiswa ini kemudian menolak Senat Mahasiswa dengan melakukan aksi di kampus UGM. Beberapa aktivis yang menolak organ ini di antaranya Dadang Juliantara (Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam), Sugeng Bahagijo (Fakultas Filsafat), Ngarto Februana (Fakultas Sastra), dan Satya Widodo (Fakultas Filsafat). Beberapa aktivis KPM kemudian mendirikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sujatmiko.

Pada saat yang bersamaan, di Universitas Indonesia juga dibentuk embrio Senat Mahasiswa dengan Ketua Firdaus Artoni (Fakultas Kedokteran) dan Ketua Harian Chandra M. Hamzah (Fakultas Hukum). Kelak, SM UI tersebut berubah menjadi BEM UI pada era Zulkieflimansyah (1996).

Transformasi
Pasca-Kongres II tahun 1992, Anies Baswedan, mahasiswa Fakultas Ekonomi\ yang saat itu terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM melakukan beberapa perubahan format kelembagaan. Dari bentuk Badan Pelaksana Senat Mahasiswa, ia memperkenalkan BEM sebagai pengemban fungsi eksekutif dari pemerintahan mahasiswa UGM. Format BEM UGM sebenarnya lahir pada Kongres II tahun 1992, namun posisinya masih sama dengan posisi pada tahun sebelumnya.

Ketua BEM UGM yang pertama adalah Agustinus Anindya dari Fakultas Hukum. Ia masuk sebagai perwakilan dari UKM. Konsep SM UGM ini mengajukan Kongres sebagai forum tertinggi. Dengan demikian, posisi eksekutif dan legislatif setara. Eksekutif kemudian membawa peran sendiri yang cukup sentral. Jadi, embrio sistem presidensial di KM UGM sebenarnya sudah bermula pada era ini.

Perubahan kelembagaan ini merupakan bentuk “penolakan halus” atas konsep SMPT yang dibawa oleh Mendikbud Fuad Hassan di awal 1990an. Karakter kepemimpinan Anies Baswedan yang melakukan kritik secara halus dan dengan manuver yang tajam menjadikan penolakan itu diterima oleh pemerintah. Akhirnya, rumusan konsep yang dibuat oleh kepengurusan Anies dan diresmikan pada Kongres III tahun 1993 ini diterima sebagai konsep Senat Mahasiswa UGM dan efektif diberlakukan di UGM. Ini berbeda dengan kampus lain seperti UI yang menerima konsep SMPT dengan Ketua Senat Mahasiswa pertama Zulkieflimansyah pada tahun 1995-1996.

Pada Kongres III, barulah format BEM UGM yang baru diberlakukan. Format baru ini mengimplikasikan Senat dan BEM dalam posisi setara, dengan posisi mereka bertanggung jawab kepada Kongres. Formasi ini berbeda sekali dengan konsep SK Mendikbud yang tidak meletakkan adanya BEM dan hanya mengakui Senat. BEM dan Senat dalam formasi baru ini bertanggung jawab kepada Kongres Mahasiswa. Pada waktu itu, mulailah diadakan Pemilihan Raya Mahasiswa yang memilih anggota-anggota Senat.

Pemilihan tersebut dilakukan dengan sistem proporsional dengan basis pemilihan masing-masing fakultas. Masing-masing fakultas melakukan pemilihan anggota Senat seara proporsional, dengan kuota yang ditentukan berdasarkan kesepakatan. Sejak saat itu istilah “Keluarga Mahasiswa UGM” diperkenalkan. Ini adalah hasil amandemen yang dibuat oleh kepengurusan Senat era Anies Baswedan.

Persoalan berikutnya yang cukup penting adalah UKM. Dengan model pemilihan yang sifatnya proporsional dengan basis fakultas tersebut, di mana posisi UKM? Sebelumnya, UKM diakui sebagai bagian dari senat dengan perwakilan kluster. Ada sekitar 50an UKM pada tahun ini, dan jumlah ini signifikan. Posisi penting UKM sebagai bagian dari Senat diakomodasi hingga masa ini. Pada Kongres III, terpilih sebagai Ketua Senat yaitu Elan Satriawan. Sementara itu, Kongres memilih Musta’in Syamburi dari Fakultas Teknik sebagai Ketua BEM. Keduanya adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa di tingkat Fakultas. Elan adalah Sekjen Senat Mahasiswa UGM era Anies dan memang sangat memahami operasi dari struktur baru KM UGM ini.

Kongres IV mengawali babak baru KM UGM dengan dua fenomena penting. Pertama, keluarnya UKM dari Senat Mahasiswa karena beberapa hal. Kedua,  munculnya Dewan Mahasiswa sebagai reaksi beberapa kelompok atas peristiwa yang terjadi pada era ini.

Keluarnya UKM dapat dipahami sebagai sebuah dialektika yang panjang, karena UKM sendiri sejak awal telah mendukung adanya Senat Mahasiswa. UKM lahir setelah Dewan Mahasiswa dibubarkan tahun 1978, dan keberadaan mereka di gelanggang mahasiswa dipayungi langsung oleh PR III. Setelah Senat berdiri, mereka support. Namun, karena adanya perubahan mekanisme di tubuh KM UGM sendiri, mulai ada perdebatan soal UKM, terutama untuk masalah pendanaan. Sebagai solusi, mereka akhirnya menyatakan keluar dari KM UGM namum tetap mendapatkan support pendanaan dari rektorat. Posisi mereka dalam konteks ketatanegaraan KM UGM menjadi “lembaga non-negara”.

Selain itu, pada waktu itu juga terjadi persaingan antara beberapa kubu untuk mendapatkan kursi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Pada waktu itu, yang terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa adalah Taufik Rinaldi dari Fakultas Hukum. Sebagai Ketua BEM adalah Restu Widyatmoko dari FMIPA. Kubu lain, yaitu Velix Wanggai –waktu itu Ketua SM FISIPOL— kemudian menggalang poros baru, yaitu Dewan Mahasiswa. Dema UGM muncul sebagai sebuah reaksi atas kontestasi politik pada waktu itu. Lahirlah friksi yang cukup kental dalam pemerintahan mahasiswa UGM waktu itu, menyisakan pergulatan kepentingan antara dua kekuatan terbesar di UGM waktu itu: HMI MPO (yang selama ini menguasai struktur KM UGM) dengan SMID atau gerakan kiri.

Akar sejarah Dewan Mahasiswa sebetulnya telah ada sejak penolakan beberapa elemen mahasiswa terhadap pendirian Senat Mahasiswa tahun 1991. Beberapa mahasiswa dari Filsafat, Sastra, dan Fisipol pada waktu itu berdemonstrasi menolak pendirian Senat Mahasiswa UGM. Namun, penolakan mereka gagal dan Senat tetap berdiri. Generasi berikutnya kemudian mencoba untuk menolak BEM setelah Kongres IV tahun 1994 dengan mendirikan Dewan Mahasiswa. Organisasi ini sempat berdiri selama beberapa tahun, walau akhirnya bubar di awal 2000an.

Situasi kembali coba dinormalisasi pada tahun berikutnya, yaitu 1995-1996. Waktu itu, terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM adalah Rizal Yaya dengan Ketua BEM Hasannudin M. Kholil. Spirit KM UGM tahun ini adalah penguatan eksekutif. Sehingga, BEM UGM lebih banyak bergerak ketimbang Senat Mahasiswa. Sebagai gantinya, diciptakan mekanisme check and balances antara legislatif-eksekutif. Senat berperan sebagai legislatif dan BEM mengemban fungsi eksekutif penuh.

BEM pada masa ini sempat menggelar seminar yang terkenal terkait kepemimpinan nasional, yang waktu itu menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan Megawati Soekarnoputri, walau tak jadi dihadiri oleh Bu Mega karena alasan politis.

Pada waktu itu, hampir semua posisi Senat dan BEM UGM diisi oleh Senator Fakultas. Hasannudin Kholil, Ketua BEM UGM waktu itu, secara ex-officio juga menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FISIPOL UGM. Sekjennya di BEM, Aji Erlangga, adalah Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Ketua Senat Mahasiswa UGM (Rizal Yaya) juga merangkap sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Begitu juga dengan beberapa Ketua Bidang seperti Bambang Misdiyanto (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian) dan Yogo Susanto (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Farmasi).

Dengan komposisi BEM dan Senat Mahasiswa yang merangkap dengan fakultas, secara otomatis BEM pada waktu itu berdiri dalam kebangunan struktur 'menyerupai' negara kesatuan. Tahun 1996-1997 tidak ada perubahan struktural yang berarti. Waktu itu, Senat dipimpin oleh Nasrullah dari Fakultas Hukum (kemudian digantikan oleh M. Rizal), dan Ketua BEM dijabat oleh Heni Yulianto dari Fakultas Geografi.Senat dan BEM pada masa ini masih dipilih pada Kongres KM UGM.

Perubahan signifikan baru terjadi pada tahun 1997-1998, di Kongres VII. Kongres VII memperkenalkan format demokrasi langsung bertajuk Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) untuk memilih Ketua BEM UGM. Ketua Pemilihan Raya mahasiswa pada waktu itu dijabat oleh Mustafied dari Fakultas Filsafat. Pemilihan Raya diperkenalkan untuk memilih Ketua BEM UGM. Pada Pemilihan Raya tersebut, Anang Kurniawan dari Fakultas Teknik mendapatkan Secara popular vote terbanyak. Namun, suaranya tidak mencapai suara mayoritas, karena perbedaan suara yang tipis dengan dua orang lawannya (Haryo Setyoko dan Cahyo Pamungkas), sehingga mengakibatkan pemilihan harus dilanjutkan ke arena Kongres.

Dengan  dinamika politik yang terjadi pada Kongres pada waktu itu, BEM UGM akhirnya menganut sistem presidium. Sistem ini dibuat sebagai konsensus pada saat kongres. Dengan demikian, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif. Ketua BEM dijabat oleh Haryo Setyoko dari Fisipol dan didampingi oleh dua orang Wakil Ketua, yaitu Anang Kurniawan (Teknik) dan Cahyo Pamungkas (FE). Pada pemilihan di Kongres, Haryo Setyoko yang mendapatkan suara terbanyak. Namun, dengan sistem presidium, ia berada pada posisi yang sama dengan Cahyo dan Anang.

Adapun Ketua Senat dijabat oleh Ridaya La Ode Ngkowe dari Fakultas Geografi. Era ini  bertepatan dengan reformasi 1998, dan Senat Mahasiswa di bawah pimpinan Ridaya Laode Ngkowe menjadi pionir aksi mahasiswa yang cukup besar pada waktu itu, mencapai 50.000 mahasiswa.

Pasca-Reformasi
Pada Kongres tahun 1998, kembali terjadi perubahan signifikan. Kali ini, struktur kelembagaan Senat Mahasiswa yang mengalami perubahan. Senat Mahasiswa sebagai lembaga legislatif tidak lagi dipilih dengan basis fakultas, melainkan dengan basis partai. Sistem kepartaian efektif dijalankan pada Pemilihan Raya tahun 1999. Sedangkan BEM menjadi lembaga eksekutif murni yang dipilih melalui Pemilihan Raya secara langsung. Kongres hanya mengesahkan serta melantik Ketua BEM terpilih. Pada tahun inilah mulai dibakukan istilah Presiden Mahasiswa.

Pada waktu itu, terpilih sebagai Ketua Senat adalah Yusdinur Usman Musa dari Fakultas Kehutanan. Sementara itu, Presiden Mahasiswa dijabat oleh Subiantoro dari Fakultas Ekonomi. Kepengurusan tidak berjalan lama, karena pada pertengahan tahun 1999, digelar Pemilihan Raya Mahasiswa untuk ketiga kalinya dengan sistem pemilihan yang baru, yaitu memperkenalkan partai mahasiswa. Sistem baru secara efektif dijalankan, menandai fase kedua KM UGM. Pemilihan Raya pertama waktu itu dimenangkan oleh Partai Bunderan –yang berafiliasi dengan KAMMI— dengan menempatkan Presiden Mahasiswa terpilih, yaitu Huda Tri Yudiana dari Fakultas Teknik. Periode ini –awal mula sistem kepartaian dan sistem presidensial— menandai awal hegemoni KAMMI (tarbiyah) di UGM.

Namun, Kongres 1999 sendiri kemudian mengalami perubahan. Ketidakpuasan yang muncul menyebabkan adanya usulan untuk membubarkan KM UGM dan menggantinya dengan sebuah sistem baru. Akhirnya, kepengurusan tahun ini disebut sebagai era “Transisi”, dengan Ketua Eksekutif Transisi Huda Tri Yudiana dan Ketua Legislatif Transisi Muhammad Ali Fahmi (Alm) dari Fisipol. Sistem kepartaian tetap dipertahankan, bahkan menjadi trademark karena diikuti oleh universitas lain seperti UNY dan UMY. Legislatif Transisi kemudian berubah nama menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Eksekutif Transisi tetap menjadi BEM UGM. Sistem berubah menjadi presidensialisme dengan penguatan BEM sebagai entitas yang benar-benar powerful sebagai sebuah lembaga mahasiswa.

Pada tahun 2002, sempat muncul wacana masuknya unsur mahasiswa sebagai anggota MWA. BEM UGM pada waktu itu dipimpin oleh Rahman Toha Budiarto membentuk tim persiapan yang beranggotakan dosen dan mahasiswa. Sementara itu, DPM KM UGM yang dipimpin oleh Maryati (FMIPA) melakukan referendum untuk menjaring aspirasi mahasiswa. Referendum sendiri berakhir dengan mayoritas mendukung mahasiswa masuk ke MWA, namun hasil tim persiapan yang melakukan lobi-lobi ke MWA justru sebaliknya. Pada tahun itu, terpilih rektor Prof. Dr. Sofian Effendi dari Fisipol. Unsur mahasiswa sendiri akhirnya tidak masuk ke MWA setelah proses dialektika yang cukup panjang.

Situasi tetap bertahan hingga kepengurusan selanjutnya. Transformasi kelembagaan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2006. Sistem legislatif menyepakati adanya sistem bikameral. Perwakilan Fakultas kembali dihidupkan dengan model pemilihan legislatif langsung, yang memilih anggota DPF dari masing-masing fakultas. DPF adalah perwakilan independen non-partai yang mengikuti Pemilihan Raya mahasiswa. Ini adalah bentuk akomodasi kelompok non-partai untuk berpartisipasi dalam KM UGM.

Namun, pemilihan DPF minim diikuti oleh mahasiswa. Pada Kongres tahun 2010, disepakati adanya Dewan Bikameral untuk koordinasi antar-lembaga pada saat ini. DPF kemudian lebih banyak melakukan penjaringan aspirasi dan melakukan kajian-kajian kemahasiswaan. Pada kongres 2011, DPF akhirnya dibubarkan dan format kelembagaan dikembalikan menjadi Senat Mahasiswa yang berisi dua komponen perwakilan, yaitu partai mahasiswa dan perwakilan fakultas. Perwakilan Fakultas baru efektif diperkenalkan di publik pada Pemira tahun 2012.

Pada tahun 2012 juga, lahir keputusan untuk mewakilkan seorang mahasiswa di kursi MWA untuk terlibat dalam Pemilihan Rektor. MWA akhirnya 'resmi' masuk AD/ART. Perwakilan MWA Unsur Mahasiswa dijabat oleh Luthfi Hamzah, mantan Presiden Mahasiswa UGM. MWA hanya aktif hingga pemilihan rektor berlangsung, yang mengangkat Prof Pratikno sebagai rektor baru. Pada tahun 2012 ini, Giovanni van Empel dari Future Leaders Party terpilih sebagai Presiden BEM KM UGM.

Masa Depan
Pertanyaannya, bagaimana masa depan KM UGM pasca-Pemira 2012 ini? Kemarin, saya berkesempatan menjadi panelis pada debat calon anggota Senat Mahasiswa UGM 2012. Ketika sampai pada pertanyaan soal sejarah, tak satupun calon anggota senat yang memahami secara persis sejarah dan transformasi kelembagaan mahasiswa UGM. Hal ini tentu saja cukup ironis. Bagaimana mungkin para calon anggota Senat itu mencalonkan diri tanpa tahu tentang sejarah lembaganya sendiri?

Oleh sebab itu, saya hanya berpesan: penting bagi semua pihak untuk membangun KM UGM dengan pengetahuan yang memadai soal sejarah dan format kelembagaan KM UGM. Jangan sampai, ketika masuk sebagai anggota senat atau BEM, yang dilakukan hanyalah komentar tanpa fakta, tudingan tanpa bukti, atau kekuasaan tanpa pencerdasan. Jangan lupakan sejarah! Mari berorganisasi secara cerdas!

Wallahu a'lam bish shawwab.


*Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Eksternal BEM KM UGM 2012

**Tulisan ini saya tulis pada tahun 2011 sebagai kompilasi atas beberapa wawancara yang saya lakukan bersama beberapa kawan kepada beberapa narasumber. Saya harus mengucap terima kasih banyak pada tim alumni BEM KM UGM  (Uswah Hasanah, Ivan Nashara, Aulia Rachman Alfahmy, dll) yang beberapa di antaranya akhirnya harus 'masuk' sebagai pengurus BEM di penghujung masa studinya di UGM. Juga, kepada beberapa narasumber yang patut disebut: mas Anies Baswedan, Iwan Samariansyah, Hasannudin M. Kholil, Aji Erlangga, Elan Satriawan, Cahyo Pamungkas, Anang Kurniawan, Hanta Yuda, mbak Maryati Abdullah (PATTIRO), Abdullah Dahlan (ICW), Hikmat Hardono, Arie Sujito, dll.