Merekat Ukhuwah dalam Perbedaan
Idul Fitri tahun ini, seperti yang sudah-sudah, kembali diwarnai oleh perbedaan penetapan hari. Perbedaan klasik, memang, yang terjadi karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Tercatat ada empat hari yang diklaim oleh pihak yang berbeda sebagai Idul Fitri kemarin.
Pertama, hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Pada hari Kamis ini, Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan dan Tarekat Naqsabandiyah merayakan Idul Fitri seperti dilansir oleh MetroTV. Jamaah An-Nadzir diberitakan mengambil fenomena pasang-surut air laut sebagai patokan Idul Fitri.
Kedua, tanggal 12 Oktober 2007. Pada hari Jum’at ini, sebagian umat Islam di Indonesia, Filipina, Palestina, dan beberapa penjuru dunia lain menyelenggarakan shalat ‘Ied dan merayakan Idul Fitri.
Ketiga, tanggal 13 Oktober 2007. Pada tanggal ini, giliran Pemerintah RI dan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam yang merayakan Idul Fitri.
Keempat, tanggal 14 Oktober 2007 yang dianggap oleh Jamaah Naqsabandiyah Khalidiyyah di Peterongan, Jombang sebagai awal bulan Syawal.
Memang, ada lima kelompok yang memiliki metode tertentu dalam penetapan awal Ramadhan.
Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) yang berpatokan pada metode rukyatul hilal. Dengan metode ini, berarti harus ada proses melihat bulan secara langsung (ru’yat) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Kedua, Muhammadiyah yang berpegangan pada metode hisab hakiki. PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa jika bulan telah berada di atas ufuk (berada di atas 0o jika dihitung secara astronomis), umat Islam telah dapat mengakhiri Ramadhan..
Ketiga, Persatuan Islam (PERSIS) yang menggunakan metode wujudul hilal fi wilayatul hukmi. Pada dasarnya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode PP Muhammadiyah. Akan tetapi, metode ini mengisyaratkan bahwa bulan baru akan ditentukan jika hilal telah wujud di keseluruhan wilayah. Pendapat ini berbeda dengan PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwa bulan baru telah masuk ketika ada wilayah yang telah melihat hilal.
Keempat, Pemerintah (Departemen Agama) yang menggunakan metode imkanur ru’yah sebagai patokan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara NU yang menggunakan rukyat dan Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Dengan metode ini, hisab yang disyaratkan untuk dapat dijadikan patokan sebagai awal bulan baru adalah 20. Hasil hisab pemerintah ini kemudian dikaji melalui sidang itsbat yang tiap tahun diadakan. Kelima, metode-metode lain yang digunakan oleh beberapa kelompok kecil seperti Jamaah An-Nadzir atau Tarekat Naqsabandiyah.
Interpretasi Dalil
Fenomena perbedaan Idul Fitri ini memang sangat sering terjadi di Indonesia. Perbedaan yang terjadi sebenarnya adalah pada metode penetapan awal bulan. Perbedaan ini terjadi dalam cara menafsirkan dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu sebuah hadits yang berbunyi, “Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi), dan berbukalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi). Jika pandangan kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Ramadhan menjadi 30 hari”.
Hal yang diperdebatkan dalam hadits tersebut adalah frase li ru’yatihi, atau melihat bulan. Ada yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini harus diartikan secara letterlijk, atau melihat bulan dengan mata telanjang. Pendapat ini dipegang oleh pemerintah dan Nahdhatul Ulama sekarang. Ada pula yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan, tidak harus dengan telanjang. Hadits di atas harus dihubungkan dengan asbabul wurud dari hadits tersebut, yaitu hadits “Kita adalah kaum yang ummi yang tidak dapat melakukan hisab”. Dengan kata lain, harus ada pendekatan sains yang lebih akurat untuk melakukan penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Pendekatan astronomis atau hisab dianggap cukup relevan dengan kondisi zaman. Kebolehan pendekatan ini juga dikarenakan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan merupakan persoalan ta’abbudi yang dituntut harus sesuai tuntunan secara utuh, melainkan telah memasuki persoalan furu’ yang memungkinkan ijtihad di dalamnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah berpatokan pada posisi hilal, bukan dengan melihat keberadaan hilal. Pendapat ini juga didukung oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa dalam salah satu fatwanya.
Pada hisab berdasarkan imkanur rukyah, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli. Sebagai perbandingan, dalam Persidangan Hilal Negara-negara Islam Sedunia di Istanbul, Turki (1978), disepakati kriteria hilal bisa diamati jika : (1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat, (2) Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 8 derajat, dan (3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi. Akan tetapi, kriteria ini masih belum dapat diterapkan di Indonesia dan bahkan berbeda dengan kriteria di Asia Tenggara.
Pada awal Ramadhan lalu, semua hisab menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk, sehingga semua pihak sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena memang di bawah ufuk. Semua sepakat untuk istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Akan tetapi di akhir bulan Ramadhan, posisi hilal pada posisi kritis yakni berada di bawah 2 derajat menurut perhitungan hisab yang akurat. Ada hilal yang berada di bawah 10, ada yang setengah dan di Indonesia Timur bahkan berada di bawah ufuk. Karena itu, timbul perbedaan dalam penentuan Idul Fitri.
Pentingkan Ukhuwah dan Tasamuh
Poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah membangun ukhuwah dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal metodologis merupakan bentuk ujian yang menuntut kita agar berpengetahuan luas dan berlapang dada dalam menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika perbedaan tersebut masih berada dalam koridor furu'iyyah. Perbedaan dalam bidang furu'iyyah ini merupakan alat untuk menjalin ukhuwah dalam keberagaman bagi umat Islam selama tidak menimbulkan perpecahan.
Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman untuk tasamuh (bertoleransi) antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Toleransi ini antara lain dapat dibuktikan dengan kelapangan dada dalam pemberian izin fasilitas shalat ied dan tidak membuat pernyataan yang bernada provokatif dengan meminta kelompok yang berbeda untuk shalat ied bersama-sama. Dengan kata lain, ukhuwah tidak selalu dinyatakan dalam bentuk kesamaan pendapat, tapi juga kelapangan dada dalam menerima perbedaan.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Idul Fitri tahun ini, seperti yang sudah-sudah, kembali diwarnai oleh perbedaan penetapan hari. Perbedaan klasik, memang, yang terjadi karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Tercatat ada empat hari yang diklaim oleh pihak yang berbeda sebagai Idul Fitri kemarin.
Pertama, hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Pada hari Kamis ini, Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan dan Tarekat Naqsabandiyah merayakan Idul Fitri seperti dilansir oleh MetroTV. Jamaah An-Nadzir diberitakan mengambil fenomena pasang-surut air laut sebagai patokan Idul Fitri.
Kedua, tanggal 12 Oktober 2007. Pada hari Jum’at ini, sebagian umat Islam di Indonesia, Filipina, Palestina, dan beberapa penjuru dunia lain menyelenggarakan shalat ‘Ied dan merayakan Idul Fitri.
Ketiga, tanggal 13 Oktober 2007. Pada tanggal ini, giliran Pemerintah RI dan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam yang merayakan Idul Fitri.
Keempat, tanggal 14 Oktober 2007 yang dianggap oleh Jamaah Naqsabandiyah Khalidiyyah di Peterongan, Jombang sebagai awal bulan Syawal.
Memang, ada lima kelompok yang memiliki metode tertentu dalam penetapan awal Ramadhan.
Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) yang berpatokan pada metode rukyatul hilal. Dengan metode ini, berarti harus ada proses melihat bulan secara langsung (ru’yat) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Kedua, Muhammadiyah yang berpegangan pada metode hisab hakiki. PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa jika bulan telah berada di atas ufuk (berada di atas 0o jika dihitung secara astronomis), umat Islam telah dapat mengakhiri Ramadhan..
Ketiga, Persatuan Islam (PERSIS) yang menggunakan metode wujudul hilal fi wilayatul hukmi. Pada dasarnya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode PP Muhammadiyah. Akan tetapi, metode ini mengisyaratkan bahwa bulan baru akan ditentukan jika hilal telah wujud di keseluruhan wilayah. Pendapat ini berbeda dengan PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwa bulan baru telah masuk ketika ada wilayah yang telah melihat hilal.
Keempat, Pemerintah (Departemen Agama) yang menggunakan metode imkanur ru’yah sebagai patokan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara NU yang menggunakan rukyat dan Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Dengan metode ini, hisab yang disyaratkan untuk dapat dijadikan patokan sebagai awal bulan baru adalah 20. Hasil hisab pemerintah ini kemudian dikaji melalui sidang itsbat yang tiap tahun diadakan. Kelima, metode-metode lain yang digunakan oleh beberapa kelompok kecil seperti Jamaah An-Nadzir atau Tarekat Naqsabandiyah.
Interpretasi Dalil
Fenomena perbedaan Idul Fitri ini memang sangat sering terjadi di Indonesia. Perbedaan yang terjadi sebenarnya adalah pada metode penetapan awal bulan. Perbedaan ini terjadi dalam cara menafsirkan dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu sebuah hadits yang berbunyi, “Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi), dan berbukalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi). Jika pandangan kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Ramadhan menjadi 30 hari”.
Hal yang diperdebatkan dalam hadits tersebut adalah frase li ru’yatihi, atau melihat bulan. Ada yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini harus diartikan secara letterlijk, atau melihat bulan dengan mata telanjang. Pendapat ini dipegang oleh pemerintah dan Nahdhatul Ulama sekarang. Ada pula yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan, tidak harus dengan telanjang. Hadits di atas harus dihubungkan dengan asbabul wurud dari hadits tersebut, yaitu hadits “Kita adalah kaum yang ummi yang tidak dapat melakukan hisab”. Dengan kata lain, harus ada pendekatan sains yang lebih akurat untuk melakukan penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Pendekatan astronomis atau hisab dianggap cukup relevan dengan kondisi zaman. Kebolehan pendekatan ini juga dikarenakan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan merupakan persoalan ta’abbudi yang dituntut harus sesuai tuntunan secara utuh, melainkan telah memasuki persoalan furu’ yang memungkinkan ijtihad di dalamnya. Dalam hal ini, Muhammadiyah berpatokan pada posisi hilal, bukan dengan melihat keberadaan hilal. Pendapat ini juga didukung oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa dalam salah satu fatwanya.
Pada hisab berdasarkan imkanur rukyah, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli. Sebagai perbandingan, dalam Persidangan Hilal Negara-negara Islam Sedunia di Istanbul, Turki (1978), disepakati kriteria hilal bisa diamati jika : (1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat, (2) Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 8 derajat, dan (3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi. Akan tetapi, kriteria ini masih belum dapat diterapkan di Indonesia dan bahkan berbeda dengan kriteria di Asia Tenggara.
Pada awal Ramadhan lalu, semua hisab menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk, sehingga semua pihak sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena memang di bawah ufuk. Semua sepakat untuk istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Akan tetapi di akhir bulan Ramadhan, posisi hilal pada posisi kritis yakni berada di bawah 2 derajat menurut perhitungan hisab yang akurat. Ada hilal yang berada di bawah 10, ada yang setengah dan di Indonesia Timur bahkan berada di bawah ufuk. Karena itu, timbul perbedaan dalam penentuan Idul Fitri.
Pentingkan Ukhuwah dan Tasamuh
Poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah membangun ukhuwah dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal metodologis merupakan bentuk ujian yang menuntut kita agar berpengetahuan luas dan berlapang dada dalam menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika perbedaan tersebut masih berada dalam koridor furu'iyyah. Perbedaan dalam bidang furu'iyyah ini merupakan alat untuk menjalin ukhuwah dalam keberagaman bagi umat Islam selama tidak menimbulkan perpecahan.
Untuk itu, diperlukan sebuah pemahaman untuk tasamuh (bertoleransi) antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Toleransi ini antara lain dapat dibuktikan dengan kelapangan dada dalam pemberian izin fasilitas shalat ied dan tidak membuat pernyataan yang bernada provokatif dengan meminta kelompok yang berbeda untuk shalat ied bersama-sama. Dengan kata lain, ukhuwah tidak selalu dinyatakan dalam bentuk kesamaan pendapat, tapi juga kelapangan dada dalam menerima perbedaan.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar