Sejak era reformasi dimulai pada tahun 1998, sistem politik
Perubahan politik tersebut kemudian diikuti oleh euforia politik yang cukup signifikan. Pemilu yang digelar setahun reformasi, tepatnya pada 1999, ternyata diikuti oleh 48 partai politik. Jumlah yang banyak ini menyebabkan terjadinya variasi di tubuh DPR dan MPR itu sendiri, sehingga kekuatan mayoritas tidak dapat dipetakan secara pasti. Variasi ini membuat semua elemen pihak yang bermain di parlemen memiliki kans yang sama kuat untuk mempengaruhi kebijakan politik yang keluar dari panggung parlemen.
Kemunculan lembaga legislatif sebagai sebuah pilar demokrasi yang difungsikan sebagai alat kontrol pemerintah tersebut setidaknya akan memberi dua implikasi.
Pertama, kekuasaan eksekutif menjadi lebih terbatas dari sebelumnya. Eksekutif tidak dapat lagi dengan mudah mengeluarkan kebijakan atau produk hukum tanpa perdebatan alot di parlemen.
Kedua, Lembaga legislatif menjadi sebuah lembaga yang lebih aspiratif terhadap suara-suara dari rakyat yang diwakilinya, karena mereka dipilih melalui proses Pemilu yang lebih demokratis dari sebelumnya. Dengan adanya hal ini, political distance atau jarak politik antara rakyat dengat elit politik diharapkan semakin berkurang.
Implikasi-implikasi tersebut sebenarnya telah menjadi sebuah awal yang cukup signifikan dalam pembangunan politik di Indonesia, karena parlemen secara otomatis harus bertanggung jawab kepada konstituennya, dalam hal ini rakyat Indonesia.
Namun, realitas yang terjadi justru cenderung tidak sesuai dengan nilai ideal yang coba dibangun oleh reformasi. Ketika legislatif diposisikan sebagai lembaga yang powerful, aktor-aktor yang bermain di dalamnya justru menyalahgunakan wewenang yang besar tersebut. Terjadi political corruption di berbagai elemen pemerintah yang, ironisnya, melibatkan anggota DPR-RI.
Beberapa kasus, seperti kasus korupsi di Departemen Perhubungan atau Departemen Kehutanan yang menyeret beberapa anggota DPR mencerminkan lemahnya kredibilitas parlemen Indonesia yang seharusnya menjadi sebuah role model untuk memperbaiki kinerja pemerintah.
Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa kali menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga yang korup di Indonesia. Fenomena ini diperparah oleh perilaku anggota DPR yang tidur ketika rapat, melempar meja ketika berbeda pendapat, atau tidak hadir rapat karena alasan-alasan yang kurang dapat diterima.
Hal tersebut jelas disayangkan, karena parlemen dibentuk untuk mengawasi pemerintah. Ketika parlemen telah berperilaku korup, tentu ada implikasi-implikasi serius yang akan dihadapi, karena salah satu pilar demokrasi (legislatif) tidak berjalan sempurna. Padahal, mengingat peran strategis parlemen bagi perbaikan sistem politik Indonesia secara keseluruhan, kebutuhan akan sebuah parlemen yang bersih dan representatif di Indonesia menjadi sangat penting untuk dipenuhi.
Melihat fenomena tersebut, tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa parlemen Indonesia memerlukan reformasi dan pembenahan-pembenahan strategis di beberapa aspek. Maka, Pemilu 2009 yang akan datang diharapkan dapat menjadi sebuah momentum perubahan dalam aktor dan sistem parlemen di negara kita.
Wacana mengenai reformasi parlemen tersebut akan sangat bergantung pada hasil Pemilu yang dilangsungkan serta tingkat partisipasi politik dari masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar