Jumat, 03 April 2009

Krisis Finansial Global dan “Dilema Kapitalisme”


Politik internasional telah mengalami pergeseran drastis. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia diempaskan oleh “dilema kapitalisme” akibat krisis finansial global yang sempat membuat Wall Street lesu darah selam beberapa pekan. Konsensus Washington yang dulu ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia kepada negara-negara berkembang kini tak mampu menghadang derasnya arus krisis yang menyebabkan resesi ekonomi di beberapa negara maju. “Dilema liberalisme” kian menghantui dunia.

Kontradiksi Washington Consensus?

The Washington Consensus (Konsensus Washington) merupakan sebuah pola kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau US Department of Treasury. Mereka menawarkan menawarkan pertumbuhan melalui tiga ikon utama: deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

The Washington Consensus cukup menarik untuk diulas karena kontradiksi yang dihasilkannya ketika dunia menghadapi krisis keuangan global yang menyebabkan ambruknya perusahaan finansial raksasa di Jerman dan AS. Akibat krisis finansial global, banyak negara besar yang terpaksa harus melakukan intervensi pasar dengan memberikan stimulus kepada perusahaan-perusahaan besar demi menyelamatkan pasar modalnya.

Padahal, pasca-Perang dingin, banyak yang mengira bahwa hanya akan ada satu ideologi dan model kebijakan ekonomi yang akan bertahan: Kapitalisme. Margaret Thatcher menegaskan bahwa tak ada alternatif lain kecuali liberalisme (Kleden, 2005), sedangkan yama (1989) mengklaim bahwa pasca-perang dingin, politik internasional akan mengakui demokrasi liberal sebagai pemenang dan “akhir dari sejarah”.

Namun, asumsi tak dapat lagi dipertahankan ketika Amerika Serikat menghadapi krisis keuangan terburuk selama 70 tahun terakhir. Ambruknya beberapa perusahaan finansial raksasa menyebabkan pemerintah AS harus mengambil langkah strategis dengan melakukan bailout kepada perusahan-perusahaan penting, kendati hal ini menyalahi prinsip kapitalisme.

Privatisasi: Konteks Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Privatisasi yang telah dirintis pasca-krisis 1998 juga mengalami kontradiksi karena membuat pemerintah rugi dengan jatuhnya harga saham di pasar modal. Kendati menurut Nugroho & Wrihatnolo (2008) privatisasi akan menumbuhkan efisiensi dan perbaikan kinerja manajemen BUMN, kita tetap tak dapat mengesampingkan fakta bahwa ada implikasi dari privatisasi, terutama ketika Indonesia menghadapi krisis finansial global.

Sejarah pivatisasi BUMN di Indonesia sendiri dimulai dengan munculnya UU No. 19/2003 tentang BUMN. Kemudian, muncullah Komite Privatisasi pada era pemerintahan Megawati yang beranggotakan tim ekonomi pemerintah.

Implikasi yang menyertai pembentukan Komite tersebut sangat mengejutkan: Saham perdana Indosat segera direlease ke pasar modal dan dengan cepat diambil oleh SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura yang segera memborong saham sampai 42% dari total saham. Dengan demikian, Indosat yang pada dasarnya penting bagi perusahaan nasional pada saat itu telah menjadi aset perusahaan Singapura.

Kemudian pada pertengahan 2008, pemerintah kembali memprivatisasi tiga BUMN: Krakatau Steel, BTN, dan Garuda Indonesia. Kabar paling mengejutkan tentu saja adalah privatisasi Garuda Indonesia, mengingat selama ini Garuda tidak mengalami kendala secara finansial dan operasional. Persoalannya, dapatkah pemerintah mempertahankan kebijakan privatisasi yang ada ketika krisis finansial global menerpa Indonesia?

Faktanya, krisis keuangan global telah menurunkan harga saham BUMN yang diprivatisasi, sehingga pemerintah menderita capital loss akibat jatuhnya harga saham tersebut. Selain itu, pemerintah juga menderita beberapa kerugian lain dari privatisasi, seperti kasus Temasek yang memiliki saham besar di dua perusahaan seluler, Telkomsel dan Indosat yang berujung pada penyelesaian di KPPU.

Implikasi dan Sinyal Kewaspadaan

Sesuaikah narasi besar Konsensus Washington tersebut, terutama privatisasi, bagi Indonesia? Dari fakta yang ada, kita patut meragukan efektivitas kebijakan privatisasi bagi peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setidaknya, pertimbangan pemerintah tentu bukan hanya stabilitas makroekonomi, tetapi juga kedaulatan ekonomi dan alternatif kebijakan yang ada.

Sah-sah saja pemerintah menginginkan fresh money untuk menutup defisit APBN, tetapi model kebijakannya harus dijaga agar tidak terkesan melebarkan pintu investasi kepada pihak swasta. Memprivatisasi BUMN akan menimbulkan implikasi-implikasiyang berkaitan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia.

Lantas, apakah privatisasi memberi dampak positif di negara lain? Joseph Stiglitz (2002) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Pembangunan ekonomi Cina justru membuktikan bahwa stabilitas ekonomi tetap dapat dipertahankan tanpa adanya privatisasi pada perusahaan nasional.

Stiglitz membandingkan kinerja ekonomi Cina dan Rusia (pro-privatisasi) sebagai dua paradoks karena kebijakan fiskal dan kinerja ekonomi Rusia justru mengalami penurunan. Di sisi lain, pendapatan nasional Cina justru bertambah pesat tanpa perlu privatisasi atau kebijakan konsensus Washington lainnya.

Selain itu, privatisasi juga tak akan berdampak signifikan pada kesejahteraan rakyat. Krisis Moneter 1997-1998 membuktikan bahwa pembangunan ekonomi berbasis swasta (bukan rakyat) hanya memberi kesenangan semu bagi para korporat yang menguasai pasar. Wajar jika Stiglitz menyatakan bahwa the invisible hand versi Adam Smith tidak sepenuhnya benar; Perlu adanya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan pasar.

Kita memang tak dapat mengelak dari globalisasi. Akan tetapi, globalisasi tersebut harus diseleksi agar tidak berubah arah menjadi sebuah gerakan transnasionalisme ekonomi yang pada gilirannya nanti justru akan mengubah struktur perekonomian di negara kita.

Maka, kita patut membaca Sinyal John Perkins (2004) mengenai “korporatokrasi” sebagai sinyal kewaspadaan atas agenda-agenda globalisasi ekonomi yang masuk ke Indonesia. Pembacaan tersebut secara intensif tetap harus dilakukan, dengan satu tujuan: menghindari ekses globalisasi.

Tidak ada komentar: