Jumat, 12 Juni 2009

Ambalat, Provokasi, dan Diplomasi RI

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Ada dua kabar yang datang dari Malaysia pekan ini. Kabar pertama, seorang model cantik Indonesia melarikan diri dari Malaysia karena tidak tahan hidup dengan suaminya. Kabar kedua, kapal perang Malaysia memasuki blok Ambalat yang dipersengketakan oleh Indonesia-Malaysia, sehingga memicu sedikit ketegangan diplomatik di antara kedua negara.

Provokasi Malaysia

Kita perlu sedikit serius ketika menyikapi kabar kedua, yaitu persoalan Ambalat. Masalah Ambalat ini sempat mencuat beberapa tahun yang lalu, setelah Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia. Kasus yang terjadi hampir sama: beroperasinya kapal perang Malaysia di perairan Ambalat. Namun, masalah tenggelam dengan sendirinya dengan persoalan politik domestik di kedua negara.

Ada apa sebenarnya dengan Ambalat?

Wilayah laut yang sampai sekarang masih dipersengketakan oleh RI-Malaysia ini memang memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, yaitu minyak. Eksplorasi awal beberapa perusahaan asing menunjukkan, wilayah ini memiliki kandungan minyak yang cukup besar. Akibatnya, kedua negara mengklaim bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka.

Persoalan pada dasarnya terdapat pada peta yang dikeluarkan oleh masing-masing negara. Indonesia mengklaim bahwa Ambalat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan peta yang dibuat oleh PBB (UNCLOS). Namun, Malaysia pun juga mengklaim keabsahan wilayah ini berdasarkan peta yang dibuat pada abad ke-19. Negosiasi berlarut-larut, kesalahpahaman kian terjadi di antara kedua negara.

Sebenarnya, kesalahpahaman dapat dihindari jika tidak ada provokasi berlebihan dari salah satu negara. Keberadaan kapal perang Malaysia di Ambalat, jelas merupakan sebuah provokasi. Tentu saja Malaysia paham bahwa Ambalat adalah wilayah sengketa. Dengan mengirimkan kapal perangnya, penulis menduga bahwa Malaysia ingin menggerakkan emosi bangsa Indonesia, sehingga pintu negosiasi kembali dibuka oleh kedua belah pihak.

Persoalannya di sini, sejumlah elemen di Indonesia pun terpengaruh. Muncul desakan perang. “Nasionalisme” kembali diserukan. Padahal, anggaran militer Indonesia tidak mendukung tuntutan perang tersebut. Sehingga, terjadilah paradoks: sebagian pihak ingin agar provokasi Malaysia tersebut direspons dengan langkah serupa, tetapi mereka tetap tidak ingin anggaran militer dinaikkan.

Patut dicatat, Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara, yaitu minyak. Di Ambalat bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Karena, jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut.

Lantas, apa yang harus dilakukan RI? Opsi paling strategis yang bisa dilakukan, menurut penulis, adalah dengan menggunakan diplomasi sebagai respons. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa diplomasi harus dipikirkan secara lebih strategis, agar kasus Sipadan-Ligitan tidak terulang kembali.

Diplomasi RI

Berridge (2002) menyebutkan bahwa dalam tahap diplomasi di waktu krisis (crisis diplomacy), telekomunikasi menjadi salah satu variable yang penting untuk digunakan. Penggunaan fasilitas telekomunikasi menjadi signifikan untuk –setidaknya—meredam konflik yang akan muncul.

Dalam konteks Ambalat, komunikasi menjadi hal penting. Untuk itu, posisi seorang Presiden SBY dan PM Najib Razak menjadi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan. Presiden SBY –atau Menteri Luar Negeri—seharusnya mengambil posisi penting dengan menelepon otoritas diplomatik Malaysia untuk meminta klarifikasi berkaitan dengan provokasi di Ambalat.

Penulis cukup appreciate terhadap sikap Presiden yang tidak langsung terpancing emosinya dengan provokasi ini. Akan tetapi, penulis juga cukup menyayangkan kelambanan respons dari pemerintah hingga masalah ini terblow-up oleh media massa dan menjadikan sentiment negatif rakyat di akar rumput kembali mencuat.

Selain masalah telekomunikasi, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam diplomasi RI adalah mengikutsertakan stakeholder diplomasi, atau yang dikenal sebagai multi-track diplomacy (Diamond & MacDonald, 1996). Diplomasi tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor tunggal, tetapi juga dapat melibatkan elemen masyarakat yang lain.

Jika kita kaitkan dengan konteks Ambalat, pemerintah dapat melibatkan elemen ulama sebagai penjembatan kepentingan kedua negara, mahasiswa yang studi di Malaysia, media massa, atau jaringan bisnis dan investasi yang cukup intensif berlangsung. Keterlibatan mereka di jalur kultural memerlukan sebuah instrumen: diplomasi publik dari pemerintah.

Di sinilah pentingnya diplomasi publik sebagai salah satu instrument diplomasi RI. Ketika pemerintah ingin melakukan pendekatan non-militer dalam penyelesaian konflik, diplomasi publik dapat menjadi salah satu media. Kendalanya, fungsi koordinatif dari Deplu sebagai pemain dalam diplomasi publik ini masih belum berjalan. Ini yang patut diperbaiki oleh pemerintah ke depan.

Pekerjaan Besar

Sikap Malaysia yang mengirim kapal perang ke blok Ambalat memang tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, Indonesia pun tidak boleh turut terpancing dengan provokasi tersebut, mengingat kepentingan Indonesia di Malaysia cukup banyak dan berpengaruh terhadap situasi di Indonesia sendiri.

Oleh karena itu, diplomasi akan menjadi pintu pertahanan utama dalam penyelesaian konflik. Persoalannya, sudah seberapa efektifkah diplomasi Indonesia dilakukan oleh pemerintah? Sebuah pekerjaan besar menanti para calon presiden kita.


*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Tidak ada komentar: