Sabtu, 13 Maret 2010

Kedatangan Obama: Indonesia Terseret “Power Politics”?

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, Analis Hubungan Internasional di Tim Kajian Asia Timur Fisipol UGM.

Pengantar

Indonesia bakal kedatangan seorang tamu. Tak tanggung-tanggung, Presiden AS Barrack Obama, yang dielu-elukan oleh publik Indonesia sebagai seorang public figure dengan memajang patungnya ini, dijadwalkan melakukan serangkaian kunjungan ke Indonesia, di antaranya Jakarta dan Bali. Dikabarkan, turut serta dalam kunjungan ini isteri Obama, Michelle Obama beserta staf kepresidenan AS.

Tak pelak, rencana kunjungan ini memicu pro-kontra di publik Muslim Indonesia. Sebagian kalangan menolak kedatangan Obama sebagai aksi protes terhadap aktivitas Amerika Serikat di Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain. Sebagian lain mendukung dengan alasan “menghormati tamu”.

Terlepas dari pro-kontra tersebut, kedatangan Barrack Obama memiliki dimensi tersendiri jika kita pandang dari kacamata politik internasional. Banyak pihak yang skeptis dengan sikap Obama pasca-kedatangannya, karena “power politics” masih menggelayut dalam konstelasi politik internasional. Karena, kedatangan Obama diyakini memiliki muatan-muatan politis, layaknya kunjungan kepala negara lain. Sudut pandang realisme memandang, tanpa adanya penekanan pada kepentingan nasional, hukum internasional, serta balance of power, hegemoni dan dominasi dari suatu negara ke negara lain akan tetap ada.

Atas basis sikap inilah muncul argumen bahwa kedatangan Obama memiliki dimensi “power”. Persoalannya, Amerika Serikat tidak lagi menggunakan militer (hard power) untuk menekan negara lain. Bagaimana bentuk kontrol (power) Amerika Serikat kepada negara lain? Apakah kedatangan Obama juga sarat dengan bentuk kontrol tersebut?

Kerangka Konseptual: “Power” dan “Realisme Politik”

Ada dua konsep yang perlu kita jelaskan sebelum membahas masalah ini: Kekuasaan dan Realisme Politik. Hans J. Morgenthau, seorang analis politik internasional yang cukup terkenal dalam mazhab realisme, mendefinisikan “power” sebagai “a control of mind and action of other men”. Atas basis definisi ini, power dalam konteks politik internasional bersifat sangat abstrak, tidak formal, dan mewujud dalam perilaku pergaulan antarbangsa.

Bagaimana menjaga agar “power” tersebut tidak berubah menjadi chaos internasional? Morgenthau merumuskan enam prinsip dasar (Morgenthau, 1948: 3).

Pertama, politik berada di bawah kendali hukum internasional. Artinya, dalam konteks ini ada hukum yang mengatur pergaulan antarbangsa, dan kekuatan-kekuatan yang ada (great powers) harus menghormati eksistensi hukum internasional ini untuk membatasi kekuasaan yang mereka miliki.

Kedua, kepentingan dalam politik internasional identik dengan kekuasaan (“the concept of interest defined in the term of power”). Secara lebih luas, Morgenthau menjelaskan bahwa setiap pengambil keputuan mendasarkan kepentingan yang ia ambil pada power yang ia miliki. Semakin besar power, bargaining positionnya akan semakin besar pula. Oleh karena itu, untuk mengetahui haluan politik luar negeri atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemutus kebijakan bagi negaranya, lihatlah power yang ia miliki. Ini kembali lagi pada konsep power yang telah didefinisikan di atas.

Ketiga, kepentingan yang didefinisikan dalam konteks “power” di atas bersifat dinamis; dalam artian, kepentingan suatu negara tidak berlaku untuk selamanya. Prinsip ini menandaskan bahwa power sebuah negara bisa saja berkurang atau meningkat, dan ini tergantung pada kemampuan sebuah negara-bangsa memanagenya.

Keempat, tindakan politik memiliki signifikansi moral. Artinya, biarpun sebuah negara memiliki hak untuk memperluas “power” dan melindungi kepentingan nasionalnya, mereka tetap harus menghargai prinsip-prinsip moral yang dikenal secara umum dalam pergaulan antarbangsa. Maksudnya, penindasan antarbangsa “haram” dilakukan dalam realisme politik dan “balance of power” tidak boleh memarjinalkan negara lain.

Kelima, Hukum-hukum moral yang diatur dalam pergaulan antarbangsa berlaku untuk semua, dan diberikan atas persetujuan semua pihak. Prinsip realisme politik menolak untuk memberikan persetujuan atas standard moral sebuah negara-bangsa untuk dijadikan landasan hukum internasional, biarpun negara tersebut adalah jajaran “great powers”. Sehingga, tidak ada pemaksaan hukum atas sebuah negara kepada negara lain atas dasar powers. Di sisi lain, moral tidak berlaku untuk semua pihak dalam satu seting waktu atau lingkungan. Relasi antara moral dan kepentingan yang terkait tidak boleh menjadi dasar bahwa moral tersebut diuniversalkan dan akhirnya menindas kekuatan lain.

Keenam, politik internasional adalah entitas yang independen, kendati akan sangat terkait dengan aspek-aspek lain semisal ekonomi, hukum, moral, atau pengetahuan. Politik bisa saja dihubungkan dengan ekonomi, tetapi persoalan kekuasaan dan kepentingan harus dijauhkan agar tidak tumpang tindih dengan aspek-aspek lain. Ketika memandang politik internasional, kita hanya akan bicara soal politik, tidak dihubungkan kepada aspek lain secara total.

Dari keenam prinsip ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip-prinsip ini telah dilanggar oleh kekuatan-kekuatan besar. Kita dapat melihat, misalnya, Konflik Israel-Palestina, di mana Amerika Serikat terlibat sebagai salah satu pemain yang kerap menguntungkan dan menjadi patron Israel, telah membuat hukum internasional tidak berfungsi. Atau, pergulatan kepentingan di PBB yang menyebabkan hak veto terpolitisasi, menjadikan standard hukum internasional tidak lagi dipertimbangkan secara konsekuen. Pun dalam soal moral internasional, standard moral telah menjadi universal atas kepentingan sang polisi dunia yang unipolar, melalui McWorldisasi (Barber, 1995).

Lantas, ketika prinsip ini dilanggar, dan unipolarisme pasca-perang dingin telah membawa kita pada sebuah kondisi di mana telah terjadi hegemonisasi dalam politik Internasional, konstelasi politik kini bergantung pada perubahan politik di sebuah negeri bernama Amerika Serikat: siapa yang menjadi presiden, ia yang akan memimpin dunia.

Dengan kondisi seperti ini, menjadi relevan bagi dunia untuk mencari penyeimbang baru sebagai “balance of power”. Atau, seperti kata Joseph Nye, Guru Besar di Harvard University, Amerika Serikat perlu mendorong penggunaan soft power untuk mencegah chaos di dunia akibat unipolaritas (Nye, 2002). Tetapi, siapa sanggup menyaingi Amerika Serikat? Cina dan India, yang digadang-gadangkan akan menjadi kekuatan baru (Huntington, 1997), masih belum terlihat kompak dalam menekan Amerika Serikat secara hard power. Dunia Islam pun demikian, masih terkooptasi oleh sekat konflik identitas dan politik domestik. Lantas, melengganglah Amerika Serikat sebagai hegemoni dunia.

Konteks Obama

Akan tetapi, pada tahun 2009, konteks politik dunia mulai berubah. Barrack Obama dari Partai Demokrat muncul sebagai pemenang Pemilu. Konstelasi politik internasional mulai berubah. Karakter Obama yang dicitrakan bersahabat, memiliki kedekatan dengan dunia Islam, serta antiperang menjadikan dirinya sedikit diterima di berbagai belahan dunia. Konsep Smart Power yang ia ciptakan menarik minat dunia yang telah putus asa melihat kebengisan Amerika Serikat era Bush. Kita pun bertanya-tanya, inikah awal perubahan dari sang Polisi Dunia?

Jawabnya, belum tentu. Kita bisa menganalisis Amerika Serikat era Obama dalam tiga tingkat analisa yang dikenal dalam studi Hubungan Internasional: Individu, Negara, dan Sistem Internasional.

Pada level analisa individu, Obama memang memiliki karakter khas Partai Demokrat yang “friendly” dan lebih mengedepankan soft power. Di awal-awal pemilu, Obama menggunakan isu antiperang dan antiterorisme sebagai political capital, antara lain dengan melempar isu penutupan penjara di Guantanamo Bay. Atas karakteristik ini, publik Amerika Serikat tertarik dan akhirnya memenangkan Obama sebagai Presiden AS.

Akan tetapi, apakah haluan politik luar negeri AS akan terpengaruh hanya oleh rational actor? Kembali jawabannya belum tentu. Iya, rational actor (Obama) memang akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Tetapi perlu diingat, masih ada bureaucratic-polity (Kegley, 2002). Jika mindset politik luar negeri AS masih berorientasi pada how to intervene the world as a “world cop”, kita patut skeptis dengan pendekatan yang Obama tawarkan. Mengapa? Karena pada dasarnya, soft power yang ditawarkan oleh Obama bukan persoalan apakah power yang digunakan untuk kebaikan atau tidak, tetapi lebih pada persoalan “how to control another state”. Ini mengacu pada definisi Morgenthau di atas. Dominasi dan Hegemoni AS, apapun jenis power-nya, akan tetap ada (Nye, 2002).

Kendati demikian, ada satu hal lagi yang perlu kita lihat: Amerika Serikat cenderung mengedepankan multilateralisme sebagai soft power-nya. Artinya, sistem internasional yang bersifat unipolar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat era Obama untuk merekonstruksi politik luar negerinya. Untuk itulah model smart power digunakan, terutama kepada Iran, Venezuela, atau negara-negara yang selama ini kritis terhadap AS. Di satu sisi, multilateralisme yang dibangun tersebut telah membuat sistem Internasional berubah arah: Amerika Serikat mulai membangun citra diri positif yang diikuti oleh mengendurnya penggunaan koersi dan militer. Akan tetapi, di sisi lain, unipolaritas tetap unipolar dan Hegemoni tetaplah hegemoni. Sistem internasional tetap menjadikan Amerika Serikat sebagai “polisi dunia” yang akan tetap setia mengontrol world government (PBB). Pertanyaan yang perlu kita ajukan, apa yang akan terjadi jika kemudian Obama kalah pada Pemilu 2012 dan Amerika Serikat, atau lobi-lobi AIPAC kian kuat dan mendominasi? Ini yang harus dijadikan catatan.

Oleh karena itu, menjadi logis jika kemudian kita merasa skeptis dengan Amerika Serikat era Obama. Tawaran kerjasama yang diberikan di mana-mana terasa sebagai “topeng” untuk melarikan Amerika Serikat dari tanggung jawabnya menyelesaikan pelbagai konflik yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri. Di Iraq, misalnya, berapa jumlah pasukan yang pada saat ini ditarik oleh Obama? Atau, bagaimana politik luar negeri AS dalam konteks Afghanistan-Taliban? Bagaimana kuatnya lobi AIPAC menghalangi dan two-state solution yang ditawarkan sebagai resolusi konflk Israel-Palestina, karena posisi Amerika Serikat berat ke Israel? Ini perlu kita jawab untuk melihat wajah lain Obama dalam politik internasional.

Bagaimana Menyambut Kedatangan Obama?

Ketika tahun lalu Hillary Clinton datang ke Indonesia, ada satu hal yang menjadi fokus pidato Hillary: Indonesia perlu menjadi mitra strategis AS, terutama dalam konteks investasi dan perdagangan. Atase Kebudayaan AS di Indonesia, Anne Grimmes ketika berbicara di Fisipol UGM tahun lalu menyatakan, kedatangan Hillary ke Indonesia sebagai negara tujuan kedua dalam kunjungannya dapat bernilai cukup signifikan bagi pola hubungan AS-Indonesia ke depan.

Jika kita lihat dalam konteks sekarang, kita dapat pula melihat fenomena lain: Mesranya hubungan Indonesia-Cina. Tentu saja, pascakrisis finansial global, muncul kekuatan baru dalam ekonomi dunia, yaitu Cina. Ditandatanganinya ACFTA yang menjadi awal baru hubungan romantis CINA-ASEAN diharapkan diperluas kerjasamanya secara efektif dalam kerang ASEAN+3. Amerika Serikat tentu perlu mewaspadai hal ini, karena sudah jamak diketahui bahwa Perebutan pengaruh AS dan Cina terjadi di beberapa regional, salah satunya Asia Tenggara dan Afrika.

Sehingga, kita tak dapat pula melepaskan konteks kedatangan Obama ke Indonesia dari perisitiwa-peristiwa Internasional kontemporer. Peristiwa lain adalah persoalan Tibet yang memicu sedikit ketegangan antara AS dan Cina, menyusul kunjungan AS ke Dalai Lama yang tidak direstui Cina. Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara dinilai perlu dikendalikan kembali oleh soft power Amerika Serikat.

Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ada tendensi politik Obama datang ke Indonesia, yang dibalut oleh kenangan “masa kecil” dan lain sebagainya. bagaimana sikap Indonesia idealnya menghadapi datangnya Obama ini? Ada beberapa alternatif yang dapat ditawarkan.

Pertama, meredefinisi kepentingan nasional Indonesia. Jika kita konsisten dengan paradigma realis, kebijakan luar negeri RI harus mengacu pada kepentingan nasional. Hal ini ditegaskan pula oleh H.E. Retno LP. Marsudi, Direktur Jenderal Amerika Serikat dan Eropa Departemen Luar Negeri RI di Fisipol UGM, beberapa waktu yang lalu.

Kedua, menjadikan kedaulatan (souvereignty) sebagai tolak ukur posisi RI. Bagaimana meredefinisi kepentingan nasional RI? Jelas, dalam konteks hubungan Indonesia-AS, ada beberapa hal seperti kedaulatan Indonesia yang perlu jadi kepentingan nasional. NAMRU, misalnya, perlu direnegosiasi agar kedaulatan Indonesia di bidang kesehatan tidak lagi terkotori oleh politik dan kekuasaan Amerika Serikat (Supari, 2008). Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, kita perlu meredesain format pengelolaan sumber daya alam yang tidak menguntungkan investor asing secara luar biasa. Hal-hal seperti ini yang perlu kita redefinisi untuk menyambut Obama.

Ketiga, meningkatkan strength diplomasi Indonesia. Penguatan kapasitas diplomasi bukan berarti peningkatan skill diplomat, karena pada dasarnya diplomat Indonesia telah memiliki kapasitas yang sangat baik dalam menunaikan tugas negara. Hal yang perlu kita perhatikan adalah resources diplomasi dan kapitalisasi isu agar bisa menjadi bargaining position kita dalam forum-forum internasional. Diakui oleh Retno LP. Marsudi, kegagalan kita dalam mempertahankan standing position dalam suatu isu banyak disebabkan oleh bargaining position yang lemah oleh sebab kondisi sosial politik di masa lalu. NAMRU, misalnya, menjadi kelemahan kita karena di masa lalu, klausul kerjasama kesehatan Indonesia-AS justru diminta oleh Indonesia, sehingga dapat dikapitalisasi oleh AS untuk menekan Indonesia. Di sinilah pentingnya sinergisasi antara konstituen diplomasi dengan pengambil keputusan, dan penegasan adanya diplomasi total yang mengerahkan segenap sumber daya dan konstituen diplomasi untuk terlibat menentukan sikap RI dalam diplomasi.

Keempat, menegaskan asas dan identitas politik luar negeri RI, yaitu “bebas-aktif”. Bebas aktif bukan berarti netral. Dalam pidatonya, Hatta telah menegaskan bahwa bebas adalah bebas dari tarikan kepentingan great powers (Hatta, 1949). Atau, lebih kita kenal dalam politik internasional sebagai “power politics”. Bebas-aktif tidak seperti yang dituduhkan oleh sebagian pihak sebagai “politik luar negeri banci”. Justru, di sinilah kapital Indonesia dalam politik luar negerinya, yang tidak terpengaruh oleh tarikan kepentingan dan power dari mereka yang ingin meneguhkan hegemoninya. Oleh karena itulah, Hatta menambahkan unsur “aktif” dalam haluan politik luar negeri RI yang tetap konsisten “menjaga perdamaian dunia” sebagai tujuan nasional RI. Hal ini pun juga dijelaskan oleh Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, asas politik luar negeri RI ini perlu dijadikan landasan sentral dalam menghadapi kedatangan Presiden AS Barrack Obama.

Dengan keempat tawaran ini, kita perlu merancang sikap dalam menghadapi kedatangan Obama. Realisme politik adalah persoalan power. Dalam dunia unipolar sekarang, perlu kehati-hatian agar tidak terjebak dalam power politics. Untuk itulah kedatangan Obama perlu kita sikapi secara lebih tajam. Awas, jangan terperangkap politik kekuatan dunia!

Bagaimana menurut anda?

Referensi

Barber, Benjamin. Jihad vs McWorld: How Globalism and Tribalism are Reshaping the World penterjemah Hermes Dione (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001).

Emmerson, Donald K. "Garuda and Eagle: Do Birds of A (Democratic) Feather Fly Together?" The Indonesian Quarterly, Vol. 34 No. 1, First Quarter, 2006.

Hatta, Mohammad. "Mendayung di Antara Dua Karang". Speech presented in front of the Executive Board of Indonesia National Committee (BP-KNIP), September 2, 1948,

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilization and Remaking of World Order penterjemah M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 2007).

Kegley, Charles W. and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson-Wadsworth, 2006).

Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised).

Nye Jr, Joseph S. "The Paradox of American Power". Speech presented in Robertson Hall, Princeton University, May 8, 2002.

Supari, Siti Fadillah. It is Time for the World to Change: The Divine Hand Behind Avian Influenza (Jakarta: Sulaksana Watinsa Indonesia, 2008).

Tidak ada komentar: