Minggu, 29 Agustus 2010

Ruang Publik dan Reorientasi Demokrasi

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

rizky_mardhatillah@yahoo.co.id

Diskursus mengenai demokrasi mengemuka di Indonesia satu dasawarsa terakhir. Purwo Santoso, pakar kebijakan publik menyebut proses demokratisasi sebagai proses "politiko-kultural", karena pasca-reformasi demokrasi seakan dianggap sebagai pilihan terbaik dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi tidak hanya menjadi pilihan sistem politik di Indonesia, tetapi juga menjadi arena diskursus bagi para ilmuwan politik yang menganalisis Indonesia dalam penelitian-penelitiannya.

Demokrasi sendiri merupakan terminologi yang memiliki rentang definisi yang sangat luas karena tafsirnya yang tidak statis. David Held, seorang pemikir demokrasi, memetakan ada lebih dari delapan aliran pemikiran besar mengenai demokrasi, mulai dari model yang sangat klasik seperti “Demokrasi Athena” yang digagas oleh Salon, hingga model yang sangat mutakhir seperti “Demokrasi Deliberatif” yang digagas oleh Jurgen Habermas. Frame dan lokus demokrasi pun dipetakan beragam. Ada yang memandang demokrasi dalam kerangka “elit” seperti Max Weber atau Joseph Schumpeter, tetapi ada pula yang mewujudkan demokrasi dalam wajah yang “populis” seperti Marx.

******

Aliran pemikiran terbesar yang saat ini digunakan –baik oleh teoretisi maupun aktor dari demokrasi— adalah aliran “demokrasi elit”. Gagasan ini menganggap bahwa efisiensi demokrasi dapat dilakukan dengan menyerahkan memindahkan lokus kekuasaan pada elit yang memiliki basis kompetensi dan kemampuan organisasional dalam mengatur urusan-urusan publik. Artinya, demokrasi dibaca sebagai sebuah mekanisme elit dalam menjawab urusan-urusan publik, bukan mekanisme “langsung” (direct democracy) yang melibatkan partisipasi rakyat.

Di benak para pemikir, demokrasi adalah hasil kerja para elit dan adalah domain dari para elit. Joseph Schumpeter, seorang pemikir terkemuka dalam aliran ini, bahkan memberikan sebuah dictum: “democracy is the rule of politician”. Dengan logika berpikir tersebut, Demokrasi dibayangkan sebagai sebuah proses “siapa mewakili siapa” dan “bagaimana proses perwakilan itu dijalankan”. Demokrasi cukup dianggap sebagai sebuah “institutional method”, atau dalam bahasa Samuel Huntington, sebuah model pengaturan kelembagaan untuk mendatangkan sebuah keputusan politik yang merepresentasikan suara rakyat dalam usaha yang kompetitif.

Oleh karena demokrasi adalah sebuah metode kelembagaan, maka proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana suara didapatkan”. Artinya, demokrasi adalah proses bagaimana untuk mendapatkan legitimasi publik, dalam hal ini, people’s vote. Maka, demokrasi perlu dibuat seefisien mungkin agar keputusan politik dapat berjalan sesuai dengan kehendak publik. Dengan kerangka berpikir tersebut, Huntington sampai pada kesimpulan: Demokrasi bukan persoalan “bagaimana rakyat mengatur kehidupannya”, tetapi “bagaimana rakyat memilih seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan mereka”. Inilah yang kemudian dikenal dengan makna “competitive elitism”.

"Mengakar-rumputkan" Demokrasi

Kritik yang kemudian diajukan pada pendekatan tersebut adalah, bagaimana posisi mass –rakyat yang direpresentasikan kepentingannya oleh elit tersebut— dalam panggung demokrasi?

Ada pandangan lain yang cukup berbeda mengenai demokrasi. Pandangan ini terlihat dari pemikiran beberapa orang yang Demokrasi sejatinya tidak dibangun di ruang-ruang struktur. Bagi sebuah negara yang sampai pada level otonomi demokrasi –meminjam istilah Georg Sorensen— demokrasi termanifestasi di ruang-ruang publiknya. Ia tidak hanya berada di gedung parlemen, di ruang kerja menteri, atau kamar kerja seorang presiden. Demokrasi justru berada di sawah-sawah petani, sudut-sudut pasar, ruang kelas mahasiswa, di tengah dengung pabrik, bahkan di jalan tempat orang lalu-lalang. Pada titik itulah demokrasi dikatakan masuk pada level “otonomi”, yang artinya terejawantahkan di semua bidang kehidupan.

Sehingga, demokrasi tidak lagi hanya dipandang pada dimensi electoral an sich. Demokrasi juga berada pada level sosial, ekonomi, pendidikan, dan bidang-bidang lain. Lokus demokrasi akan menjadi terdesentralisasi: dari gedung-gedung parlemen atau pemerintahan ke ruang-ruang publik. Ini berarti demokrasi bukan domain elit semata, tetapi juga menjadi bagian dari aktivitas rakyat.

Persoalannya, bagaimana mendesentralisasi lokus demokrasi tersebut?

Jurgen Habermas, seorang pemikir Jerman, mengajukan sebuah tawaran: tindakan komunikatif sebagai basis dari demokrasi. Menurut Habermas, sebagaimana dipotret oleh F. Budi Hardiman, sebuah kebijakan publik mesti mendapatkan legitimasi rakyat. Proses transfer legitimasi kepada rakyat tersebut dilakukan melalui diskursus komunikatif antarwarga dengan medium “ruang publik”. Basis-basis komunikasi publik di level terkecil masyarakat mesti diaktifkan. Demokrasi dipandang dalam bentuknya sebagai “deliberasi”, yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai “Musyawarah”.

Dengan konsepsi ini, demokrasi tidak lagi menjadi sebuah makna politik. Ia terejawantahkan dalam model-model aktivitas publik sehari-hari. Berdemokrasi bukan sekadar mengambil keputusan di parlemen, tetapi juga dalam proses-proses penyusunan anggaran, kritik terhadap pemerintah, menyalurkan aspirasi, bahkan dalam proses belajar-mengajar.

Oleh karena itulah, dengan menggunakan model demokrasi ini, logika pengambilan keputusan dibalik: dari top-down menjadi bottom-up. Pada logika pertama, negara memainkan peran yang begitu sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Demokrasi, dengan logika tersebut, adalah alat bagi negara untuk mendapatkan legitimasinya agar selaras dengan –meminjam istilah Rosseau— kehendak umum.

Akan tetapi, logika kedua (bottom-up) justru mengimplikasikan hal yang berlawanan. Peran negara didistribusikan kepada komunitas-komunitas yang ada di masyarakat. Demokrasi kemudian menjadi alat bagi masayrakat untuk mengaspirasikan kepentingannya sehingga dapat diterjemahkan oleh negara sebagai kebijakan publik. Tentu saja, dalam konteks ini, kebijakan publik tidak melulu terdapat dalam bidang-bidang politik, tetapi juga mewujud dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, pembangunan, hingga pendidikan.

Artinya, demokrasi perlu direformulasi tidak hanya pada level elektoral, tetapi melampaui itu hingga sampai pada level pasca-elektoral. Pemilihan Umum atau Parlemen bukan lagi lokus “tunggal” dari demokrasi. Kita akan sampai pada lokus-lokus baru, yang disebut oleh Habermas sebagai “Ruang Publik”.

Ruang Publik dan "Desa": Perspektif Indonesia

Tantangan untuk mendesentralisasi demokrasi ke level-level nonpolitik tersebut mengemuka ketika dihadapkan pada sebuah persoalan: bagaimana mengidentifikasi “ruang publik” ideal yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terserak di masyarakat?

Konsepsi ruang publik yang dibayangkan oleh Habermas memang saat bertipe “Eropa” dan penuh nuansa perkotaan. Ia membayangkannya sebagai “ruang” di mana semua anggota masyarakat dapat mengakses ruang tersebut dan melakukan interaksi-interaksi sosial. Hal tersebut tentu mengimplikasikan budaya “kewargaan” (sipil) yang kuat, adanya kesadaran untuk mengaspirasikan kepentingan dari masing-masing warga yang berarti semua warga harus teredukasi secara baik, dan menganggap semua warga yang mengaspirasikan kepentingannya tersebut berada dalam strata kelas yang sama. Artinya, jika kita bayangkan formulasi tersebut dalam konteks keindonesiaan, hal tersebut sangat mencirikan kultur perkotaan dan kelas menengah yang begitu kuat.

Oleh karena itu, penulis memandang perlu untuk mereformulasi “ruang publik” dalam perspektif keindonesiaan. Di Indonesia, “ruang public” yang bertipe Habermasian tersebut mewujud dalam bentuk "Desa".

Pada hakikatnya, akar dari masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Identitas sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan “identitas kewargaan” yang sangat kental nuansa kenegaraan, tetapi “identitas komunal” yang kental dengan nilai-nilai kelokalan. Kesadaran masyarakat terbangun bukan oleh “kesadaran sipil”, tetapi oleh faktor-faktor kultural yang mengikat masyarakat. Robert Elson, seorang sejarawan Australia yang baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul “The Idea of Indonesia”, berpendapat bahwa asal-usul Indonesia tak dapat dipisahkan dari ciri-ciri etnis dan budaya, seperti bahasa, ciri fisik, dan adat-istiadat. Esais Putu Wijaya juga berpendapat demikian. Adat istiadat dan tradisi menempati posisi penting dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari identitas kebangsaan Indonesia. Masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah masyarakat yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut oleh Prof. Bintarto sebagai “Desa”.

Maka dari itu, ketika berbicara mengenai ruang publik dalam perspektif keindonesiaan, kita perlu melibatkan “masyarakat desa” sebagai unit analisis. Jika argumennya menyatakan bahwa demokrasi memerlukan ruang-ruang publik sebagai lokus, maka demokrasi juga harus bertransformasi ke sendi-sendi kehidupan masyarakat desa. Artinya, demokrasi idealnya memperhatikan kearifan lokal, ke-guyub-an masyarakat, modal sosial, tradisi, atau nilai-nilai kelokalan. Demokrasi pada konteks ini bersifat transformatif: Masyarakat diberikan otonomi sepenuhnya untuk mengelola dirinya sendiri. Peran-peran negara dalam demokrasi juga harus selaras dengan kepentingan masyarakat, dari yang bersifat sipil menjadi bersifat kultural.

Persoalannya kemudian, bagaimana mengadaptasikan konteks demokrasi “sipil-politis” negara menjadi konteks “kultural”? Di sini, peran negara lagi-lagi perlu direkonstruksi. Negara cukup menjadi penyelaras sistem dan wadah penyaluran aspirasi komunitas, juga sebagai penyalur sumber daya publik yang ada . Dengan otonomi yang diberikan pada level masyarakat terkecil, hal-hal yang menjadi domain dari individu diselesaikan pada level komunitas, sedangkan persoalan yang dihadapi oleh komunitas pada skala yang lebih besar diselesaikan dengan fasilitasi negara.

Secara praktis, masalah demokrasi dengan basis pedesaan ini dapat kita lihat contohnya pada kasus anggaran partisipatif yang digagas di negara bagian Porto Allegre, Brazil. Gagasan mengenai perubahan model keuangan daerah melalui mekanisme anggaran partisipatif memberikan paradigma baru sistem penganggaran (budgetting) di level daerah, sebagaimana dicontohkan oleh Porto Allegre. Di sana, anggaran ternyata tidak hanya dibuat secara top-down seperti diterapkan di Indonesia, tetapi juga secara bottom-up, di mana masyarakat juga turut berpartisipasi memberikan usulan, draft, dan kontrol atas anggaran yang ada.

Artinya, dengan model bottom-up tersebut, anggaran tidak lagi bersifat elitis dan tidak terakses oleh masyarakat, tetapi juga dapat melibatkan segenap stakeholders untuk berpartisipasi, tak terkecuali masyarakat yang berpartisipasi dalam politik secara pasif. Model anggaran partisipatif ini sangat mungkin diimplementasikan dalam level daerah. Artinya, jika ada kemauan politik lokal untuk mengubah paradigma anggaran dari top-down menjadi bottom-up, model anggaran partisipatif tersebut dapat menjadi sebuah ikon bagi demokratisasi keuangan daerah.

Tentu saja wacana ini bukan tanpa masalah. Setidaknya, ada dua persoalan yang akan dihadapi ketika ingin mengimplementasikan hal ini. Pertama, partisipasi politik masyarakat yang tidak begitu tinggi. Anggaran partisipatif memerlukan peran serta masyarakat dalam pengusulan dan pengawasan, dan ini perlu dilakukan dengan memberdayakan masyarakat. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, model anggaran partisipatif bisa menjadi elitis, simbolik, serta bernuansa politis-artifisial.

Kedua, kesiapan pemerintah daerah. Mengubah paradigma sistem anggaran berarti mengubah ritme kerja pembangunan, dan hal ini memerlukan penyesuaian dari birokrasi lokal. Tentu saja, penyesuaian-penyesuaian ini harus diikuti oleh pemahaman yang menyeluruh para birokrat mengenai model anggaran partisipatif. Sebab, model anggaran ini memerlukan sosialisasi dari aktor-aktor birokrasi lokal.

Jika gagasan tersebut bisa diadaptasi dalam konteks masyarakat pedesaan yang memiliki karakteristik khas, demokrasi akan berjalan secara lebih luwes. Kita akan menyongsong era baru demokrasi yang tidak lagi elitis, tetapi menjadikan masyarakat sebagai aktor yang aktif dalam proses demokratisasi.

*****

Mungkin, tidak semua orang sepakat dengan konsepsi yang ditawarkan dalam pemaparan di atas. Masih banyak celah kritik yang muncul dari konsepsi sederhana yang penulis adaptasikan dari beberapa pemikiran di atas. Akan tetapi, dengan kondisi demokrasi saat ini yang sangat elitis dan mereproduksi kesenjangan antara “elit” dan “massa”, gagasan tersebut menjadi menarik untuk digulirkan, paling tidak untuk mengembalikan makna demokrasi menjadi “pemerintahan rakyat”, bukan “pemerintahan elit atas nama rakyat”

Reorientasi demokrasi, pada tulisan ini, perlu dimaknai dengan memindahkan lokus-lokus demokrasi dari ruang-ruang elit ke ruang-ruang publik. Persoalannya tinggal menggantung pada masyarakat dan elit. Siapkah demokrasi kita transformasikan dalam kerangka keindonesiaan? Mari mengembalikan makna demokrasi, venceremos democratia.

Yogyakarta, 27 Agustus 2010.