Sabtu, 13 Desember 2008

Ketika Kekuasaan Berbicara

(Review Film "Air Force One", 1997)

Pengantar

Sebuah pesawat elit yang mengangkut Presiden Amerika Serikat yang melintasi samudera pasifik dibajak oleh sekelompok teroris yang memiliki kepentingan politik tertentu. Pesawat tersebut baru saja pulang dari Moskow setelah Presiden menyampaikan pidatonya sebagai jawaban atas ditangkapnya pemimpin Kazakhstan. Aksi teroris tersebut bertujuan untuk menyandera presiden AS sebagai aksi balasan atas ditangkapnya pemimpin mereka. Mampukah sang Presiden menyelamatkan diri dan menyelesaikan penyanderaan ini dengan kekuatan yang dimilikinya?

Sekelumit cerita di atas menggambarkan latar belakang film Air Force One yang dibintangi oleh Harrison Ford. Seperti halnya film-film Hollywood yang bergenre action lain, film ini mengisahkan aksi heroik James Marshall, Presiden AS (Harrison Ford) yang berhasil menggagalkan usaha pembajakan pesawat Air Force One oleh teroris. Film ini juga sangat berbau politis, karena mengambil setting penangkapan seorang tokoh radikal Kazakhstan.

Film ini dibuat pada tahun 1997, sehingga setting cerita tidak lagi berkaitan dengan konflik AS-Sovyet[1]. Akan tetapi, film ini tetap bercerita tentang gangguan keamanan internasional dengan adanya pembajakan oleh sekelompok orang yang diidentifikasikan sebagai gerilyawan Kazakhstan. Maka, penggunaan hard power tetap ada dalam konteks film ini.

Hard Power: Efektifkah?

Film ini juga memiliki aspek politik yang lain jika kita telaah. Secara umum, film ini menggambarkan penggunaan hard power oleh beberapa pihak dalam aksi terorisme tersebut dengan implikasi-implikasi yang ditentukan oleh alur cerita.

Setidaknya, ada tiga hard power yang terdapat dalam film. Pertama, hard power digunakan oleh tentara Amerika Serikat dan Rusia yang mengalahkan kekuatan bersenjata di Kazakhtan serta menangkap pemimpin mereka (latar belakang pra-cerita). Kedua, hard power digunakan oleh kelompok teroris Kazakhstan yang ingin mengembalikan kedudukan pemimpin mereka dengan kekuatan bersenjata. Ketiga, hard power digunakan oleh pemerintah Rusia yang menembak pemimpin Kazakhstan tersebut ketika akan dibebaskan.

Mari kita analisis penggunaan hard power tersebut.

Pada poin pertama, penggunaan kekuatan militer oleh Rusia dan didukung oleh Amerika Serikat sangat tampak sebagai penggunaan hard power. Kekuatan militer yang digunakan untuk menekan negara lain adalah salah satu bentuk dari hard power. Selain itu, adanya implikasi lanjutan berupa penggunaan kekuatan bersenjata balasan dari gerilyawan Kazakh juga mengindikasikan adanya hard power atau coercive diplomacy dalam bahasa Kegley (2006)[2].

Pada poin kedua, hard power juga digunakan oleh gerilyawan Kazakhstan yang ingin membalas penangkapan pemimpin mereka. Mengacu pada definisi power yang diberikan oleh Morgenthau (1956)[3], aksi yang dilakukan oleh gerilyawan ini dapat dikatakan sebagai hard power karena menggunakan kekuatan bersenjata dan dilakukan sebagai koersi terhadap seseorang walaupun hal ini illegal. Adanya hard power ini mampu membuat para petinggi militer AS melonggarkan hard power mereka.

Sebagai balasan atas hard power dari kekuatan bersenjata Kazakhstan ini, para petinggi Amerika Serikat tidak lagi menggunakan hard power untuk menyelesaikannya. Mereka membuka pintu negosiasi dengan mengakomodasi beberapa tuntutan dari penyandera (termasuk membebaskan pemimpin gerilyawan Kazakh). Cara ini kemudian mampu membuat para penyandera menunda eksekusi mati terhadap para sandera di pesawat Air Force One serta memungkinkan James Marshall (Presiden AS) untuk menyiapkan aksi-aksi heroiknya.

Dalam konteks ini, hard power tak harus dijawab dengan hard power juga. Pemerintah AS masih memiliki strategi lain, yaitu diplomasi. Model diplomasi pada saat krisis dengan menggunakan telekomunikasi ini terbukti cukup efektif sebagai strategi transisi untuk mempersiapkan strategi selanjutnya, yaitu operasi akhir[4].

Pada poin ketiga, hard power yang digunakan adalah eksekusi terhadap Ivan Radek, pemimpin Kazakhstan yang dilakukan oleh Rusia. Sebagai follow-up dari hasil negosiasi dengan penyandera, pemerintah AS dan Rusia memutuskan untuk mengakomodasi sebagian dari kesepakatan dengan penyandera. Hasil ini cukup controversial karena tidak disetujui oleh beberapa pihak. Akhirnya, Radek pun dibebaskan dari tahanannya. Namun, beberapa saat setelah dia menginjakkan kaki di luar penjara, pasukan Rusia menembaknya.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Rusia telah menggunakan hard power­nya kendati hasil negosiasi telah mengisyaratkan adanya pembebasan penuh. Hard power, seperti dikatakan oleh Morgenthau (1956)[5], akan bertindak tanpa prosedur jika tidak ada pengawasan dan perimbangan kekuasaan. Strategi Rusia menembak pemimpin gerilyawan ketika ia keluar dari penjara menunjukkan penggunaan hard power ketika langkah yang dilakukannya tak mendapat pengawasan

Perlu dicatat, Radek berada di bawah pengawasan pemerintah Rusia. Ketika Radek dibebaskan, Rusia masih memiliki hard power dengan mengelabui para penyandera tersebut. Hal ini, sesuai nature dari hard power tersebut, adalah sikap klasik dari negara-negara yang memiliki power yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

Kesimpulan: Perlukah Kekuasaan Berbicara?

Film Air Force One pada dasarnya cukup menarik, menegangkan, dan penuh makna. Walaupun film ini sangat Amerika-sentris, secara keseluruhan film ini patut diapresiasi karena efek yang cukup baik dan skenario yang cenderung tak terduga. Selain itu, ada beberapa hal yang dapat dianalisis dari film ini, salah satunya berkaitan dengan penggunaan power oleh pelaku film.

Dalam konteks ilmu politik, film ini mengajarkan bahwa power tak boleh digunakan untuk kepentingan sepihak; Power harus digunakan sesuai rational choice, pendekatan moral, dan yang terpenting harus menggunakan legitimasi atau keabsahan (Budiardjo, 1993)[6]. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan oleh negara-negara powerful yang justru menggunakan hard power mereka untuk kepentingan pribadi.

Maka, sudah seharusnys power digunakan untuk perdamaian, bukan untuk menindas kelompok lain yang menjadi lawan. Bukankah tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencapai perdamaian?



[2] Charles W. Kegley. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006). pp. 441.

[3] Lihat Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised). Definisi tersebut berbunyi, If we are talking about power, it means man’s control over the mind and action of other men.

[4] Lihat G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition) pada bagian Telecommunications; Crisis Diplomacy.

[5] Hans J. Morgenthau, op.cit.

[6] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelima belas). pp. 37-38.


Referensi

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelima belas).

G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition).

J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised).

Charles W. Kegley. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006).

http://id.wikipedia.org/wiki/air_force_one_(film)

Tidak ada komentar: