Kemarin (5/10), saya mendapat kesempatan memoderatori sebuah diskusi seru: bedah disertasi Dr. Arief Munandar, dosen FEUI yang baru saja mendapat gelar Doktor Sosiologi di Universitas Indonesia. Acara ini diselenggarakan oleh KAMMI Komisariat UGM di Jogja Islamic Book Fair 2011.
Disertasi tersebut membaca dinamika habitus kader PKS pasca-Pemilu 2004. Bagi penikmat sosiologi, tentu akan tahu teori Habitus-nya Pierre Bordieu: bagaimana perilaku masyarakat -kader PKS dalam penelitian itu- bergeser karena adanya pergeseran "modal budaya" yang menyesuaikan dirinya dengan waktu, pada ranah (arena) politik Indonesia pasca-2004.
Ada hal menarik yang disampaikan oleh Dr. Arief, terkait rekomendasi kebijakannya. Ia memberi penekakan pada tiga strategi perubahan mainset pada kader PKS agar habitus itu tidak terus-terusan mengubah bentuk hingga menyebabkan identitasi "partai dakwah" -yang sering diklaim dan dibanggakan partai itu- tidak ikut berubah. Pertama, deoligarkisasi; Kedua, desakralisasi; Ketiga, demokratisasi.
Saya tertarik membahas fenomena kedua. Apakah memang pencampuran agama -yang sering disebut sebagai sesuatu yang sakral- dengan politik -yang penuh profanitas- itu memang akan membuat sesuatu yang transenden, ilahiyah tergeret dalam relasi kuasa yang penuh kepentingan?
****
Debat mengenai agama dan politik memang telah berlangsung sejak lama. Dalam lintas sejarah Islam, relasinya dialektis. Agama pernah jadi tunggangan kaum Mu'tazilah untuk menindas ahlus-sunnah, pernah pula digeret ke nuansa pertikaian antara Damaskus dan Madinah, ketika Abdullah bin Zubair mengorganisir gerakan perlawanan terhadap rezim Umayyah di Damaskus, hingga akhirnya mereda ketika zamannya Umar bin Abdul Aziz.
Sejarah mencatat pula bahwa dalam pertikaian politik antar-elite, sering teks-teks keagamaan menjadi korban; ulama dipenjara, teksnya diperalat untuk kepentingan rezim, dan tak sedikit yang kemudian harus keluar dari rezim untuk dapat mempertahankan keyakinan. relasi yang tentu saja sangat kelam, tidak membahagiakan.
Namun, pernah pula datang masa ketika agama menjadi basis etik penyelenggaraan pemerintahan, hukum membawa keadilan, syariat melahirkan kesejahteraan. Di masa Harun Al-Rasyid, teks-teks filsafat diperkenalkan dalam wujud Baitul Hikmah, membawa kegairahan dalam intelektual Islam. Syed Hossein Nasr mencatat bahwa filsafat dan teologi Islam muncul di abad-abad pertengahan, ketika Islam menjadi payung etika bagi praksis kenegaraan.
Jadi, relasi antara agama dan politik tentu saja sangat dialektis dalam lintas sejarah. Pun demikian dalam lintas intelektualitas Islam. Para pemikir seperti Ibnu Taimiyyah dan Al-Mawardi, atau yang lebih terkemudian seperti Al-Banna atau Al-Mawdudi sangat tegas menyatakan bahwa politik dan agama saling berkait, namun ada pula yang menyatakan bahwa hubungan langsung keduanya harus dijauhkan -seperti Ibn Khaldun atau Hassan Hanafi. Semua masih dalam perdebatan.
Namun, di balik perdebatan itu, saya kira semua bersepakat bahwa agama tak boleh dimanipulasi untuk kepentingan politik. Bahwa agama nanti masuk ke bidang politik itu, masih dapat diperdebatkan secara konseptual, tapi tidak ada yang menyatakan bahwa teks agama boleh diubah untuk kepentingan politik. Agama adalah "murni", jangan ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politik manapun.
Tapi, pertanyaannya, bagaimana dengan menggunakan agama sebagai legitimasi kepentingan? bagaimana dengan partai yang menggunakan agama untuk mendulang suara? dan bagaimana dengan agama yang jadi alat memoles citra agar bisa berkampanye di tengah masyarakat yang berbasis muslim?
*****
Sifat dari agama adalah transenden, ilahiyah. Kebenaran agama pasti bersifat mutlak. Mengapa? Karena ia berasal dari Allah. Kebenaran agama yang mutlak itu tertuang dari firman Allah, yang dimaknai oleh umat Islam sebagai Al-Qur'an. Agama adalah "logos"; kebenaran; yang mutlak; yang transenden; yang ilahiyah.
Lain halnya dengan politik. Jika menggunakan konsepsi Macchiavelian soal politik, sentrum dari politik adalah kepentingan. Praksis politik selalu mengikuti konteks. Bicara soal politik pasti bicara soal kekuasaan. Dan ketika bicara soal kekuasaan, akan masuk pada bahasan soal kepentingan. Kepentingan bersifat relatif. Kadang menjadikan seorang sebagai kawan, kadang juga sebagai lawan.
Tentu saja, konstruksi berpikir Macchiavelianistik seperti itu sudah dikritik. Tapi sekali lagi, kritiknya sangat moralistik. Jelas, kritik tentang persepsi moral soal politik akan menjadi bersifat individual. Kritik yang lain akan bicara soal penindasan. Politik kepentingan diselubungi oleh apa yang disebut oleh Nietzsche sebagai "the will to power"; kehendak-menuju-kuasa. Sehingga, yang perlu dibongkar bukan moral politiknya, melainkan relasi untuk menindas di-sekelilingnya.
Dalam kritik Nietzschean, setiap tindakan dan praksis hidup manusia pasti diselimuti oleh kehendak-menuju-kuasa itu. Oleh sebab itu, bicara soal moral yang sifatnya subjektif tidak cukup. Kita perlu pula bicara sesuatu yang lebih luas: bagaimana kehidupan masyarakat dibayangi oleh profanitas dan praksis budaya yang tidak bersahabat dengan moral itu.
Kritik yang sifatnya moralistik perlu pada dataran individual, tapi ia tak akan cukup kuat untuk melawan praktik kultural yang telah menjelma menjadi hegemoni. Kita seperti lupa dengan kapitalisme, bagaimana ia telah menjadi praksis budaya yang hegemonik, menakut-nakuti masyarakat dengan pelbagai instrumen kulturalnya. Katakanlah soal uang. Kekuasaan dalam praksis kultural kapitalisme, tidak gratis. Ia harus ditukar dengan beberapa rupiah agar mampu menjadi kekuasaan yang utuh untuk mengatur orang lain.
Jika agama masuk pada kontinuum politik tanpa memperhatikan praktik budaya dan relasi kuasa di sekelilingnya, peluang ia digeret oleh relasi kekuasaan yang berbasis kepentingan itu sangat besar. Alih-alih mentransformasikan moral dan etika di tengah masyarakat, agama justru digeret oleh kepentingan orang-orang kuat untuk mendulang kekuasaan. Agama hanya menjadi bancakan elite politik, dengan menyitir ayat-ayat Qur'an, berhaji, bersilaturrahim Idul Fitri, agar citra dan suaranya dapat terjaga di Pemilu berikutnya.
Ada lagi fenomena lain. Untuk menjaga agar pemilu tetap dimenangkan, dalil agama diubah menjadi doktrin politik. Hal ini memerlukan tokoh yang otoritatif di bidang itu. Kita tahu, ketaatan terhadap agama itu bersifat mutlak, karena agama secara hukum mengikat kepada pemeluknya. Alat untuk memastikan hal ini tersampaikan di tengah masyarakat adalah dengan menyerahkannya pada pemegang otoritas penafsir keagamaan.
Jika nalar politik yang profan tadi kemudian dibawa oleh ustadz, kyai, profesor, doktor, ulama, dan pemuka agama -baik itu secara kultural maupun struktural organisasi- agama hanya menjadi "pembenar" atas praktik-praktik politik yang korup. Sebab, pemegang otoritas keagamaan itu terseret oleh relasi kepentingan yang kompleks, memanipulasi pikiran seseorang hanya untuk menjaga perolehan suaranya tidak tergerus.
Meminjam bahasa Sigit Pamungkas, hal semacam ini sama saja dengan melekatkan agama pada figur-figur itu. Penafsiran agama yang harusnya terbentang luas, dimonopoli oleh orang-orang tertentu yang punya kepentingan. Agama tercampur dengan kepentingan, tanpa tahu apakah kepentingannya itu benar atau salah.
***
Lantas, apakah agama memang demikian sudah tercampur dengan politik sehingga posisinya harus dipisahkan dan dijauhkan dengan politik? Tentu, masih ada jalan pemurnian lain, yang ditawarkan oleh Dr. Arief Munandar dengan "desakralisasi" tadi.
Menurut Dr. Arief, strategi desakralisasi tersebut dilakukan dengan cara memisahkan otoritas keagamaan dari orang seorang, yang artinya meruntuhkan mitos bahwa "Majelis Syuro" adalah mereka yang punya otoritas keagamaan yang kuat sehingga wajar jika punya wewenang politik yang besar.
Desakralisasi mengimplikasikan demokratisasi dan egaliterisasi, sehingga kritik menjadi bisa dimunculkan tanpa sekat-sekat kultural yang sebenarnya itu hanya dibuat sendiri oleh manusia. Dalam konteks egaliterisasi, berarti bahwa otoritas keagamaan bukan kekuasaan. Artinya, otoritas keagamaan itu tidak menjadikan seseorang berdiri lebih tinggi daripada orang lain. Tidak ada yang posisinya lebih tinggi dari orang lain di dunia ini.
Muhammadiyah membahasakannya dengan semangat tajdid yang basisnya "kembali pada Al-Qur'an dan Hadits"; Artinya, otoritas keagamaan masih mungkin dikritik dengan menggunakan alat Al-Qur'an dan Sunnah. Demikian pula praksis politik, juga memungkinkan untuk dibongkar kepentingannya dari elite-elite agama tadi.
Dr. Arief memberi sebuah contoh solusi yang baik, yaitu mengajarkan tiga ilmu alat kepada umat (beliau menganjurkannya pada kader PKS), yaitu tafsir, ushul fiqh, dan bahasa arab. Dengan demikian, umat punya ilmu untuk mengkritisi khutbah keagamaan yang disampaikan oleh pemuka keagamaan jika memang punya tendensi "kehendak-menuju-kuasa itu.
Ulama kemudian menjadi lebih bersifat ontologis, bukan lagi ideologis. Setiap orang yang punya otoritas keilmuan dan memadukannya dengan etik agama, ia berarti ulama. Tidak terbatas pada sekat sekadar "ustadz" atau "Kyai". Apatah lagi kemudian menjadikan figur atau kelompok elite yang disebut Ustadz tadi menjadi "kebal kritik" dan lebih tinggi posisinya.
Agar hal-hal seperti ini bisa dijaga, umat perlu membekali diri dengan wawasan yang kuat soal bagaimana membongkar relasi kuasa di tengah masyarakat, terutama dalam hal-hal keagamaan. Umat sendiri yang bisa membongkar kepentingan elit-elit agama dalam berperilaku. Artinya, ini tugas para pendakwah agar mampu membongkar setiap relasi kuasa di masyarakat dan mempertahankan diri untuk tidak tergeret pada pusaran kekuasaan itu.
Dan implikasi logis dari desakralisasi ini adalah mengubah doktrin menjadi pengetahuan. Ideologi menjadi ontologi. Instruksi menjadi wawasan. Terpenting, agama menaungi pelaksanaannya sebagai basis etika. Sehingga, desakralisasi akan menemui momentumnya dengan mentransformasikan agama menjadi etika sosial. Agama pun tidak perlu lagi disalah-salahkan hanya karena tercampur dengan sesuatu yang sebenarnya salah dalam agama itu sendiri.
Jika agama telah menjadi etika sosial, relasi antara agama dan politik menjadi dapat kita jernihkan. Sehingga, tidak perlu ada pemisahan antara agama dan politik. Yang perlu adalah pembongkaran. Mengutip istilah Kant, sapere aude, beranilah berpikir. Mari menjadi umat yang kritis.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib. Wa basysyiril mu'miniin.
*refleksi diskusi bedah disertasi kemaren sore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar