Kemarin, saya berbincang dengan dua orang kawan mengenai format
parlemen ideal. Kebetulan keduanya berasal dari fakultas eksakta, yang
sehari-hari tidak bersentuhan langsung dengan ilmu politik.
Di
sela-sela perbincangan, muncul satu pertanyaan yang waktu itu terlintas
di pikiran saya, dan cukup mengganggu: mengapa bisa DPR (parlemen)
Indonesia melahirkan banyak koruptor, orang-orang yang "asal-bunyi" dan
sama sekali tidak punya kompetensi profesional, padahal mereka
mengklaim dipilih dan mewakili rakyat ketika Pemiu?
Persoalan Sistem?
Masalah seperti ini mungkin akan menjadi daily problem bagi
mahasiswa ilmu politik. Tapi tetap saja mengganggu. Pembahasan
mengenai sistem politik selalu akan menceritakan masalah-masalah
seperti ini, dan di kemudian hari, masalahnya akan tetap sama.
Sebagai
mahasiswa yang meminati perbandingan politik, saya secara refleks
tentu akan merefer ke beberapa negara lain yang sistem politiknya
stabil. Katakanlah, misalnya, Australia. rekrutmen para politisi -dalam
demokrasi- tentu akan dilakukan lewat jalur partai politik, lalu
Pemilu. Anggota parlemen akan berasal dari mereka yang direkrut oleh
Partai Politik.
Dalam seting demokrasi Indonesia saat
ini, partai politik menempati posisi yang istimewa. Sistem proporsional
yang diterapkan, dengan mempertimbangkan pluralitas pilihan politik
masyarakat, menempatkan partai politik sebagai aktor utama. Jawabnya
sederhana: sebab sistem Pemilu proporsional meniscayakan kita untuk
memilih partai, atau setidaknya kandidat yang diunggulkan partai.
Dalam
proses politik di parlemen, secara otomatis partai politik dan
kandidat yang diunggulkannya memiliki peran dan kewenangan yang sangat
besar. Hampir semua perumusan UU ditentukan oleh partai politik di
parlemen yang memiliki kursi. Logika yang digunakan sederhana: partai
politik memiliki legitimasi elektoral karena ia dipilih oleh rakyat,
dan oleh sebab itu punya hak untuk merepresentasikan masyarakat di DPR.
Oleh
sebab itu, dalam seting politik Indonesia saat ini, partai politik
begitu hegemonik. Setiap proses kebijakan akan memerlukan partai
politik, sehingga posisinya begitu menentukan. Lantas, apakah dengan
kewenangan dan kekuasaan yang besar itu, partai politik memiliki
"tanggung jawab" -atau setidaknya kontrol publik- agar para politisi
yang dibawa ke parlemen itu berkualitas?
Hal ini yang saat
ini menjadi permasalahan cukup besar. Pemberian wewenang yang besar
pada parlemen -yang notabene dihuni oleh partai politik- tidak diiringi
oleh garansi rekrutmen politik yang benar. Tidak ada mekanisme yang
menyeleksi para politisi dengan mekanisme yang tepat.
Bagaimana
mungkin partai yang mengaku antikorupsi dan bersih seperti PKS,
misalnya, bisa memiliki politisi yang anti terhadap gerakan antikorupsi
itu sendiri? Atau, mengapa masih ada sosok yang asal-bicara di partai
pemenang pemilu sekelas Partai Demokrat? Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini menjadi refleksi yang begitu hebat dalam diri para pemerhati
politik, seperti saya.
Hanta Yuda (2010) melihat hegemoni
partai ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif dalam politik
Indonesia. Sebab, sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia tidak
kompatibel dengan presidensialisme karena melahirkan kekuatan politik
yang fragmentaris. Indonesia menerapkan dua sistem yang, menurut Hanta,
akan saling-berbenturan: presidensialisme dan multipartai. Keduanya
akan berbenturan karena berpotensi saling menyandera.
Penelitian
Hanta Yuda pada tahun 2006 -skripsi Sarjana- menyebutkan bahwa selama
masa pemerintahan SBY-JK, secara eksternal dan internal Presiden
tersandera oleh kepentingan partai, antara lain dalam pemilihan menteri,
koalisi, dan lain sebagainya. Di sisi lain, banyak partai yang
memainkan "politik dua kaki", menyebabkan dukungan politik terhadap
pemerintah menjadi labil dan sering digoyang-goyang.
Oleh
sebab itu, Hanta Yuda menawarkan rekayasa kelembagaan untuk
menanggulangi problem-problem prosedural di atas. Namun, dalam konteks
politik Indonesia saat ini, di mana hegemoni partai masih terlampau
besar, akan muncul pesimisme baru terhadap proseduralisme. Sebab, tentu
saja parta politik tidak akan serta-merta "jujur" dan "baik hati"
menyerahkan prosedur yang meng-konservasi kekuasaan mereka. Zur wille fur macht, kata Nietzsche.
Dan
dengan demikian, perlu rekayasa lain yang melampaui proseduralisme
tersebut. Apakah studi politik sudah menjangkau bagian ini?
Hegemoni Modal
Proseduralisme
mungkin mengajarkan kita bagaimana berpolitik dalam sistem yang tepat,
tetapi tidak menceritakan seluruhnya bagaimana politik itu
dikendalikan. Selama bertahun-tahun Orde Baru, kita mengira kontestasi
politik berjalan natural -secara akademis- tetapi tentu saja ada "sesuatu yang salah" dari macam-macam cara pengendalian itu.
Indonesia
sudah melampaui otoriterisme politik sejak Soeharto jatuh pada tahun
1998, Akan tetapi, apakah dengan demikian otoriterisme itu lantas hancur
begitu saja dan rest in peace bersama Soeharto dan beberapa kroninya?
Gerakan
tahun 1998 memang meruntuhkan fondasi rezim Soeharto dan Orde Baru,
tapi tidak meruntuhkan sendi kekuatan otoriterisme lama. Sebab, meminjam
Vedi Hadiz dan Richard Robison, terjadi sebuah fenomena reorganising power, rekonsolidasi kekuatan lama dalam bentuk yang baru, yang sejatinya juga diarahkan untuk totalitas kekuasaan.
Mekanisme
demokratis-institusional yang dirancang untuk membangun pilar
demokrasi -Pemilu- memang memberikan kesempatan bagi kelompok marjinal
untuk berkompetisi. Wajar jika kemudian begitu banyak partai yang
berkompetisi pada Pemilu 1999. Namun, perlu dicatat, pemenang Pemilu
sesungguhnya bukan didasarkan pada simpati dan pilihan rakyat, tetapi
justru pada modal yang banyak berseliweran.
Sebagai contoh, mari kita lihat data statistik. Siapa sih yang sebenarnya memenangi Pemilu dari 1999-2004?
Dari
48 lebih partai yang berlaga, tercatat hanya maksimal 8 partai yang
mendapatkan kursi signifikan (di atas 20 kursi). Pada pemilu 1999, hanya
lima partai besar (PDIP, Golkar, PAN, PPP, PKB) yang mendapatkan
jumlah kursi signifikan. Keduanya melahirkan konfigurasi tiga aliran
yang dominan sebagai arus utama politik pada waktu itu. Di tahun 2004,
hasil Pemilu menambahkan Partai Demokrat dan PKS dalam konfigurasi
partai tersebut. Sementara Pemilu 2009 menambahkan Partai Gerindra dan
Hanura.
Dari konfigurasi tersebut, semua partai dapat
kita lihat menampilkan struktur di balik posisi mereka. Golkar dan PDIP
adalah potret "faksi reformis"dari kekuatan lama. PDIP di akhir Orde
Baru merupakan oposisi dari kekuatan PDI yang ditopang oleh struktur
kekuasaan Orde Baru. Partai Golkar adalah transformasi "Golkar Lama"
yang diisi oleh faksi pemodal, menyebabkan adanya posisi politik yang
sudah kuat sejak awal.
Sementara itu, PAN, PKB, PPP
merepresentasikan basis Islam Kultural terbesar: NU dan Muhammadiyah.
Gerindra, Hanura, dan Demokrat ditopang oleh ketokohan Wiranto, Prabowo
Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (ketiganya mantan punggawa
militer yang reformis). Dan PKS punya basis massa kelompok Tarbiyah
yang menguasai mahasiswa di kampus-kampus besar (LDK/Musholla Kampus).
Dari segi basis ideologi, partai politik juga menampilkan kecenderungan untuk "bergerak ke tengah" (political centrism, Sartori)
yang meniscayakan partai untuk meninggalkan basis ideologi awalnya.
Mengapa? Jawabnya sederhana: karena realitas politik kini menampilkan
pemilih yang tidak lagi melihat sentimen primordial sebagai referensi
elektoral. Pemilih menjatuhkan pilihan pada timbangan yang bisa
dikatakan lebih "pragmatis", dari segi citra, track record, atau mungkin popularitas dan apa yang menguntungkan.
Akhirnya,
politik memang tak bisa melepaskan diri dari kekuatan modal. Topangan
ideologis partai boleh dikatakan minim, sebab tidak semua partai
menampilkan ekspresi ideologis yang khas. Citra kini lebih dominan.
Dalam bahasa Eric Louw, politik sekarang sudah bergerak menuju professionalization; semua direkayasa secara profesional. Dan ini artinya, politics is about business.
Dan
memang akhirnya memang menjadi satu keniscayaan jika terjadi politik
uang. Sebab, meminjam Yasraf, logika politik adalah totalitas menuju
kekuasaan. Semua sumber daya dikerahkan untuk mendapatkan kursi. Dengan
kekuatan kapital, disertai kemampuan memoles citra, semua menjadi
niscaya. Praktik politik uang kini bahkan terjadi sampai level Pilkades,
jauh di akar rumput sana.
Pertanyaannya, apakah memang politik itu berbiaya tinggi? High-costed politics memang
niscaya ketika demokrasi dilakukan dengan logika pasar; mengikuti
hukum permintaan dan penawaran. Dan tentu saja, aras politik menjadi
terbuka lebih luas.
Proseduralisme kini sekadar menjadi instrumen kekuasaan. Sebab, praktik politik di parlemen telah ditentukan oleh deal-deal politik
tingkat tinggi antar-elite, keanggunan citra, atau kekuatan modal yang
tak terbatas. Proseduralisme dikendalikan oleh kuasa-kuasa tertentu,
yang, tentu saja, bergerak mengikuti hukum dasar politik: pengerahan
sumber daya menuju totalitas kekuasaan.
Dan artinya, proseduralisme harus dilampaui: dengan membongkar relasi-relasi kuasa di sekelilingnya.
Pasca-Proseduralisme
Nalar
politik proseduralistis tak lepas dari jerat-jerat kuasa. Kontestasi
politik kini berubah menjadi kontestasi citra dan tampilan menuju-kuasa
-sesuatu yang sebenarnya tak terelakkan dalam seting demokrasi dan
perkembangan teknologi. Alhasil, politik digeret "kembali ke
metafisika", pada relasi-relasi kuasa yang sifatnya tidak nyata, dan
memainkan kesadaran pemilih.
Dan itu artinya, pembacaan
realitas politik tidak lagi hanya bertumpu pada "teori sistem" yang
selama ini menjadi arus besar kajian politik kita. "Teori sistem" bukan
harus dihilangkan, tetapi diperluas ranahnya melampaui kesisteman dan
realitas politik nyata. Sistem politik kini menjadi ter-kabur-kan oleh
mereka yang berada di luar institusi.
Pasca-proseduralisme
berarti melampaui sekat-sekat proseduralistis dalam membaca realitas
politik kontemporer. Artinya, bicara soal politik tak sekadar bicara
sistem. Ada "kuasa" di luar sistem yang mempermainkan dan mengendalikan
permainan di dalam. Tapi pertanyaannya, siapakah "kuasa" itu?
Membicarakan
"kuasa" akan tampak membicarakan "perdukunan politik". Politisi itu
ibarat dukun. Ia menggunakan kekuatan mistiknya untuk memanggil "roh"
dan "jin", agar melakukan operasi politik. "Roh" dan "Jin" itu
mengemukan dalam berbagai bentuk. Ia bisa berbentuk "agama", dalil-dalil
yang dipelintir untuk kepentingan tertentu, lantas memobilisir massa
untuk melayani kepentinganya. Atau dalam bentuk "citra" yang
memanipulasi kesadaran rakyatnya.
Agama tampil kembali
setelah lama disingkirkan oleh proseduralisme demokrasi. Tapi, alih-alih
menampilkan diri secara transformatif dalam bentuk etika sosial, ia
justru digunakan untuk kepentingan tertentu oleh beberapa gelintir elit.
Ia bisa mengatasnamakan dakwah dan lain sebagainya. Ia masuk ke dalam
proses demokrasi dan terjun dalam aktivitas sosial. Tapi ia diarahkan
untuk totalitas kekuasaan. Dan artinya, berdimensi politik praktis.
Komunikasi
juga tampil dalam wujud teknologi tanpa batas, menjadikannya sebagai
alat pencitraan. Kesadaran nasionalisme juga ditumbuhkan, tapi secara
semu saja, semua untuk totalitas kekuasaan. Dan semua variabel kini
sudah diarahkan menuju ke sana. Dalam komunikasi politik, kita mengenal
istilah "spin doctoring", profesional yang terjun ke politik untuk
membantu tercapainya tujuan berkuasa. Akademisi tampil dalam
proyek-proyek politik tertentu.
Dan artinya, tesis awal
politik sebagai "totalitas menuju kekuasaan" masih dapat kita terima.
Hanya saja, totalitas kekuasaan itu semakin bergerak liar, tak lagi
terbatasi oleh sistem. Demokrasi yang dikerangkai oleh semangat sistem
pada awalnya adalah melembagakan kekuasaan sebagai sebuah mekanisme
kompetitif, agar semua berjalan fair. Tapi yang disebut fairness itu lambat laun ditinggalkan oleh monopoli kuasa.
Politik
bergeser dari sekadar mekanisme demokratis menuju "persaingan rimba".
Sebab, prosedur sekarang di-"akal"-i untuk kepentingan kuasa. Politics is all about interest. Karena
politik hanya dipandang sebagai kepentingan, tak ada lagi pembicaraan
soal etika. Prosedur berubah menjadi instrumen kekuasaan dan
melanggengkan kekuasaan mereka yang berpunya.
Era
pasca-prosedural mengimplikasikan adanya bentuk "pelembagaan" baru
melampaui institusi politik formal. Persoalan politik sejatinya tidak
diputuskan di arena parlemen, dalam perdebatan yang hangat dan panjang,
tapi di kamar-kamar hotel dalam pertemuan setengah-kamar. Keputusan
dihasilkan dari deal-deal mereka yang berkepentingan. Dan artinya, politik direduksi menjadi sekadar kompromi elite!
Kompromi elite ini melahirkan broker-broker anggaran
di kementerian yang siap menadahkan tangan untuk meng-konsumsi
anggaran rakyat. Partai-partai menjadikan kementerian sebagai bancakan;
memobilisasi sumber daya dari proyek yang didapat. Motifnya dua,
kapital dan kuasa.
Apa dampaknya? Wajar jika politisi
berjarak dengan akar rumput. Dalam seting multipartai Indonesia yang
nuansanya adalah penguatan partai, penjarakan ini begitu nyata. Gaya
hidup mewah dan parlente di parlemen tidak berimbang dengan kesusahan
di akar rumput. Sebab, rakyat menjadi sekadar instrumen untuk
dimobilisasi. Dan artinya, rakyat hanya menjadi "simbol" untuk
mendapatkan legitimasi yang juga "simbolik" terhadap kekuasaan politik
yang absolut!
Tantangan Ilmu Politik
Fakta-fakta ini mengantarkan kita pada diskursus politik kontemporer. Logika demokrasi berbasis competitive elitism
yang kemudian membawa kita pada sebuah keniscayaan baru dalam
teoretisasi ilmu politik. Bahwa sejatinya, ilmu politik harus bisa
membongkar relasi-relasi kuasa baru yang menjelma dalam praktik-praktik
politik dewasa ini.
Pembongkaran relasi-kuasa sebetulnya
bukan sesuatu yang sifatnya "metafisis" atau "mistis". Sebaliknya, ilmu
politik dituntut untuk mampu mendemistifikasi praktik politik yang "di
awang-awang" -elitis- menjadi terang-benderang. Dan perlu ada
pembacaan fakta yang lebih menyeluruh dari realitas politik yang
terjadi.
Semangat membongkar relasi-kuasa adalah: "jangan
ada dusta di antara kita". Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan
untuk melakukan pembongkaran ini.
Pertama, demistifikasi.
menjadikan sesuatu yang "gelap" menjadi "terang-benderang". Artinya,
politisi harus mampu menyingkap kegaiban-kegaiban politik. Dan untuk
itu, relasi intensional antar-aktor perlu dibaca. Pembacaan sejarah atas
praktik politik dan pendekata genealogis atas sejarah bisa menjadi
alternatif wacana baru. Artinya, relasi-kuasa yang terlihat gaib dapat
didekati dengan sebuah analisis yang kompleks.
Ini
meniscayakan redefinisi soal "power" -yang selama ini menjadi konsep
paling mendasar dalam ilmu politik. "Power" bisa didekati secara
psiko-politik, how to control mind and action of other men (Morgenthau,
1948). Begitu juga konsep lain yang instrumentalistik terhadap
kekuasaan, serta membongkar pelembagaan-pelembagaan politik yang selama
ini dianggap sudah mapan, termasuk Demokrasi.
Kedua, desakralisasi.
Selama ini, ada beberapa hal yang diperlalukan "sakral" sehingga
dianggap tidak layak dibahas dalam ilmu politik, semisal agama. Padahal,
agama kerap menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam
memobilisir massa ataupun kader. Agama punya daya pengikat doktriner
yang sangat kuat, sehingga jika otoritas keagamaan dikendalikan, massa
yang ikut akan bisa sangat fanatik.
Ini menjelaskan
mengapa mobilisasi massa yang punya fanatisme kuat dapat memenangkan
satu kelompok dalam Pemilu. Sebab, demokrasi meniscayakan adanya suara
mayoritas pada massa yang tidak-sepenuhnya punya kesadaran politik.
Artinya, jika ada otoritas yang mampu menggerakkan kesadaran politik
massa dengan sesuatu yang "sakral", massa akan bergerak. Dan hanya agama
yang bisa melakukan itu.
Oleh sebab itu, strategi desakralisasi secara ontologis perlu dilakukan melalui pembacaan ulang (double reading)
atas teks-teks agama. Hal yang "sakral" dan "dijadikan-sakral" perlu
dipisahkan dan dibongkar. Sehingga, unsur-unsur teologis yang memang
sakral dapat menempati posisinya tanpa harus tercampur dalam analisis
mengenai perilaku keagamaan.
Ketiga, deteriteorialisasi
atau membongkar batas kajian ilmu politik. Selama ini, kerangka kajian
ilmu politik dibatasi oleh sekat-sekat disipliner dengan bidang ilmu
yang lain. Padahal, ada pertautan antara ilmu-ilmu nonpolitik dengan
ilmu politik sendiri dalam beberapa diskursus kajian, utamanya yang
masuk dalam perumusan kebijakan publik. Ekonomi, sosiologi, pertanian,
kehutanan, bahkan teknologi sekarang sudah merambah masuk sebagai bahan
kajian dalam ilmu politik.
Oleh karenanya, perlu dibangun semangat interdispliner berbasis political science. Semangat
interdisipliner tersebut mengajak seluruh disiplin keilmuan untuk
berdiskusi dua-arah dengan ilmu politik. Arah pertama, bagaimana ilmu
politik bisa mengatur tata kelola dan penggunaan ilmu tersebut untuk
kemanusiaan. Arah kedua, bagaimana ilmu-ilmu nonpolitik berkorespondensi
dengan kekuasaan.
Dengan semangat interdisipliner, ilmu
politik tidak kekurangan kekhasannya, yaitu meninjau hubungan yang
kompleks antara kekuasaan dan masyarakat. Akan tetapi, domain kekuasaan
tidak hanya dibatasi hanya sekadar pada sistem kenegaraan, melainkan
juga apa yang terkandung dalam negara. Oleh sebab itu, ilmu politik juga
harus meninjau secara kritis pilar-pilar pendukung negara dalam
disiplin ilmu yang lain.
Dalam kaitannya dengan relasi
kuasa, ilmu politik juga bisa meninjau secara kritis penggunaan ilmu
untuk tujuan kekuasaan, atau dalam bahasa Herbert Marcuse: ilmu yang
punya tendensi ideologis. Ilmu politik diharap dapat membongkar tendensi
monopoli kebenaran satu bidang ilmu yang membuatnya melayani kekuasaan
tertentu. Di sini signifikansi dan kekhasan ilmu politik.
Tiga
strategi ini sebetulnya hanya segelintir cara untuk membongkar relasi
kuasa di atas bangunan ilmu politik. Dan artinya membangkitkan wilayah
kajian baru dalam studi-studi politik yang selama ini kita lakukan.
"Ilmu Politik Transformatif"?
Dan
sebagai pengakhir, kita perlu mencermati sebuah tesis baru dari Prof.
Purwo Santoso mengenai "ilmu sosial transformatif" yang meniscayakan
ilmu politik untuk tidak hanya turun dalam tataran teoritis, tetapi juga
praksis.
Menurut Purwo Santoso, ilmu sosial mesti
berdimensi transformatif. Ia tidak sekadar menjelaskan fakta-fakta
sosial secara objektif, melainkan juga menghadirkan subjek dalam
realitas tersebut. Berarti, ini menolak sebuah klaim pemisahan teori
dan praksis.
Ilmu sosial bukan berarti penjarakan
“subjek” atas “objek” yang ditelitinya. Seharusnya, subjek juga
bagian dari realitas yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan
masyarakat, dan artinya, seorang ilmuwan politik adalah ilmuwan yang
bisa bermasyarakat dan mampu menghadirkan semangat berpolitik secara
etis di masyarakatnya, aktif maupun pasif.
Tetapi
bagaimana melakukannya secara praksis? Terkadang, opsi yang dipilih
sangat simplistis: terjun ke dunia politik. Sebetulnya tidak semuanya
seperti itu. Jalan lain yang bisa dilakukan adalah mengadvokasi
hasil-hasil riset politik secara konkret, baik sebagai tawaran kebijakan
ke atas maupun pemberdayaan ke bawah.
Riset politik dapat
menjadi sesuatu yang bisa diperjuangkan, seperti tawaran Hanta Yuda
mengenai rekayasa institusional guna menghindari inkompatibilitas sistem
presidensialisme dan multipartai. Riset-riset sejenis bisa menjadi
sesuatu yang berguna dalam pengambilan kebijakan publik atau pembuatan
UU.
Dan semangat untuk melakukannya sebetulnya sederhana:
jangan ada dusta di antara kita. Sudah saatnya ilmu politik membongkar
kedustaan-kedustaan politik yang selama ini memanipulasi kesadaran
kita sebagai pemilih. Sehingga kehadiran ilmu politik menjadi
signifikan bagi teori maupun praksis politik yang ada.
Nuun wal Qalami wa Maa Yasthuruun.