Sudah
beberapa hari ini media sosial diramaikan oleh hiruk-pikuk hasil Pemira
UGM. Ya, Pemira sudah usai, hasil sudah keluar. Kawan Giovanni van
Empel, mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2008, terpilih sebagai
Presiden (saya lebih suka menyebutnya Ketua Umum) BEM KM UGM tahun 2012.
Kemenangan yang mengejutkan, sekaligus menyejarah, sebab berarti
menghentikan gerak rezim tarbiyah yang selama 13 tahun terakhir
mendominasi BEM KM UGM.
Saya tak akan banyak berkomentar soal Sinyo -panggilan akrabnya- terkait kemenangannya. Yang ingin saya soroti adalah makna dari kemenangan ini, serta hubungannya dengan sebuah komunitas kecil -secara postur kecil tapi gemanya membesar akhir-akhir ini- bernama "Lingkar Studi Bulaksumur".
Penting untuk melihat kemenangan Sinyo ini bukan hanya sebagai keberhasilan media kampanye -walau itu memang benar adanya- atau karena penampilan fisik Sinyo yang menarik -sering dijadikan alat lawan politiknya untuk melakukan serangan- tetapi pada basis gagasan dan intelektual yang ada di belakangnya.
Lingkar Studi Bulaksumur memang komunitas yang sangat muda. Ia baru "resmi" dilahirkan setahun silam, dkandung semenjak setengah tahun sebelumnya, tapi tahun ini melahirkan dobrakan. Mungkin seperti kata Agam Wispi: "Mengapa sejarah selalu berpihak pada klas yang muda?" Kaum-kaum muda itu tidak langsung mendobrak sejarah. Tetapi dengan kerja-kerja yang ia lakukan, "memaksa" sejarah berpihak pada mereka, lewat momentum-momentum itu.
Mungkin, kami-kami yang mendirikan, meninggalkan, hingga berpeluh keringat dan mendinamisir konflik di dalam tubuh kami ini sendiri tidak ada yang membayangkan hasilnya seperti ini. Dulu, memang ada sebuah "mimpi" untuk membawa sebuah perubahan di KM UGM. Tengah tahun 2010, kami-kami yang resah ini berkumpul dan mendiskusikan keresahan kami atas pergerakan mahasiswa di UGM. Pertautan antara BEM, GM, dan politik praktis sudah begitu kompleks, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi aktivitas intelektual di dalamnya.
BEM KM UGM punya catatan sejarah yang cukup panjang. Sepanjang yang saya kumpulkan, organisasi ini berakar dari Dewan Mahasiswa yang didirikan oleh Koesnadi Hardjasoemantri pada tahun 1955. Namun, sejak DM dibubarkan rezim Orde Baru melalui NKK/BKK tahun 1978, aktivitas kemahasiswaan membeku di tingkat universitas. Kebekuan itu pertama kali dicairkan oleh beberapa aktivis, di antaranya Anies Baswedan (yang kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM) pada awal 19900an.
Dalam kurun waktu 1998 hingga 2011, BEM KM UGM didominasi oleh aktivis Tarbiyah yang menggabungkan diri ke KAMMI. Perkaderan, pengorganisasian, hingga mobilisasi yang rapi mengantarkan kemenangan tiap tahunnya. Sistem kepartaian yang dirintis pada 1997 meneguhkan eksistensi mereka melalui wadah 'Partai Bunderan'. Fenomena ini menciptakan 'rezim' tersendiri dari Pemira ke Pemira.
Kami, yang sebenarnya juga berlatar belakang Tarbiyah, tidak begitu masalah dengan hal ini. Namun, kegerahan itu muncul manakala menyaksikan adanya kepentingan-kepentingan 'ekstra-mahasiswa' yang kerap menghinggapi BEM. Bagi kami yang sejak awal memang besar dan membesarkan BEM -walau kemudian terlempar ke beberapa organ ekstra selepas itu- hal demikian menyebabkan keresahan tersendiri.
Akhirnya, beberapa orang yang turut resah berkumpul untuk diskusi. Bermula dari perbincangan sederhana di Warung Susu dan kontrakan, sebenarnya. Tidak formal. Tidak resmi. Berawal dari sesuatu yang sebenarnya sepele. Diskusi-diskusi itu lama kelamaan kian intens, dan akhirnya mengharuskan kami untuk datang langsung ke narasumber.
Diskusi kami kemudian membawa pada pengelanaan ke berbagai tempat, kunjungan dan diskusi ke berbagai figur yang sempat berada di KM UGM maupun yang saling terkait di dalamnya. Kami datang berdiskusi dengan alumni KAMMI, HMI MPO, bahkan GMNI. Ada yang di Yogyakarta, ada pula yang di Jakarta. Mereka-mereka yang kami temui itu rata-rata pernah aktif di BEM KM UGM. Pengelanaan itu membawa inspirasi tersendiri. Menimbulkan kenangan.Grup diskusi 'tanpa-nama' ini tetap bertahan.
Dan akhirnya kelompok diskusi kami meluas ke beberapa kawan. Kami yang pada mulanya hanya berbagi keresahan, lambat-laun juga mulai memikirkan wadah baru untuk melalukan transformasi sosial secara lebih efektif di kampus. Ada yang berpikiran untuk maju dan bertarung di Pemilihan Raya mahasiswa -dengan calon yang rencananya sudah kami siapkan- tetapi ada pula yang menghendaki komunitas ini bergerak di jalur kultural, akar-rumput, fokus pada penguatan basis intelektual.
Di penghujung tahun 2010, seperti biasa, ada Pemira. Masing-masing ingin maju. Waktu itu Partai Bunderan telah mencalonkan Irwan Rizadi (Ketua BEM FMIPA) sebagai capres. Tetapi di luar dugaan, Luthfi (Kadep Kastrat KAMMI) juga maju secara independen. Kompetisi yang agak membuat kami kebingungan. Apalagi, kami yang sudah menyiapkan satu calon alternatif, juga urung maju karena yang bersangkutan enggan dimajukan.
Akhirnya, hasilnya memang sesuai analisis kami. Luthfi menang, mesin politik KAMMI dan Bunderan telah diarahkan ke sana. Irwan hanya meraup 1500an suara, jauh di bawah Luthfi yang unggul dengan 4000 lebih suara.
Kami kembali dilanda kegalauan. Dan akhirnya kami kembali berdiskusi, menguak semangat-semangat keilmuan secara lebih murni. Dari sini akhirnya kami mengenal dan menelaah lebih jauh soal "Mazhab Bulaksumur" dengan difasilitasi mas Reza Ikhwan, senior Fakultas Ekonomi angkatan 2004. Akhirnya, dari obrolan-obrolan di warung susu, angkringan, cafe, burjo, hingga kontrakan, kami bersepakat untuk membentuk sebuah komunitas yang kami beri nama secara kreatif: Lingkar Studi Bulaksumur.
Komunitas ini sengaja mengambil momentum 19 Desember 2010 sebagai tonggak kelahiran. Sebab, tanggal ini adalah tanggal kelahiran UGM, simbol "kelahiran" gerakan pemurnian intelektual di kampus UGM. Dirancang untuk menjadi komunitas diskusi epistemik dengan falsafah ke-gadjah-mada-an. Berpretensi menjadi gerakan intelektual. Sejarah lengkapnya bisa dilihat di Akun facebook Lingkar Studi Bulaksumur atau http://www.simpulbulaksumur.com/
Yap. Akhirnya didirikanlah Lingkar Studi Bulaksumur. Lahirnya komunitas ini bukannya tanpa kontroversi. Baru saja kami menuliskan deklarasi kelahiran LSB di media sosial masing-masing, responsnya langsung muncul. Ada yang menilai ini politis. Suara sumbang macam "Barisan Sakit Hati" sempat kami dengar, walau sayup-sayup. Tapi tak sedikit yang memberikan nuansa optimisme. Perjuangan harus terus berrjalan.
(bersambung)
3 komentar:
terima kasih mas tulisan nya,, ada bberapa fakta yang tersmbunyi slama ini dan tak banyak yang mengetahui,,
salah satunya mengenai terpilihnya mas Luthfi. Sudah saya duga dukungan mmg diarahkan ke beliau bukan ke mas Irwan..
hehehee... kerasa baca tulisan bang Umar yg ini waktu ngebaca tulisan disini:
http://annoblonk.wordpress.com/2012/12/07/supernova-ipb-berangkat-dari-keresahan-bersama/#comment-2
:D
Posting Komentar