SOLO bergolak. Indonesia kembali dikejutkan oleh sebuah ledakan Bom di Solo,
menewaskan beberapa orang. Ledakan bom ini mengejutkan beberapa pihak,
sebab disinyalir sel-sel teroris -mungkin begitu yang sering disebut
pihak kepolisian- masih ada dan beroperasi di Indonesia. Kini, polisi
masih memburu pelaku dan mencoba mengungkap motif di baliknya.
Program Deradikalisasi
Apa makna di balik teror bom kali ini? Benarkah isu bom ini terkait isu konflik horisontal di Ambon beberapa waktu lalu? Dan adakah kaitan bom ini dengan kelompok "Islam Radikal" yang disinyalir terlibat beberapa pengeboman?
Saya tidak ingin menuduh terlalu dini siapa yang berada di belakang pengeboman itu. Pelaku bisa saja merupakan jaringan teroris lama seperti dituduhkan, tetapi bisa saja jaringan dari sel-sel baru yang terbentuk. Tetapi, yang jelas, bom ini kemudian dikaitkan dengan radikalisme, yang akhirnya menyeret agama ke dalam permukaan.
Dugaan mengenai siapa yang berada di balik pengeboman ini kemudian mengarahkan kita pada diskursus mengenai "radikalisme". Sesungguhnya, diskursus ini bukan sesuatu yang baru. Beberapa pengamat terorisme, seperti Sidney Jones dan beberapa pengamat lain, misalnya, segera menuding radikalisme agama sebagai "tersangka".
Sehingga, jalan yang ditawarkan adalah deradikalisasi. Kelompok yang dinilai punya tendensi pemikiran "radikal", harus di-"deradikalisasi" sehingga bisa kembali "normal" di masyarakat. Dan hal ini segera disambut oleh pemerintah sebagai jurus jitu dalam mencegah teror.
Program deradikalisasi tersebut, sebagaimana dilansir Kompas (27/9), adalah memisahkan semangat "radikalisme" dari agama. Caranya, menanamkan nilai-nilai agama yang "tidak radikal", yang inklusif, toleran, dan lain sebagainya.
Persoalannya, benarkah teror bom ini merupakan ekspresi dari radikalisme? Dan tepatkah konsepsi deradikalisasi dalam menahan terorisme di Indonesia? Ada hal-hal yang sepertinya problematis dalam pembacaan mengenai "radikalisme" tersebut.
Redefinisi "Radikalisme"
Perlu ada pembacaan ulang soal "radikalisme". Dalam wacana yang tersirat dari pelbagia pemberitaan media, "radikalisme" sering berhimpit dengan terminologi "negativitas" (kekerasan). Padahal, dua hal tersebut jelas berbeda. Praktik terorisme jelas adalah bentuk negativitas, tetapi ia tidak lantas disinonimkan dengan radikalisme.
"Radikal" -dalam makna litterlijk- adalah sebuah ekspresi keberakaran sebuah pemikiran. Berpikir radikal belum tentu diekspresikan dengan tindak kekerasan. Radikalisme akan muncul jika kita mengupas literatur-literatur Marxisme atau Gerakan Politik Islam. Keduanya berhampiran, tapi sama sekali berbeda.
Dalam literatur-literatur Marxian, radikalisme sering disandingkan dengan istilah revolusioner. Marx menyebut istilah "Radikal" dalam The Communist Manifesto untuk menyebut mereka yang merintangi jalan sosialisme Marx, meskipun di tulisan tersebut ia juga menyiratkan adanya sebuah revolusi yang "radikal", yaitu menyerang private property yang menurutnya adalah sumber permasalahan dari ketertindasan kaum buruh (p. 50).
Literatur pasca-Marx, seperti kalangan penganut teori kritis, menggunakan istilah "radikal" untuk menyatakan teori yang radikal dan emansipatoris dari bentuk-bentuk teori tradisional yang dibawa oleh positivisme logis. Artinya, istilah "radikal" sudah masuk pada perdebatan ontologis. Penggunaan istilah ini tentu mengubah persepsi soal radikalisme, yang berarti tidak hanya berada pada level praksis-tindakan-stratak seperti dipahami Marx, tetapi juga bisa dipersepsi lebih luas.
Hal serupa juga terjadi dalam literatur Islam. Hassan Hanafi dengan konseps filosofisi Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islamy) mencatat bahwa konsepsi agama yang jumud dan kaku harus diganti dengan konsepsi agama yang liberatif (taharrur) dan transformatif. Artinya, gerakan-gerakan Islam harus melandaskan pisau analisisnya pada Islam yang "radikal": ia menyebutnya sebagai Islam yang bersifat kritis dan korektif terhadap kekuasan.
Mengutip Kazuo Shimagaki (1993), konsepsi ini mengandaikan agama sebagai semangat perubahan sosial, yang berarti menjadikan pemahaman agama yang radikal sekaligus rasional sebagai alat perlawanan atas ketertindasan yang dialami umat Islam. Berarti, Islam radikal adalah ekspresi perlawanan, bukan kekerasan.
Sehingga, dengan demikian, radikalisme perlu dibaca dalam kerangka berpikir yang lebih luas. Radikalisme, dengan konsepsi "Kiri Islam" Hassan Hanafi atau "Teori Kritis" Max Horkheimer bukan energi pencipta terorisme yang dibentuk dalam jaring-jaring sel rahasia, melainkan sebuah ekspresi respons atas ketertindasan dan ketidaksetujuan atas hegemoni teori-teori positivis.
Terorisme tidak lantas bisa disinonimkan dengan radikalisme. Sebab, menjadi radikal tidak lantas mengekspresikannya dengan teror. Menyamakan radikalisme dengan terorisme bisa jatuh pada sesat pikir. Saya kira, lebih tepat menggunakan istilah negativitas, sebagai diskursus yang lebih mendekati pada kajian-kajian terorisme dan keamanan.
Praksis dari negativitas, seperti dinyatakan oleh F. Budi Hardiman, salah satunya adalah kekerasan. Mereka yang termarjinalisasi dalam proses globalisasi dewasa ini adalah mereka yang rentan dikorbankan menjadi "massa". Akhirnya, marjinalisasi itu melahirkan kekerasan massa dengan nama identitas-identitas tertentu, seperti agama.
Konteks Indonesia
Lantas, dalam konteks Indonesia, bagaimana meluruskan kesalahpahaman soal radikalisme dan negativitas itu? Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah melacak akar dari radikalisme Islam itu di Indonesia.
Vedi Hadiz (2010), dengan pendekatan struktural-historisnya yang khas, mencatat bahwa radikalisme tumbuh dari ketertindasan kelas. Selama Orde Baru, umat Islam mengalami marjinalisasi politik yang cukup lama dan sistematis. Sebab, ekspresi ideologi Islam dikubur hidup-hidup, digantikan oleh ideologisasi Pancasila yang penerapannya sangat dipaksakan dan cenderung jadi alat kepentingan rezim.
Represi politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru secara sistematis, serta hegemoni modal yang memarjinalkan aspirasi kelas menengah Islam menyebabkan segelintir dari mereka -yang punya pemahaman keislaman kuat tapi termarjinalkan dalam akses ekonomi, politik, dan kultuiral, kemudian meradikalisasi diri untuk dapat merebut peran-peran negara.
Perlawanan mereka semakin dilegitimasi oleh hegemoni global yang menindas umat Islam di beberapa belahan dunia lain. Perlu diingat, dalam Islam ada doktrin "ukhuwah" yang menafikan batas-batas geografis nasional ketika berhubungan dengan muslim yang lain. Islam melekat sebagai identitas universal. Wajar jika represi di satu tempat menimbulkan respons di tempat lain.
Akhirnya, radikalisme dipupuk secara perlahan-lahan dan menjadi sebuah alat untuk menggelorakan perlawanan terhadap rezim politik -baik di level nasional maupun global. Dan hal ini terjadi baik sebelum 1998 maupun setelah 1998, juga terjadi tidak hanya pada gerakan Islam, melainkan juga gerakan kiri maupun gerakan mahasiswa.
Tetapi, perlu dicatat, radikalisme ini tidak bisa dikatakan terbentuk dalam sebuah kesatuan yang utuh. Kita bisa melihat adanya fragmentasi dari kelompok Islam yang menggunakan "radikalisme" sebagai alat perlawanan. Kelompok yang agak moderat justru mengekspresikan radikalisme ini dalam bentuk partisipasi politik.
Pasca-1998, gerakan politik Islam yang "radikal" di Indonesia seperti Hizbut Tahrir atau Tarbiyah (transformasi Ikhwanul Muslimin, lih. Said Ali Damanik, 1998) justru menggunakan momentum demokratisasi untuk meneguhkan eksistensi diri. Kelompok Tarbiyah yang menjelma menjadi PKS mengalami moderasi dan bergumul dengan realitas politik Indonesia. Sementara itu, HTI memilih berada di lajur ekstraparlementer, dan belakangan menjadi ormas, yang artinya masuk pada ranah civil society.
Keduanya tetap radikal secara internal-organisasional, tetapi moderat pada tampilan eksternal. Dan ekspresi yang ditampilkan juga bukan ekspresi negatif yang berorientasi pada kekerasan, tetapi lebih pada kritik pada kuasa-kuasa yang koruptif. Hal ini tentu sejalan dengan proses demokratisasi.
Potret radikalisme semacam ini tidak hanya terjadi pada tataran gerakan Islam, tetapi juga pada elemen lain, seperti gerakan mahasiswa. Pola yang bisa kita lihat, gerakan-gerakan yang di akhir era Orde Baru bergerak radikal, setelah reformasi mengalami proses moderasi. Radikalisasi tetap ada, tetapi ditampilkan dengan cara yang positif. Mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis penulis, akses politik yang terbuka-lah yang menyebabkan moderasi itu.
Ekspresi Negatif
Lantas, ketika kebebasan dan akses politik sudah mulai terbuka, mengapa masih ada kelompok yang mengekspresikan radikalisme dengan negativitas? Ada dua hipotesis yang saya ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, kebebasan politik yang ada masih menyisakan satu problem, yaitu kuasa dan hegemoni modal yang menutup akses-akses politik sebagian orang. Kebebasan secara formal memang sudah ada, namun secara substansial kebebasan tersebut cenderung dimonopoli oleh satu kelompok tertentu. Merekalah yang memiliki modal untuk membeli kebebasan.
Potret neoliberalisme dan kembalinya hegemoni pasar ini menyebabkan adanya marjinalisasi-marjinalisasi baru. Dan sebagai akibatnya, muncullah ekspresi sebagian kelompok yang ingin melawan hegemoni ini. Salah satu ekspresi perlawanan tersebut adalah kekerasan.
Potretnya dapat dilihat pada kisruh Ambon. Sebetulnya, persoalan Ambon banyak diwarnai oleh kesenjangan ekonomi dan hegemoni elit-elit lokal yang menindas kelompok lain. Celakanya, hegemoni tersebut bernafaskan agama sehingga konflik yang muncul juga cenderung rasial. Ini menyebabkan kerusuhan sosial.
Dalam konteks terorisme, jika tuduhan bahwa bom Solo berkait dengan kasus Ambon itu benar, berarti hipotesis ini juga mendekati kebenaran pembuktian. Tentu saja ada variabel lain yang perlu diuji.
Kedua, proses globalisasi yang muncul dewasa ini telah menyebabkan arus informasi beredar luas. Dan informasi tersebut membuka fakta gerakan-gerakan radikal bahwa hegemoni global yang menindas umat Islam di belahan bumi lain masih terjadi. Dan pengeboman ini adalah simbol solidaritas tapi diekspresikan dengan negativitas.
Variabel ini bisa dibuktikan jika memang sel-sel yang bersifat transnasional itu terbukti. Artinya, jaringan terorisme memang bersifat lintas-negara; isu yang diangkat adalah isu transnasional, dan wilayah operasional juga tidak dibatasi oleh batas geografis. Tentu saja, ini menunggu pembuktian dari pembongkaran sel-sel jaringan teroris, kalau memang itu benar ada. Wallahu a'lam bish shawwab.
Perlukah Deradikalisasi?
Jika dua hal tersebut dikombinasikan, kita akan melihat bahwa persoalan terorisme sebetulnya didukung oleh ungovernability negara dan paradoks yang ditampilkan rezim neoliberal pasca-1998. Negara gagal menjaga keamanan warganya alih-alih menjamin keadilan sosial, sementara mereka yang bermodal semakin asyik berselingkuh dengan kekuasaan.
Maka dari itu, meletakkan deradikalisasi sebagai solusi dalam memerangi terorisme akan menjadi kurang tepat. Sebab, selama faktor-faktor yang mendukung adanya marjinalisasi satu kelompok atau menindas kelompok lain itu masih ada, radikalisme itu masih akan tetap digunakan sebagai media perlawanan.
Jalan yang bisa ditawarkan menjadi lebih bersifat struktural. Dalam level analisis sistem internasional, program war against terrorism yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat perlu dievaluasi secara kritis. Sebab, program yang berorientasi pada deradikalisasi dan penggunaan militer ini bukannya melemahkan radikalisme, tetapi justru menumbuhkan tunas-tunas baru gerakan radikal.
Terbukanya akses politik memang membuat gerakan-gerakan yang tadinya radikal mengalami moderasi. Namun pembukaan akses politik saja tidak cukup. Penjaminan keadilan ekonomi dan politik, serta pencapaian aspirasi kelompok radikal bisa menjadi jalan untuk "deradikalisasi" secara lebih tepat.
Jadi, melawan ideologi "terorisme" akan sangat rancu dan overgeneralistis jika hanya mengarahkan pada radikalisme yang pembacaannya tidak tuntas. Sebagai wujud solidaritas atas korban pengeboman di Solo tempo hari, perlu kita sampaikan pada pemerintah: jaminkan keadilan sosial atas seluruh rakyat Indonesia untuk memerangi negativitas dan terorisme.
Semoga pertunjukan Bom ini tidak lagi menghantui kita, sekaligus tidak direspons oleh "politik ketakutan" yang membabi-buta dari negara.
lebih banyak soal akar radikalisme Islam di Indonesia, lihat tulisan terbaru saya di Jurnal Sosial Politik (JSP) Fisipol UGM yang berjudul "Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia" Jurnal Sosial Politik vol 14 no. 2 tahun 2011. Salam.
Program Deradikalisasi
Apa makna di balik teror bom kali ini? Benarkah isu bom ini terkait isu konflik horisontal di Ambon beberapa waktu lalu? Dan adakah kaitan bom ini dengan kelompok "Islam Radikal" yang disinyalir terlibat beberapa pengeboman?
Saya tidak ingin menuduh terlalu dini siapa yang berada di belakang pengeboman itu. Pelaku bisa saja merupakan jaringan teroris lama seperti dituduhkan, tetapi bisa saja jaringan dari sel-sel baru yang terbentuk. Tetapi, yang jelas, bom ini kemudian dikaitkan dengan radikalisme, yang akhirnya menyeret agama ke dalam permukaan.
Dugaan mengenai siapa yang berada di balik pengeboman ini kemudian mengarahkan kita pada diskursus mengenai "radikalisme". Sesungguhnya, diskursus ini bukan sesuatu yang baru. Beberapa pengamat terorisme, seperti Sidney Jones dan beberapa pengamat lain, misalnya, segera menuding radikalisme agama sebagai "tersangka".
Sehingga, jalan yang ditawarkan adalah deradikalisasi. Kelompok yang dinilai punya tendensi pemikiran "radikal", harus di-"deradikalisasi" sehingga bisa kembali "normal" di masyarakat. Dan hal ini segera disambut oleh pemerintah sebagai jurus jitu dalam mencegah teror.
Program deradikalisasi tersebut, sebagaimana dilansir Kompas (27/9), adalah memisahkan semangat "radikalisme" dari agama. Caranya, menanamkan nilai-nilai agama yang "tidak radikal", yang inklusif, toleran, dan lain sebagainya.
Persoalannya, benarkah teror bom ini merupakan ekspresi dari radikalisme? Dan tepatkah konsepsi deradikalisasi dalam menahan terorisme di Indonesia? Ada hal-hal yang sepertinya problematis dalam pembacaan mengenai "radikalisme" tersebut.
Redefinisi "Radikalisme"
Perlu ada pembacaan ulang soal "radikalisme". Dalam wacana yang tersirat dari pelbagia pemberitaan media, "radikalisme" sering berhimpit dengan terminologi "negativitas" (kekerasan). Padahal, dua hal tersebut jelas berbeda. Praktik terorisme jelas adalah bentuk negativitas, tetapi ia tidak lantas disinonimkan dengan radikalisme.
"Radikal" -dalam makna litterlijk- adalah sebuah ekspresi keberakaran sebuah pemikiran. Berpikir radikal belum tentu diekspresikan dengan tindak kekerasan. Radikalisme akan muncul jika kita mengupas literatur-literatur Marxisme atau Gerakan Politik Islam. Keduanya berhampiran, tapi sama sekali berbeda.
Dalam literatur-literatur Marxian, radikalisme sering disandingkan dengan istilah revolusioner. Marx menyebut istilah "Radikal" dalam The Communist Manifesto untuk menyebut mereka yang merintangi jalan sosialisme Marx, meskipun di tulisan tersebut ia juga menyiratkan adanya sebuah revolusi yang "radikal", yaitu menyerang private property yang menurutnya adalah sumber permasalahan dari ketertindasan kaum buruh (p. 50).
Literatur pasca-Marx, seperti kalangan penganut teori kritis, menggunakan istilah "radikal" untuk menyatakan teori yang radikal dan emansipatoris dari bentuk-bentuk teori tradisional yang dibawa oleh positivisme logis. Artinya, istilah "radikal" sudah masuk pada perdebatan ontologis. Penggunaan istilah ini tentu mengubah persepsi soal radikalisme, yang berarti tidak hanya berada pada level praksis-tindakan-stratak seperti dipahami Marx, tetapi juga bisa dipersepsi lebih luas.
Hal serupa juga terjadi dalam literatur Islam. Hassan Hanafi dengan konseps filosofisi Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islamy) mencatat bahwa konsepsi agama yang jumud dan kaku harus diganti dengan konsepsi agama yang liberatif (taharrur) dan transformatif. Artinya, gerakan-gerakan Islam harus melandaskan pisau analisisnya pada Islam yang "radikal": ia menyebutnya sebagai Islam yang bersifat kritis dan korektif terhadap kekuasan.
Mengutip Kazuo Shimagaki (1993), konsepsi ini mengandaikan agama sebagai semangat perubahan sosial, yang berarti menjadikan pemahaman agama yang radikal sekaligus rasional sebagai alat perlawanan atas ketertindasan yang dialami umat Islam. Berarti, Islam radikal adalah ekspresi perlawanan, bukan kekerasan.
Sehingga, dengan demikian, radikalisme perlu dibaca dalam kerangka berpikir yang lebih luas. Radikalisme, dengan konsepsi "Kiri Islam" Hassan Hanafi atau "Teori Kritis" Max Horkheimer bukan energi pencipta terorisme yang dibentuk dalam jaring-jaring sel rahasia, melainkan sebuah ekspresi respons atas ketertindasan dan ketidaksetujuan atas hegemoni teori-teori positivis.
Terorisme tidak lantas bisa disinonimkan dengan radikalisme. Sebab, menjadi radikal tidak lantas mengekspresikannya dengan teror. Menyamakan radikalisme dengan terorisme bisa jatuh pada sesat pikir. Saya kira, lebih tepat menggunakan istilah negativitas, sebagai diskursus yang lebih mendekati pada kajian-kajian terorisme dan keamanan.
Praksis dari negativitas, seperti dinyatakan oleh F. Budi Hardiman, salah satunya adalah kekerasan. Mereka yang termarjinalisasi dalam proses globalisasi dewasa ini adalah mereka yang rentan dikorbankan menjadi "massa". Akhirnya, marjinalisasi itu melahirkan kekerasan massa dengan nama identitas-identitas tertentu, seperti agama.
Konteks Indonesia
Lantas, dalam konteks Indonesia, bagaimana meluruskan kesalahpahaman soal radikalisme dan negativitas itu? Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah melacak akar dari radikalisme Islam itu di Indonesia.
Vedi Hadiz (2010), dengan pendekatan struktural-historisnya yang khas, mencatat bahwa radikalisme tumbuh dari ketertindasan kelas. Selama Orde Baru, umat Islam mengalami marjinalisasi politik yang cukup lama dan sistematis. Sebab, ekspresi ideologi Islam dikubur hidup-hidup, digantikan oleh ideologisasi Pancasila yang penerapannya sangat dipaksakan dan cenderung jadi alat kepentingan rezim.
Represi politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru secara sistematis, serta hegemoni modal yang memarjinalkan aspirasi kelas menengah Islam menyebabkan segelintir dari mereka -yang punya pemahaman keislaman kuat tapi termarjinalkan dalam akses ekonomi, politik, dan kultuiral, kemudian meradikalisasi diri untuk dapat merebut peran-peran negara.
Perlawanan mereka semakin dilegitimasi oleh hegemoni global yang menindas umat Islam di beberapa belahan dunia lain. Perlu diingat, dalam Islam ada doktrin "ukhuwah" yang menafikan batas-batas geografis nasional ketika berhubungan dengan muslim yang lain. Islam melekat sebagai identitas universal. Wajar jika represi di satu tempat menimbulkan respons di tempat lain.
Akhirnya, radikalisme dipupuk secara perlahan-lahan dan menjadi sebuah alat untuk menggelorakan perlawanan terhadap rezim politik -baik di level nasional maupun global. Dan hal ini terjadi baik sebelum 1998 maupun setelah 1998, juga terjadi tidak hanya pada gerakan Islam, melainkan juga gerakan kiri maupun gerakan mahasiswa.
Tetapi, perlu dicatat, radikalisme ini tidak bisa dikatakan terbentuk dalam sebuah kesatuan yang utuh. Kita bisa melihat adanya fragmentasi dari kelompok Islam yang menggunakan "radikalisme" sebagai alat perlawanan. Kelompok yang agak moderat justru mengekspresikan radikalisme ini dalam bentuk partisipasi politik.
Pasca-1998, gerakan politik Islam yang "radikal" di Indonesia seperti Hizbut Tahrir atau Tarbiyah (transformasi Ikhwanul Muslimin, lih. Said Ali Damanik, 1998) justru menggunakan momentum demokratisasi untuk meneguhkan eksistensi diri. Kelompok Tarbiyah yang menjelma menjadi PKS mengalami moderasi dan bergumul dengan realitas politik Indonesia. Sementara itu, HTI memilih berada di lajur ekstraparlementer, dan belakangan menjadi ormas, yang artinya masuk pada ranah civil society.
Keduanya tetap radikal secara internal-organisasional, tetapi moderat pada tampilan eksternal. Dan ekspresi yang ditampilkan juga bukan ekspresi negatif yang berorientasi pada kekerasan, tetapi lebih pada kritik pada kuasa-kuasa yang koruptif. Hal ini tentu sejalan dengan proses demokratisasi.
Potret radikalisme semacam ini tidak hanya terjadi pada tataran gerakan Islam, tetapi juga pada elemen lain, seperti gerakan mahasiswa. Pola yang bisa kita lihat, gerakan-gerakan yang di akhir era Orde Baru bergerak radikal, setelah reformasi mengalami proses moderasi. Radikalisasi tetap ada, tetapi ditampilkan dengan cara yang positif. Mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis penulis, akses politik yang terbuka-lah yang menyebabkan moderasi itu.
Ekspresi Negatif
Lantas, ketika kebebasan dan akses politik sudah mulai terbuka, mengapa masih ada kelompok yang mengekspresikan radikalisme dengan negativitas? Ada dua hipotesis yang saya ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, kebebasan politik yang ada masih menyisakan satu problem, yaitu kuasa dan hegemoni modal yang menutup akses-akses politik sebagian orang. Kebebasan secara formal memang sudah ada, namun secara substansial kebebasan tersebut cenderung dimonopoli oleh satu kelompok tertentu. Merekalah yang memiliki modal untuk membeli kebebasan.
Potret neoliberalisme dan kembalinya hegemoni pasar ini menyebabkan adanya marjinalisasi-marjinalisasi baru. Dan sebagai akibatnya, muncullah ekspresi sebagian kelompok yang ingin melawan hegemoni ini. Salah satu ekspresi perlawanan tersebut adalah kekerasan.
Potretnya dapat dilihat pada kisruh Ambon. Sebetulnya, persoalan Ambon banyak diwarnai oleh kesenjangan ekonomi dan hegemoni elit-elit lokal yang menindas kelompok lain. Celakanya, hegemoni tersebut bernafaskan agama sehingga konflik yang muncul juga cenderung rasial. Ini menyebabkan kerusuhan sosial.
Dalam konteks terorisme, jika tuduhan bahwa bom Solo berkait dengan kasus Ambon itu benar, berarti hipotesis ini juga mendekati kebenaran pembuktian. Tentu saja ada variabel lain yang perlu diuji.
Kedua, proses globalisasi yang muncul dewasa ini telah menyebabkan arus informasi beredar luas. Dan informasi tersebut membuka fakta gerakan-gerakan radikal bahwa hegemoni global yang menindas umat Islam di belahan bumi lain masih terjadi. Dan pengeboman ini adalah simbol solidaritas tapi diekspresikan dengan negativitas.
Variabel ini bisa dibuktikan jika memang sel-sel yang bersifat transnasional itu terbukti. Artinya, jaringan terorisme memang bersifat lintas-negara; isu yang diangkat adalah isu transnasional, dan wilayah operasional juga tidak dibatasi oleh batas geografis. Tentu saja, ini menunggu pembuktian dari pembongkaran sel-sel jaringan teroris, kalau memang itu benar ada. Wallahu a'lam bish shawwab.
Perlukah Deradikalisasi?
Jika dua hal tersebut dikombinasikan, kita akan melihat bahwa persoalan terorisme sebetulnya didukung oleh ungovernability negara dan paradoks yang ditampilkan rezim neoliberal pasca-1998. Negara gagal menjaga keamanan warganya alih-alih menjamin keadilan sosial, sementara mereka yang bermodal semakin asyik berselingkuh dengan kekuasaan.
Maka dari itu, meletakkan deradikalisasi sebagai solusi dalam memerangi terorisme akan menjadi kurang tepat. Sebab, selama faktor-faktor yang mendukung adanya marjinalisasi satu kelompok atau menindas kelompok lain itu masih ada, radikalisme itu masih akan tetap digunakan sebagai media perlawanan.
Jalan yang bisa ditawarkan menjadi lebih bersifat struktural. Dalam level analisis sistem internasional, program war against terrorism yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat perlu dievaluasi secara kritis. Sebab, program yang berorientasi pada deradikalisasi dan penggunaan militer ini bukannya melemahkan radikalisme, tetapi justru menumbuhkan tunas-tunas baru gerakan radikal.
Terbukanya akses politik memang membuat gerakan-gerakan yang tadinya radikal mengalami moderasi. Namun pembukaan akses politik saja tidak cukup. Penjaminan keadilan ekonomi dan politik, serta pencapaian aspirasi kelompok radikal bisa menjadi jalan untuk "deradikalisasi" secara lebih tepat.
Jadi, melawan ideologi "terorisme" akan sangat rancu dan overgeneralistis jika hanya mengarahkan pada radikalisme yang pembacaannya tidak tuntas. Sebagai wujud solidaritas atas korban pengeboman di Solo tempo hari, perlu kita sampaikan pada pemerintah: jaminkan keadilan sosial atas seluruh rakyat Indonesia untuk memerangi negativitas dan terorisme.
Semoga pertunjukan Bom ini tidak lagi menghantui kita, sekaligus tidak direspons oleh "politik ketakutan" yang membabi-buta dari negara.
lebih banyak soal akar radikalisme Islam di Indonesia, lihat tulisan terbaru saya di Jurnal Sosial Politik (JSP) Fisipol UGM yang berjudul "Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia" Jurnal Sosial Politik vol 14 no. 2 tahun 2011. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar