Minggu, 08 Januari 2012

Mencari 'Oposisi' di KM UGM


Di kampus kami, saat ini sepertinya pembicaraan mengenai 'oposisi' sedang hangat. Pasca-Pemira, pembicaraan soal oposisi akan berkaitan dengan BEM KM UGM yang tak lagi 'dikuasai' oleh rezim lama,  'kue' kekuasaan yang tak melibatkan partai itu, serta  kabar-kabar lain. Tapi tentu saja belum ada kepastian karena pernyataan sikap masing-masing partai belum diluncurkan.

Pemira 2012 memang mengubah peta politik kampus. Partai Bunderan yang selama 13 tahun mendominasi KM UGM akhirnya harus kalah oleh kandidat dari partai lain. Prasangka publik tentu mengarah pada partai yang baru saja jatuh itu: apakah akan tampil sebagai oposisi, sebagaimana sering diisukan, atau masuk pemerintahan?

Pertanyaan ini menjadi tak terhindarkan manakala Kongres KM UGM tengah berlangsung dua hari ini. Walau komposisi politik masih belum jelas, sinyalemen tidak match-nya komunikasi politik Bunderan dengan partai koalisi pendukung Giovanni van Empel -Presiden terpilih- cukup santer terdengar.

Saya tidak akan berkomentar banyak soal peta politik. Pertanyaannya, apa sih sebenarnya makna menjadi 'oposisi' itu? Apakah beroposisi sekadar menampilkan sikap berbeda dengan pihak  yang sedang memegang kendali kuasa? Perlukah oposisi dalam seting demokrasi? Dan mengapa harus ada 'oposisi', jika pertanyaan sebelumnya dijawab dengan afirmasi?

Kontestasi
Diskursus mengenai oposisi pasti disandingkan dengan 'koalisi'. Istilah ini biasanya ada dalam negara berseting politik dua partai atau parlementer dan menjadi konsekuensi logis atas proses demokrasi yang diterapkan.

Robert Dahl menyebut dua prasyarat demokrasi: partisipasi dan kontestasi. Adanya kontestasi yang dibalut oleh partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya merupakan syarat berjalannya demokrasi. Kontestasi politik mengimplikasikan adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah. Dalam logika demokrasi, adanya pihak yang mendapatkan kekuasaan dan pihak yang tidak kebagian jatah kekuasaan merupakan sesuatu yang sah.

Karena demokrasi mensyaratkan adanya kontestasi, proses politik yang demokratis pun harus memiliki prasyarat kompetisi antara kekuatan yang ada. Seting demokrasi dua partai menyebabkan kompetisi menjadi vis-a-vis: pasti ada yang menang dan mendapatkan jatah kekuasaan, ada pula yang kalah dan harus berada di luar kekuasaan. Kekuatan kedua inilah yang kemudian disebut sebagai 'oposisi'.

Dalam logika demokrasi dua partai, oposisi menjadi sebuah keniscayaan. Bagaimana dengan sistem multipartai? Secara teoretik, jika partai pemenang Pemilu gagal meraih jumlah kemenangan minimal yang ditetapkan untuk membentuk kabinet, secara otomatis akan terbuka peluang untuk membentuk koalisi. Menurut Arend Lijphart, ada empat tipe koalisi yang biasa dilakukan, dari minimum winning coalition yang lebih realistis pada kekuatan kursi sampai minimum range coalition yang lebih ideologis.

Jelas, tidak semua partai berkoalisi karena ada 'hambatan ideologis' atau 'hambatan politis' yang memisahkan kedua kepentingan. Inilah yang kemudian menjadi oposisi. Kekuatan oposisi tidak selalu kuat, tetapi juga tidak mesti lemah. Kadang kala mereka berimbang. Tetapi, dialektika keduanya tetap terus terjadi sepanjang pemerintahan.

Dalam logika ini, oposisi menjadi logis dalam seting demokrasi. Lantas, mengapa di Indonesia oposisi cenderung lemah? Hanta Yuda (2010) memberikan sedikit jawaban: karena sistem presidensial di negara kita tidak match dengan sistem multipartai yang diterapkan. Akibatnya, potensi partai bermain dua kaki menjadi sangat besar. Oposisi menjadi 'absurd'.

Jika menggunakan skema di Australia, misalnya, partai oposisi dan pemerintah selalu terlibat perdebatan dalam setiap UU yang akan digolkan. Kita ambil contoh semisal UU Pajak Karbon yang menimbulkan perdebatan hangat di parlemen. Pemerintahan Julie Gillard yang mem-propose rancangan UU tersebut harus berhadapan dengan respons dan reaksi keras kaum industriawan yang direpresentasikan oleh kelompok liberal pimpinan Tony Abbott. Kedua partai menampilkan sikap yang tegas: tolak atau terima.

Dengan logika dua partai semacam ini, oposisi menjadi sehat. Sebab, mereka terlembaga dalam sebuah kontestasi politik yang sah dalam pengambilan keputusan. Sebuah keputusan politik tidak lahir begitu saja. Ada artikulasi kepentingan yang disuarakan, dan menjadikan proses politik menjadi dinamis.

Salah Paham
Pertanyaannya, apakah di kampus kami -UGM- selama ini oposisi terlembaga dan berjalan optimal? Saya menjawab tidak. Sebab, selama ini oposisi disalahpahami sebagai kekuatan yang 'asal beda' tanpa mampu menawarkan sesuatu yang lebih konkret untuk menjadi sebuah program.

Dalam konteks KM UGM, ketiadaan oposisi yang kuat dapat dilacak pada dua sebab. Pertama, karena sistem yang diterapkan di KM UGM tidak membuka ruang perdebatan dialektis atas program yang diajukan oleh BEM. Kedua, karena memang ada salah paham mengenai makna oposisi tersebut.

Pada level realpolitik di aras negara, perdebatan antara partai pemerintah dan partai oposisi selalu terjadi pada wilayah UU yang menjadi dasar dari kerja pemerintah. Sementara pada level kampus, apakah perdebatan itu terjadi secara programatik antara legislatif dan eksekutif? Apakah program kerja BEM jelas proses seleksi dan pertanggungjawabannya? Wilayah apa yang menjadi domain pengawasan?

Hal-hal semacam ini sederhana, tapi penting untuk dilakukan. DPM kehilangan fungsi pengawasan karena memang program BEM tidak melalui proses scanning dan perdebatan di parlemen terlebih dulu. Partai-partai di DPM tidak jelas, mana yang berkoalisi dan mana yang sejati beroposisi. Atau, tidak jelas kepentingan apa yang diperjuangkan untuk koalisi dan kepentingan apa yang menyatukan untuk koalisi.

Dengan ketidakjelasan tersebut, DPM dan DPF menjadi minim perdebatan. Akhirnya, alih-alih menyeleksi dan memperdebatkan program-program BEM KM UGM, DPM dan DPF justru menjadi Event Organizer.  Kendati tidak ada larangan, tentu saja hal ini menjadi sebuah titik kritis tersendiri.

Akhirnya beberapa masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dalam perdebatan internal di KM UGM sendiri, seperti dalam kasus studi banding ke Malaysia, harus diambil oleh kalangan Pers Mahasiswa. Atau dalam hal advokasi KIK yang digawangi kawan-kawan Gertak. Kalangan masyarakat sipil seperti pers, gerakan ekstra, atau komunitas wajar saja mengemban fungsi oposisi. Yang tidak wajar adalah jika tidak ada oposisi di tubuh parlemen mahasiswa sendiri.

Ini berarti, program pendidikan politik yang diinginkan oleh para senior ketika merumuskan sistem kepartaian mahasiswa belasan tahun silam menjadi tidak tercapai. Apakah pure salah DPM? tentu tidak. Saya lebih cenderung untuk melihat ini sebagai kegagalan sistem KM UGM saat ini meng-create oposisi yang sehat dan serius. Jika oposisi diambil oleh kekuatan ekstra-KM UGM, artinya ada sesuatu yang harus segera dibenahi oleh KM UGM sendiri.

Oposisi Sehat
Jika konsisten dengan wacana 'oposisi', semestinya hal-hal sepele seperti pengawasan dan seleksi program BEM yang menyangkut hajat mahasiswa harus diperhatikan. Fungsi legislasi harus diejawantahkan dengan membentuk mekanisme yang sehat, semisal UU yang terkait dengan kebijakan internal kampus atau eksternal kampus, UU transparansi keuangan, atau pengawasan per departemen yang lebih komprehensif.

Ini akan membangkitkan semangat BEM dan partai pendukung pemerintahannya untuk dapat mencari argumentasi yang benar-benar rasional atas pilihan programnya, disamping juga meningkatkan profesionalisme dan etos kerja. Dialektika antara BEM dan DPM menjadi terbangun.

Dan tentu saja, artinya kebutuhan akan 'oposisi' menjadi terjawab. Tidak mungkin semua partai mendukung program dan kebijakan BEM. Pasti ada partai yang menolak. Hasilnya adalah perdebatan dan proses politik yang demokratis. Konsekuensi yang dimunculkan adalah tanggung jawab dari semua legislator untuk aktif sebagai bagian dari penentu kebijakan KM UGM ke depan.

Dengan demikian, Kongres perlu dimaknai sebagai upaya untuk mencari 'oposisi sehat' di KM UGM sendiri untuk mengawal setiap kebijakan BEM KM UGM dalam kerangka kritik yang konstruktif. Maksudnya, perlu ada perdebatan-perdebatan hangat di parlemen (DPM dan DPF) terkait kebijakan BEM. Di sinilah pentingnya membangun mekanisme komunikasi baru dalam wujud perbaikan AD/ART yang selama ini menjadi konstitusi KM UGM.

Tahun 2012 sebenarnya adalah momentum tumbuhnya 'oposisi' baru. Sebab, partai yang selama ini menjadi 'rezim' harus tumbang pada adiknya. Tetapi, kekuatan partai penyokong pemerintahan yang tidak menjadi mayoritas -ini menariknya- menyebabkan harus terjadi koalisi di DPM.

Jika Partai Bunderan yang kalah Pemira mau beroposisi, kemungkinan adanya perdebatan yang dialektis akan kuat. Asalkan didukung oleh 'menteri bayangan' yang kuat, oposisi yang dicita-citakan akan menjadi lebih berbasis program, rinci, dan ilmiah. Ini akan menjadi pendidikan politik yang baik bagi mahasiswa.

Semua hal tersebut akan dapat terwujud manakalah ada niat baik dari partai oposisi untuk benar-benar serius beroposisi, bukan sekadar 'mengganggu' jalannya pemerintahan dengan isu-isu atau permainan klaim. Oposisi adalah kerangka upaya membentuk KM UGM yang kuat dan profesional, bukan untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara salah. Kerangka oposisi adalah kerangka perdebatan yang sehat di parlemen untuk men-scan program atau kebijakan yang ditawarkan oleh BEM KM UGM dalam bentuk UU.

Tidak ada yang salah untuk menjadi oposisi. Justru kita perlu oposisi. Pertanyaannya, mampukah kita beroposisi secara serius dengan pendekatan yang lebih ilmiah? Semoga.

Selamat berkongres, kawan-kawan!