Sabtu, 14 April 2012

Menggugat Kedaulatan Rakyat atas Tanah: Dampak Sosial Liberalisasi Migas Indonesia

Siang itu (9/12/2010), Bu Jayem tengah beristirahat di rumahnya, Dusun Temlokorejo, Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Tak jauh dari kediamannya, para pekerja ExxonMobil tengah sibuk dalam hiruk-pikuk suasana kerja di sumur minyak Banyuurip, yang letaknya berdekatan dengan Desa Gayam. 

Bu Jayem hanya seorang petani biasa. Kami memilih beliau sebagai narasumber untuk penelitian atas informasi kepala dukuh, bahwa beliau adalah salah satu warga yang masih miskin di desa tersebut.

Ketika kami kunjungi di kediaman beliau, suasananya masih sangat bernafaskan pedesaan. Hanya beralaskan tanah dan tanpa perabot yang berarti. Di sekitar kediaman beliau, terpampang pelang CSR ExxonMobil untuk perbaikan jalan.

"Suasana seperti ini mas setelah Exxon datang", ungkap beliau. "tanah saya dibeli oleh MCL (anak perusahan Exxon) untuk pertambangan mereka. Mau tidak mau, saya harus menjual tanah karena lahan sekeliling saya sudah dibebaskan, akhirnya terjepit", kata Bu Jayem dalam bahasa Jawa.

Lantas, jika tanah dan sawah dijual, apakah ada ganti yang lebih baik?

"Tidak mas. Kalaupun harus membeli tanah lagi, lokasinya terlalu jauh, sementara banyak petani yang sudah tua dan terlalu capek untuk berjalan jauh. Apalagi, saya tidak punya dan tidak bisa naik kendaraan", tambah beliau.

Bu Jayem yang kini sudah tidak bisa bekerja lagi di sawah menambahkan, memang dengan adanya MCL memang pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan meningkat. "Tapi mana hasilnya buat kesejahteraan kita yang tidak bisa bekerja lagi karena sawah kita diambil orang?", keluh beliau.

Hal senada juga disampaikan Pak Suhardi, Ketua RT 006 di Dusun yang sama. Beliau kami temui di rumah beliau, yang sedikit lebih baik dari kediaman Bu Jayuem

"Petani tidak bisa kerja apa-apa lagi selain bertani. Yang penting bagi petani itu bukan uang ganti rugi pembebasan lahannya, tapi sawahnya. Adanya malah kita dapat tanah lagi (beli, pen.) di tempat yang jauh dan harganya mahal", ungkap warga yang berprofesi sebagai tukang dan petani ini. 

Bukankah ada proyek CSR yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat?

"Adanya proyek yang diuntungkan itu hanya segelintir orang. Yang lain tidak, apalagi petani. Tanah kita tidak lagi subur akibat lampu proyek yang ada di sekitaran daerah pertambangan. Sebab, selain mengundang hama, juga mempengaruhi hasil dan produktivitas lahan pertanian", tambah Pak Suhardi.

Lantas, apakah tidak bisa ditutupi oleh pekerjaan lain, semisal menanam tanaman lain?

"Cara menanggulangi masalah ini adalah dengan menanami jati. Itupun hasilnya tidak signifikan bagi saya. Yang lain justru masih menanam padi, karena ya itulah yang bisa mereka tanam. Istilahnya “ngeyel”.Nah, implikasinya yang jelek, beberapa di antara mereka justru menjadi buruh tani karena tidak bisa lagi bertani. Mereka bekerja menggarap tanah orang lain dengan gaji Rp 25.000/hari. Itupun tidak tetap", lanjut beliau. 

Tanggung Jawab Siapa?
Terpisah, Bupati Bojonegoro membenarkan bahwa memang, ada beberapa masalah dari pertambangan minyak bagi masyarakat.

"Pertama, masalah tata wilayah, Sejak awal kita mengundang RT RW sebagai stakeholder untuk membicarakan solusi mengenai tata wilayah bagi desa-desa yang berada di sekitar sumur minyak. Kedua, masalah lahan. Kita mendorong warga yang tanahnya dibebaskan untuk diberikan ganti sebagai sumber daya produksi. Sehingga orang yang kehilangan tanah bisa punya alat produksi yang lain. Ketiga, masalah sosial, terkait orang baru yang akan datang sebagai pekerja di Exxon", jawab beliau ketika kami wawancarai di Pendopo Kabupaten.

Bagaimana jalan pemecahan yang diberikan pemerintah maupun perusahaan terkait hal ini? Bukankah minyak juga seharusnya dapat dinikmati hasilnya oleh rakyat.


"Minyak dan gas itu jg miliknya negara, jadi bukan punya kita, hanya 6% yang diberikan untuk bagian kita, 6 %  it tidak  terlalu besar. Bahkan pada saat peak production 200 ribu barrel per hari hanya menghasilkan Rp 600 Milyar, tidak ada artinya apa-apa buat kita, walaupun kita kemudian kita mungkin dapat  perbaikan lingkungan, dapet CSR-nya", kata beliau.

Namun, beliau tetap optimis dengan kondisi saat ini. Kepada para peneliti, beliau tetap percaya bahwa harus ada kesalingpahaman antara semua elemen, termasuk perusahaan, untuk dapat memahami hal ini secara arif.

"Sekarang sudah ada komunikasi dengan pihak Exxon dan semua stakeholder, saling belajar, tidak saling debat dan menyalahkan. Kita buka pikiran, kita buka hati. Problemnya hanya itu saja. Sekarang ini kita di tengah di persimpangan. Saya selalu bilang pada rakyat kecil di pelosok-pelosok itu, kalau kita tidak memanfaatkan momentum sekarang, maka kemiskinan kita yang sudah berlangsung sekian ratus tahun tidak akan berakhir". pungkas beliau.

Masalah Tanah, Salah Siapa?
Cuplikan laporan di atas diambil dari transkrip wawancara yang kami lakukan ketika meriset fenomena globalisasi ekonomi di Bojonegoro. Berita di Kompas hari ini, terjadi 'proletarisasi' masyarakat pedesaan, ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil perusahaan-perusahaan besar.

Dalih pengambilan lahan ada banyak. Pertama, untuk pertambangan. Taktik yang dilakukan oleh perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi dengan baik. Kedua, untuk infrastruktur. Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaan lahan untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak mendapatkan akses atas tanah yang baru. 

Di pedesaan, hal ini jelas problematis karena tanah bukan hanya berarti lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tetapi juga sosial dan budaya. Bertani bukan hanya kerja yang dapat diganti kapan saja, tetapi juga cara hidup. Jika tanah dirampas dari petani, dengan berbagai alasan, yang berubah bukan hanya cara kerja, tetapi juga cara hidup. Dan jika tidak bisa diadaptasikan secara baik, yang terjadi justru adalah pemiskinan, akibat cultural lag yang terjadi pada masyarakat.

Riset kami di Bojonegoro membuktikan bahwa hak atas tanah, di era globalisasi, menghadapi dilema tertentu. Globalisasi mengubah struktur sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarkat industrial. Akan tetapi, perubahan sosial itu dilakukan justru tanpa memperhatikan wilayah-wilayah budaya masyarakat yang terdampak. 

Saya tidak berpretensi menyalahkan globalisasi. Yang perlu kita renungkan, globalisasi tak boleh melanggar hak-hak asasi manusia. Hak atas tanah adalah salah satu hak ekonomi yang secara mendasar harus dimiliki warga dan dipenuhi oleh negara. Tanpa tanah, para petani tak bisa hidup. Tanpa tanah, budaya mungkin sudah akan ditinggalkan.

Kita mengenal Jathilan sebagai kesenian rakyat yang hingga kini terus diperagakan ketika panenan. Atau, mitologi Dewi Sri yang melambangkan kehidupan agraris. 

Kini, budaya tersebut lambat laun berganti oleh hiruk-pikuk media sosial, kehidupan perkotaan, mencirikan masyarakat industrial yang sangat kuat. Yang tak punya uang harus menjadi buruh. Sementara kaum tani ditindas oleh penghisapan lahan dari perusahaan-perusahaan besar. Tesis Marx menjadi kian nyata justru di abad ke-21, di mana katanya komunisme sudah tumbang, dan kapitalisme berjaya.

Jika melihat ke desa-desa, wilayah-wilayah di mana kapitalisme berekspansi, hak atas tanah menjadi kian nyata untuk diperjuangkan kembali. Dan kini, kita mencari peran negara yang seakan hilang karena dibajak kaum pemodal besar (Robison dan Hadiz, 2004). Masalah tanah, tanggung jawab siapa? Rakyat yang ditindas, punya apa?

Sebentar lagi 1 Mei. Mari kita bersama-sama refleksikan perihal ketidakadilan yang hingga kini masih kita temui di negeri ini. Jika kesadaran itu sudah didapat, mari bersiaga dan bergerak bersama rakyat!

Tidak ada komentar: