Kira-kira,
apa yang akan menjadi isu ramai di hari Buruh tahun ini? Mari kita
petakan masalah-masalah yang sebenarnya menjadi masalah kita bersama
--rakyat, intelektual, mahasiswa, profesional, buruh, tani, dll-pada
hari buruh tahun ini
Pertama, harus
diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. harga minyak dunia
melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif menjawabnya
dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM Bersubsidi.
Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain di mana-mana.
Jelas,
buruh paling dirugikan karena harus menghadapi bahaya lain: pemangkasan
upah. Kenaikan harga BBM menaikkan ongkos produksi. Perusahaan akan
dengan mudah menurunkan upah buruh -apalagi ditopang dengan UMP yang
tidak layak- sehingga justru menempatkan buruh pada posisi paling
dirugikan. Ini dampak riil yang akan dialami buruh.
Faisal
Yusra, Ketua Serikat Pekerja Migas Indonesia (SPMI), telah menyatakan
bahwa masalah penaikan harga BBM tak terlepas dari skema liberalisasi
Migas yang menganaktirikan Pertamina di Indonesia (Yusra, 2012).
Sebagai perusahaan negara, posisi Pertamina dalam industri hulu justru
harus "bersaing" dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing lain
yang bercokol melalui UU 22/2001 tentang Migas [1].
Ketika
pekerja pertamina bekerja keras penuhi pasokan BBM di Indonesia,
perusahaan asing justru mengeruk kekayaan dengan bagi hasil tak
seimbang. Ini ironis dan problematis. Artinya, hal ini juga terkait
problem perburuhan yang berkorelasi dengan problem kedaulatan bangsa.
Kedua, kita
masih dihadapkan pada "rezim upah murah". Secara teoretik, kita
mengenal teori "hukum besi upah". Ketika berbicara soal upah dan kerja,
Ricardo menyatakan: upah buruh tidak akan melebihi kemampuan seorang
buruh memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Ricardo, 'nilai suatu barang'
sama dengan kerja yang dilakukan untuk mencapai produksi yang
dihasilkan (Agung, 2009). "The value of a commodity, or the quantity
of any other commodity for which it will exchange, depends on the
relative quantity of labour which is necessary for its production, and
not on the greater or less compensation which is paid for that labour.”
(Ricardo, 1817). [2]
Artinya, jika 'nilai'=kerja,
berarti nilai yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan barang adalah
akumulatif kerja dari masing-masing buruh untuk memproduksi sebuah
barang. Di sinilah kritik Marx masuk. Menurut Marx, Ricardo melakukan
oversimplifikasi terhadap nilai yang menyebabkan upah buruh tak akan
berada pada level yang tinggi. Justru, tenaga para buruh dihisap oleh
para kapitalis untuk melipatgandakan keuntungan mereka dengan jam kerja
dan rendahnya upah itu sendiri, sementara upah terus bertahan.
Mengapa? Berdasarkan law of diminishing return, keuntungan
pada dasarnya akan selalu turun. Ricardo percaya bahwa turunnya tingkat
upah akan menyebabkan majikan harus menaikkan tingkat upah agar
keuntungan bertambah . Namun, kondisinya akan secara alamiah hanya akan
cukup membuat buruh bertahan hidup, sebab jika keuntungan naik, maka
upah pun akan dipangkas. Ini yang disebut dengan "hukum besi upah"
(Agung, 2009).
Jadi, ekonomi yang morat-marit akan
berdampak pada ongkos produksi yang naik pula. Dan artinya, buruh harus
siap menghadapi pemangkasan upah. Pada titik inilah tesis Marx bahwa
kaum buruh harus bersatu untuk menghadapi para kapitalis menjadi dapat
kita terima. Sebab, kapitalisme secara alamiah akan menghisap tenaga
para buruh demi kepentingan produksinya. Dan jika itu terjadi, yang ada
hanyalah penindasan!
Inilah yang disebut oleh Marx sebagai
"alienasi". Buruh yang dihisap tenaganya dengan upah yang tidak layak
tidak lagi menikmati hasil kerjanya sendiri. Padahal, sifat dasar
manusia adalah bekerja dan berproduksi. Dan artinya, tanpa campur tangan
negara dalam pengupahan yang layak, hal ini akan berarti pemiskinan
buruh atas fasilitasi negara!
Ketiga, kita
menghadapi fenomena "proletarisasi petani" (Kompas, 14/4). Gejala ini
ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil
perusahaan-perusahaan besar. Nurkhoiron (2012) juga melihat gejala
serupa di kalangan pesantren Nahdhiyyin, ketika gejala
pembangunan meninggalkan pedesaan dan basis keagamaan di dalamnya,
menjadikan tingkat pengangguran banyak di kalangan NU [3].
Kita
patut melihat ini pada relasi tanah pertanian, yang sebenarnya
terhubung pada penjelasan "proletarisasi" ini. Dalih pengambilan lahan
ada banyak. Pertama, untuk pertambangan atau industri. Taktik
yang dilakukan oleh perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga
dengan biaya tak sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak
ditanggulangi dengan baik. Kedua, untuk infrastruktur.
Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaan lahan
untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi
tidak mendapatkan akses atas tanah yang baru.
Baru-baru
saja, kita terkejut ketika sebuah UU tentang Pengadaan Lahan bagi
Kepentingan Umum lolos begitu saja di DPR-RI (UU Nomor 2 Tahun 2012). UU
ini bisa menjadi celah kaum kapitalis membajak negara untuk membebaskan
lahan para petani, tanpa memperhatikan dampak sosial yang menyertainya.
Masalah
ini jelas terhubung dengan fenomena perburuhan. Meningkatnya jumlah
buruh yang terjebak pada "hukum besi upah" salah satunya disebabkan oleh
masalah ini. Ketika para petani kehilangan lahan, yang sebenarnya juga
bisa dibaca sebagai "upaya pemiskinan", tak ada pilihan lain bagi mereka
selain menjadi buruh. Modelnya bisa menjadi buruh tani (petani
penggarap) atau masuk sebagai buruh di kelas industrial.
Keempat, apa
benang merah yang bisa kita tarik dari masalah-masalah di atas? Jelas,
buruh menghadapi masalah penaikan harga BBM yang tidak menguntungkan,
upah yang tidak layak (karena UMP tak kunjung dinaikkan), "rezim upah
murah", bayang-bayang PHK jika ongkos produksi naik dan perusahaan
melakukan efisiensi, serta proletarisasi karena tanah sudah harus
terjual untuk kepentingan industrial. Buruh kian tercekik. Dan masalah
seperti ini akan tetap ada jika kapitalisme masih terus hegemonik,
opresif, dan menindas kaum tak berpunya!
Jelas, masalah
penaikan harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang tak
berdaulat. Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya
keberpihakan yang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan pemilik
modal. Proletarisasi terjadi karena petani tak lagi berdaulat atas
tanahnya, dan pemiskinan buruh terjadi karena buruh tak lagi berdaulat
atas hasil kerjanya.
Ketika buruh dihisap melalui rezim
upah murah, dan ekonomi sedang morat-marit, kepada siapa kita menuntut?
Jangan lupa, kita masih punya negara. Negara ini didirikan untuk
"melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum" (pembukaan UUD 1945). Jelas,
tanggung jawab membebaskan buruh dari ketertindasan adalah tanggung
jawab negara.
Untuk itulah, para founding fathers membuat
pasal 33 dalam UUD 1945. "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Ada tiga poin penting di sini: (1) negara menguasai
sektor produksi strategis; (2) hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelas menegaskan prinsip
anti-liberalisasi, anti-korupsi, dan anti-kemiskinan dalam pengelolaan
ekonomi.
Sekarang, persoalan kian kompleks. Kapitalisme
masuk ke sendi-sendi kehidupan kita, bukan sekadar produksi manufaktur,
tetapi juga ekstraktif. Tapi di sana pun, Sumber daya Alam kita sekarang
sudah tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengan cepatnya. Dan
artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret John Pilger
(2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik, tetapi juga pasar
internasional -dengan skema globalisasi. Artinya, negara semakin tidak
berdaulat atas hasil
Dalam konteks ini, kita jelas telah
menemukan musuh bersama kita. Mahasiswa, buruh, dan semua elemen
masyarakat yang ingin bergerak pada 1 Mei 2012 mesti temukan musuhnya.
Dan pada analisis ini, kita sudah temukan akar masalahnya: pemilik yang
tak bertanggung jawab. Negara yang tak berdaulat. Dan rakyat yang
tertindas.
Dan artinya, gagasan untuk mencetuskan "Gerakan
Indonesia Berdaulat" akan menemui momentumnya pada 1 Mei 2012 ini.
Wacana penaikan harga BBM harus dijawab dengan kedaulatan negara untuk
menyejahterakan rakyatnya, tak terkecuali untuk kaum buruh. Jika ini
bisa tersampaikan ke semua kalangan, tak mustahil bukan hanya buruh yang
akan bergerak pada 1 Mei 2012 ini, tetapi juga intelektual, mahasiswa,
profesional, dan lain sebagainya.
Artinya, sudah saatnya
hari buruh kita jadikan isu bersama semua kalangan. Mari menyambut
Mayday dengan semangat #IndonesiaBerdaulat.
Catatan Kaki
[1] lihat di http://www.faisalyusra.com/index.php?option=com_content&task=view&id=169&Itemid=29
[2] lihat di tulisan lengkapnya di http://www.marxists.org/reference/subject/economics/ricardo/tax/ch01.htm.
[3] lihat di http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37555-lang,id-c,kolom-t,Proletarisasi+Nahdliyyin-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar