Kamis, 19 Maret 2009

Menggagas Reformasi Senayan (Jelang Pemilu 2009)

Sejak era reformasi dimulai pada tahun 1998, sistem politik Indonesia mengalami perubahan-perubahan yang cukup fundamental. Upaya untuk menerapkan demokrasi di berbagai aspek kehidupan mulai dijalankan, tidak hanya secara formal, tetapi juga secara substansial. Kekuasaan tidak lagi tersentralisasi pada lembaga eksekutif atau lembaga kepresidenan belaka, tetapi juga diberikan kepada lembaga legislatif atau parlemen. DPR dan MPR sebagai pemangku fungsi legislatif menjelma sebagai lembaga kontrol terhadap eksekutif, serta menjadi sebuah wadah untuk menampung aspirasi rakyat.


Perubahan politik tersebut kemudian diikuti oleh euforia politik yang cukup signifikan. Pemilu yang digelar setahun reformasi, tepatnya pada 1999, ternyata diikuti oleh 48 partai politik. Jumlah yang banyak ini menyebabkan terjadinya variasi di tubuh DPR dan MPR itu sendiri, sehingga kekuatan mayoritas tidak dapat dipetakan secara pasti. Variasi ini membuat semua elemen pihak yang bermain di parlemen memiliki kans yang sama kuat untuk mempengaruhi kebijakan politik yang keluar dari panggung parlemen.


Kemunculan lembaga legislatif sebagai sebuah pilar demokrasi yang difungsikan sebagai alat kontrol pemerintah tersebut setidaknya akan memberi dua implikasi.


Pertama, kekuasaan eksekutif menjadi lebih terbatas dari sebelumnya. Eksekutif tidak dapat lagi dengan mudah mengeluarkan kebijakan atau produk hukum tanpa perdebatan alot di parlemen.


Kedua, Lembaga legislatif menjadi sebuah lembaga yang lebih aspiratif terhadap suara-suara dari rakyat yang diwakilinya, karena mereka dipilih melalui proses Pemilu yang lebih demokratis dari sebelumnya. Dengan adanya hal ini, political distance atau jarak politik antara rakyat dengat elit politik diharapkan semakin berkurang.


Implikasi-implikasi tersebut sebenarnya telah menjadi sebuah awal yang cukup signifikan dalam pembangunan politik di Indonesia, karena parlemen secara otomatis harus bertanggung jawab kepada konstituennya, dalam hal ini rakyat Indonesia.


Namun, realitas yang terjadi justru cenderung tidak sesuai dengan nilai ideal yang coba dibangun oleh reformasi. Ketika legislatif diposisikan sebagai lembaga yang powerful, aktor-aktor yang bermain di dalamnya justru menyalahgunakan wewenang yang besar tersebut. Terjadi political corruption di berbagai elemen pemerintah yang, ironisnya, melibatkan anggota DPR-RI.


Beberapa kasus, seperti kasus korupsi di Departemen Perhubungan atau Departemen Kehutanan yang menyeret beberapa anggota DPR mencerminkan lemahnya kredibilitas parlemen Indonesia yang seharusnya menjadi sebuah role model untuk memperbaiki kinerja pemerintah.


Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa kali menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga yang korup di Indonesia. Fenomena ini diperparah oleh perilaku anggota DPR yang tidur ketika rapat, melempar meja ketika berbeda pendapat, atau tidak hadir rapat karena alasan-alasan yang kurang dapat diterima.


Hal tersebut jelas disayangkan, karena parlemen dibentuk untuk mengawasi pemerintah. Ketika parlemen telah berperilaku korup, tentu ada implikasi-implikasi serius yang akan dihadapi, karena salah satu pilar demokrasi (legislatif) tidak berjalan sempurna. Padahal, mengingat peran strategis parlemen bagi perbaikan sistem politik Indonesia secara keseluruhan, kebutuhan akan sebuah parlemen yang bersih dan representatif di Indonesia menjadi sangat penting untuk dipenuhi.


Melihat fenomena tersebut, tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa parlemen Indonesia memerlukan reformasi dan pembenahan-pembenahan strategis di beberapa aspek. Maka, Pemilu 2009 yang akan datang diharapkan dapat menjadi sebuah momentum perubahan dalam aktor dan sistem parlemen di negara kita.


Wacana mengenai reformasi parlemen tersebut akan sangat bergantung pada hasil Pemilu yang dilangsungkan serta tingkat partisipasi politik dari masyarakat. Kita sangat menantikan pergantian estafet para legislator di parlemen, setidaknya dari politisi lama kepada politisi yang lebih menawarkan perbaikan bagi sistem politik Indonesia.

Jumat, 13 Maret 2009

Afrika: Keluar dari Marjinalisasi

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kata “Afrika”? Mungkin, bagi sebagian orang, kata-kata tersebut berasosiasi dengan istilah “hitam”, “gurun”, “panas”, atau bahkan “kekeringan”. Kata “Afrika”, terutama jika kita kaitkan dengan orang-orang yang berbangsa Afrika, mengingatkan kita pada sebuah peradaban yang menantang, kejam, tribal, namun unik dalam sejarah peradaban dunia.

Secara geografis, posisi Afrika memang kurang menguntungkan. Afrika terletak di daerah beriklim tropis dan subtropis, sehingga menyebabkan kondisi cuaca yang panas. Selain posisi yang panas ini, Afrika juga berbentuk “padat” atau memiliki daratan yang luas di tengahnya, sehingga menyebabkan distribusi air yang kurang merata di wilayah Afrika sebelah tengah atau selatan. Kondisi ini menyebabkan wilayah Afrika diisi oleh cuaca yang begitu panas, padang yang tandus, serta potensi kekeringan. Maka, bangsa Afrika pun juga memiliki karakter serupa: bertubuh kurus namun kuat, cepat, serta berkulit hitam akibat terpanggang matahari.

Wilayah Afrika yang panas ini, meminjam istilah Montesquiue, berimplikasi pada karakter manusia yang tinggal di dalamnya. Ada satu hal menarik yang bisa kita temukan dalam teori geografi politik montesquiue, bahwa udara yang dingin akan menyebabkan kontraksi bagi tubuh dan meningkatkan tenaga. Sebaliknya udara hangat akan mengendorkan dan memperpanjang serabut, sehingga mengurangi elastisitas dan tenaga. Montesquieu berkesimpulan bahwa udara yang dingin akan membuat seseorang berpikir untuk lebih demokratis, sedangkan udara yang panas akan mempermudah despotisme dan konflik.

Jika kita melihat Afrika dalam perspektif sejarah, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa bangsa Afrika pada dasarnya bukan merupakan bangsa yang ekspansionis atau suka berperang. Namun, kecenderungan yang terlihat adalah bahwa bangsa Afrika tidak disatukan oleh sebuah entitas peradaban, dan terfragmentasi ke dalam identitas kesukuan yang sempit. Akibatnya, bangsa Afrika menjadi lebih komunal dan sering terlibat konflik antara sesama bangsa mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan bangsa Afrika lebih mudah dijajah oleh bangsa Eropa.

Identitas kesukuan ini mungkin saja berkaitan dengan pola persebaran penduduk yang tidak merata. Suku-suku di Afrika terpisahkan oleh dataran tinggi yang tandus, padang gurun, atau wilayah-wilayah yang panas. Secara kultural, ada perbedaan yang sangat signifikan antara penduduk di wilayah Afrika Utara dan penduduk di wilayah Afrika tengah atau selatan. Mereka yang berada di utara lebih familiar dengan budaya Arab yang kental dengan nuansa Islam. Adapun penduduk di Selatan bercorak kebudayaan khas Afrika; banyak yang beragama non-Islam. Padahal, secara genealogis mereka berasal dari satu entitas bangsa yang sama: Bangsa Afrika.

Persoalan ini pun sering berimplikasi politik. Persoalan konflik di Sudan, Rwanda, atau Nigeria, jika kita tarik akar sejarahnya akan bermuara pada pertentangan budaya antara dua entitas yang berbeda. Konflik di Darfur terjadi karena perselisihan antara kelompok Arab-Afrika dan Afrika yang mewakili basis pekerjaan berbeda. Persoalan di Nigeria atau Rwanda juga hampir mirip, terjadi karena pertentangan etnis yang menganut pemahaman politik berbeda. Ironisnya, perbedaan suku di Afrika justru menjadi penyebab konflik sehingga rasa nasionalisme yang ada pada jiwa mereka begitu sempit.

Di samping itu, bangsa Afrika juga sering termarjinalkan. Mereka menjadi korban diskriminasi dengan konsep ”Apartheid” yang memisahkan bangsa berkulit hitam dengan bangsa berkulit putih. Marjinalisasi ini kemudian menyebabkan keterbelakangan ekonomi setelah era penjajahan berakhir, ditambah oleh beberapa bencana seperti kelaparan atau kekeringan.

Oleh karena itu, jika kita melihat dari ciri-ciri fisik serta peta perpolitikan dunia beberapa dekade terakhir, kita akan sampai kepada satu kesimpulan: Wilayah yang kurang menguntungkan akan memudahkan terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap bangsa Afrika. Maka, sudah seharusnya bangsa Afrika mengeluarkan diri dari stereotype rasial seperti itu. Bukankah Afrika, layaknya entitas bangsa lain di dunia ini, memiliki peluang yang sama untuk membesarkan kekuatan mereka?

*) Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kawasan yang diampu oleh Dr. Siti Muti'ah Setiawati, MA.

Senin, 09 Maret 2009

Duka Cita

Blognya Pengamat Politik (http://ibnulkhattab.blogspot.com/) turut berduka cita atas meninggalnya Menteri Aksi dan Agitasi BEM KM UGM Kabinet "Konsisten Melayani" 2009, Akh Bagus Aji Pamungkas (Kehutanan '05) beberapa waktu yang lalu.

Mudah-Mudahan amal, kontribusi, dan pendirian Al-Akh bermakna di hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan BEM KM UGM 2009 akan meresapi semangat juang Akh Bagus dalam setiap aksi, kajian, dan aktivitas intelektual di Universitas Gadjah Mada ke depan.

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un... Kullu nafsin da'iqatul maut...

Global Warming: A Short Introduction

(A Film Review of “Global Warming: The Sign and The Science”)


It is not humanitarian problem that face the world nowadays. While we are stirred by armed conflicts, peace, or liberation movement, this world is haunted by a very serious hazard. It is global warming who challenge us, an extreme climate change called by Al Gore as “inconvenient truth”. This phenomenon became both threat and challenge for world’s population; creating a new anxiety for those who care on this world’s fate.


In order to respond this phenomenon, A group of people who care with the future of their environment and life release a documentary film, “Global Warming: The Sign and The Science”. Narrated by Alanis Morrisette, a well-known artist, this film tries to persuade the audience to give a small amount of awareness with the environment. This film has some similarities to Al Gore’s “An Inconvenient Truth”, which shows us some dangerous facts about global warming and its unbelieavable implications.


Global Warming has arisen, not only as a natural phenomenon, but also as an early sign of earth’s destruction. Global warming indeed is a very complicated problem; We can read it both as sign and also science according to the film. Global warming implies many kind of disaster in all over the world and made many kind of disease in rural-pheriperal areas like Africa and a little Asia.


It is true that global warming has contribute many parts of this world’s unfinished disasters. Global Warming has taken part in Hurricane Katrina, Flood in Java and Kalimantan, or the raising of temperature in Darfur, Sudan, killed many Sudanese refugees as a result. Tragedy of New Orleans will be a real evidence for US President that global warming is not a scientific imagination.


This film also informed us that global warming made some new tropical diseases; a dramatic change of childhood respiratory illnesses; and the discovery of more than 30 diseases in the last three decades, learned by some scientists. Immediate actions should be taken; It is now a big duty for great powers in designing some fluential works to prevent the emergence of more negative impacts


In the other hand, Al Gore with his documentary film, “An Inconvenient Truth” reviews the collapse of ice sheet in Greenland and West Antartica, then its dangerous implication (the raising of global sea level) became one of a few Al Gore’s focus of presentation in the film. Gore views this phenomenon by relating the collapse of ice sheet with the raising of global sea level by approximately 20 feet, the flood in some coastal areas, and the low salinity of sea level near Greenland which is predicted by Al Gore as a signal of disaster in East Europe. Thus, the global warming can produce many new problems if it is unhandled by world’s leaders.


Al Gore or Alanis Morrisette may be true; global warming has contribute many parts of this world’s unfinished disasters. Global Warming has taken part in Hurricane Katrina, Flood in Java and Kalimantan, or the raising of temperature in Darfur, Sudan, killed many Sudanese refugees as a result. An immediate action should be taken; It is now a duty for great powers in designing a work to prevent more impacts caused by global warming.


Nevertheless, We cannot forget that global warming is caused by a very massive industrialization in developed countries and some developing countries. We cannot overrule the colaboration of corporation and government in increasing deforestation, emission, or industrial disposal which are accumulated year by year. Agenda to prevent this world from destruction should contain also political approach.


Thus, Alanis Morrisette’s “Global Warming: The Sign and The Science” may offers us knowledge and evidence that global warming itself is a very dangerous phenomenon. But do not forget, the responsibility to do some actions in order to prevent this world from destruction is left on our hand. Without actions or immediate responses from world’s key leaders, and our consciousness to take care the earth, this “convenient fault” may terrorize the human race in the next generation.


(This is an essay for Seminar on The Environment, a movie review. I take this full-english class this semester)

Memutus Budaya Kekerasan


Kekerasan pada dasarnya bukan budaya di masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena, kekerasan tidak terlembaga dalam sebuah sistem sosial yang berlaku dan bukan merupakan sesuatu yang lazim dilakukan. Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bukan terletak pada budaya masyarakat, melainkan pada perilaku menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial.


Namun, kekerasan berkaitan erat dengan subsistem kebudayaan, sehingga penyelesaiannya tak dapat terlepas dari pendekatan budaya Sebetulnya, kekerasan merupakan bagian dari konflik yang tidak dapat diresolusi dan melibatkan aksi-aksi fisik, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan penyelesaian konflik. Kecuali, kekerasan tersebut merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu.


Dengan demikian, kita dapat menganggap bahwa kekerasan sosial merupakan bagian dari masalah sosial yang harus segera diselesaikan. Menurut Gillin, masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga dari kelompok tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.


Istilah Gillin ini mengisyaratkan sebuah hal, yaitu kekerasan sosial sebagai sebuah masalah sosial harus diantisipasi atau diselesaikan dengan cara menyelaraskan kembali unsur-unsur kebudayaan yang timpang tersebut. Unsur-unsur kebudayaan, atau yang disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan harus dilaksanakan sesuai norma dan peraturan yang disepakati oleh masyarakat.


Terkadang, kekerasan terjadi karena norma tidak diindahkan lagi. Kasus Sampit beberapa tahun lalu juga terjadi karena tidak harmonisnya hubungan masyarakat Dayak dan Madura, dipicu oleh sikap kaum pendatang hingga menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif. Kasus Kerusuhan Banjarmasin dua belas tahun lalu juga diakibatkan oleh tidak taatnya peserta kampanye pada peraturan agama yang melekat sebagai norma sosial di masyarakat Banjar. Oleh sebab itu, kekerasan harus ditanggulangi dengan penegakan kembali norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.


Menurut penulis, setidaknya ada tiga dimensi penanganan yang perlu diperhatikan.


Pertama, jika kekerasan dihasilkan dari perilaku menyimpang, langkah penanggulangannya adalah resosialisasi norma-norma di masyarakat. Instrumennya bisa berupa penjara, pengucilan dari masyarakat, atau hal lain yang bersifat personal. Kekerasan dalam level ini merupakan kekerasan individu atau kelompok kecil masyarakat, bukan kekerasan massif.


Kedua, jika kekerasan dihasilkan dari konflik, penyelesaiannya adalah dengan resolusi konflik. Mekanismenya bisa bermacam-macam, baik dengan jalan akomodasi, konsiliasi, mediasi, atau turunnya pihak ketiga (arbitrase). Resolusi konflik harus memperhatikan akar masalah dari konflik tersebut dan kondisi sosiokultural masyarakat.


Ketiga, jika kekerasan dihasilkan dari struktur yang timpang, penyelesaiannya perlu menggunakan langkah-langkah politis. Kekerasan tidak hanya diselesaikan dengan dua pendekatan pertama, tetapi juga perlu langkah aksi dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan sosial yang ada. Pada level ini, persoalan legitimasi politik dan kepercayaan terhadap pemimpin formal akan sangat berpengaruh.


Maka, pada dasarnya kekerasan bukanlah sebuah hal yang pakem dalam masyarakat. Kekerasan masih dapat diselesaikan dengan berbagai pendekatan dan pendidikan nirkekerasan dapat menjadi alternatif yang baik. Mari memutus rantai kekerasan.

Perbatasan Laut RI: Rawan atau Potensial?

Posisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan serta terletak di antara dua benua telah memberi sebuah keunikan tersendiri bagi RI. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang cukup luas dengan berbagai macam biota laut di dalamnya. Di samping itu, kandungan sumber daya alam lain yang sangat besar juga terdapat di lautan nusantara, seperti minyak bumi di beberapa tempat.


Posisi geografis tersebut memiliki banyak implikasi. Mengacu pada teori geopolitik klasik Alfred Thayer Mahan, laut yang luas merupakan sebuah keuntungan geopolitik yang sangat besar bagi suatu negara. Posisi Indonesia yang berada di antara dua samudera, didukung dengan bentuk perairan yang bervariasi jelas akan memberi banyak keuntungan secara politis dan ekonomis. Apalagi, mayoritas masyarakat pesisir Indonesia berprofesi sebagai nelayan atau menggantungkan hidup dari laut.


Persoalannya, benarkah keuntungan geopolitik tersebut dapat berlaku di Indonesia? Tentu, ada beberapa prasyarat sebelum teori Mahan tersebut berlaku. Setidaknya, sebuah negara yang memiliki keuntungan lautan juga harus memiliki pelabuhan yang representatif, armada pertahanan laut yang kuat, optimasi industri kelautan, serta karakter bangsa yang juga berorientasi maritim.


Perbatasan Laut?


Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara tetangga. Dari 10 perbatasan tersebut, ada beberapa perbatasan laut yang memberikan keuntungan jika dikelola secara optimal. Beberapa perbatasan tersebut antara lain Selat Malaka (Malacca Strait), Laut Sulu di Utara Sulawesi, Celah Timor (Timor Gap), Laut Cina Selatan (South China Sea), atau Zona Ambalat yang sekarang menjadi milik Malaysia berdasarkan Hukum Laut Internasional akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan.


Kita dapat melihat potensi Selat Malaka, misalnya, yang menjadi salah satu transit kapal-kapal asing. Posisi tersebut memberi keuntungan bagi Indonesia dalam hal penerimaan devisa dari kapal-kapal asing yang melintas perairan nusantara. Selat Malaka juga memberi peluang bagi Indonesia untuk menegaskan eksistensi pertahanannya.


Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan oleh RI. Fenomena pendangkalan selat Malaka justru terjadi beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan berpindahnya alur lalu lintas maritim. Indonesia juga tidak membangun sinergisasi dengan Singapura atau Malaysia sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman di antara ketiga negara tersebut. Padahal, keamanan regional adalah tanggung jawab semua pihak.


Selain itu, pertahanan maritim Indonesia di daerah ini juga cukup lemah. Laporan International Maritime Bureau (IMB) menyebutkan bahwa wilayah Selat Malaka merupakan salah satu wilayah laut yang rawan kejahatan. Fakta ini tidak berlebihan, karena baik Indonesia, Singapura, maupun Malaysia masih belum dapat menghentikan sepenuhnya aktivitas perompak di sekitar Malaka dan Sumatera bagian Barat.


Sebenarnya, potensi dapat dimaksimalkan dengan menerapkan kebijakan berbasis maritim. Persoalan pendangkalan Selat Malaka dapat diselesaikan dengan kerjasama strategis Indonesia-Malaysia dan pengalihan jalur yang tepat. Persoalan ini kemudian menjadi tugas Malaysia dan Indonesia untuk membawanya ke level bilateral.


Daerah lain yang sebenarnya cukup penting adalah Celah Timor. Wilayah yang kaya sumber daya alam ini rawan dispute karena terletak di antara Timor-Timur dan Indonesia. Persoalan yang kerap muncul adalah izin perusahaan asing, terutama dari Australia yang ingin beroperasi di daerah tersebut. Maka, kepentingan nasional Indonesia dan Timor-Timur juga harus dimasukkan dalam perundingan mengenai perbatasan ini.


Sehingga jelas, wilayah perbatasan seharusnya tidak menjadi masalah bagi RI, tetapi justru menjadi peluang untuk mengelolanya secara lebih baik. Bukankah sejarah kejayaan atas dunia dibangun dari penguasaan atas lautan (Alfred T. Mahan)?