Senin, 09 Maret 2009

Perbatasan Laut RI: Rawan atau Potensial?

Posisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan serta terletak di antara dua benua telah memberi sebuah keunikan tersendiri bagi RI. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang cukup luas dengan berbagai macam biota laut di dalamnya. Di samping itu, kandungan sumber daya alam lain yang sangat besar juga terdapat di lautan nusantara, seperti minyak bumi di beberapa tempat.


Posisi geografis tersebut memiliki banyak implikasi. Mengacu pada teori geopolitik klasik Alfred Thayer Mahan, laut yang luas merupakan sebuah keuntungan geopolitik yang sangat besar bagi suatu negara. Posisi Indonesia yang berada di antara dua samudera, didukung dengan bentuk perairan yang bervariasi jelas akan memberi banyak keuntungan secara politis dan ekonomis. Apalagi, mayoritas masyarakat pesisir Indonesia berprofesi sebagai nelayan atau menggantungkan hidup dari laut.


Persoalannya, benarkah keuntungan geopolitik tersebut dapat berlaku di Indonesia? Tentu, ada beberapa prasyarat sebelum teori Mahan tersebut berlaku. Setidaknya, sebuah negara yang memiliki keuntungan lautan juga harus memiliki pelabuhan yang representatif, armada pertahanan laut yang kuat, optimasi industri kelautan, serta karakter bangsa yang juga berorientasi maritim.


Perbatasan Laut?


Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara tetangga. Dari 10 perbatasan tersebut, ada beberapa perbatasan laut yang memberikan keuntungan jika dikelola secara optimal. Beberapa perbatasan tersebut antara lain Selat Malaka (Malacca Strait), Laut Sulu di Utara Sulawesi, Celah Timor (Timor Gap), Laut Cina Selatan (South China Sea), atau Zona Ambalat yang sekarang menjadi milik Malaysia berdasarkan Hukum Laut Internasional akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan.


Kita dapat melihat potensi Selat Malaka, misalnya, yang menjadi salah satu transit kapal-kapal asing. Posisi tersebut memberi keuntungan bagi Indonesia dalam hal penerimaan devisa dari kapal-kapal asing yang melintas perairan nusantara. Selat Malaka juga memberi peluang bagi Indonesia untuk menegaskan eksistensi pertahanannya.


Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan oleh RI. Fenomena pendangkalan selat Malaka justru terjadi beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan berpindahnya alur lalu lintas maritim. Indonesia juga tidak membangun sinergisasi dengan Singapura atau Malaysia sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman di antara ketiga negara tersebut. Padahal, keamanan regional adalah tanggung jawab semua pihak.


Selain itu, pertahanan maritim Indonesia di daerah ini juga cukup lemah. Laporan International Maritime Bureau (IMB) menyebutkan bahwa wilayah Selat Malaka merupakan salah satu wilayah laut yang rawan kejahatan. Fakta ini tidak berlebihan, karena baik Indonesia, Singapura, maupun Malaysia masih belum dapat menghentikan sepenuhnya aktivitas perompak di sekitar Malaka dan Sumatera bagian Barat.


Sebenarnya, potensi dapat dimaksimalkan dengan menerapkan kebijakan berbasis maritim. Persoalan pendangkalan Selat Malaka dapat diselesaikan dengan kerjasama strategis Indonesia-Malaysia dan pengalihan jalur yang tepat. Persoalan ini kemudian menjadi tugas Malaysia dan Indonesia untuk membawanya ke level bilateral.


Daerah lain yang sebenarnya cukup penting adalah Celah Timor. Wilayah yang kaya sumber daya alam ini rawan dispute karena terletak di antara Timor-Timur dan Indonesia. Persoalan yang kerap muncul adalah izin perusahaan asing, terutama dari Australia yang ingin beroperasi di daerah tersebut. Maka, kepentingan nasional Indonesia dan Timor-Timur juga harus dimasukkan dalam perundingan mengenai perbatasan ini.


Sehingga jelas, wilayah perbatasan seharusnya tidak menjadi masalah bagi RI, tetapi justru menjadi peluang untuk mengelolanya secara lebih baik. Bukankah sejarah kejayaan atas dunia dibangun dari penguasaan atas lautan (Alfred T. Mahan)?

Tidak ada komentar: