Senin, 09 Maret 2009

Memutus Budaya Kekerasan


Kekerasan pada dasarnya bukan budaya di masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena, kekerasan tidak terlembaga dalam sebuah sistem sosial yang berlaku dan bukan merupakan sesuatu yang lazim dilakukan. Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bukan terletak pada budaya masyarakat, melainkan pada perilaku menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial.


Namun, kekerasan berkaitan erat dengan subsistem kebudayaan, sehingga penyelesaiannya tak dapat terlepas dari pendekatan budaya Sebetulnya, kekerasan merupakan bagian dari konflik yang tidak dapat diresolusi dan melibatkan aksi-aksi fisik, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan penyelesaian konflik. Kecuali, kekerasan tersebut merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu.


Dengan demikian, kita dapat menganggap bahwa kekerasan sosial merupakan bagian dari masalah sosial yang harus segera diselesaikan. Menurut Gillin, masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga dari kelompok tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.


Istilah Gillin ini mengisyaratkan sebuah hal, yaitu kekerasan sosial sebagai sebuah masalah sosial harus diantisipasi atau diselesaikan dengan cara menyelaraskan kembali unsur-unsur kebudayaan yang timpang tersebut. Unsur-unsur kebudayaan, atau yang disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan harus dilaksanakan sesuai norma dan peraturan yang disepakati oleh masyarakat.


Terkadang, kekerasan terjadi karena norma tidak diindahkan lagi. Kasus Sampit beberapa tahun lalu juga terjadi karena tidak harmonisnya hubungan masyarakat Dayak dan Madura, dipicu oleh sikap kaum pendatang hingga menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif. Kasus Kerusuhan Banjarmasin dua belas tahun lalu juga diakibatkan oleh tidak taatnya peserta kampanye pada peraturan agama yang melekat sebagai norma sosial di masyarakat Banjar. Oleh sebab itu, kekerasan harus ditanggulangi dengan penegakan kembali norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.


Menurut penulis, setidaknya ada tiga dimensi penanganan yang perlu diperhatikan.


Pertama, jika kekerasan dihasilkan dari perilaku menyimpang, langkah penanggulangannya adalah resosialisasi norma-norma di masyarakat. Instrumennya bisa berupa penjara, pengucilan dari masyarakat, atau hal lain yang bersifat personal. Kekerasan dalam level ini merupakan kekerasan individu atau kelompok kecil masyarakat, bukan kekerasan massif.


Kedua, jika kekerasan dihasilkan dari konflik, penyelesaiannya adalah dengan resolusi konflik. Mekanismenya bisa bermacam-macam, baik dengan jalan akomodasi, konsiliasi, mediasi, atau turunnya pihak ketiga (arbitrase). Resolusi konflik harus memperhatikan akar masalah dari konflik tersebut dan kondisi sosiokultural masyarakat.


Ketiga, jika kekerasan dihasilkan dari struktur yang timpang, penyelesaiannya perlu menggunakan langkah-langkah politis. Kekerasan tidak hanya diselesaikan dengan dua pendekatan pertama, tetapi juga perlu langkah aksi dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan sosial yang ada. Pada level ini, persoalan legitimasi politik dan kepercayaan terhadap pemimpin formal akan sangat berpengaruh.


Maka, pada dasarnya kekerasan bukanlah sebuah hal yang pakem dalam masyarakat. Kekerasan masih dapat diselesaikan dengan berbagai pendekatan dan pendidikan nirkekerasan dapat menjadi alternatif yang baik. Mari memutus rantai kekerasan.

Tidak ada komentar: