Minggu, 05 April 2009

Membersihkan Potret Buruk Parpol Kita


Demokratisasi tengah berjalan menju kedewasaan. Bagi sebuah negeri yang baru mengenal makna demokrasi, Pemilu menjadi sebuah ritual politik lima-tahunan yang secara rutin dan periodik diselenggarakan untuk memilih aktor-aktor baru dalam sistem politik. Begitu pula Indonesia. Sejarah mencatat, Pemilu 2009 ini akan menjadi pesta demokrasi keempat sepanjang sejarah kemerdekaan RI.

Dilema Partai Politik

Duverger (1954) secara rinci menjelaskan partai politik dalam rejim pemilihan yang ada. Duverger mencermati bahwa kesalahan demokrasi yang tidak berjalan sempurna sebenarnya bukan terletak pada aturan kepartaian atau sistem pemilihan yang memungkinkan banyak partai mengikutinya, tetapi lebih pada kondisi internal partai yang mengalami fenomena –meminjam istilah Robert Michels—“hukum besi oligarki”.

Bagaimana dengan Indonesia yang menganut sistem multipartai? Patut diketahui, demokrasi di Indonesia masih masih sarat dengan euforia nirsubstansi serta patologi. Sistem multipartai jelas sangat memungkinkan masuknya berbagai kepentingan di panggung parlemen. Maka, pada titik ini sistem demokrasi multipartai sangat berpotensi menjadi ajang kontestasi kepentingan dan perebutan kekuasan antarelit politik.

Namun perlu diingat pula bahwa sistem multipartai tersebut tak hanya dipahami sebagai jalan menuju kekuasaan, Sistem multipartai yang dianut oleh Indinesia juga harus dipahami sebagai alat untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terserak. Institusionalisasi demokrasi juga didorong atas dasar harapan untuk memperbaiki keadaan yang sekarang jauh dari ide awal reformasi.

Persoalannya, demokrasi di Indonesia diwarnai oleh berbagai patologi politik. Maraknya korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga pelanggaran hukum justru dilakukan oleh wakil rakyat. Fakta ini mengimplikasikan sebuah fenomena baru, yaitu menurunnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap parlemen. Implikasi lanjutannya, muncul gerakan “golongan putih” yang sebetulnya lebih diwarnai oleh nuansa ketidakpercayaan dan kekecewaan rakyat terhadap institusi perwakilan mereka (DPR).

Lantas, apakah dengan demikian partai politik telah terdelegitimasi di Indonesia?

Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Secara normatif, beberapa ilmuwan politik seperti Duverger (1959), Michels (1915), atau Lasswell (1950) masih memandang partai politik sebagai aktor utama dalam sistem politik Indonesia. Kendati menurut Michels ada sebuah tendensi untuk terjadinya oligarki kepartaian sebagai implikasi logis dari perkembangan partai politik, kita tetap tak dapat menafikan bahwa partai politik masih menjadi sarana rekrutmen dan sosialisasi politik yang penting bagi pembangunan politik.

Sebagai sarana rekrutmen politik, partai politik telah menjadi sebuah sarana bagi sistem politik Indonesia untuk memungkinkan rakyat masuk ke ranah politik secara terbuka. Hal ini pun masih sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 yang memberi hak kepada warga negara untuk berserikat dan berkumpul.

Sarana rekrutmen politik ini kemudian menjadi sebuah alat untuk melakukan sosalisasi politik. Partai politik yang berkarakter sebagai partai kader akan secara konsisten dan gradual memberikan pemahaman kepada kader-kadernya untuk dapat memiliki sikap serta pandangan politik sesuai nilai yang dipahami oleh partai. Dengan demikian, terjadi sosialisasi politik dalam bentuk kaderisasi partai dan pelayanan masyarakat yang rutin.

Pencitraan Positif

Maka, sikap kita di sini bukan mendelegitimasi partai politik, tetapi justru berupaya untuk mendorong partai politik agar memperbaiki citra yang buruk sehingga merek mampua memberikan kotribusi yang lebih baik. Fenomena “golongan putih” yang ketika orde baru menjadi sebuah simbol perlawanan intelektual, sekarang justru tidak relevan ketika ternyata stabilitas pemerintahan akan sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi politik warganya. Namun jelas, citra dan kinerja partai politik juga patut dibenahi.

Bagaimana seharusnya partai politik memperbaiki citra mereka? Penulis mencoba mengelaborasi beberapa pandangan terkait hal ini.

Pertama, partai politik harus bertransformasi menjadi partai kader. Kecenderungan partai politik yang berdiri di Indonesia pasca-reformasi ternyata lebih identik dengan basis massa atau basis figur dibandingkan kader. Karakteristik partai pun menjadi berbeda, karena partai yang membasiskan diri pada massa memiliki kecenderungan hanya bermain menjelang Pemilu untuk mendapatkan legitimasi politik.

Berbeda halnya dengan partai kader yang secara rutin dan berkala melakukan proses kaderisasi. Dengan adanya kader yang terstruktur serta terideologisasi secara politik, sosialisasi politik dapat dilakukan secara rutin pula. Dengan sosialisasi politik yang baik, rekrutmen politik pun akan berjalan secara selektif dan mengacu pada sistem. Hal ini akan berdampak pada kualitas organisasi partai yang lebih baik dari sebelumnya.

Kedua, partai politik perlu melakukan peremajaan secara rutin terkait sistem, kader, dan pemikiran. Selama ini, banyak elit politik yang sebenarnya telah bermain di panggung politik dalam satu partai selama lebih dari dua periode. Fenomena ini kurang baik karena secara pemikiran mereka telah terkooptasi oleh sistem lama. Peremajaan perlu dilakukan secara rutin untuk menyegarkan pemikiran tersebut.

Maka, partai politik yang ideal pada dasarnya adalah partai yang digawangi dan dijalankan oleh kaum muda. Penulis tidak menafikan peran politisi kawakan yang telah bermain lama, tetapi untuk menyegarkan proses kaderisasi dan seleksi politik, perlu adanya regenerasi periodik antara politisi tua ke politisi yang lebih muda.

Kesimpulan

Dengan demikian, partai politik yang pada tahun 2009 ini akan dipilih oleh rakyat Indonesia patut melakukan evaluasi dan pembenahan sistemik pada tubuh internal mereka. Jika partai politik tetap melakukan langkah-langkah seperti yang dijalankan sekarang, citra mereka jelas akan semakin memburuk hingga akhirnya muncul persepsi yang buruk pula mengenai politik.

Untuk itu, peremajaan dan kaderisasi perlu dilakukan secara konsisten. Mari membenahi sistem politik Indonesia, mari membersihkan wajah partai politik kita.

Hukum Internasional dan Diplomasi RI

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]

Hukum internasional, sebagai salah satu dari tiga bagian penting dalam kajian Hubungan Internasional (Unesco, 1950)[2], memiliki peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan politik luar negeri RI sejak proklamasi kemerdekaan.
Instrumen Politik?

Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI memotret korelasi hukum internasional dengan politik dalam sebuah makalah ilmiahnya yang berjudul “Hukum Internasional sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai studi kasus”.

Argumentasi dasar yang mengawali makalah ini cukup menarik untuk diulas. Prof. Juwana berpendapat, Indonesia masih belum optimal dalam memanfaatkan hukum internasional sebagai instrumen politik, terutama politik luar negeri.

Argumentasi tersebut setidaknya mengisyaratkan dua hal.

Pertama, diplomasi RI masih belum sepenuhnya berorientasi pada pemahaman terhadap aturan hukum internasional.

Kedua, hukum internasional masih dipahami secara parsial oleh para praktisi hukum dan diplomat kita, tidak secara komprehensif.

Dua hal tersebut kemudian berimplikasi pada seringnya RI mengalami kegagalan diplomasi. Kasus Sipadan-Ligitan seakan menjadi pengingat atas kekalahan RI di pengadilan arbitrase internasional karena kelalaian administratif yang berdampak pada kekalahan diplomatik.

Tiga Bentuk Pemanfaatan

Menurut Prof. Juwana, ada tiga macam pemanfaatan hukum internasional sebagai sebuah instrumen politik.

Pertama, hukum internasional sebagai pengubah konsep. Kita dapat melihat contoh nyata dari pemanfaatan hukum internasional sebagai pengubah konsep ini pada kasus Uni Eropa.

Beberapa perjanjian yang menandai munculnya fenomena integrasi dan regionalisme di kawasan tersebut, seperti perjanjian Schengen, Amsterdam, Lisbon, atau Maastricht Treaty, pada perkembangannya mengubah konsep nation-state yang selama ini dipahami sebagai model negara, berdasarkan Treaty of Westphalia[3].

Hukum internasional yang dihasilkan dari serangkaian perundingan di beberapa tempat tersebut membuat Uni Eropa menjadi sebuah model supranasional yang diawali oleh berbagai perjanjian internasional.

Konsep ini kemudian berbeda dengan konsep negara-bangsa yang dirumuskan dari Treaty of Westphalia, yaitu menyandarkan garis negara atas dasar bangsa dengan konstruksi politik di dalamnya (a nation with political construct)[4].

Indonesia pun tercatat pernah mengubah konsep hukum laut internasional menjadi 12 mil dari tepi pantai terlandai pada UNCLOS, yang merupakan pengejawantahan dari Deklarasi Juanda sebagai penegak kedaulatan laut teritorial Indonesia.

Kedua, hukum internasional sebagai media intervensi atas negara lain. Salah satu pengecualian dari pemberlakuan intervensi atas suatu negara ialah jika negara tersebut telah nyata-nyata melanggar hukum internasional.

Contoh nyata yang dapat kita lihat dalam model pemanfaatan ini adalah intervensi NATO dan negara-negara Eropa terhadap Serbia (pada waktu itu masih bernama federasi Yugoslavia) dengan menggunakan perjanjian Daytona pada tahun 1995.

Dengan perjanjian tersebut, NATO berhasil mengintervensi kasus genosida di Bosnia secara militer dan memaksa Serbia untuk keluar dari negara berdaulat Bosnia.

Contoh lain terlihat pada Japan-USA Security Treaty pada tahun 1951. Perjanjian ini membuat Amerika Serikat berhasil mengintervensi kekuatan militer Jepang sehingga Jepang, sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, tidak dapat lagi mengembangkan kekuatan offensive force.

Contoh lain yang juga relevan dalam kasus ini adalah intervensi Amerika Serikat atas Afghanistan pasca-2001, dengan alasan telah melindungi dan men-support pihak yang melanggar konvensi Tokyo 1963 mengenai tindak pidana dan tindakan lain yang dilakukan di atas pesawat udara (Tokyo Convention on Offences and Other Acts Committed on board Aircraft)[5].

Ketiga, pemanfaatan hukum internasional untuk menekan negara lain. Kasus nuklir Iran dapat menjadi sebuah contoh kasus tekanan diplomatik AS dan sekutunya kepada Iran hanya karena penggunaan uranium sebagai energi di Iran.

Dengan menggunakan perjanjian proliferasi nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons 1968), Amerika Serikat menggulirkan sebuah rancangan resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk menekan Iran agar menghentikan pembuatan nuklir yang pada dasarnya dirancang untuk energi.

Selain kasus Iran tersebut, kasus Darfur, Sudan juga dapat beberapa negara lain mendesak ICC untuk segera menahan Presiden Sudan Omar Al-Bashir dan menekan Sudan agar mempertanggungjawabkan kasus genosida di Sudan Selatan tersebut.

Indonesia sendiri juga memiliki pengalaman dalam hal ini. Ketika kasus Timor-Timur bergulir pada 1998, dengan kematian pengawas dari PBB di Atambua, serta korban jiwa dan kerusuhan ketika jajak pendapat PBB, Dewan Keamanan mengancam untuk membawa perwira TNI yang terkait dalam kasus ini ke sebuah pengadilan tribunal internasional, berdasarkan Konvensi HAM PBB.

Memang, Indonesia berdasarkan UU No 26 tahun 2000 akhrinya membentuk sebuah pengadilan HAM, sehingga pengajuan perwira TNI ke tribunal internasional berhasil dihindari.

Jepang pun, sebelum restorasi Meiji, juga ditekan oleh Amerika Serikat untuk dapat membuka pelabuhan-pelabuhannya bagi kapal-kapal bangsa Eropa atau Amerika. Persetujuan Kanagawa kemudian memperbolehkan kapal-kapal bangsa lain untuk masuk ke Jepang melalui beberapa pelabuhan, sehingga mengakhiri politik isolasi rezim Tokugawa di era Shogun.

Refleksi bagi Indonesia

Dengan tiga pemanfaatan tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebenarnya agak jarang menggunakan hukum internasional sebagai instrumen politik luar negeri.

Padahal, mengingat tiga fungsi hukum internasional tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan political capital yang dimiliki dalam diplomasi untuk memperkuat posisi tawar dan argumentasi yang ada. Sehingga, diharapkan tragedi Sipadan-Ligitan atau Timor-Timur tidak akan terjadi lagi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas diplomasi Indonesia ke depan.

Dengan demikian, jika mengacu pada Prof. Juwana, hukum internasional memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kedaulatan Indonesia di mata negara lain. Diplomasi RI harus dapat membawa national interest yang ada, dan hukum internasional dapat menjadi instrumen yang strategis untuk merealisasikan hal tersebut.
Footnotes

[1] Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Semester II, Angkatan 2008. Artikel diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional yang diampu oleh Drs. Usmar Salam, MIS.
[2] Miriam Budiardjo, 1972. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
[3] Masalah ini sempat dibahas dalam Konvensi Studi Eropa, Yogyakarta, 16-18 Maret 2009. Dr. Purwo Santoso menyebut fenomena ini sebagai “dua paradoks Uni Eropa”.
[4] Dean Minix and Sandra Hawley. 1998. Global Politics. New York: Wadsworth. Materi serupa juga disampaikan oleh Dr. Siti Muti’ah Setiawati, MA dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, 2008.
[5] J. G. Starke. 1989. Introduction to International Law (penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH.) Edisis Kesepuluh. Jakata: Sinar Grafika.

Jumat, 03 April 2009

ASEAN+3: Menuju Regionalisme Asia Timur?

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]

Ada hal menarik yang perlu diulas pada fenomena masuknya tiga negara Asia Timur (Jepang, Cina, dan Korea Selatan) ke dalam komunitas ASEAN+3. Bergabungnya tiga “macan Asia” ini menjadi sinyal penguatan kerjasama antara negara-negara Asia dan menyiratkan sebuah indikasi munculnya fenomena regionalisme baru di Asia Timur.

Problem Diplomasi

Selama ini, negara-negara di kawasan Asia Timur dikenal sebagai negara-negara yang mapan secara ekonomi. Cina, misalnya, dengan pangsa pasar yang sangat besar, menjadi salah satu tujuan perdagangan terbesar di dunia. Adapun Jepang dan Korea Selatan, sejak dulu telah mendominasi pasar dengan produksi barang-barang elektronik mereka. Kekuatan ekonomi tersebut menjadikan Jepang, Cina, dan Korea Selatan sebagai “soft-power hegemony” baru di dunia.

Namun, kemapanan ekonomi ternyata tidak diikuti oleh membaiknya hubungan diplomatik. Interaksi keempat negara (plus Korea Utara) sering diwarnai oleh berbagai kesalahpahaman atau rasa saling curiga yang menyebabkan tidak pernah tercapainya ide pembentukan organisasi regional di kawasan ini. Kendati masih ada forum seperti East-Asia Study Group, pembicaraan yang dilakukan tidak sampai menyentuh persoalan politik. Hal ini berbeda dengan konsep regionalisme di kawasan lain yang sampai pada level organisasi regional.

Setidaknya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakharmonisan hubungan mereka.

Pertama, faktor historis. Alasan sejarah seringkali menjadi pemicu ketegangan antara beberapa negara, seperti Cina dan Jepang. Kasus kuil Yasukuni, misalnya, memicu perselisihan yang cukup tajam antara Jepang dengan Cina dan Korea Selatan, karena kunjungan perdana menteri Jepang dianggap “membuka kembali” luka akibat perang dunia II. Meskipun berbagai upaya dialog telah coba dilakukan, perundingan hampir selalu menemui jalan buntu.

Kedua, faktor ideologi politik. Harus diakui, polarisasi ideologi politik pascaperang dingin sangat berpengaruh pada hubungan negara-negara di kawasan Asia Timur. Kendati sekarang permasalahan ideologi tidak lagi relevan dalam perekonomian (Cina tidak lagi menerapkan sistem ekonomi terpusat), bekas-bekas pertentangan antara kedua blok tersebut masih terasa dan sering membuat diplomasi tersendat. Hubungan antar-Korea sampai sekarang masih belum dapat berlanjut pada level yang lebih baik karena persoalan ini.

Memang, tidak adanya kata sepakat untuk mempersatukan negara-negara di kawasan ini ke dalam sebuah ikatan politis tidak akan berdampak pada kekuatan ekonomi masing-masing negara. Namun, ketiadaan model regionalisme tersebut akan menjadi problem ketika negara di Asia Timur harus menghadapi masalah-masalah bersama, seperti krisis finansial global atau keamanan regional. Oleh karena itu, upaya untuk mempertemukan kepentingan ketiga negara masih sangat perlu dilakukan.

Sinyal Regionalisme Baru?

Masuknya Cina, Jepang, dan Korea Selatan dalam ASEAN+3 patut dicermati. ASEAN sebagai sebuah model organisasi regional yang dirintis untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan nonpolitik di Asia Tengggara telah menjadi sebuah media untuk membuat model regionalisme baru di negara-negara Asia Timur. Kendati masih ada beberapa masalah seperti Taiwan, Tibet, atau Korea Utara masih menjadi batu sandungan, semua negara di forum ini telah sepakat untuk mempertemukan masing-masing kepentingan dalam sebuah wadah bersama.

Hasil pertemuan puncak ASEAN+3 di Singapura, tahun 2007 yang lalu merupakan sebuah langkah baru untuk menjalin hubungan yang lebih baik sesama negara Asia. Salah satu poin dari Chairman’s Statement mengisyaratkan bahwa negara-negara ASEAN menyambut baik kontribusi tiga negara “Plus Three” dalam pembentukan ASEAN Community serta mendukung upaya penyelesaian masalah nuklir di Semenanjung Korea. Dengan demikian, telah ada interaksi antara tiga negara di Asia Timur untuk menapak ke level yang lebih jauh.

Keberadaan ASEAN+3, di satu sisi, telah mendekatkan hubungan antara Asia Tenggara dan Asia Timur. Masalah yang dibahas dalam ASEAN +3 tidak hanya berkisar pada persoalan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan persoalan keamanan, politik, dan kerjasama sosial (Yoshida, 2004)[2]. Sehingga, ketika Jepang, Cina, dan Korea Selatan masuk ke ASEAN+3, akan ada pembicaraan mengenai masalah-masalah yang selama ini dianggap sensitif oleh masing-masing negara, seperti isu nuklir Korea atau kuil Yasukuni.

Peran strategis kini dimainkan oleh ASEAN untuk menghubungkan kepentingan yang berbeda antara Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Dengan adanya ASEAN +3, muncul sebuah harapan terbentuknya model regionalisme baru yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan pragmatis, tetapi juga kepentingan bersama kawasan. Kita nantikan saja model regionalisme baru di Asia Timur.


[1] Mahasiswa Semester II Ilmu Hubungan Internasional UGM, Angkatan 2008
[2] Tadashiro Yoshida, 2004. East Asian Regionalism and Japan. Working Papers. Tokyo: IDE APEC Study Center.

Krisis Finansial Global dan “Dilema Kapitalisme”


Politik internasional telah mengalami pergeseran drastis. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia diempaskan oleh “dilema kapitalisme” akibat krisis finansial global yang sempat membuat Wall Street lesu darah selam beberapa pekan. Konsensus Washington yang dulu ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia kepada negara-negara berkembang kini tak mampu menghadang derasnya arus krisis yang menyebabkan resesi ekonomi di beberapa negara maju. “Dilema liberalisme” kian menghantui dunia.

Kontradiksi Washington Consensus?

The Washington Consensus (Konsensus Washington) merupakan sebuah pola kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau US Department of Treasury. Mereka menawarkan menawarkan pertumbuhan melalui tiga ikon utama: deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

The Washington Consensus cukup menarik untuk diulas karena kontradiksi yang dihasilkannya ketika dunia menghadapi krisis keuangan global yang menyebabkan ambruknya perusahaan finansial raksasa di Jerman dan AS. Akibat krisis finansial global, banyak negara besar yang terpaksa harus melakukan intervensi pasar dengan memberikan stimulus kepada perusahaan-perusahaan besar demi menyelamatkan pasar modalnya.

Padahal, pasca-Perang dingin, banyak yang mengira bahwa hanya akan ada satu ideologi dan model kebijakan ekonomi yang akan bertahan: Kapitalisme. Margaret Thatcher menegaskan bahwa tak ada alternatif lain kecuali liberalisme (Kleden, 2005), sedangkan yama (1989) mengklaim bahwa pasca-perang dingin, politik internasional akan mengakui demokrasi liberal sebagai pemenang dan “akhir dari sejarah”.

Namun, asumsi tak dapat lagi dipertahankan ketika Amerika Serikat menghadapi krisis keuangan terburuk selama 70 tahun terakhir. Ambruknya beberapa perusahaan finansial raksasa menyebabkan pemerintah AS harus mengambil langkah strategis dengan melakukan bailout kepada perusahan-perusahaan penting, kendati hal ini menyalahi prinsip kapitalisme.

Privatisasi: Konteks Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Privatisasi yang telah dirintis pasca-krisis 1998 juga mengalami kontradiksi karena membuat pemerintah rugi dengan jatuhnya harga saham di pasar modal. Kendati menurut Nugroho & Wrihatnolo (2008) privatisasi akan menumbuhkan efisiensi dan perbaikan kinerja manajemen BUMN, kita tetap tak dapat mengesampingkan fakta bahwa ada implikasi dari privatisasi, terutama ketika Indonesia menghadapi krisis finansial global.

Sejarah pivatisasi BUMN di Indonesia sendiri dimulai dengan munculnya UU No. 19/2003 tentang BUMN. Kemudian, muncullah Komite Privatisasi pada era pemerintahan Megawati yang beranggotakan tim ekonomi pemerintah.

Implikasi yang menyertai pembentukan Komite tersebut sangat mengejutkan: Saham perdana Indosat segera direlease ke pasar modal dan dengan cepat diambil oleh SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura yang segera memborong saham sampai 42% dari total saham. Dengan demikian, Indosat yang pada dasarnya penting bagi perusahaan nasional pada saat itu telah menjadi aset perusahaan Singapura.

Kemudian pada pertengahan 2008, pemerintah kembali memprivatisasi tiga BUMN: Krakatau Steel, BTN, dan Garuda Indonesia. Kabar paling mengejutkan tentu saja adalah privatisasi Garuda Indonesia, mengingat selama ini Garuda tidak mengalami kendala secara finansial dan operasional. Persoalannya, dapatkah pemerintah mempertahankan kebijakan privatisasi yang ada ketika krisis finansial global menerpa Indonesia?

Faktanya, krisis keuangan global telah menurunkan harga saham BUMN yang diprivatisasi, sehingga pemerintah menderita capital loss akibat jatuhnya harga saham tersebut. Selain itu, pemerintah juga menderita beberapa kerugian lain dari privatisasi, seperti kasus Temasek yang memiliki saham besar di dua perusahaan seluler, Telkomsel dan Indosat yang berujung pada penyelesaian di KPPU.

Implikasi dan Sinyal Kewaspadaan

Sesuaikah narasi besar Konsensus Washington tersebut, terutama privatisasi, bagi Indonesia? Dari fakta yang ada, kita patut meragukan efektivitas kebijakan privatisasi bagi peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setidaknya, pertimbangan pemerintah tentu bukan hanya stabilitas makroekonomi, tetapi juga kedaulatan ekonomi dan alternatif kebijakan yang ada.

Sah-sah saja pemerintah menginginkan fresh money untuk menutup defisit APBN, tetapi model kebijakannya harus dijaga agar tidak terkesan melebarkan pintu investasi kepada pihak swasta. Memprivatisasi BUMN akan menimbulkan implikasi-implikasiyang berkaitan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia.

Lantas, apakah privatisasi memberi dampak positif di negara lain? Joseph Stiglitz (2002) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Pembangunan ekonomi Cina justru membuktikan bahwa stabilitas ekonomi tetap dapat dipertahankan tanpa adanya privatisasi pada perusahaan nasional.

Stiglitz membandingkan kinerja ekonomi Cina dan Rusia (pro-privatisasi) sebagai dua paradoks karena kebijakan fiskal dan kinerja ekonomi Rusia justru mengalami penurunan. Di sisi lain, pendapatan nasional Cina justru bertambah pesat tanpa perlu privatisasi atau kebijakan konsensus Washington lainnya.

Selain itu, privatisasi juga tak akan berdampak signifikan pada kesejahteraan rakyat. Krisis Moneter 1997-1998 membuktikan bahwa pembangunan ekonomi berbasis swasta (bukan rakyat) hanya memberi kesenangan semu bagi para korporat yang menguasai pasar. Wajar jika Stiglitz menyatakan bahwa the invisible hand versi Adam Smith tidak sepenuhnya benar; Perlu adanya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan pasar.

Kita memang tak dapat mengelak dari globalisasi. Akan tetapi, globalisasi tersebut harus diseleksi agar tidak berubah arah menjadi sebuah gerakan transnasionalisme ekonomi yang pada gilirannya nanti justru akan mengubah struktur perekonomian di negara kita.

Maka, kita patut membaca Sinyal John Perkins (2004) mengenai “korporatokrasi” sebagai sinyal kewaspadaan atas agenda-agenda globalisasi ekonomi yang masuk ke Indonesia. Pembacaan tersebut secara intensif tetap harus dilakukan, dengan satu tujuan: menghindari ekses globalisasi.