Senin, 22 Juni 2009

Sinyal Pendidikan Koruptif?


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Artikel ini pernah dimuat di Republika, 20 Juni 2009.


Paulo Freire pernah memperkenalkan sindroma “pendidikan bisu” dalam dunia pendidikan. Dalam sebuah bukunya, Pedagogy of Oppressed (1978), Freire menguraikan jenis sindroma tersebut dalam kebijakan pendidikan dan praktek pendidikan nasional. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.


Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone dan bocoran soal pada waktu ujian. Begitu banyak pula siswa yang menjadi korban “tidak lulus” hanya karena gagal ujian. Tahun 2009 menjadi saksi bisu pengadilan sosial bagi mereka yang dilabeli “bodoh” hanya karena tak lulus ujian.


Kita patut prihatin. Mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban. Pendeknya, siswa diajari moralitas tetapi juga diajari untuk melakukan kejahatan. Contradictio Interminis.


Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Begitu pula ketika siswa tidak lulus, guru yang mendapat kemarahan orang tua. Apakah semua kesalahan siswa, kesalahan sekolah, atau kesalahan pemerintah mesti ditimpakan hanya kepada guru?


Tentu saja tidak. Guru tidak selalu salah. Motif para oknum guru yang membocorkan soal ujian sebenarnya hanya untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Selain itu, banyak juga para guru yang telah melakukan upaya maksimal dalam transfer pemikiran kepada siswa. Tentunya kita tidak dapat menggeneralisasi kesalahan segelintir oknum guru kepada semua orang yang berprofesi sebagai guru.


Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah 100%. Banyak di antara mereka melakukan konspirasi kecurangan hanyalah karena tekanan eksternal dan menyelamatkan prestise sekolah. Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. K Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.


Kita pun tak dapat selalu menyalahkan siswa karena berbuat curang. Tekanan psikologis menjelang ujian tentu membuat siswa berpikir bahwa kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.


Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya juga tidak selalu. Terlepas dari penyimpangan yang terjadi, pada dasarnya pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk menjaga kualitas sumber daya manusia bangsa. Apalagi, era pasar bebas yang kompetitif berada di depan mata sehingga wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan.


Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, kesalahan tak dapat dilemparkan hanya pada satu pihak. Salah urus pendidikan adalah kesalahan kolektif sekaligus kesalahan struktural. Semua urun saham kesalahan dan harus ikut bertanggungjawab karena memiliki kontribusi pada terciptanya kesalahan kolektif ini.


Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut segera diluruskan. Baik sekolah maupun siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Apalagi pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah dapat dikatakan tidak merata dan penuh dengan keterbatasan. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut. Ini tentu saja memerlukan kerja yang sistematis dan terarah ke depan.


Persoalan-persoalan pendidikan akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Untuk itu, tetaplah bijaksana karena pendidikan memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Mari menyelamatkan pendidikan Indonesia.


*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Memilih Presiden: Ijtihad, Ittiba', Taqlid, dan Talfiq Politik

Tulisan ini bukan bermaksud mengulas perspektif fiqh dari politik Indonesia, tetapi "mencoba" untuk memberikan sedikit opini dari seorang pemilih pemula untuk memilih presiden RI.


Dalam fiqh, ada empat tingkatan yang kita kenal: ijtihad, ittiba', taqlid, dan talfiq. ijtihad, artinya usaha untuk menyimpulkan hukum atas sesuatu hal, berdasarkan Al-Quran dan Hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang shahih atau qath'iy. Ittiba' berarti mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Taqlid, kurang lebih berarti mengikuti ijtihad satu mazhab dengan disertai sikap konsisten terhadap mazhab yang diikutinya tadi. Talfiq, kurang lebih berarti tidak mengikuti salah satu mazhab, tetapi mengambil dasar hukum atas dasar keuntungan pribadi dan pragmatisme dalam ibadah.


Penulis tidak akan berpanjang-lebar mendiskusikan masalah ini. Akan tetapi, penulis tertarik untuk menggunakan istilah-istilah tadi untuk mengomentari persoalan politik Indonesia kontemporer. Partai politik telah mengeluarkan “ijtihad” masing-masing, atau dalam hal ini keputusan untuk mendukung calon presiden tertentu. Bagi masyarakat awam yang berada pada level akar rumput, dukungan tersebut tak mungkin dengan mudah dipahami argumentasinya, karena partai politik pun memilih berdasarkan kepentingan mereka, bukan atas kepentingan konstituten.


Dalam konteks politik, seorang pengambil keputusan politik (“ijtihad politik”) dari parpol harus memiliki kecerdasan Ia harus bisa menganalisis kondisi yang ada, sehingga keputusan yang ia lahirkan tidak dilandasi oleh pragmatisme semata, tetapi juga memiliki muatan-muatan lain, semisal kesejahteraan atau hal-hal yang akan dibawa nanti. Jika kita spesifikkan lagi, misalnya dalam menentukan presiden, ijtihadnya jangan sampai menyalahi kaidah-kaidah yang telah dibangun dalam memilih presiden tersebut. Karena, sebuah ijtihad akan diikuti oleh para muqallid yang tidak memiliki preferensi jelas mengenai politik.


Ittiba' Taklud, atau Talfiq?


Lantas, di mana posisi kita, orang yang tidak berijtihad? Bagi para mahasiswa dan pelajar, atau mereka yang memahami realitas politik Indonesia, sikap terbaik jelas adalah "ittiba'", menjatuhkan pilihan dengan nalar. Pilihan kita harus disandarkan pada telaah kita terhadap para capres yang ada. Ketika kita ingin menentukan pilihan, kita harus mengetahui siapa calon presiden itu. bagaimana latar belakangnya. berasal dari mana ia. apa visi dan misinya. desain besar apa yang ingin ia bangun. dan akan dibawa ke mana Indonesia ini ketika ia memimpin nanti. Sikap kritis kita, para mahasiswa dan pelajar, dan kita yang paham dengan realitas politik ini harus dikedepankan agar nantinya, pilihan tersebut tidak menjerumuskan.


Perlu dicatat, tidak ada kebenaran mutlak dalam politik. Ketika seorang "mujtahid politik", dalam hal ini elit partai politik, telah memutuskan siapa yang ia bawa ketika pemilihan presiden nanti, sikap seorang mahasiswa yang notabene paham dengan realitas politiknya bukan secara membabi-buta mendukung partai tersebut. Kita kritisi. Tentukan sikap. Ketika sikap partai politik tersebut salah, tidak ada salahnya jika kita nyatakan bahwa sikap itu salah. Sikap itu keliru. Maka ambillah jalan yang benar. Tetapi jelas, akan ada konsekuensi yang akan diambil, dan konsekuensi itu harus kita ambil. Karena, kita adalah mahasiswa yang memiliki kemerdekaan berpikir. Kita memiliki wawasan untuk berpikir. Kita juga punya hak untuk menentukan sesuatu.


Bagaimana pula dengan sikap "taklid" terhadap partai politik? Tidak ada salahnya, memang. Sebuah keputusan tentu diambil berdasarkan hitungan untung-rugi.Akan tetapi, sikap tersebut harus dipertimbangkan lagi bagi seseorang yang paham realitas politik. Bagi para intelektual, kemampuan yang ada harus digunakan untuk memilih. Inilah amal dari ilmu yang telah dimiliki.


Namun, penulis tekankan lagi, jangan terburu-buru menyalahkan mereka yang ber”taklid” secara politik. Bisa jadi, mereka adalah kader partai tersebut. Bisa jadi pula, mereka tidak punya preferensi untuk menentukan pilihan, sehingga pilihannya dijatuhkan atas pertimbanga partai politik yang diyakininya. Sehingga jelas, hal itu tidak salah, dan pilihan tersebut patut kita hargai dan kita hormati.


Yang patut kita hindari adalah sikap terakhir. Jangan sampai kita bersikap talfiq. Ketika ternyata putusan partai itu tidak menyenangkan hati kita, kita menolak untuk mengikuti. Alasan sederhana: tidak sesuai dengan idealisme pribadi. Tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan ketika memilih partai politik. Atau alasan lain: uang Lantas memilih yang lain, atau bahkan golput karena alasan-alasan itu. Golput tidak salah, jikadisandarkan oleh nalar. Ketika tidak disandarkan oleh nalar, maka jelas, sikap itu adalah kepengecutan. Tidak pantas untuk diambil oleh seorang mahasiswa, atau seseorang yang paham politik.


Atau, memilih seorang calon presiden karena terpaksa. Karena telah “menyatakan diri” sebagai seorang pendukung partai tertentu, ia dengan terpaksa mengikuti partainya itu. Bagi penulis, sikap itu juga tidak sehat, karena mengungkung kemampuan berpikir. Seakan-akan, yang benar adalah partai dan kita tidak memiliki otoritas untuk mengklaim kebenaran. Sikap ini bukan sikap seorang intelektual yang berani berpikir untuk melakukan perubahan.


Akan tetapi, sikap ini tentu lebih baik daripada seorang kutu loncat politik yang tidak berani bersikap tegas. Sikap mereka yang diperbudak oleh uang. Atau sikap mereka yang ikut-ikutan, mencari keuntungan. Pragmatis. Tidak memiliki identitas politik. Sikap inilah yang membuat kedewasaan berpikir kita kian terhantui.


Celakanya, banyak orang yang bertalfiq dalam politik kita. banyak yang dengan seenak sendiri menjadi kutu loncat karena alasan dana. Karena alasan pribadi. Tidak memiliki sikap. Inilah kepengecutan. Tidak lantas bertaklid, tapi lari dari masalah. Tinggal Gelanggang, Colong Playu.


Sebuah Refleksi


Sekali lagi, tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi jawaban atas sebuah masalah. Tetapi, memberi opini dengan menggunakan istilah-istilah fiqh tersebut. Ijtihad politik kian ramai diperbincangkan, dan sikap kita –sebagai rakyat Indonesia—adalah mengkaji dan mempertimbangkan berbagai ijtihad tersebut dengan pertimbangan nalar dan akal pikir yang sehat. Tentu, Al-Qur’an, Sunnah, dan ulama-ulama telah memberi pertimbangan bagi kita untuk memilih.


Sekarang tinggal pilih, masuk di kategori manakah anda pada Pemilihan Umum ini?


Wallahu a’lam bish shawwab.


Jumat, 12 Juni 2009

Obama dan Era Baru Diplomasi AS

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

“We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.” (Barrack Obama, 2009)

Rasanya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama telah mengirim sinyal yang begitu jelas dalam pidatonya di Mesir: “Smart Power”, konsep politik luar negeri yang ditawarkan oleh Obama, perlu diwujudkan melalui komunikasi yang lebih baik dengan dunia Islam, setidaknya dengan negara yang moderat seperti Indonesia.

Diplomasi Obama

Ada beberapa hal menarik yang patut kita ulas dari gaya diplomasi Obama.

Pertama, Obama ingin merekonstruksi hubungan luar negerinya dengan negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari arah kunjungan perdana Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke sejumlah negara Asia.

Kunjungan tersebut, jika kita tilik dari kebiasaan kunjungan Menteri Luar Negeri AS di periode-periode sebelumnya, merupakan pola yang tidak biasa. Seorang Menlu biasanya akan lebih mendahulukan kunjungan ke mitra strategis mereka, bukan ke negara berkembang.

Kedua, Obama ingin memulai era baru hubungan dengan negara-negara yang selama ini vokal terhadap hegemoni AS. Obama menyatakan diri siap duduk satu meja dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, misalnya, untuk membahas isu-isu penting seputar kawasan dan hubungan kedua negara.

Obama juga terlihat mendorong normalisasi hubungan AS-Iran, antara lain dengan dibukanya komunikasi mengenai optimalisasi konsulat sebagai sarana diplomasi unconventional antara AS dan Iran. Obama juga tak sering berkomentar pedas mengenai Ahmadinejad, sehingga Iran pun membebaskan Roxanne Saberi, wartawati AS yang ditangkap beberapa waktu lalu. Sinyal perbaikan hubungan sudah mulai terdeteksi.

Ketiga, Obama ingin mengubah mindset politik luar negeri yang dibangun oleh pemerintahan Bush menjadi lebih mengedepankan multilateralisme (kerjasama) sebagai ikon, bukan realisme politik yang bernuansa hegemon. Kedekatan dengan negara Asia dibangun. Kerjasama dengan dunia Islam mulai direncanakan.

Kecenderungan ini dapat pula kita lihat pada sikap Obama dalam beberapa masalah yang, walaupun masih bernuansa kepentingan, tetapi lebih soft dalam pendekatannya mengenai beberapa isu strategis internasional.

Gaya diplomasi ini menjadi sebuah cerminan era baru politik luar negeri AS. Dulu, dunia melihat AS sebagai sebuah hegemoni dan kekuatan penekan. Operasi militer bertajuk “war on terrorism” dibuka. Negara yang kritis dibungkam. Pemimpin yang melawan digulingkan. Ringkasnya, kekuatan politik AS sangat cenderung realis dan hegemonik.

Sekarang, akankah era tersebut berubah? Sebuah sinyal muncul: Obama ingin berubah. Tetapi, persoalannya tidak sesederhana itu. Masih ada kekuatan lain yang juga ikut bermain di belakang politik luar negeri AS, yaitu Israel.

Fenomena menarik juga terjadi di Israel. Hasil Pemilihan Umum telah menempatkan sebuah koalisi besar sebagai pemenang: Kadima-Likud-Yisrael Beitenu. Koalisi besar tersebut mengantarkan Benyamin Netanyahu sebagai perdana menteri dan Avigdor Lieberman sebagai Menteri Luar Negeri.

Model formasi tersebut mencerminkan haluan politik luar negeri Israel yang lebih radikal. Netanyahu berasal dari kelompok Yahudi garis keras dan menolak kompromi dengan Palestina, sedangkan Lieberman berkarakter ultranasionalis.

Formasi yang dibangun oleh Pemilu Israel ini jelas berseberangan dengan haluan politik luar negeri AS yang cenderung soft. Akibatnya, wajar jika Israel merasa ditinggalkan oleh Amerika Serikat pasca-kedatangan Obama ke Mesir awal Juni yang lalu. Kendati lobi-lobi AIPAC masih berada di Amerika Serikat, akan ada pergeseran arah politik internasional dalam beberapa waktu ke depan.

Ragam Tantangan

Persoalannya, apakah rezim Obama akan memberi setitik harapan baru di Timur Tengah? Pidato Obama di Mesir beberapa waktu lalu memang telah menunjukkan niat baiknya untuk mereposisi hubungan antara AS dan dunia Islam. Namun perlu diingat, tidak semudah itu mengubah kebijakan sebuah negara besar dengan alur birokrasi dan politik yang telah mapan.

Namun, bukan berarti kita apatis terhadap perbaikan. Negara-negara berkembang mesti merumuskan kembali kepentingan nasional, kedaulatan, dan persepsi ancaman yang ada sebagai alat untuk mengukur hubungan dengan Amerika Serikat.

Seberapapun moderatnya visi seorang Obama, ia tetap harus melewati setting politik yang telah dibangun sebelumnyaa oleh politisi dan lobbyist kawakan. Lobi-lobi AIPAC masih bercokol. Kongres masih harus menghadapi birokrasi lama. Kita juga masih belum mengetahui kepentingan-kepentingan terselubung AS yang tak terbaca oleh media. Obama, dengan langkah barunya, masih belum dapat memberi sebuah perubahan bagi dunia.

Maka, kewaspadaan perlu kita tingkatkan. Sinyal yang dikirim oleh Obama dalam pidatonya di Mesir awal Juni lalu harus kita tangkap sebagai sebuah awal untuk mencermati sepak terjang diplomasi AS di era baru. Langkah yang memerlukan kritik yang konstruktif dari semua pihak.

Di sinilah posisi penulis: Waspada dan kritis. Dunia akan mengalami sebuah masa yang berbeda, dan hal tersebut memerlukan kejelian analisis. Kita, sebagai warga dunia yang semakin borderless, jangan sampai terlena dan larut di dalam arus kepentingan global yang menggurita.

Pertanyaannya, akankah Obama menjadi sosok berbeda dalam panggung politik dunia empat tahun ke depan? Kita lihat saja nanti.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM


Ambalat, Provokasi, dan Diplomasi RI

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Ada dua kabar yang datang dari Malaysia pekan ini. Kabar pertama, seorang model cantik Indonesia melarikan diri dari Malaysia karena tidak tahan hidup dengan suaminya. Kabar kedua, kapal perang Malaysia memasuki blok Ambalat yang dipersengketakan oleh Indonesia-Malaysia, sehingga memicu sedikit ketegangan diplomatik di antara kedua negara.

Provokasi Malaysia

Kita perlu sedikit serius ketika menyikapi kabar kedua, yaitu persoalan Ambalat. Masalah Ambalat ini sempat mencuat beberapa tahun yang lalu, setelah Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia. Kasus yang terjadi hampir sama: beroperasinya kapal perang Malaysia di perairan Ambalat. Namun, masalah tenggelam dengan sendirinya dengan persoalan politik domestik di kedua negara.

Ada apa sebenarnya dengan Ambalat?

Wilayah laut yang sampai sekarang masih dipersengketakan oleh RI-Malaysia ini memang memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, yaitu minyak. Eksplorasi awal beberapa perusahaan asing menunjukkan, wilayah ini memiliki kandungan minyak yang cukup besar. Akibatnya, kedua negara mengklaim bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka.

Persoalan pada dasarnya terdapat pada peta yang dikeluarkan oleh masing-masing negara. Indonesia mengklaim bahwa Ambalat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan peta yang dibuat oleh PBB (UNCLOS). Namun, Malaysia pun juga mengklaim keabsahan wilayah ini berdasarkan peta yang dibuat pada abad ke-19. Negosiasi berlarut-larut, kesalahpahaman kian terjadi di antara kedua negara.

Sebenarnya, kesalahpahaman dapat dihindari jika tidak ada provokasi berlebihan dari salah satu negara. Keberadaan kapal perang Malaysia di Ambalat, jelas merupakan sebuah provokasi. Tentu saja Malaysia paham bahwa Ambalat adalah wilayah sengketa. Dengan mengirimkan kapal perangnya, penulis menduga bahwa Malaysia ingin menggerakkan emosi bangsa Indonesia, sehingga pintu negosiasi kembali dibuka oleh kedua belah pihak.

Persoalannya di sini, sejumlah elemen di Indonesia pun terpengaruh. Muncul desakan perang. “Nasionalisme” kembali diserukan. Padahal, anggaran militer Indonesia tidak mendukung tuntutan perang tersebut. Sehingga, terjadilah paradoks: sebagian pihak ingin agar provokasi Malaysia tersebut direspons dengan langkah serupa, tetapi mereka tetap tidak ingin anggaran militer dinaikkan.

Patut dicatat, Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara, yaitu minyak. Di Ambalat bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Karena, jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut.

Lantas, apa yang harus dilakukan RI? Opsi paling strategis yang bisa dilakukan, menurut penulis, adalah dengan menggunakan diplomasi sebagai respons. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa diplomasi harus dipikirkan secara lebih strategis, agar kasus Sipadan-Ligitan tidak terulang kembali.

Diplomasi RI

Berridge (2002) menyebutkan bahwa dalam tahap diplomasi di waktu krisis (crisis diplomacy), telekomunikasi menjadi salah satu variable yang penting untuk digunakan. Penggunaan fasilitas telekomunikasi menjadi signifikan untuk –setidaknya—meredam konflik yang akan muncul.

Dalam konteks Ambalat, komunikasi menjadi hal penting. Untuk itu, posisi seorang Presiden SBY dan PM Najib Razak menjadi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan. Presiden SBY –atau Menteri Luar Negeri—seharusnya mengambil posisi penting dengan menelepon otoritas diplomatik Malaysia untuk meminta klarifikasi berkaitan dengan provokasi di Ambalat.

Penulis cukup appreciate terhadap sikap Presiden yang tidak langsung terpancing emosinya dengan provokasi ini. Akan tetapi, penulis juga cukup menyayangkan kelambanan respons dari pemerintah hingga masalah ini terblow-up oleh media massa dan menjadikan sentiment negatif rakyat di akar rumput kembali mencuat.

Selain masalah telekomunikasi, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam diplomasi RI adalah mengikutsertakan stakeholder diplomasi, atau yang dikenal sebagai multi-track diplomacy (Diamond & MacDonald, 1996). Diplomasi tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor tunggal, tetapi juga dapat melibatkan elemen masyarakat yang lain.

Jika kita kaitkan dengan konteks Ambalat, pemerintah dapat melibatkan elemen ulama sebagai penjembatan kepentingan kedua negara, mahasiswa yang studi di Malaysia, media massa, atau jaringan bisnis dan investasi yang cukup intensif berlangsung. Keterlibatan mereka di jalur kultural memerlukan sebuah instrumen: diplomasi publik dari pemerintah.

Di sinilah pentingnya diplomasi publik sebagai salah satu instrument diplomasi RI. Ketika pemerintah ingin melakukan pendekatan non-militer dalam penyelesaian konflik, diplomasi publik dapat menjadi salah satu media. Kendalanya, fungsi koordinatif dari Deplu sebagai pemain dalam diplomasi publik ini masih belum berjalan. Ini yang patut diperbaiki oleh pemerintah ke depan.

Pekerjaan Besar

Sikap Malaysia yang mengirim kapal perang ke blok Ambalat memang tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, Indonesia pun tidak boleh turut terpancing dengan provokasi tersebut, mengingat kepentingan Indonesia di Malaysia cukup banyak dan berpengaruh terhadap situasi di Indonesia sendiri.

Oleh karena itu, diplomasi akan menjadi pintu pertahanan utama dalam penyelesaian konflik. Persoalannya, sudah seberapa efektifkah diplomasi Indonesia dilakukan oleh pemerintah? Sebuah pekerjaan besar menanti para calon presiden kita.


*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Minggu, 07 Juni 2009

Reformasi Belum Usai, Bung!


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Tak terasa, makhluk bernama reformasi yang dulu dilahirkan melalui serentetan aksi mahasiswa telah berusia sevekas tahun. Bangsa kita yang dulu dihantui oleh berbagai krisis—krisis moneter, krisis moral, krisis politik— kini mulai bangkit perlahan walaupun kemorat-maritan masih terasa di sana-sini. Pemilu 2009 menandai sebuah era baru perjalanan reformasi dan demokrasi di Indonesia.

Mahfudz Sidik (2003) memotret proses transisi demokrasi di tahun 1998 tersebut dalam tesis Magister Ilmu Politik beliau. Gerakan mahasiswa, dengan berbagai varian ideologi yang berbeda (dari Forkot sampai KAMMI), telah menelurkan sebuah paket tuntutan: Enam Visi Reformasi. Keenam visi reformasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam pembangunan sosial-politik pascarefornasi tersebut antara lain pemberantasan KKN, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, dan penegakan budaya demokrasi yang egaliter (Sidik, 2003).

Pertanyaannya, sudahkah enam visi reformasi itu diimplementasikan secara riil dan komprehensif? Mari kita analisis.

Pertama, pemberantasan KKN. Pembentukan KPK melalui UU 30/2002 telah menjadi awal baik bagi komitmen ini. Namun sayang, komitmen beberapa pihak masih harus dipertanyakan. Tidak selesainya UU Pengadilan Tipikor serta skandal Ketua KPK menjadi sebuah tendensi negatif bagi proses pemberantasan korupsi. Sehinggam beragam kasus muncul ke permukaan, dari kasus Al-Amin Nasution hingga kasus Abdul Hadi Djamal. Korupsi tidak hanya melibatkan eksekutif, namun juga menyeret legislatif dan bahkan yudikatif. Di sini, korupsi, meminjam istilah Hasrul Halili dalam ceramahnya di FISIPOL UGM, memang telah menjadi sebuah extraordinary crime yang penanganannya memerlukan extraordinary approach.

Kedua, penghapusan dwifungsi ABRI yang berarti mengurangi dominasi militer atas kegiatan politik. Dwifungsi ABRI memang telah dihapus, namun perlu diingat bahwa penghapusan dwifungsi tersebut mengimplikasikan adanya profesionalisme dari TNI sebagai ”pelindung negara” atau praetorian guard, sehingga hal tersebut memerlukan kontrol objektif sipil atas militer (Huntington, 1996). Upaya-upaya ke arah sana memang telah dilakukan, antara lain dengan memisahkan kepolisian dari TNI serta memilih menteri pertahanan dari unsur sipil. Yang menjadi catatan, militer harus dijauhkan dari politisasi dengan meningkatkan profesionalisme. Profesionalisme TNI harus terus dilakukan secara konsisten.

Ketiga, penegakan supremasi hukum. Kendati telah menunjukkan adanya perbaikan, supremasi hukum di negara kita tetap saja dikatakan kurang tegas. Tertundanya pengusutan kasus mantan presiden Soeharto selama delapan tahun (sampai beliau akhirnya meninggal dunia) telah menjadi sebuah preseden buruk dalam dunia peradilan,. Belum lagi kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan sebesar Rp 6 Miliar (negara rugi Triliunan Rupiah) yang divonis puluhan tahun penjara, semakin memperburuk citra lembaga peradilan. Lantas, di mana komitmen untuk menegakkan supremasi hukum secara konsisten dan total?

Keempat, amandemen UUD 1945. Memang, Indonesia telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Akan tetapi perlu diingat bahwa amandemen tersebut harus dilakukan secara tepat dan tidak boleh kehilangan spirit perjuangan yang telah dimasukkan oleh para founding fathers Indonesua. Contoh sederhana, penghapusan penjelasan UUD 1945 ternyata justru mengurangi substansi dari sistem ekonomi kerakyatan yang coba dibangun, terutama Pasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara (Mubyarto, 2004). Dalam praktiknya, penghapusan penjelasan ini membuat investor asing berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam kita dengan pembagian keuntungan yang sama sekali tidak menguntungkan negara. Hal seperti ini menjadi sebuah problem yang patut kita pikirkan kembali.

Kelima, otonomi daerah. Adanya UU 32/2004 yang mengatur kewenangan pemerintah daerah telah membawa beberapa dampak positif. Namun, otonomi daerah ini juga membawa desentralisasi korupsi sebagai implikasi negatifnya. Kasus penyalahgunaan APBD justru semakin marak, bahkan banyak daerah yang mengalihfungsikan lingkungan untuk kepentingan bisnis dan industri. Desentralisasi ternyata juga berimplikasi pada lingkungan eksternal dan agenda global. Ini juga patut menjadi bahan evaluasi.

Keenam, penegakan budaya demokrasi yang egaliter. Poin ini pun masih belum sepenuhnya terintegrasi di negara kita karena demokrasi yang berkembang justru demokrasi primitif dengan berbagai paradigma keliru di dalamnya. Demokrasi mengalami substance loss dengan adanya paradigma lassez-faire, patron-client, dan kultus individu yang berlebihan. Akibatnya, demokrasi yang dihasilkan bukan demokrasi yang egaliter, melainkan demokrasi primitif yang hanya membawa masalah baru.

Keenam visi reformasi ini harus direvitalisasi agar pelaksanaan reformasi tidak terkontaminasi oleh kepentingan elit yang serba pragmatis. Reformasi juga harus diwujudkan dengan keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Oleh karena itu, pelajar, mahasiswa, dan kaum muda sebagai avant garde reformasi harus terus menyuarakan perlawanan intelektual untuk menuntaskan visi reformasi. Reformasi belum usai, Bung!

*) Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 21 Mei 2008

Menelusuri Jalan Ketiga Anthony Giddens


Dunia telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di awal dekade 1990-an, komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru (Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.

Benarkah demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih ada sepercik harapan dan jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens, yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan pada liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus dibenahi dalam struktur sosial.

Teori Strukturasi

Cukup menarik jika kita mengulas latar belakang Anthony Giddens. Menurut Dr. Ignatius Wibowo, Giddens memulai petualangan intelektual dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, serta Max Weber. Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971).

Petualangan intelektualnya kemudian menemukan momentum dengan pemahaman Giddens mengenai struktur sosial. Giddens menyebut bahwa, “social structures are both constituted by human agency, and yet at the same time are the very medium of this constitution”. Pernyataan Giddens ini mengisyaratkan bahwa struktur sosial dilatarbelakangi oleh human agency, atau hubungan antara peraturan dan perilaku.

Aturan (rules), menurut Giddens, mempengaruhi perilaku dan tindakan yang dibuat oleh manusia. Aturan ini, ketika dilembagakan secara sosial, membentuk struktur yang terus direproduksi menjadi sebuah sistem. Proses reproduksi struktur hingga berinteraksi menjadi sistem tersebut-lah yang dinamakan oleh Giddens sebagai proses strukturasi.

Modernisasi : Perspektif yang Berbeda

Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani.

Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorina mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.

Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan.

Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.

Giddens, ketika mengulas persoalan gugus institusi dari sebuah dunia modern, menunjuk bahwa ada tiga karakter dari modernisasi: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Kita hanya akan mengulas salah satu variabel, yaitu globalisasi sebagai salah satu icon modernisasi. Globalisasi berkaitan dengan semakin berkurangnya jarak antara ruang dan waktu.

Globalisasi dan Jalan Ketiga

Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Hal ini dipotret oleh Giddes sebagai, “information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions”.

Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class. Modernisasi, jika tak terkelola, berpotensi menjadi ‘tersangka’ atas kerusakan yang ada. Fenomena relasi struktur dan pelaku serta modernisasi yang tak terjaga ini menyebabkan modernitas tidak lebih dari struktur penindas dengan wajah baru.

Sehingga, ketika dipandang dalam perspektif yang berbeda, modernitas sama saja seperti unsteerable juggernaut travelling through space, atau kapal ulang-alik yang tak terkendali di tengah samudera ruang angkasa. Untuk itulah Giddens lebih menawarkan sebuah “jalan baru” yang ia sebut sebagai Jalan ketiga.

Jalan ketiga sendiri, dalam bukunya Giddens, merupakan hasil dari kritik atas sosialisme dan liberalisme. Jalan baru yang ditawarkan oleh Giddens ini cukup menarik, karena dalam bukunya ia menyulut kontroversi dengan menyatakan bahwa sosialisme telah berakhir. Namun, di sisi lain, ia juga mengkritik bahwa liberalisme takkan dapat diteruskan di era yang akan datang.

Ia sendiri menawarkan jalan ketiga, yang memiliki setidaknya enam dimensi: (1) Memperbaiki kembali solidaritas yang retak; (2) mengakui sentralitas dari kehidupan politik; (3) Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia politik; (4) mendorong demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin; (5) memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state); serta (6) melawan kekerasan.

Mungkin, bagi sebagian pihak, pemikiran Giddens cenderung utopis. Akan tetapi, bagi perkembangan dunia sosiologi, Giddens justru menawarkan sebuah teori baru yang perlu diuji. Dalam kaitannya dengan globalisasi politik, Giddens menawarkan konsep demokrasi yang dialogis, atau seperti yang digambarkan oleh Giddens,

“Dialogic democracy presumes only that dialogue in a public space provides a means of living along with the other in a relation of mutual tolerance—whether that 'other' be an individual or a global community of religious believers”.

Penekanan terhadap demokrasi dialogis ini mengimplikasikan adanya public sphere bagi masyarakat yang hidup dalam kehidupan yang toleran dan penuh tenggang rasa. Demokrasi tidak serta merta mengabaikan hak untuk aktif berpartisipasi, tetapi juga tidak lantas menggugurkan hak untuk mendapat tempat yang sama. Artinya, seseorang mungkin saja menjadi pemimpin dalam satu komunitas, tetapi kepemimpinannya juga dibarengi oleh tanggung jawab kepada konstituennya.

Pemikiran Anthony Giddens memang kompleks dan tak mungkin dapat terjabarkan hanya dalam sebuah analisis. Akan tetapi, kita dapat mengambil beberapa poin, bahwa globalisasi politik memang harus ditimbang. Demokrasi, dalam konteks Indonesia, bukan solusi atas persoalan yang ada, tetapi hanya cara untuk menemukan solusi.

Maka, mengapa kita tidak mengkritisi globalisasi politik dalam proses Pemilihan Umum tahun ini? Andalah yang berhak menjawab.

What is to be Done from World Ocean Conference?

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
08/267465/SP/22916

As a maritime country, Indonesia has a very strategic position. According to Valencia (1981), there are three things that influence state’s view about sea, in a maritime state perspective. Firstly, development of marine technology to provide economic and defense needs. Second, national awareness and expectation to get potential resources from sea. Third, the “common property” perspective of world ocean might be ineffective and crushed with each nation’s national interest. Thus, sea has a very important position in national strategy.

In this point, World Ocean Conference, which was held in Manado, May 11 to 14, 2009, bring two spirits: to prevent further destruction of world’s ocean and to reaffirm each nation’s view about ocean. These spirits is borught to respond global warming which has made the ice sheets in antartica and Greenland melted. By holding these spirits, World Ocean Conference issues six things: ocean governance and management, ocean environment and sustainability, ocean disaster mitigation, ocean as next frontier, coastel management, and marine protected areas with its legal aspects and shipping issues.

What are significances of this World Ocean Conference?

We should know, firstly, that this conference is an intergovernmental meeting. This conference will issues many oceanic problems which cannot be solved by only one nation. Coraltriangle Initiative Summit, for example, provide many informations and debates about the fate of ocean’s future. This momentum is used by policy-makers in fishery and maritime aspects to save this earth from further destruction.

This event also enable civil society to speak their aspiration and being heard by world community. Environmental advocacy often failed from its objective because of the lack of publicity from media. Within this conference, civic engagement will meet its momentum to spread their campaign in saving this earth.

According to the conference website, the main focus of this year’s conference is climate change and its impact in ocean. The climate system and the pressure to the world’s oceans have changed. The regulation that constitutes and governs the use the ocean, The Convention on the Law of the Sea, (UNCLOS) 1982, is now 27 years old. This condition should be responded by world’s leader if we do not want the ocean to be more destructed.

Although there has been many controversies behind this conference, We can predict that this year’s conference will produce many important points which can influence the policy from state or company who exploit the ocean resources. Manado, whose sea resources is the most prospective in Indonesia, become a witness for an important meeting of ocean scientists and policy makers to make a decision about ocean in five or more years ahead.

In my opinion, This year’s World Ocean Conference should also look for the more powerful legal basis of Law of the sea. UNCLOS should also rule the position of developed countries responsibility in exploring and exploiting the ocean resources. One of the causes of global warming is the massive industrialization which does not care the need of future of generation in using the resources. Law of the Sea should also be care about environmental effect of ocean destruction, like coral reef or the underwater life.

So, the more power a nation gets, the more responsibility it should take. For this year’s World Ocean Conference, we say: Save our Environment!

BLT, Politik, dan Modal Sosial


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Bantuan Langsung Tunai telah menjadi sebuah komoditas politik di Pemilu legislatif yang lalu. Salah satu partai politik menjadikan isu ini sebagai sebuah isu untuk mendongkrak tingkat elektabilitasnya di mata konstituten, di samping untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Meskipun, pada awalnya, kebijakan ini dibuat untuk mengantisipasi kemiskinan setelah subsidi BBM dicabut oleh pemerintah pada tahun 2006 dan 2008.

Latar Belakang BLT

BLT pada awalnya dilatarbelakangi oleh kenaikan harga BBM yang –pada waktu itu— mengharuskan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM di APBN. Sebagai kompensasinya, sebagian kompensasi dana BBM tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan pemerintah pada waktu itu adalah dengan menggulirkan pembagian uang tunai kepada masyarakat miskin dari penarikan subsidi tersebut.

Pemerintah sendiri pada waktu itu dihadapkan pada pilihan sulit. Menipisnya cadangan minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia di NYMex naik. Pada setting waktu tahun 2008, pemerintah memutuskan untuk menarik subsidi BBM setelah harga minyak dunia mencapai rekor baru, $127 per barrel. Akibatnya, APBN terus mengalami defisit karena asumsi harga minyak dunia pada APBN-Perubahan tahun 2008 hanya berkisar pada $95 per barrel, sementara subsidi BBM di APBN terus meningkat dan menghabiskan 13% dari total belanja pemerintah pusat.

Kebijakan mencabut subsidi BBM tersebut bukannya tanpa kritik. Pada tahun 2006 dan 2008, mahasiswa turun ke jalan untuk menentang kenaikan harga BBM tersebut. Situasi kian memanas ketika pada tahun 2008, seorang mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta, meninggal setelah ditangkap oleh polisi karena menentang kenaikan harga BBM. Pada akhir bulan Juni, demonstrasi anarkis yang menyeret beberapa tokoh nasional terjadi di Jakarta dengan isu yang sama.

Sebagai kompensasi, pemerintah menyiapkan beberapa alternatif kebijakan. Atas berbagai pertimbangan, pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dicanangkan kepada keluarga miskin. Subsidi ini diberikan setiap bulan sebesar Rp 100.000 dan diambil per tiga bulan, sehingga rakyat miskin akan mendapat Rp 300.000 tiap mengambil BLT. Pemberian BLT ini sendiri ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM.

Tepatkah?

Persoalannya, tepatkah pemberian BLT untuk mengganti subsidi BBM? Kita perlu menganalisis dampak kenaikan harga BBM terlebih dulu. Setidaknya akan ada dua implikasi yang muncul jika harga BBM benar-benar dinaikkan.

Pertama, kenaikan biaya produksi bagi para pengusaha kecil. Kenaikan biaya produksi ini akan membuat produsen menaikkan harga produk untuk memperkecil margin kerugian. Implikasi lanjutannya, laju inflasi pun akan terdorong lebih cepat. Situasi demikian dalam literatur ilmu ekonomi disebut sebagai cost-push inflation, atau inflasi yang disebabkan oleh pergeseran jumlah penawaran karena kenaikan biaya produksi.

Kedua, Menurunnya daya beli masyarakat. Karena harga barang di pasar naik secara signifikan, masyarakat pun mulai membatasi jumlah konsumsi. Ini akan membuat masyarakat miskin tercekik karena tingkat konsumsi mereka yang tidak terlalu besar harus semakin diperkecil. Implikasi lainnya, sebagian produsen akan mengalami kerugian karena konsumen mengurangi pembelian atas produk-produk mereka.

Studi yang dilakukan oleh Ibrahim (2008) mengenai dampak BLT terhadap kehidupan petani di Lombok Timur cukup menarik untuk dijadikan referensi. Berdasarkan hasil penelitan, rata-rata pengeluaran rumahtangga petani di Kabupaten Lombok Timur setelah menerima bantuan langsung tunai (2006) mengalami perubahan (kenaikan) sebesar Rp 2.616.593,00 per tahun.

Ini berarti, dana BLT yang diterima petani tidak dapat sepnuhnya menutupi tambahan pengeluaran akibat adanya kenaikan harga barang sebagai dampak dari pengurangan subsidi BBM, dan sekaligus mencerminkan bahwa sesudah menerima dana BLT kesejahteraan/kemakmuran petani tidak mengalami perbaikan.

BLT dan Modal Sosial

Jika kita tilik lebih dalam, sebenarnya BLT berpotensi merusak tatanan sosial di masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan modal sosial atau social capital (Soeharto, 2006). Istilah social capital ini, setidaknya, digunakan oleh tiga ilmuwan sosial, yaitu Bourdieu (1986), Putnam (1993), dan Fukuyama (1995). Bourdieu mendefinisikan social capital sebagai “an attribute of an individual in a social context” (Sobel, 2002).

Adapun Fukuyama (1995) memperkenalkan konsep trust atau kepercayaan sebagai basis dari modal sosial yang berpengaruh terhadap ikatan sosial masyarakat. Putnam sendiri menerjemahkan modal sosial sebagai organisasi sosial yang memiliki jaring-jaring antaranggota masyarakat, sehingga memperkuat interaksi di antara mereka (Soeharto, 1996).

Manifestasi dari modal sosial ini dapat kita lihat pada masyarakat yang bertatanan kuat dengan elemen-elemen seperti gotong-royong, altruisme, kohesivitas masyarakat, atau egalitarianisme. Modal sosial yang kuat akan membuat masyarakat tersebut lebih mandiri dari segi perekonomian dan sosial. Bourdieu menyebut bahwa, “One can acquire social capital through purposeful actions and can transform social capital into conventional economic gains. The ability to do so, however, depends on the nature of the social obligations, connections, and networks available to you”.
Pernyataan Bourdieu di atas, sebagaimana dikutip oleh Sobel (2002), menigindikasikan bahwa modal sosial dapat diperoleh melalui aktivitas-aktivitas yang menyiratkan adanya solidaritas di antara anggota masyarakat. Jika kita menggunakan logika berpikir yang sama, modal sosial juga dapat dilepaskan dari sebuah masyarakat melalui kebijakan publik yang salah. Sebuah masyarakat yang berkultur gemeinschaft, seperti masyarakat pedesaan, bisa saja berubah kulturnya jika pemerintah mendekatkan desa tersebut dengan kultur perkotaan.

Tentunya, jika kita kaitkan antara BLT dengan modal sosial, akan ada dampak-dampak BLT terhadap modal sosial yang selama ini ada di masyarakat pedesaan, dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang ikatan sosialnya sangat kuat. Dalam konteks ekonomi pedesaan, seperti dipaparkan oleh studi tersebut, BLT tidak berperan signifikan dalam penanggulangan masalah kemiskinan.

Justru, dengan adanya BLT, problem menjadi semakin kompleks. Dampak yang ada, seperti dipaparkan oleh Dr. Prasetyantoko di Kompas (18/5/2009), adalah semakin bergesernya solidaritas organis dari masyarakat desa menjadi lebih mekanis. Atau, meminjam istilah Tonnies, gemeinschaft tidak lagi menjadi karakter warga desa di Indonesia.

Persoalannya, apakah kebijakan tersebut merusak tatanan sosial yang telah pakem dianut oleh masyarakat, atau justru sebaliknya? Kita tunggu saja, siapa presiden berikutnya.

*) Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas Intelektual, Biro JMF School, Jamaah Muslim Fisipol UGM