Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Bantuan Langsung Tunai telah menjadi sebuah komoditas politik di Pemilu legislatif yang lalu. Salah satu partai politik menjadikan isu ini sebagai sebuah isu untuk mendongkrak tingkat elektabilitasnya di mata konstituten, di samping untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Meskipun, pada awalnya, kebijakan ini dibuat untuk mengantisipasi kemiskinan setelah subsidi BBM dicabut oleh pemerintah pada tahun 2006 dan 2008.
Latar Belakang BLT
BLT pada awalnya dilatarbelakangi oleh kenaikan harga BBM yang –pada waktu itu— mengharuskan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM di APBN. Sebagai kompensasinya, sebagian kompensasi dana BBM tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan pemerintah pada waktu itu adalah dengan menggulirkan pembagian uang tunai kepada masyarakat miskin dari penarikan subsidi tersebut.
Pemerintah sendiri pada waktu itu dihadapkan pada pilihan sulit. Menipisnya cadangan minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia di NYMex naik. Pada setting waktu tahun 2008, pemerintah memutuskan untuk menarik subsidi BBM setelah harga minyak dunia mencapai rekor baru, $127 per barrel. Akibatnya, APBN terus mengalami defisit karena asumsi harga minyak dunia pada APBN-Perubahan tahun 2008 hanya berkisar pada $95 per barrel, sementara subsidi BBM di APBN terus meningkat dan menghabiskan 13% dari total belanja pemerintah pusat.
Kebijakan mencabut subsidi BBM tersebut bukannya tanpa kritik. Pada tahun 2006 dan 2008, mahasiswa turun ke jalan untuk menentang kenaikan harga BBM tersebut. Situasi kian memanas ketika pada tahun 2008, seorang mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta, meninggal setelah ditangkap oleh polisi karena menentang kenaikan harga BBM. Pada akhir bulan Juni, demonstrasi anarkis yang menyeret beberapa tokoh nasional terjadi di Jakarta dengan isu yang sama.
Sebagai kompensasi, pemerintah menyiapkan beberapa alternatif kebijakan. Atas berbagai pertimbangan, pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dicanangkan kepada keluarga miskin. Subsidi ini diberikan setiap bulan sebesar Rp 100.000 dan diambil per tiga bulan, sehingga rakyat miskin akan mendapat Rp 300.000 tiap mengambil BLT. Pemberian BLT ini sendiri ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang menurun akibat kenaikan harga BBM.
Tepatkah?
Persoalannya, tepatkah pemberian BLT untuk mengganti subsidi BBM? Kita perlu menganalisis dampak kenaikan harga BBM terlebih dulu. Setidaknya akan ada dua implikasi yang muncul jika harga BBM benar-benar dinaikkan.
Pertama, kenaikan biaya produksi bagi para pengusaha kecil. Kenaikan biaya produksi ini akan membuat produsen menaikkan harga produk untuk memperkecil margin kerugian. Implikasi lanjutannya, laju inflasi pun akan terdorong lebih cepat. Situasi demikian dalam literatur ilmu ekonomi disebut sebagai cost-push inflation, atau inflasi yang disebabkan oleh pergeseran jumlah penawaran karena kenaikan biaya produksi.
Kedua, Menurunnya daya beli masyarakat. Karena harga barang di pasar naik secara signifikan, masyarakat pun mulai membatasi jumlah konsumsi. Ini akan membuat masyarakat miskin tercekik karena tingkat konsumsi mereka yang tidak terlalu besar harus semakin diperkecil. Implikasi lainnya, sebagian produsen akan mengalami kerugian karena konsumen mengurangi pembelian atas produk-produk mereka.
Studi yang dilakukan oleh Ibrahim (2008) mengenai dampak BLT terhadap kehidupan petani di Lombok Timur cukup menarik untuk dijadikan referensi. Berdasarkan hasil penelitan, rata-rata pengeluaran rumahtangga petani di Kabupaten Lombok Timur setelah menerima bantuan langsung tunai (2006) mengalami perubahan (kenaikan) sebesar Rp 2.616.593,00 per tahun.
Ini berarti, dana BLT yang diterima petani tidak dapat sepnuhnya menutupi tambahan pengeluaran akibat adanya kenaikan harga barang sebagai dampak dari pengurangan subsidi BBM, dan sekaligus mencerminkan bahwa sesudah menerima dana BLT kesejahteraan/kemakmuran petani tidak mengalami perbaikan.
BLT dan Modal Sosial
Jika kita tilik lebih dalam, sebenarnya BLT berpotensi merusak tatanan sosial di masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan modal sosial atau social capital (Soeharto, 2006). Istilah social capital ini, setidaknya, digunakan oleh tiga ilmuwan sosial, yaitu Bourdieu (1986), Putnam (1993), dan Fukuyama (1995). Bourdieu mendefinisikan social capital sebagai “an attribute of an individual in a social context” (Sobel, 2002).
Adapun Fukuyama (1995) memperkenalkan konsep trust atau kepercayaan sebagai basis dari modal sosial yang berpengaruh terhadap ikatan sosial masyarakat. Putnam sendiri menerjemahkan modal sosial sebagai organisasi sosial yang memiliki jaring-jaring antaranggota masyarakat, sehingga memperkuat interaksi di antara mereka (Soeharto, 1996).
Manifestasi dari modal sosial ini dapat kita lihat pada masyarakat yang bertatanan kuat dengan elemen-elemen seperti gotong-royong, altruisme, kohesivitas masyarakat, atau egalitarianisme. Modal sosial yang kuat akan membuat masyarakat tersebut lebih mandiri dari segi perekonomian dan sosial. Bourdieu menyebut bahwa, “One can acquire social capital through purposeful actions and can transform social capital into conventional economic gains. The ability to do so, however, depends on the nature of the social obligations, connections, and networks available to you”.
Pernyataan Bourdieu di atas, sebagaimana dikutip oleh Sobel (2002), menigindikasikan bahwa modal sosial dapat diperoleh melalui aktivitas-aktivitas yang menyiratkan adanya solidaritas di antara anggota masyarakat. Jika kita menggunakan logika berpikir yang sama, modal sosial juga dapat dilepaskan dari sebuah masyarakat melalui kebijakan publik yang salah. Sebuah masyarakat yang berkultur gemeinschaft, seperti masyarakat pedesaan, bisa saja berubah kulturnya jika pemerintah mendekatkan desa tersebut dengan kultur perkotaan.
Tentunya, jika kita kaitkan antara BLT dengan modal sosial, akan ada dampak-dampak BLT terhadap modal sosial yang selama ini ada di masyarakat pedesaan, dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang ikatan sosialnya sangat kuat. Dalam konteks ekonomi pedesaan, seperti dipaparkan oleh studi tersebut, BLT tidak berperan signifikan dalam penanggulangan masalah kemiskinan.
Justru, dengan adanya BLT, problem menjadi semakin kompleks. Dampak yang ada, seperti dipaparkan oleh Dr. Prasetyantoko di Kompas (18/5/2009), adalah semakin bergesernya solidaritas organis dari masyarakat desa menjadi lebih mekanis. Atau, meminjam istilah Tonnies, gemeinschaft tidak lagi menjadi karakter warga desa di Indonesia.
Persoalannya, apakah kebijakan tersebut merusak tatanan sosial yang telah pakem dianut oleh masyarakat, atau justru sebaliknya? Kita tunggu saja, siapa presiden berikutnya.
*) Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas Intelektual, Biro JMF School, Jamaah Muslim Fisipol UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar