Dunia telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di awal dekade 1990-an, komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru (Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.
Benarkah demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih ada sepercik harapan dan jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens, yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan pada liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus dibenahi dalam struktur sosial.
Teori Strukturasi
Cukup menarik jika kita mengulas latar belakang Anthony Giddens. Menurut Dr. Ignatius Wibowo, Giddens memulai petualangan intelektual dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, serta Max Weber. Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971).
Petualangan intelektualnya kemudian menemukan momentum dengan pemahaman Giddens mengenai struktur sosial. Giddens menyebut bahwa, “social structures are both constituted by human agency, and yet at the same time are the very medium of this constitution”. Pernyataan Giddens ini mengisyaratkan bahwa struktur sosial dilatarbelakangi oleh human agency, atau hubungan antara peraturan dan perilaku.
Aturan (rules), menurut Giddens, mempengaruhi perilaku dan tindakan yang dibuat oleh manusia. Aturan ini, ketika dilembagakan secara sosial, membentuk struktur yang terus direproduksi menjadi sebuah sistem. Proses reproduksi struktur hingga berinteraksi menjadi sistem tersebut-lah yang dinamakan oleh Giddens sebagai proses strukturasi.
Modernisasi : Perspektif yang Berbeda
Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani.
Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorina mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.
Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan.
Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens, ketika mengulas persoalan gugus institusi dari sebuah dunia modern, menunjuk bahwa ada tiga karakter dari modernisasi: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Kita hanya akan mengulas salah satu variabel, yaitu globalisasi sebagai salah satu icon modernisasi. Globalisasi berkaitan dengan semakin berkurangnya jarak antara ruang dan waktu.
Globalisasi dan Jalan Ketiga
Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Hal ini dipotret oleh Giddes sebagai, “information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions”.
Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class. Modernisasi, jika tak terkelola, berpotensi menjadi ‘tersangka’ atas kerusakan yang ada. Fenomena relasi struktur dan pelaku serta modernisasi yang tak terjaga ini menyebabkan modernitas tidak lebih dari struktur penindas dengan wajah baru.
Sehingga, ketika dipandang dalam perspektif yang berbeda, modernitas sama saja seperti unsteerable juggernaut travelling through space, atau kapal ulang-alik yang tak terkendali di tengah samudera ruang angkasa. Untuk itulah Giddens lebih menawarkan sebuah “jalan baru” yang ia sebut sebagai Jalan ketiga.
Jalan ketiga sendiri, dalam bukunya Giddens, merupakan hasil dari kritik atas sosialisme dan liberalisme. Jalan baru yang ditawarkan oleh Giddens ini cukup menarik, karena dalam bukunya ia menyulut kontroversi dengan menyatakan bahwa sosialisme telah berakhir. Namun, di sisi lain, ia juga mengkritik bahwa liberalisme takkan dapat diteruskan di era yang akan datang.
Ia sendiri menawarkan jalan ketiga, yang memiliki setidaknya enam dimensi: (1) Memperbaiki kembali solidaritas yang retak; (2) mengakui sentralitas dari kehidupan politik; (3) Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia politik; (4) mendorong demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin; (5) memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state); serta (6) melawan kekerasan.
Mungkin, bagi sebagian pihak, pemikiran Giddens cenderung utopis. Akan tetapi, bagi perkembangan dunia sosiologi, Giddens justru menawarkan sebuah teori baru yang perlu diuji. Dalam kaitannya dengan globalisasi politik, Giddens menawarkan konsep demokrasi yang dialogis, atau seperti yang digambarkan oleh Giddens,
“Dialogic democracy presumes only that dialogue in a public space provides a means of living along with the other in a relation of mutual tolerance—whether that 'other' be an individual or a global community of religious believers”.
Penekanan terhadap demokrasi dialogis ini mengimplikasikan adanya public sphere bagi masyarakat yang hidup dalam kehidupan yang toleran dan penuh tenggang rasa. Demokrasi tidak serta merta mengabaikan hak untuk aktif berpartisipasi, tetapi juga tidak lantas menggugurkan hak untuk mendapat tempat yang sama. Artinya, seseorang mungkin saja menjadi pemimpin dalam satu komunitas, tetapi kepemimpinannya juga dibarengi oleh tanggung jawab kepada konstituennya.
Pemikiran Anthony Giddens memang kompleks dan tak mungkin dapat terjabarkan hanya dalam sebuah analisis. Akan tetapi, kita dapat mengambil beberapa poin, bahwa globalisasi politik memang harus ditimbang. Demokrasi, dalam konteks Indonesia, bukan solusi atas persoalan yang ada, tetapi hanya cara untuk menemukan solusi.
Maka, mengapa kita tidak mengkritisi globalisasi politik dalam proses Pemilihan Umum tahun ini? Andalah yang berhak menjawab.
2 komentar:
Do you have a spam problem on this website; I also am a blogger, and I
was wanting to know your situation; many of us have developed
some nice procedures and we are looking to trade methods with other
folks, please shoot me an email if interested.
Feel free to surf to my site: toe fungus treatment
Currently it seems like Wordpress is the best blogging platform available right now.
(from what I've read) Is that what you're using
on your blog?
my homepage - provillus hair loss treatments
Posting Komentar